M U K A D D I M A H

M U K A D D I M A H : Sesungguhnya, segala puji hanya bagi Allah, kita memuji-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kami serta keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tak ada yang dapat menyesatkannya. Dan Barang siapa yang Dia sesatkan , maka tak seorangpun yang mampu memberinya petunjuk.Aku bersaksi bahwa tidak ada Rabb yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, yang tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam adalah hamba dan utusannya.

Selasa, 31 Agustus 2010

BOLEHKAH MEMBELI BERAS UNTUK ZAKAT FITRAH DARI PANITIA/AMIL

Senin, 30 Agustus 2010




O l e h : Abu Farabi al-Banjar.

Dengan telah dimasukinya hari sepuluh terakhir bulan ramadhan para pengurus/takmir masjid, langgar atau surau di negeri ini sibuk dengan aktifitas pengumpulan zakat dari masyarakat muslim yang ada disekitar mereka. Mengawali kegiatan pengumpulan zakat tersebut adalah membentuk panitia/amil di masing-masing masjid, langgar, mushalla atau surau-surau yang bertanggung jawab untuk melayani penerimaan zakat dari masyarakat baik zakat fitrah maupun zakat harta atau zakat maal. Sebagaimana yang dulu pernah penulis lakukan sewaktu masih menjadi ketua umum badan pengelola masjid dikompleks perumahan penulis.

Sesuai dengan ketetapan syar’i tentang pengeluaran zakat fitrah oleh para muzaki dalam bentuk bahan makanan pokok masyarakat setempat dalam hal ini beras untuk masyarakat muslim di Indonesia, sebaian umat islam mengeluarkan zakat firahnya berupa beras melalui panitia/amil.

Untuk mempermudah memberikan pelayanan kepada masyarakat wajib zakat ( yang disebut muzaki ), khususnya dalam mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk natura berupa beras, agar bersesuian dengan sunnah Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam yang disebutkan diatas , panitia/amil menyediakan beras ntuk dijual kepada muzaki agar mereka tidak sulit membawa beras dari rumah masing-masing, mereka cukup hanya membeli beras dari panitia/amil.

Panitia/amil menyediakan paket beras sesuai dengan jumlah jiwa yang akan mengeluarkan zakat, terdiri dari berbagai ukuran timbangan,baik dari ukuran 2,5 kg sampai ukuran 10 kg untuk 4 orang.

Pada saat muzaki yang datang tidak membawa beras sendiri, maka panitia/amil menyodorkan beras yang telah disediakan untuk dibeli oleh calon muzaki dengan harga sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dalam hal ini Kantor Departemen Agama R.I setempat. Apabila orang yang datang akan mengeluarkan zakatnya tanpa tanggungan, maka disodorkanlah tempat berisi beras dengan ukuran timbangan sebanyak 2,5 kg. Apabila orang yang akan mengeluarkan zakat fitrahnya mempuyai satu tanggungan ( berdua dengan siwajib zakat), maka panitia/amil menyodorkan tempat yang berisi beras dengan ukuran timbangan sebanyak 5 kg . Kalau ada 3 tanggungan ( berempat dengan siwajib zakat) panitia menyodorkan beras dengan ukuran timbangan 10 kg.

Setelah beras disodorkan oleh panitia/amil maka terjadilah akad jual beli beras dengan ukuran sejumlah jiwa muzaki dikali dengan beras sebanyak 2,5 kg dengan harga yang telah ditetapkan. Dengan adanya proses/akad jual beli tersebut, maka hak kepemilikan sejumlah beras telah beralih kepada calon muzaki, sedangkan panitia amil berhak memperoleh uang hasil penjualan beras sebagai hasil pemasukkan bagi panitia/amil.

Beras yang telah dibeli dari panitia/amil zakat tersebut oleh muzaki diserahkan kembali kepada panitia/amil sebagai zakat fitrah muzaki dengan seluruh tanggungannya.

Berikutnya apabila kemudian ada datang calon muzaki yang lain lagi, maka kembali terjadi proses sebagaimama dikemukakan diatas, tetapi beras yang dijual kepada sicalon muzaki oleh panitia/amil adalah beras hasil yang diperoleh dari zakat fitrah dari muzaki sebelumnya. Demikianlah terjadi proses akad jual beli beras antara panitia/amil dengan orang-orang calon muzaki secara terus menerus dengan beras yang sama secara berulang-ulang.

Sehingga dalam buku catatan panitia/amil jumlah uang hasil penerimaan zakat fitrah terus meningkat sebanding dengan jumlah muzaki. Sedangkan jumlah berasnya tidak bertambah-tambah. Kecuali ada para muzaki yang datang membawa beras untuk mengeluarkan kewajiban zakat fitrahnya.

Cara pelaksanaan pengumpulan zakat fitrah oleh panitia/amil dari para muzaki seperti tersebut diatas adalah suatu cara untuk mensiasati kewajiban mengeluarkan zakat fitrah berupa makanan pokok sesuai ketentuan syari’at, dimana muzaki tidak mengeluarkan zakat fitrahnya dengan uang tetapi dalam bentuk natura berupa beras. Karena berasnya tidak dibawa sendiri oleh muzaki, maka muzaki membelinya dari panitia/amil.

Akad Jual Beli Beras Untuk Zakat Fitrah Antara Panitia/Amil Dengan Calon Muzaki Ditinjau Dari Syari’at.

Sebelum membicarakan lebih lanjut tentang akad jual beli beras untuk zakat fitrah antara panitia/amil dengan calon muzaki ditinjau dari syari’at islam, maka secara sepintas kilas kiranya perlu dulu disinggung tentang jual beli dari sudut pandang islam.

Islam sebagai agama yang sangat sempurna dalam mengatur dari hal-hal ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala, juga telah mengatur hal-hal yang berkaitan dengan aturan berinteraksi sesama manusia termasuk didalamnya hal-hal mengenai jual –beli. Dimana jual-beli merupakan tukar menukar suatu barang dengan barang lain dengan tujuan untuk memilikinya. Termasuk disini dengan menggunakan uang sebagai alat tukar.Allah ‘Azza wajjala menghalalkan jual-beli demi mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia, sesuai dengan firman-Nya dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 275 :

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ

الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Dalam fiqih islam telah diatur tentang bagaimana akad jual beli, dan telah digariskan pula bagaimana sahnya jual beli tersebut.

Di dalam buku ensiklopedi islam Al-Kamil yang disusun oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri dikemukan syarat-syarat sahnya jual beli yaitu antara lain :

1. Kerelaan kedua belah pihak antara penjual dan pembeli.

2. Kedua b elah pihak adalah orang yang dibolehkan melakukan transaksi, yakni keduanya mukalaf dewasa)

3. B arang yang diperjual belikan boleh dimanfaatkan secara mutlak. Sehingga tidak diperbolehkan menjual sesuatu yangb tidak mempunyai nilai manfaat. Seperti menjual nyamuk dan kecoak.

4. Barang yang diperjual belikan milik pribadi penjual, atau penjual mendapat izin untuk menjualnya saat akad transaksi.

Abu Malik Kamal bin ads-Sayyid Salim dalam buku beliau shahih Fiqih Sunnah mengemukan mengenai menjual barang yang tidak dimiliki adalah terlarang, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Hakim bin Hizam, ia berkata

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ نَهَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَبِيعَ مَا لَيْسَ عِنْدِي قَالَ أَبُو عِيسَى وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarangku menjual sesuatu yang tidak ada padaku (yang tidak aku miliki). Abu Isa berkata; Hadits ini hasan dan dalam hal ini ada hadits serupa dari Abdullah bin Amru.(shahih ).

Dihadits lain yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dari Hakim bin Hizam, ia berkata :

iدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي بِشْرٍ عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ

يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ فَقَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

, "Wahai Rasulullah, seorang laki-laki datang kepadaku ingin membeli sesuatu yang tidak aku miliki, apakah boleh aku membelikan untuknya dari pasar? Beliau bersabda: "Janganlah engkau menjual apa yang tidak engkau miliki!"(Shahih)

Dijelaskan bahwa dilarangnya menjual apa yang tidak menjadi milik sendiri dan tidak pula dalam kekuasaannya sehingga hal ini mengandung gharar (penipuan) sedangkan jual beli yang mengandung gharar dilarang

dalam islam .

Kembali kepada pokok persoalan yaitu akad jual-beli beras untuk zakat fitrah, antara panitia/amil dengan muzaki ditinjau dari syari’at islam, maka timbul pertanyaan apakah beras yang dijual oleh panitia/amil kepada muzaki untuk digunakan oleh muzaki sebagai membayar/mengeluarkan zakat fitrah itu adalah memang benar-benar sah secara hukum merupakan miliknya panitia/amil.

Dilihat dari segi itu, maka pada awal-awalnya memang benar beras yang disediakan oleh panitia/amil sah miliknya panitia/amil,karena pengadaan beras tersebut dilakukan/dibeli oleh panitia/amil dengan menggunakan dana milik panitia/amil. Tetapi pada tahap berikutnya setelah beras tersebut dijual kepada muzaki, maka kepemilikannya beralih kepada si muzaki. Kemudian si muzaki menyerahkan beras tersebut sebagai zakat fitrah kepada panitia/amil dimaksudkan sebagai amanah untuk diteruskan/dibagikan kepada yang berhak menerimanya. Jadi dalam hal ini panitia/amil hanyalah selaku pihak penerima titipan atas beras tersebut, bukan sebagai pemiliknya. Karena bukan hak milik sendiri, maka panitia/amil dilarang menjual beras tersebut kepada pihak lain lagi.

Dari ulasan diatas, maka dapatlah ditarik benang merah persoalan dengan membandingkannya dengan hadits dari Rasullullah shallalahu ‘alaihi wasallam sebagai dalil tolok ukur, ternyata apa yang telah dilakukan oleh panitia/amil bertolak belakang dan tidak sejalan dengan syari’at (as-sunnah).

Dan tidaklah sepatutnya panitia/amil yang berkerja dalam hal kebaikan melanggar rambu-rambu agama dalam hal proses pengumpulan zakat dari para muzaki.

Kalau panitia/amil dalam mengumpulan zakat fitrah dari para muzaki dengan melakukan proses jual beli beras dengan menggunakan beras hasil pengumpulan zakat fitrah yang sebenarnya merupakan barang titipan dan amanah untuk dibagikan lagi ,sebagai mana yang sekarang ini banyak dilakukan oleh panitia/amil diberbagai tempat, maka ia telah melanggar dua kesalahan yaitu yang pertama melanggar amanah dengan menjual barang titipan dan yang kedua melanggar larangan menjual barang yang bukan miliknya sendiri.

Pelanggaran dalam akad jual- beli beras antara panitia/amil dengan muzaki, tentunya kesalahan tidak adil hanya dibebankan kepada panitia/amilselaku penjual, tetapi terkena pula menanggung resiko pihak pembeli dalam hal ini muzaki, karena si muzaki membeli beras dari panitia/amil sebagai pihak yang tidak mempunyai hak kepemilikan . Tentunya akad jual-beli tidak sah dimata hukum. Karena beras yang dibeli untuk dijadikan zakat fitrah tidak sah, maka secara hukum zakat fitrah dari muzaki berupa beras tersebut juga dianggap tidak sah. Namun mengingat kemungkinan selama ini baik orang-orang yang berkecimpung selaku amilin dalam panita/amil maupun para muzaki masih jahil terhadap masalah ini maka Allah Subhanahu Wata’ala akan mengampuninya kesalahan mereka sebagai akaibat ketidak ketahuannya.Insya Allah dan mudah-mudahan Allah Subhanahu Wata’ala menerima amal mereka sesuai dengan niat mereka selaku muzaki untuk menunaikan kewajiban zakat fitrah .

Meskipun pada prakteknya uang hasil penjualan beras kepada muzaki tersebut nantinya dibagikan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya, namun pada hakekatnya zakat dari muzaki yang diterima seharusnya dalam bentuk beras, tetapi oleh panitia/amil dirubah dalam bentuk uang.

Proses pelaksanaan pengumpulan zakat fitrah oleh panitia/amil dari muzaki seperti yang digambarkan dibagian awal dari tulisan ini dan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah oleh para muzaki dengan cara terlebih dahulu membeli beras dari panitia/amil kemudian menyerahkan kembali sebagai zakat fitrah, merupakan sesuatu yang sudah lumrah dan baku dilakukan sejak dari dulu dan terus berkembang serta dilakukan sampai sekarang ini di banyak masjid, langgar, rumah ibadah di berbagai tempat dinegeri ini, dan hal tersebut nampaknya tidak pernah dipersoalkan dan dibicarakan oleh para ulama, kiai dan ustadz, sehingga oleh kebanyakan pengurus Badan Pengelola Masjid/ta’mir masjid dan panitia/amil itulah cara yang mereka lakukan sudah benar dan tidak bertentangan dengan syari’at.

Dalam proses pengumpulan zakat fitrah oleh panitia dari para muzaki tidak boleh hanya dilihat dari pentingnya peran panitia/amil tersebut kemudian membagikannya kepada mereka-mereka yang berhak menerimanya sebagaimana yang telah diatur dalam syariat, tetapi juga perlu ditinjau tentang bagaimana cara dan metode pengumpulan zakat fitrah dari muzaki berupa beras. Tidak selayaknya untuk berbuat kebaikan dengan harus menghalalkan cara-cara yang telah diharamkan.

Belajar dari kasus sebagaimana yang diutarakan diatas, maka kewajiban bagi penulis untuk menyampaikan dan mengajak kepada saudara-saudara muslim yang belum mengetahuinya, untuk meninggalkan cara-cara seperti disebutkan diatas dalam menunaikan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang-orang yang menjadi tanggungannya.

Kemudian tunaikanlah zakat fitrah dengan menggunakan beras sebagai bahan makanan pokok sesuai dengan yang diperintahkan oleh Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam sebagaimana hadits riwayat Imam Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhyallaahu anhum berkata :

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ

أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَجَعَلَ النَّاسُ عِدْلَهُ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ

“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kami tentang zakat fithri berupa satu sha' dari kurma atau satu sha' dari gandum". Berkata, 'Abdullah radliallahu 'anhu: "Kemudian orang-orang menyamakannya dengan dua mud untuk biji gandum".

Dihadits lain yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Sa’id bin Al Khudri ia berkata :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا دَاوُدُ يَعْنِي ابْنَ قَيْسٍ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ

كُنَّا نُخْرِجُ إِذْ كَانَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ كُلِّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ حُرٍّ أَوْ مَمْلُوكٍ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ

فَلَمْ نَزَلْ نُخْرِجُهُ حَتَّى قَدِمَ عَلَيْنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ حَاجًّا أَوْ مُعْتَمِرًا فَكَلَّمَ النَّاسَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَكَانَ فِيمَا كَلَّمَ بِهِ النَّاسَ أَنْ قَالَ إِنِّي أَرَى أَنَّ مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ الشَّامِ تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ فَأَخَذَ النَّاسُ بِذَلِكَ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ فَأَمَّا أَنَا فَلَا أَزَالُ أُخْرِجُهُ كَمَا كُنْتُ أُخْرِجُهُ أَبَدًا مَا عِشْت

Pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masih hidup, kami membayar zakat fithrah untuk setiap orang, baik anak kecil maupun dewasa, merdeka maupun budak, yaitu satu sha' makanan berupa keju, atau gandum, atau kurma atau anggur kering. Pada masa pemerintahan Mu'awiyah bin Abu Sufyan, dia berpidato di hadapan jama'ah haji atau umrah, katanya antara lain; "Dua Mud gandum negeri Syam sama dengan satu sha' kurma." Karena pidatonya itu maka banyak orang yang membayar zakat fithrahnya seperti itu. Abu Sa'id berkata, "Tetapi aku tetap saja membayar seperti apa yang telah kulakukan sejak zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hingga akhir hayatku."

Dalam penunaian kewajiban zakat fitrah, ada pula ulama yang membolehkannya dalam bentuk uang sesuai dengan pendapat imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri dan Al-Hasan Basri, namun imam-imam lainnya seperti imam Malik, Syafi’i dan Imam Ahmad tidak merekomendasikannya. Demikian pula seluruh ulama dari kalangan pengikut salafus shalih memfatwakan agar menggunakan bahan makanan pokok untuk zakat fitrah. Alasannya seandainya dibolehkan dengan digantikan dengan uang, maka tentunya Rasullullah shalalahu ‘alaihi wasallam dan seluruh sahabat pernah melakukannya,sedangkan pada zaman Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam sudah dikenal mata uang berupa dirham dan dinar .

Selanjutnya agar pelaksanaan penunaian kewajibab zakat fitrah melalui amil sesuai dengan syari’at dengan menggunakan beras, maka berasnya haruslah disiapkan dan dibawa sendiri oleh masing-masing muzaki, apakah dibawa dari rumah atau mungkin juga dibeli ditoko-toko, warung-warung .

Wallaahu Ta’ala ‘alam.

Sumber bacaraan :

1. Al-Qur’an dan terjemahan Departemen Agama R.I

2. Kitab Hadits 9 imam sofware lidwa Pusaka.

3. Shahih Fiqih Sunah , Abu Malik Kamalb in as-Sayyid Salim (terjemahan)

4. Ensiklopedi Islam Al-Kamil , Syaikh Muhammad bvin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri.

Diselesaikan bada Zu’hur, Selasa, 21 Ramadhan 1431 H/31 Agustus 2010

http://abufarabial-banjari.blogspot.com

Rabu, 25 Agustus 2010

ISLAM MELARANG UMATNYA BERBUAT GHULUW (MELAMPAUI BATAS)


O l e h : Abu Farabi al-Banjar


Di dinding sebuah rumah makan penulis melihat terpampang foto/gambar berkuran besar seorang ulama terkenal yang disebut-sebut sebagai wali di Kalimantan Selatan yang sudah almarhun dengan mengenakan surban di kepala. Foto tersebut pada bingkainya digantungkan rangkaian bunga segar dan bunga tersebut sepertinya selalu diganti setiap hari. Pemberian bunga segar pada foto tersebut merupakan salah satu fenomena dari sekian banyak bentuk penghormatan dan malah menjurus kepada pengkultusan sebagian masyarakat muslim yang dilakukan kepada mendiang ulama besar di Kalimantan Selatan tersebut. Dan selain dari itu banyak sekali cerita cerita yang beredar tentang keistimewaan sang ulama tersebut yang menggambarkan kekaramatannya, dan malah sepertinya isi cerita dari mulut kemulut tersebut banyak yang dilebih-lebihkan dan dibuat-buat. Semuanya itu dilakukan tidak lain sebagai bentuk penggambaran akan kecintaan dan pengagungan kepada sang ulama.

Selain dari itu di sebagian kalangan masyarakat muslim di negeri kita ini juga dikenal apa yang dinamakan manaqib ulama besar Syaikh Abdul Qadir Jailani yang oleh pencintanya sering diamalkan membacanya dalam berbagai kesempatan acara-acara. Padahal kalau disimak dengan menterjemahkan manaqib atau riwayat tersebut maka di dalamnya oleh pengarangnya banyak sekali terdapat riwayat-riwayat berupa isapan jempol belaka. Namun karena sebagai tanda penghargaan dan memuliakan Syaikh Abdul Qadir Jailani, cerita-cerita bohong dalam manaqib tersebut dianggap benar. Disebutkan bahwa konon sang Syaikh pernah berkelahi dengan malaikat, karena malaikat tersebut telah mencabut nyawa seseorang.

Itulah gambaran mereka-mereka yang berbuat ghuluw, dimana ghuluw merupakan sikap melampaui batas atau berlebihan terhadap sesuatu,.

Pengertian Ghuluw.

KH.Qomaruddin dalam buku beliau “ Ayat-ayat Larangan & Perintah Dalam al-Qur’an menuliskan Dalam kamus lisanul ‘arab disebutkan bahwa asal kata ghuluw diambil dari kata ghala yaghlu, yang secara bahasa artinya melampaui batas atau berlebih-lebihan. Penertian ghuluw dalamarti syari’at adalah berbuat melampaui batas, baik dalam keyakinan maupun amalan yang justru membuatnya menyimpang dari apa yangb telah ditetapkan oleh syari’at. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ghuluw dalam agama berarti melampaui batas dengan menambah-nambah dalam memuji sesuatu atau mencela sesuatu sehingga menyimpang jauh dari apa yang menjadi haknya

Larangan Berbuat Ghuluw

Dalil yang mengharamkan ghuluw seperti yang dikemukan oleh KH.Qomaruddin dalam buku tersebut diatas terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah . Surah an-Nisa ayat 171 merupakan salah satu dari sekian banyak dalil yang mengharamkan perbuatan ghuluw. Melalui surah ini, Allah Subhanahu Wata’ala melarang kaum muslimin berbuat melampau batas dalam agama dengan menyajikan contoh yang terjadi dilakangan kaum nasrani.


“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamudan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nyayang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya]. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.” ( QS.An-Nisa: 171)


Dalam buku Ghuluw Benalu Dalam Ber-islam Abdurrahman bin Mu’alla Al-Luwaihiq dikemukan bahwa Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam melarang ghuluw atas umatnya, agar mereka tidakberbuat seperti yang diperbuat umat-umat terdahulu,yang kepada merekalah para rasul diutus. Bersama larangan ini beliau juga menjelaskan akibat dan pengaruh ghuluw.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, An-Nasa’y dan Ibnu Majah sebuah hadits dari Ibnu Abbas radhyallahu anhum:



ثَنَا يَحْيَى وَإِسْمَاعِيلُ الْمَعْنَى قَالَا حَدَّثَنَا عَوْفٌ حَدَّثَنِي زِيَادُ بْنُ حُصَيْنٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ الرِّيَاحِيِّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ يَحْيَى لَا يَدْرِي عَوْفٌ عَبْدُ اللَّهِ أَوْ الْفَضْلُ قَالَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ الْعَقَبَةِ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى رَاحِلَتِهِ هَاتِ الْقُطْ لِي فَلَقَطْتُ لَهُ حَصَيَاتٍ هُنَّ حَصَى الْخَذْفِ فَوَضَعَهُنَّفِي يَدِهِ فَقَالَ بِأَمْثَالِ هَؤُلَاءِ مَرَّتَيْنِ وَقَالَ بِيَدِهِ فَأَشَارَ يَحْيَى أَنَّهُ رَفَعَهَا وَقَالَ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّينِ


“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku di pagi hari Aqabah, sedangkan saat itu beliau duduk di atas unta beliau: "Ambilkan kerikil untukku." Maka aku pun memungutkan kerikil untuk beliau gunakan melempar jumrah. Kemudian beliau meletakkan kerikil itu di tangannya, lalu beliau bersabda: "Seperti mereka." beliau mengucapkan dua kali. Ia Yahya mengatakan; Dengan tangannya, lalu Yahya mengisyaratkan bahwa beliau mengangkatnya. Beliau bersabda: "Janganlah kalian berlaku ghuluw (sikap berlebih-lebihan), karena sesungguhnya kebinasaan orang-orang sebelum kalian adalah karena bersikap ghuluw dalam agama."

Ditambahkan oleh penulis buku tersebut diatas bahwa meskipun sebab larangan ini bersifat khusus, toh ia merupakan larangan untuk setiap ghuluw . Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : “ Hal ini bersifat umum untuk semua jenis ghuluw dalam keyakinan maupun dalam amal.

Ghuluw ini banyak sekali terjadi ditengah-tengah masyarakat, dimana mereka tidak menyadari bahwa sikap perbuatan yang telah dilakukannya telah melampaui batas dari seharusnya .

Allah Subhanahu Wata’ala telah menyerukan kepada hambanya untuk istiqomah dan mengikuti perintah, tidak berbuat ghuluw dan menambah-nambah, seperti yang di firmankan-Nya dalam al-Qur’an surah Hud : 112 :

“ Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. “

Dari ayat tersebut Allah menghendaki hambanya agar istiqomahseperti yang diperintahkan tanpa melampaui batas dan tidak pula mengada-adakan kesulitan,mengalihkan agama ini dari kemudahan kepada kesulitan
.Sedangkan dalam surah Al-Maidah ayat 77 Allah Subhanahu Wata’ala juga berfirman :

“ Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.


Larangan Berbuat Ghuluw Terhadap Rasullulah Shallalahu ‘alaihi Wasallam.

Dalam surah An-Nisa :ayat 171 Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

“ Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu], dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya] yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya]. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.”

Mengutip sebagaimana yang dikemukakan oleh Abdurrahman bin Mu’alla Al-Luwaihiq dalam bukunya Ghuluw benalu dalam ber-islam bahwa ayat tersebut Artinya, wahai Ahli Kitab,janganlah kalian ghuluw dalam agama kalian sehingga kalian melanggar kebenaran, karena perkataan kalian bahwa Isa merupakan anak Allah merupakan perkataan dari kalian yang tidak benar terhadap Allah . Janganlah kalian mengangkat Isa kedudukan Uluhiyah, sehingga kalian menjadikannya Tuhan.

Meskipun ayat tersebut mengenai orang-orang ahli kitab,tetapi hakekatnya ayat ini merupakan sinyal adanya larangan bagi umat islam untuk berbuat ghuluw, sebagaimana juga ahli kitab juga telah dilarang sebelumnya. Namun larangan ghuluw oleh sebagian kalangan umat islam tidaklah diindahkan, karena ketidak tahuan mereka atau karena mengikuti apa ujar kiai/ulama mereka berupa taqlid. Mereka telah berbuat ghuluw atau melampaui batas dan berlebihan dalam menunjukkan kecintaan, penghormatan dan pengagungan kepada Rasullulah melalui pujian-pujian serta sanjungan melalui syair shalawat yang disusun oleh ulama sastrawan islam seperti shalawat Nariyah dan burdah dimana materinya antara lain berisi sanjungan kepada Rasullulah shallawahu ‘alaihi wasallam berupa penyamaan kedudukan beliau shallalahu alaihi wasallam dengan Allah Maha Pencipta.

Berkenaan dengan larangan bersikap ghuluw dengan cara memuji dan menyanjung secara berlebihan terhadap diri Rasullulah shallahu wasallam telah disabdakan beliau sebagai mana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari :
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ سَمِعْتُ الزُّهْرِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ سَمِعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِسَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

Telah bercerita kepada kami Al Humaidiy telah bercerita kepada kami Sufyan berkata, aku mendengar Az Zuhriy berkata, telah mengabarkan kepadaku 'Ubaidullah bin 'Abdullah dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhua bahwa dia mendengar 'Umar radliallahu 'anhum berkata di atas mimbar, "Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku (mengkultuskan) sebagaimana orang Nashrani mengkultuskan 'Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka itu katakanlah 'abdullahu wa rasuuluh (hamba Allah dan utusan-Nya").

Sikap ghuluw terhadap diri Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam juga dilakukan oleh sebagian kalangan umat islam yang mengikuti sebuah aliran tashawuf yang menyebutkan bahwa Allah menciptakan Nabi Muhammdad dari nur (cahaya)-Nya, lalu baru kemudian menciptakan segala yang ada ini dari nur-nya Muhammad.

Anggapan dan pemikiran yang bathil dan menyalahi syari’at itu sebenarnya telah terbantah dan didustakan oileh Allah Subhanahu Wata’ala berdasarkan firman-Nya dalam al-Qur’an sujrah Al-Kahfi ayat 110 :

“ Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa." Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya."


Dari riwayat yang shahih diperoleh informasi bahwa para sahabat tidaklah memberikan penghormatan yang berlebihan kepada Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam meskipun kecintaan para sahabat pada diri beliau sedemikian rupa, ini tergambar dalam sikap para sahabat manakala menyambut/menerima atau melihat beliau shallalahu ‘alaihi wasallam , sesuai dengan hadits riwayat dari Ahmad dan At-Tirmidzi :


حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ
مَا كَانَ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا لِمَا يَعْلَمُوا مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لِذَلِكَ

“Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi dari Hammad bin Salamah dari Humaid dari Anas, ia berkata; "Tidak seorangpun dari mereka yang lebih dicintainya selain Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, namun jika mereka melihat beliau, mereka tidak berdiri karena mereka tahu beliau tidak menyukai hal itu."

Bandingkanlah sikap dari para sahabat tersebut ketika melihat Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam yang tidak berdiri, berbeda jauh dengan sikap kita apabila melihat pemimpin yang dihormati seperti sewaktu presiden memasuki ruangan , hadirin berdiri menyambutnya. Padahal ini sudah termasuk perbuatan ghuluw dalam memberikan penghormatan kepada seseorang.

Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam melarang umatnya untuk mengkultuskan beliau, sesuai dengamn hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad


حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ قَالَ زَعَمَ الزُّهْرِيُّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ

“Telah menceritakan kepada kami Husyaim dia berkata; Az Zuhri telah menganggap (meriwayatkan) dari 'Ubaidillah Bin Abdullah Bin 'Utbah Bin Mas'ud dari Ibnu Abbas dari Umar bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian mengkultuskan aku sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa Bin Maryam, aku hanyalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”


Larangan Ghuluw Terhadap Para Ulama dan Para Orang-Orang Shalih.

Syari’at telah melarang umat islam untuk berbuat ghuluw kepada Rasullullah shallalahu ‘alaihi wasallam yang jelas dan nyata sebagai nabinya tercinta umat islam, apalagi terhadap para ulama larangan itu tentunya semakin keras.

Fenomena sikap ghuluw sebagian kalangan umat islam terhadap para ulamanya nampak sekali secara kasat mata, baik sewaktu ulama tertsebut masih hidup dan lagi-lagi setelah wafatnya, sebagaimana disebutkan pada awal tulisan ini.

Sebagaimana dikemukan oleh Ustadz H.Mahrus Ali dalam buku beliau mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir syirik bahwa menuhankan ulama adalah mengikuti pebdapat mereka sekalipun bertentangan dengan ayat al-Qur’an atau al-Hadits.Fenomena semacam ini banyak sekali terjadi dikalangan yang mengaku dirinya sebagai salafi dan ahli bid’ah. Mewreka bersikukuh kepada pendapat guru-guru mereka sekalipun bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits . Bahkan ada dikalangan mereka yang enggan mengaji kepada guru-guru lain. Ada tanda-tanda bahwa hanya guru mereka yang benar dan guru lain sesat. Marilah kita b erfsikap sederhana dan yang kita tonjolkan hanyalah dalil. Siapapun yang btak punya dalil harus ditinggalkan dan yang punya dalil harus diikuti. Iunghatlah firman Allah dalam al-Qur’an surah at-Taubah ayat 31 :

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah[639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”


Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.

Mereka menghormati para pemimpin atau ulama melebihi kedudukan Allah Subhanahu Wata’ala tanpa mereka sadari, dimana perintah Allah di tinggalkan untuk traat kepada pimpin atau ulama . Bila dikatakan kepada mereka ikutilah ayat-payat Allah atau hadits-hadits Rasul,merekamenjawab: kita tidak mampu mengarti maksud ayat-ayat Qur’an atau dalil hadits, kita harus ikut ulama atau tokoh –tokoh kita.

Dari keterangan diatas maka seyogyanya kita harus berhati-hati dalam bersikap terhadap ulama, karena ternyata ulama ada yang dapat menyesatkan kita dan menyeret kita kejahanam. Bersikaplah yang wajar dan hormati dan hargailah ulama sesuai dengan kedudukannya, tidak lebih dari itu, janganlah memuji dan menyanjung ulama melebihi kapasitasnya sebagai ulama.


Larangan Ghuluw Terhadap Diri Sendiri.

Islam selain melarang berbuat ghuluw terhadap diri Rasullulah shallahu ‘alaihi wasallam dan terhadap para ulama atau para orang-orang shalih, larangan ghuluw diberlakukan pula terhadap diri pribadi/diri sendiri. Berlaku ghuluw terhadap diri sendiri adalah dengan melaksanakan perlakuan keras diri sendiri terutama dalam hal beribadah yang bersalahan dengan syari’at.
Mengenai larangan ghuluw terhadap diri sendiri ini telah ditegaskan oleh Rasullulah dalam hadits yang diriwqayatkan dari Anasbin Malik Radhyallahu anhu,b ahwa Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :

“ Janganlah kalian berlaku keras terhadap diri sendiri, sehingga Allahpun berlaku keras terhadap kalian. Sesungguhnya ada suatu kaum yang berlaku keras terhadap diri sendiri , sehingga Allah pun berlaku keras pula terhadap mereka. Itulah sisa-sisa kehidupan mereka yang ada dibiara dan tempat pertapaan, berupa kerahiban yang mereka ada-adakan, padahal Kami tidak menetapkannya atas mereka “

Larangan berlaku keras terhadap diri sendiri dalam hal beribadah yang melampau batas juga diingatkan oleh Rasullulkah shallalahu ‘alaihi wasallam dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhyallaah ‘anhu :



حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ أَخْبَرَنَا حُمَيْدُ بْنُ أَبِي حُمَيْدٍ الطَّوِيلُ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ
جَاءَ ثَلَاثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا فَقَالُوا وَأَيْنَ نَحْنُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ قَالَ أَحَدُهُمْ أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلَا أُفْطِرُ وَقَالَ آخَرُ أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ فَقَالَ أَنْتُمْ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“ Ada tiga orang mendatangi rumah isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya tentang ibadah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Dan setelah diberitakan kepada mereka, sepertinya mereka merasa hal itu masih sedikit bagi mereka. Mereka berkata, "Ibadah kita tak ada apa-apanya dibanding Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bukankah beliau sudah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga yang akan datang?" Salah seorang dari mereka berkata, "Sungguh, aku akan shalat malam selama-lamanya." Kemudian yang lain berkata, "Kalau aku, maka sungguh, aku akan berpuasa Dahr (setahun penuh) dan aku tidak akan berbuka." Dan yang lain lagi berkata, "Aku akan menjauhi wanita dan tidak akan menikah selama-lamanya." Kemudian datanglah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepada mereka seraya bertanya: "Kalian berkata begini dan begitu. Ada pun aku, demi Allah, adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertakwa. Aku berpuasa dan juga berbuka, aku shalat dan juga tidur serta menikahi wanita. Barangsiapa yang benci sunnahku, maka bukanlah dari golonganku.

Hadits tersebut diatas mengandung makna bahwa siapa saja yang melakukan hal-hal yang melampaui batas dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala seperti shalat malam selama-lamanya, berpuasa sepanjang tahun, dan menjauhi wanita serta tidak menikah selama-lamanya ,berarti membenci sunnahnya Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam, karena tidak ada contoh yang sedemikian dari beliau. Dan orang-orang yang melakukan perbuatan yang melampaui batas dalam beribadah diingkari oleh Rasullulah shallalahu ‘alahi wasallam dan menganggapnya keluar dari sunnah dan petunjuk beliau.

Larangan berbuat keras terhadsap diri sendiri dalam beribadah sehingga melampaui batas kewajaran dan memaksa-maksakan diri oleh Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam juga ditunjukkan beliau dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhyallaahu anhu:

دَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا حَبْلٌ مَمْدُودٌ بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ فَقَالَ مَا هَذَا الْحَبْلُ قَالُوا هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبَ فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حُلُّوهُ لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَقْعُدْ

"Pada suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masuk (ke masjid), kemudian Beliau mendapati tali yang diikatkan dua tiang. Kemudian Beliau berkata: "Apa ini?" Orang-orang menjawab: "Tali ini milik Zainab, bila dia shalat dengan berdiri lalu merasa letih, dia berpegangan tali tersebut". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jangan ia lakukan sedemikian itu. Hendaklah seseorang dari kalian tekun dalam ibadah shalatnya dan apabila dia merasa letih, shalatlah sambil duduk".

Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar dalamFathul –Bary yang dikutip oleh Abdurrahman bin Mu’alla Al-Luwaihgiq, didalam hadits ini terkandung anjuran untuk beribadah secara sederhana dan klarangan memaksakan diri dalam ibadah

Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam telah banyak mengeluarkan larangan untuk umat muslim agar tidak melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam melakukan ibadah, seperti terhadap orang yang menyiksa diri berjemur dibawah terik matahari dan berpuasa dan tidak mau bicara karena bernazar untuk itu, sesuai dengan hadits riwayat Abu Daud dari Ibnu Abbas radhyallaahu anhu, beliau berkata:

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
بَيْنَمَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ إِذَا هُوَ بِرَجُلٍ قَائِمٍ فِي الشَّمْسِ فَسَأَلَ عَنْهُ قَالُوا هَذَا أَبُو إِسْرَائِيلَ نَذَرَ أَنْ يَقُومَ وَلَا يَقْعُدَ وَلَا يَسْتَظِلَّ وَلَا يَتَكَلَّمَ وَيَصُومَ قَالَ مُرُوهُ فَلْيَتَكَلَّمْ وَلْيَسْتَظِلَّ وَلْيَقْعُدْ وَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ

“Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkhutbah, tiba-tiba terdapat seorang laki-laki yang berdiri di bawah terik matahari. Kemudian beliau bertanya mengenainya. Mereka berkata; orang ini adalah Abu Israil, ia bernadzar untuk berdiri dan tidak duduk, serta tidak bernaung, tidak berbicara, dan berpuasa. Beliau berkata: "Perintahkan dia agar berbicara, bernaung, duduk dan menyempurnakan puasanya!"

Mengomentari hadits tersebut Ibnu Hajar rahimahullaah menyebutkan bahwa : disini terkandung bukti bahwa apapun yang yang dapat mengganggu dan menyakiti manusia meskipun berupa hal-hal yang baik, yang tidak termasuk perkara disyari’atkan di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, seperti berjalan tanpa alas kaki dan duduk dibawah matahari yang menyengat, yang bukan termasuk jenis keta’atan kepadaAllah, yang tidak perlu dilaksanakankan meskipun sudah dinadzarkan

Ada lagi sebuah hadits yang diriwayatkan oleh B ukhari dan Muslim dari Aisyah Radhyallaahu anha, beliau berkata :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ هِشَامٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا امْرَأَةٌ قَالَ مَنْ هَذِهِ قَالَتْ فُلَانَةُ تَذْكُرُ مِنْ صَلَاتِهَا قَالَ مَهْ عَلَيْكُمْ بِمَا تُطِيقُونَ فَوَاللَّهِ لَا يَمَلُّ اللَّهُ حَتَّى تَمَلُّوا وَكَانَ أَحَبَّ الدِّينِ إِلَيْهِ مَادَامَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ

“Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendatanginya dan bersamanya ada seorang wanita lain, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "siapa ini?" Aisyah menjawab: "si fulanah", Lalu diceritakan tentang shalatnya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "tinggalkanlah apa yang tidak kalian sanggupi, demi Allah, Allah tidak akan bosan hingga kalian sendiri yang menjadi bosan, dan agama yang paling dicintai-Nya adalah apa yang senantiasa dikerjakan secara rutin dan kontinyu".

Menurut Ibnu Hajar rahimahullah, sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam :Hendaklah kalian berbuat menurut kesanggupan kalian, artinya kerjakannlah amal –amal yang kalian sanggup melaksanakannya secara terus menerus” Apa yang tersirat disini mengharuskan perintah membatasi ibadah menurut kesanggupan. Pengertiannya mengaruskan larangan memaksakan ibadah di luar kesanggupan.

Atas dasar beberapa hadits yang diutarakan diatas, maka serora muslim tidak perlu mewajibkan sesuatu yang berlebihan atas dirinya sehingga dengan itu diamendekatkan diri kepadaAllah Subhanahu Wata’ala . Karena yang sedemikian itu termasuk bertindak keras atas diri sendiri dengan cara melampaui batas dari yang telah ditetapkan . Sebagaimana seorang muslim tidak boleh mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah, sebagaimana Firman-Nya dalam Surah Al-Maidah : 87-88 :

“. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.

Mengutip apa yang dikemukan dalam buku Ghuluw Benalu dalam berislam bahwa meninggalkan hal-hal yang baik dengan maksud sebagai ibadah dengan cara menyiksa diri dan berlaku keras merupakan syubhat, yang karenanya banyak para akhli ibadah dan sufi yang tertipu, karena mereka hanya sekedar ikut-ikutanm kebiasaan orang-orang sebelummereka yang dari para pendeta Nasrani yang mengada-ngada kan pola-pola kehidupan kerahiban, padahal pola itu tidak diperintahkan kepada mereka .Zuhud didunia tidak dengan cara mengharamkan yang halal dan mengabaikan harta. Semua itu termasuk perkara yang dilarang syari’at dan diperingatkan untuk tidak dilakukan.

K e s i m p u l a n
Dari uraian sederhana tersebut diatas ada beberapa kesimpulan yang dapat ditarik, sebagai berikut :
1. Ghuluw merupakan sikap atau perbuatan yang melampaui batas atau berlebihan dari batas kewajaran dan dari yang seharusnya.
2. Islam melarang bagi seluruh umatnya untuk berbuat ghuluw baik dalam perkataan maupun perbuatan (amaliah)
3. Penghormatan, pengagungan, penyanjungan dan pengkultusan terhadap Rasullulah shallalahu’alaihi wasallam yang berlebihan merupakan ghuluw yang dilarang.
4. Ghuluw terhadap ulama dan orang-orang shalilh yang dilakukan oleh sebagian kalangan umat muslim merupakan perbuatan terlarang p;ula.
5. Bersikap keras atas diri sendiri dalam melakukan pendekatan diri kepada Allah Subhanahu Ta’ala dengan melakukan perbuatan-perbuatan ibadah secara berlebihan yang menyiksa diri dan keluar dari syari’at merupakan perbuatan ghuluw yang terlarang dalam islam.
Wallaahu Ta’ala ‘alam
Sumber bacaan :
1. Al-Qur’an ( digital )
2. Kitab Hadits 9 Imam ( Lidwa Pusaka i- Sofware)
3. Ayat-ayat Larangan dan Perintah dalam Al-Qur’an KH.Qomaruddin dkk.
4. Ghuluw Benalu Dalam Ber-Islam Abdurrahman bin MNU’alla Al-Luwaihiq.
5. Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik H.Mahrus Ali
6. Bahaya Mengekor Non Muslim Muhammad bin ‘Ali Adh Dhabi’i
Selesai ditulis : Arba, ba’da zuhur 15 Ramadhan 1431 H/ 25 Agustus 2010
http://abufarabial-banjari.blogspot.com
Diposkan oleh Abu Farabi al-Banjari di 21.52 0 komentar

Jumat, 20 Agustus 2010

ISLAM MELARANG UMAT BERTASYABBUH DENGAN UMAT AGAMA LAIN



O l e h : Musni Japrie al-Pasery

Apabila kita benar-benar mau menyadari secara mendalam jumlah hitungan angka mayoritas umat islam di negeri ini menurut hitungan angka statistik, kiranya perlu dipertimbangkan kembali, karena dari segi penampakan penampilan dalam kehidupan sehari-hari ternyata jumlah golongan atau umat non muslim jauh lebih banyak hitungannya, sedangkan penampakan penampilan kaum muslimin yang berprilaku benar-benar sebagai penganut islam sangatlah terbatas.

Gambaran nyata yang disebutkan diatas adalah realita yang tidak dapat dipungkiri, karena ternyata mereka-mereka yang mengaku dirinya sebagai penganut islam penampilannya sudah menyatu dengan penampilan mereka-mereka yang non muslim, dan sudah sulit membedakannya satu sama lainnya.

Tidak hanya dari segi penampilan saja yang sulit membedakan antara kalangan umat islam dengan mereka-mereka diluar islam, bahkan dari segi kebiasaan, perbuatan dan tradisi dalam kehidupan sehari-hari juga tidak nampak menonjol ciri khas keislamannya.

Hal sedemikian karena apa-apa yang menjadi ciri khas orang –orang diluar islam dalam kehidupan sehari-harinya juga telah dilakukan dan dihayati oleh sebagian terbesar umat islam. Sebagian besar mereka yang beragama islam beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh mereka sama seperti yang dilakukan oleh mereka-mereka di luar islam adalah hal yang lumrah yang tidak perlu dipermasalahkan. Padahal tanpa disadari mereka telah melakukan penyimpangan terhadap syari’at islam yang telah digariskan.

Apa saja yang dilakukan oleh kalangan non muslim, maka hal yang sama juga dilakukan oleh mereka-mereka yang mengaku sebagai muslim. Kalangan non muslim melakukan acara-acara peringatan hari kelahiran yang biasa disebut ultah, kalangan muslim juga melakukannya. Kalangan non muslim melakukan acara peringatan hari perkawinan perak dan emas, dari kalangan muslim juga tidak ketinggalan juga melakukannya. Kalangan non muslim menyelenggarakan peringatan hari besar keagamaannya, maka dari kalangan muslim juga melakukan hal yang sama. Kalangan non muslim menyelenggarakan peringatan hari kelahiran nabinya (seperti kalangan nasrani menyelenggarakan peringatan natal sebagai hari kelahiran Yesus Kristus), maka kalangan islam juga menyelenggarakan peringatan kelahiran Nabi Muhammad Shallalahu ‘alaihi wasallam ( yang terkenal dengan maulidan). Kalangan Nasrani, Kong Chucu, Budha, Hindu dllnya menyelenggarakan peringatan penyambutan tahun baru mereka, maka dari kalangan islam juga menyelenggarakan peringatan menyambut tahun baru islam 1 Muharam.

Bahkan kaum muda di barat yang dikenal sebagai negerinya kaum nashara menyelenggarakan peringatan hari valentine sebagai hari kasih sayang, kalangan remaja islam tidak mau kalah ikut juga memperingatinya.

Ketika dari kalangan pemeluk hindu di India dan Bali dalam menyampaikan ucapan salamnya dilakukan dengan menangkupkan kedua telapak tangannya kemudian diletakkan didada, dari kalangan islam juga melakukan hal yang sama.

Kalangan hindu memberikan sesajen dan melarungkannya kelaut dalam pesta laut, maka dari kalangan islam juga menggiatkannya. Bahkan sampai pada seputar kematian, dimana orang-orang non muslim menaburkan bunga di kuburan, dari kalangan islam di negeri ini juga sudah melakukannya sejak lama, dengan meletakkan bunga dikeranda mayat dan diatas kuburan.

Menyanyi di rumah-rumah ibadah sekarang ini tidak saja dilakukan oleh kaum non muslim, tetapi juga dilakukan oleh kalangan muslim dalam bentuk kasidah dan nasyit pada acara-acara peringatan hari yang mereka namakan hari besar islam.

Apabila dirinci satu persatu tentang segala apa saja yang dilakukan oleh kalangan non muslim yang juga dikerjakan oleh kalangan islam di negeri ini, maka diperlukan begitu banyak halaman, karena banyaknya hal yang dilakukan oleh kalangan nos muslim juga dilakukan oleh kalangan islam, mungkin ada 1001 bentuk kesamaannya. Nampaknya sebagian besar kaum muslimin tidak mau ketinggalan dengan mereka-mereka non muslim, sehingga apa saja kegiatan mereka maka sebagian besar kaum muslimin juga turut melakukannya pula.

Meniru-niru,Mencontoh, Menyerupai, Mengikuti dan Menyamai Umat di Luar Islam ( Tasyabbuh)

Secara jujur harus diakui bahwa sementara ini sebagian besar umat muslimin dinegeri ini dalam menjalani kehidupan sehari-harinya telah terbelenggu dengan gaya yang sama dengan cara gaya hidupnya masyarakat non muslim, sehingga secara kasat mata bila dilihat dari penampilan sehari-harinya sudah sulit membedakan apakah seseorang itu muslim atau non muslim.

Budaya, adat istiadat, perbuatan, sikap dan tingkah laku serta kebiasaan mereka-mereka non muslim sepertinya sudah menjadi budaya, adat istiadat, perbuatan, sikap, perilaku dan kebiasaan sebagian besar orang-orang muslim. Banyak contoh baik dilihat dari gaya penampilan individu, keluarga maupun dalam kelompok yang lebih luas lagi yaitu masyarakat.

Sebagian terbesar individu-individu kaum muslimin khususnya para kaum muslimahnya telah lumrah menggunakan pakaian dengan menunjukkan auratnya, malah pakaian yang seharusnya dikenakan oleh seorang muslimah sesuai dengan syari’at sepertinya jadi asing ditengah- tengah kaum muslimah sendiri. Pakaian yang dikenakan oleh sebagian besar kaum muslimah tersebut tiada lain adalah hasil dari mengikuti atau menyerupai model pakaiannya dari kalangan diluar muslim.

Ditilik dari kacamata pergaulan muda-mudi dewasa ini sudah merupakan hal yang lumrah pasangan muda mudi menjalin hubungan pacaran, yang sebenarnya dilarang dalam islam baik yang dilakukan secara sembunyi-sembunnyi maupun terbuka, hiburan berupa musik-musik dan dansa-dansa di dunia gemerlapan di malam hari, dipanggung-panggung hiburan terbuka dengan berjoget ria, mereguk minuman anggur dan miras di hotel-hotel bahkan di areal terbuka dengan pesta mabuk-mabukkan serta narkoba bukanlah budaya muslim, semuanya merupakan buah dari mencontoh dan mengikuti pergaulannya masyarakat non muslim.

Budaya menyelenggarakan peringatan hari ulang tahun (ultah) baik bagi anak-anak maupun untuk orang dewasa, sekarang ini tidak saja dilakoni oleh kalangan muslim yang bersaku tebal, tetapi juga telah memasyarakat sampai kepada kalangan muslim dengan penghasilan senin kemis, meskipun dengan sederhana.

Peringatan hari jadi perkawinan 25 tahun (perak) dan 50 tahun (emas) sudah hal yang biasa. Yang paling menonjol dan yang paling banyak digemari adalah peringatan hari kematian berupa haul atau tahlilan. Coba kita perhatikan dengan akal yang sehat apakah semua itu merupakan sebuah tradisi yang disyari’atkan dalam islam, ternyata semua itu tidak ada dicontohkan dalam islam, dan semua itu hanya meniru-niru atau mengikuti kebiasaan yang dilihat oleh mereka dari kalangan masyarakat non muslim.

Ada satu contoh lain yang nampak sangat mengganjal diseputar masjid atau langgar tempat ibadahnya kaum muslim, dimana dewasa ini pada maraknya dikembangkan kebiasaan baru berupa tembang-tembang berbagai shalawat, kasidahan, nasyid dengan diramaikan dengan gendang-gendang, dan juga diperdengarkan pula rekaman-rekaman lagu-lagu yang disebut bernuansa islam, apakah itu tidak ada bedanya dengan kegiatan ibadah kalangan nashara yang bernyanyi-nyanyi digereja mereka. Sehingga sangat kentara sekali upaya untuk menyerupai perlilaku kalangan agama lain, meskipun itu tentunya dilakukan tanpa disadari.

Contoh lain di dalam peribadatan yang terkait dengan masalah syirik, banyak diantara orang-orang islam yang mengikuti kepercayaan mereka dari kalangan agama lain, sehingga sudah lumrah dilakukannya upacara adat pesta laut dengan melarung sesajen dan pesta bumi serta persembahan-persembahan kepada gunung, pohon-pohon besar, batu-batuan , dan juga persembahan kepada dewa-dewa berupa pemberian sesajen yang dinamakan ancak yang ditiru dari penganut agama nenek moyang berupa kepercayaan aninisme.

Berkaitan dengan hal kematian dan penguburan jenazah, sementara oleh kalangan umat islam meletakkan gambar atau foto si mati diujung kaki jenazah yang ditiru dan mengikuti kalangan nashara dan kaum kongchutsu. Dan yang paling banyak dilakukan oleh orang-orang islam ketika ada kematian meletakkan bunga diatas keranda jenazah, diatas batu nisan dan menabur bunga-bungan diatas pusara adalah ditiru dari tradisi penganut agama hindu di India.Karena Islam sendiri tidak mengenal hal yang sedemikian.
Begitu juga dewasa ini sudah menjadi kebiasaan dilakukan oleh sebagian orang-orang islam, setelah selesai penguburan salah seorang yang mengatas namakan ahlul bait berpidato menyampaikan ucapan terimakasih kepada para pengantar jenazah, memintakan maaf atas kesalahan si jenazah dan mohon didoakan agar dosa-dosanya diampuni Allah dan pahalanya diterima. Ternyata prosesi sambutan itu tidak lain mengikuti dan meniru apa yang dilakukan oleh kalangan kaum nashara pada saat dilakukannya penguburan berupa khotbah oleh pendeta/pastur mereka.
Tradisi yang juga ditiru dari kaum nashara oleh orang-orang muslim adalah mengirimkan karangan bunga dengan pernyataan belasungkawa.


Satu lagi contoh kecil lagi, namun sekarang ini sudah merambah kemana-mana yang ditontonkan oleh berbagai televisi sehingga menyebar dan dianggap sesuatu yang baik oleh masyarakat islam yang masih awam yaitu cara menyampaikan ucapan salam yang diikuti dengan gerakan menangkupkan (mempertemukan) dua telapak tangan kemudian ditempatkan kedua tangan tersebut didada. Prilaku seperti itu persis seperti melakukan penyembahan kepada raja di jaman dulu atau mereka penyembah berhala. Apa yang telah dilakukan tersebut tidak ada dalam tuntunan islam, tetapi oleh orang-orang yang awam ditiru mereka dari orang-orang beragama hindu di India.

Sebenarnya, apabila akan mengupas segala hal yang dilakukan oleh sebagian orang-orang muslim yang ditiru atau diikuti mereka yanmg berasal dari luar islam sangatlah banyak sekali, mungkin ada 1001 macam tingkah laku, dan tidaklah pada tempatnya disini untuk menuliskannya secara lengkap. Apa yang dikemukakan diatas hanyalah sekedar contoh kecil atau hanya bagian permukaan dari gunung es yang terlihat.

Mengambil dan menyerap bagian prilaku kehidupan dari masyarakat agama lain oleh kalangan masyarakat muslim berupa tindakan meniru-niru atau berupaya untuk menyerupai mereka dengan maksud mungkin sepertinya tidak ada perbedaan diantara mereka. Juga agar mereka dapat diterima ditengah-tengah masyarakat yang beragam . Selain itu motif yang paling menonjol adalah agar dikatakan sebagai masyarakat yang modern karena telah melakukan apa-apa yang juga dilakukan oleh masyarakat dunia secara global.

Kebanyakan masyarakat islam di negeri ini paling getol untuk meniru-niru atau menyerupai sesuatu dari masyarakat diluar islam, agar tidak tertinggal dalam pergaulan. Yang semuanya mereka lakukan secara sadar, tetapi tidak memahami bahwa pada hakekatnya apa-apa yang mereka tiru atau serupai ternyata membahayakan dan dapat menggelincirkan mereka kepada apa yang dinamakan tasyabbuh.


Islam Melarang Umatnya untuk Meniru-niru, Mencontoh, Menyerupai, Mengikuti, dan Menyamai Umat di Luar Islam ( Tasyabbuh)

Allah Azza Wa’jalla dalam telah berfirman seperti yangb tertuang dalam al-Qur’an surah al-Maa’idah ayat 3 :

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”

Mengutip apa yang ditulis oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam buku beliau Risalah Bid’ah, bahwa didalam ayat yang mulia ini, Allah menegaskan bahwa agama ini ( islam) telah sempurna dan lengkap,yang tidak memerlukan sedikitpun tambahan dan penmgurangan, apapun bentuk dan alasannya dan tambahan-tambahan tersebut meskipun disangka baik atau dari siapa saja datangnya meskipun dianggap benar oleh sebagian manusia, adalah suatu perkara besar yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasulnya. Akan tetapi sangat dicintai oleh iblis dan pengikutnya.

Berkaitan dengan telah sempurnya islam ini sesuai dengan firmal Allah Azza Wajalla tersebut diatas, Ustazd Abdul Hakimbin Amir Abdat juga melengkapinya dengan mengutip sebuah hadits riwayat dari Muslim :

دَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ وَوَكِيعٌ عَنْ الْأَعْمَشِ ح و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَاللَّفْظُ لَهُ أَخْبَرَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ
قِيلَ لَهُ قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ قَالَ فَقَالَ أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ

. Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Abu Muawiyah dan Waki' dari al-A'masy. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya sedangkan lafazh tersebut miliknya. Telah mengabarkan kepada kami Abu Muawiyah dari al-A'masy dari Ibrahim dari Abdurrahman bin Yazid dari Salman dia berkata, "Ditanyakan kepadanya, '(Apakah) Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu hingga adab beristinja? ' 'Abdurrahman berkata, "Salman menjawab, 'Ya. Sungguh dia telah melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar, buang air kecil, beristinja' dengan tangan kanan, beristinja' dengan batu kurang dari tiga buah, atau beristinja' dengan kotoran hewan atau tulang'."

Dikemukakan oleh Ustazd Abdul Hakim bin Amir Abdat bahwa seorang musyrikin bertanya kepada sahabat dengan nada kesal dan mengejek. Dan jawaban sahabat menegaskan kepada kita: sesungguhnya Rasullulah shalalahu’alaihi wasallam telah mengajarkan kepada umatnya segala sesuatu tentang agama Allah ini (al-islam),baik aqidah, ibadah dan lain lain sampai kepada adab-adab buang air.

Dari ayat al-Qur’an dan hadits tersebut diatas, disebutkan bahwa sebenarnya islam dengan seluruhnya syari’atnya sudah sempurna dan sangat lengkap untuk dijadikan panduan atau guide book oleh pemeluknya sampai-sampai hal yang sangat sepele tentang adab buang air saja sudah diajarkan. Karena sudah lengkap sudah barang tentu tidak boleh ada lagi tambahan-tambahan yang datangnya dari mana saja, termasuk tentunya mencontoh atau meniru-niru dari agama lain. Kalau memang tidak ada petunjuknya maka berarti itu memang tidak dibolehkan untuk dilakukan.

Sikap meniru-niru atau mencontoh atau menyerupai kepada kalangan agama lain oleh orang-orang islam , jauh-jauh hari telah disinyalir oleh Rasullulah shalalahu alaihi wasallam yang tergambar dalam hadits beliau yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id bin Al-Khudri :

دَّثَنِي سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ
و حَدَّثَنَا عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا أَبُو غَسَّانَ وَهُوَ مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّفٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ نَحْوَهُ قَالَ أَبُو إِسْحَقَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ وَذَكَرَ الْحَدِيثَ نَحْوَهُ

Telah menceritakan kepadaku Suwaid bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Maisarah telah menceritakan kepadaku Zaid bin Aslam dari 'Atha bin Yasar dari Abu Sa'id Al Khudri dia berkata
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak pun kalian pasti kalian akan mengikuti mereka." Kami bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab: "Siapa lagi kalau bukan mereka.".-

Mengutip tulisan Jamil bin Habib Al- Luwaihiq dalam buku beliau Tasyabbuh yang Dilarang dalam Fiqih Islam : bahwa ketika syariat islam berbeda dari syariat yang lain, dan kaum muslimin berbeda dengan kaum-kaum lain adalah sesuatu yang memang telah disengaja oleh Penetap Syariat. Harapannya adalah agar setiap muslim tampil dengankondisi yang paling sempurna sesuai dengan dirinya. Hukum-hukum syari’at juga telah muncul dengan larangan untuk mengikuti bangsa bangsa kafir terdahulu dan terkini.
Tasyabbuh (latah, meniru-niru, menyerupai, mirip) secara umum adalah salah satu permasalahan yang sangat berbahaya bqagi kehidupan kaum muslimin, khususnya di abad-abad belakangan ini karena meluasnya daedrah interaksi kaum muslimin dengan pihak-pihak lain.

Dalam bukunya Bahaya Mengekor Non Muslim Muhammad Bin ‘Ali Adh Dhabi’i menyebutkan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata bahwa Abu Daud telah meriwayatkan sedbuah hadits hasan dari Ibnu ‘Umar,ia berkata bahwa Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam bersabda :

“ Barang siapa meniru suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka”

Selanjutnya disebutkan bahwa hadits diatas menetapkan haramnya meniru-niru kepada sesuatu kaum diluar islam, secara dhahir menunjukkan bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan kufur dan hal ini sejalan denagn hadits yang diriwayatkan darei Abdullah bin ‘Amr bahwa Nabi Shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda :

“ Barang siapa menetap di negeri kaum musyrik dan aia mengikuti hari raya dan hari besar mereka, serta meniru prilaku mereka sampai mati, maka kelak ia akan dikumpulkan bersama mereka dihari kiamat.” ( HR.Baihaqi)

Dari hadits diatas bisa berarti bahwa meniru-niru perilaku mereka sepenuhnya menyebabkan kekafiran, sekaligus menetapkan bahwa perbuatan semacam itu haram. Atau bisa juga bermakna orang tersebut menjadi bagian dari mereka sesuai dengan kadar keterlibatannya dalam meniru mereka.

Tegasnya hadits tersebut diatas menetapkan haramnya meniru mereka . Larang ini mencakup arangan sekadar meniru sesuatu yang mereka lakukan. Barang siapa yang meniru perbuatan golongan lain yang menjadi ciri golongan tersebut, maka perbuatan semacam itu dilarang.

Dari keterangan yang telah dikemukakan diatas maka sangatlah jelas adanya dalil yang dapat dijadikan dasar dan hujjah agar kaum muslimin tidak meniru-niru, menyerupai, mirip dan ikut-ikutan dengan perilakunya mereka-mereka diluar islam. Dan secara tegas telah ditetapkan perbuatan meniru-niru kepada orang-orang diluar islam merupakan perbuatan terlarang dan diharamkan.


Menyelisihi atau Berbeda Dengan Golongan Lain Merupakan Tujuan Syari’at.

Islam melarang umatnya meniru-niru umat lain, dan memerintahkan menyelisihinya, sesuai dengan sabda Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam,. Yang diriwqayatkan oleh Muslim :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا يَحْيَى يَعْنِي ابْنَ سَعِيدٍ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي جَمِيعًا عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami Yahya -yaitu Ibnu Sa'id-. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair telah menceritakan kepada kami bapakku semuanya dari Ubaidullah dari Nafi' dari Ibnu Umar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot,berbedalah kalian dari golongan majusi “

Muhammadbin ‘Ali Adh Dhabi’i dalam bukunya Bahaya mengekor non Muslim mengemukakan bahwa hadits tersebut diakhiri dengan perintah yang sedlaras adengan bagian awalnya. Hadits itui menunjukkan bahwa sifat berbeda terhadap golongan majusi merupakan tujuan syari’at. Tujuan ini merupakan salah satu sebab adanya ketetapan hukumkini. Secara umum berlaku sebab ketetapan suatu hukum telah lengkap.
Oleh karena itu, setelah kaum salaf memahami larangan menyerupai golongan majusi dalam hal kumis dan jenggot,mereka juga membencimenyerupai hal-hal yang lain yang merupakan kebiasaan majusi walaupun tidak ditegaskan secara khusus oleh Nabi shallahu ‘alaihi wasallam.

Dihadits lain yang juga diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhyallaahu anhum ia berkata bahwa Rasullullah shalalahu ‘alaihi wasallam
Bersabda “

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ مُوسَى بْنِ عُلَيٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي قَيْسٍ مَوْلَى عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ عَنْ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ جَمِيعًا عَنْ وَكِيعٍ ح و حَدَّثَنِيهِ أَبُو الطَّاهِرِ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ كِلَاهُمَا عَنْ مُوسَى بْنِ عُلَيٍّ بِهَذَا الْإِسْنَادِ

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id telah menceritakan kepada kami Laits dari Musa bin Ulay dari bapaknya dari Abu Qais Maula Amru bin Ash, dari Amru bin Ash bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Perbedaan antara puasa kita dengan puasanya Ahli Kitab adalah makan sahur."

Berdasarkan hadits tersebut secara tegas Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam menyatakan adanya perbedaan antara ibadahnya orang-orang islam dengan jahudi. Dan umat islam diperintahkan untuk menyelisihinya.


Hikmah Pelarangan Bertasyabbuh Kepada Orang-Orang di Luar Islam

Didalam buku Tasyabbuh yang dilarang dalam Fiqih Islam oleh Jamil bin Habib Al-Luwaihiq dikemukan bahwa pelarangan bertasyabbuh kepada orang-orang kafir memiliki beberapa hikmah antara lain :

Hikmah Pertama : Pelarangan bertasyabbuh kepada mereka adalah untuk pemutusan jalan yang menuju kepada kecintaan dan kecendrungan kepada mereka dan segala hal yang menjadi akibat semua itu berupa kerusakan karena menganggap baik jalan mereka. Karena telah diketahui bahwa bertasyabbuh kepada mereka dalam aspek apapun akan mewariskan kesesuaian dan kedekatan.
Kecendrungan dan kecintaan ini kadang-kadang menyebabkan berbagai kerusakan dahsyat yang kadang-kadang menyampaikan orang kepada keadaan kafir dan keluar dari islam. Oleh sebab itu datanglah syariat inhi untuk membendung jalan menuju berbagai kerusakan.

Hikmah Kedua : Sesungguhnya dalampelarangan bertasyabbuh kepada orang –orang kafir terdapat pengamanan bagi kepemimpinjan,keistimewaan, dan kesempurnaan umat ini. Karena taklidnya kepada yang lain,tidak diragukan akan menghilangkan semua itu..

Hikmah ketiga : Sesungguhnya perbuatan orang-orang kafir dengan berbagai kelompoknya, tidak lepas dari kekurangan dan kerusakan . Bahkan kekurangan menjadi keharusan yang mengikat bagi perbuatan-perbuatan mereka itu
Meninggalkan bertasyabbuh kepada perbuatan perbuatan mereka adalah suatu keadaan yang sebenarnya adalah keselamatan dari apa-apa yang lekat dengan perbuatan-perbuatan mereka berupa kekurangan dan kerusakan.
Bersikap berbeda dengan mereka dalam segala perkara mereka mengandung manfaat dan kebaikan bagi kita umat islam.

Hikmah keempat : Sesungguhnya dalam meninggalkan tasyabbuh kepada orang-orang kafir, adalah wujud nyata dari makna pemutusan diri (bara) dari mereka dan kemarahan kepada mereka karena Allah Ta’ala.

Hikmah kelima : Sesungguhnya larangan bertasyabbuh kepada orang-orang kafir selalu menuju kepada upaya merealisir tujuan syari’at, yaitu membedakan orangh-orang kafir dari orang-orang islam agar dikenali. Apalasi mereka memiliki perbuatan-perbuatan, pakaian-pakaian, dan tradisi-tradisi khusus. Sehingga urusan mereka tidak bercampur aduk dengan urusan semua manusia sehingga orang tertipu oleh mereka karena tidak mengenal mereka. Aagar tidak ada kesempatan bagimerelka untukmenyebarkan racun mereka karena hilangnya apa-apa yang membedakan mereka dari kaum muslimin.


K e s i m p u l a n
1. Islam sebagai agama wahyu telah memiliki kesempurnaan yang paripurna, yang tidak dapat lagi diganggu gugat oleh pemeluknya dengan menambah-nambah sesuatu yang dianggap baik menurut hawa nafsu dan pikiran dengan menyerap apa-apa dari kalangan orang-orang non mulim . Islam telah memiliki aturan sampai kepada yang paling terkecil seperti adab buang air, apalagi masalah-masalah yang besar tentunya sudah digariskan. Hal-hal lain yang tidak digariskan berarti itu islam memandangnya sebagai sesuatu yang tidak ada manfaatnya bagi pemeluknya, dan islam melarang umnatnya melakukan seuatu yang tidak ada petunjuknya.

2.Meniru-niru, mencontoh, mengikuti, menyamai, menyerupai segala bentuk sikap hidup, perilaku, kebiasaan, adat istiadat, tradisi dan perbuatan orang-orang diluar islam yang dilakukan oleh umat islam dinamakan tasyabbuh.

3.Tasyabbuh merupakan perbuatan tercela dan dilarang di dalam islam sesuai dengan kaidah dan dalil-dalil hukum yang dijadikan sandaran. Karenanya sudah menjadi kewajiban bagi seluruh individu, keluarga dan masyarakat islam secara menyeluruh untuk segara meninggalkan segala bentuk apa saja yang mereka serap dari pergaulannya dengan kalangan di liar islam.

4. Syari’at islam berupa al-Qur’an dan as-sunnah Nabi shalalahu ‘alaihi wasallam sudah sangat lengkapdan memadai dalam mengatur apa dan bagaimana segala bentuk dan macam perbuatan yang harus dilakukan oleh umatnya dalam menjalankan kehidupan kesehariannya, sehingga tidak diperlukan lagi sesuatu yang datangnya dari luar.

Wallaahu Ta’ala ‘alam

Sumber bacaan :
1. Al-Qur’an dan terjemahan ( Departemen Agama RI)
2. Ensiklopedi hadits Kitab 9 Imam www.lidwapusaka.com
3. Tasyabbuh yang Dilarang Dalam Fiqih Islam Jamil bin Habib Al-Luwaihiq.
4. Bahaya Mengekor non Muslim Muhammad bin ‘Ali Adh Dhabi’i
5. Parasit Aqidah A.D. El.Marzdedeq.
6. Mengupas Sunnah Membedah Bid’ah.
7. Risalah Bid’ah Abdul Hakim bin Amir Abdat.

Diselesaikan pada Sabtu, 11 Ramadhan 1431 H / 21 Agustus 2010.

Senin, 16 Agustus 2010

Beribadah Dengan Ikhlas Tidak Akan Diterima , Tanpa Ittiba' Kepada Rasullulah Shalalahu 'alaihi Wasallam

O l e h : Musni Japrie al-Pasery

Seorang sahabat dekat penulis memberitahukan bahwa menjelang keberangkatannya untuk melakukan perjalan umrah ke Tanah suci bersama keluarganya, terlebih dahulu akan menyelenggarakan hajatan selamatan syukuran dengan mengundang para keluarga, sahabat dan para tetangga, agar didoakan selamat selama dalam perjalanan.

Sebagai seorang sahabat dekat penulis berkewajiban untuk mengingatkan bahwa acara syukuran seperti yang direncanakan tersebut sebenarnya tidak perlu dilaksanakan, karena termasuk dari mubazir dan yang lebih-lebih lagi tidak ada tuntunanya dari Rasullulah shalalalahu ‘alaihi wasallam. Dan sepertinya didalamnya ada terselip keinginan untuk memberitahukan kepada orang-orang tentang keberangkatan menunaikan ibadah umrah . Dan ini termasuk riya, yang dikatagorikan sebagai syirik kecil.

Sahabat tadi membantah adanya anggapan yang saya kemukakan, karena niatnya mengundang hanyalah sekedar silaturakhim dengan sesama muslim dan menghidangkan makanan kepada mereka,dan itu dilakukan dengan niat yang ikhlas, tanpa adanya embel-embel yang lainnya.

Berargumen dengan tergantung kepada niat, ini juga pernah dikemukakan seseorang pada saat berziarah kesalah satu kuburnya orang shalih yang dianggap wali dan berkramat. Orang tersebut berujar bahwa ia berziarah ke kubur wali yang berkramat tersebut niatnya bukan untuk menyekutukan Allah, tetapi sekedar menunjukkan penghormatan kepada wali Allah, kemudian berdoa dan membaca ayat- ayat al-Qur’an sehingga ia akan mendapatkan ganjaran pahala. Samasekali tidak ada niat menyembah kubur, karena ia menyadari bahwa menyembah kubur itu berarti sama dengan menyembah berhala dan ini jelas kesyirikan nya.

Selain contoh kasus yang dikemukakan diatas, banyak lagi kasus lain lagi tentang banyaknya orang-orang yang berargumen dengan tergantung niatnya dalam membenarkan sesuatu yang sebenarnya dinilai telah melanggar rambu-rambu syari’at islam.

Ikhlas dan Niat dalam Segala Perilaku Kehidupan

Memang benar, bahwa Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam pernah menyebutkan tentang “ semua perbuatan tergantung niatnya”, sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam sebuah hadits dalam Bab : Bagaimana Dimulainya Wahyu Kepada Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam :

حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Alqamah bin Waqash Al Laitsi berkata; saya pernah mendengar Umar bin Al Khaththab diatas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan"

Hadits shahih tersebut diatas oleh banyak orang dijadikan dalil untuk membenarkan bahwa apa-apa yang dikerjakannya tidak menabrak syari’at karena sudah sesuai dengan niatnya sejak awal.

Penggunaan hadits tentang semua perbuatan tergantung niatnya, dalam membenarkan tindakan nampaknya selama ini sudah terjadi distorsi atau penyimpangan makna dari yang sebenarnya. Karena sebenarnya apabila diperhatikan secara seksama dan mau mendalaminya makna hadits riwayat Bukhari tersebut menurut pendapat para ulama adalah berkaitan dengan niat yang ikhlas dalam perilaku kehidupan ,yang tentunya harus selaras dengan syari’at .

Hadits Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam tentang tergantung pada niat di dalam Riyadhush-shalihin oleh Imam Nawawi, diketengahkan dalam bagian paling awal dibawah judul “ Ikhlas dan Niat dalam Segala Perilaku Kehidupan” dijelaskan oleh Al-Bani di catatan kaki dalam mentakhrij buku tersebut : “ wajibnya berniat di dalam setiap jenis ibadah,baik yang dimaksudkan untuk ibadah itu sendiri, seperti shalat, atau ibadah yang dimaksudkan sebagai syarat bagi jenis ibadah yang lain, seperti bersuci ( wudhu). Niat ini diwajibkan , karena tanpa niat, keikhlasan sulit digambarkan secara lahir. Hal ini sesuai dengan pendapat mayoritas ulama. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling benar, tanpa ada keraguan didalamnya.

Sehingga dari uraian diatas, maka seyogyanya dalam melakukan berbagai kegiatan terutama hal-hal yang tidak sejalan dengan syari’at tidaklah selalu berdalih dengan tergantung niatnya

Mekipun dalam melakukan segala perilaku kehidupan telah bersikap ikhlas dan mempunyai niat, namun apabila tidak bersesuaian dengan tolok ukur As-sunnah maka akan tertolak.


Mencontoh Nabi Shallalahu ‘alaihi Wasallam



Rasullullah shalalahu ‘alaihi wasallam sesuai dengan tugas dan fungsi beliau sebagai utusan Allah yang memberikan bimbingan dan petunjuk kepada umatnya tentang bagaimana menunaikan kewajiban sebagai umat islam khususnya tentang beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala sebagai bentuk perwujudan keta’atan seorang hamba kepada Sang Maha Pencipta.

Keta’atan umat islam kepadaAllah Subhanahu Wata’ala adalah sebagai manifestasi keimanannya kepada Allah dan Rasulnya, dan merupakan kewajiban yang diperintah oleh Allah SubhanahuWata’ala dalam al-Qur’an surah Ali Imran :31

“ Katakanlah : “ Jika kamu ( benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,niuscaya Allah Mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “
Menurut Ibnu Katsir : ayat ini sebagai pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah tetapi tidak menempuh jalan Muhammad, Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam, bahwa dia adalah pembohong dalam pengakuan cintanya itu sehingga dia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam dalam semua ucapan dan perbuatannya.
Dari tafsir tentang ayat 31 Surah Ali Imran tersebut diatas, maka siapa saja yang mengaku sebagai orang yang beriman dan mengaku mencintai Allah, maka wajib baginya untuk mengikuti Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam dalamsemua ucapan dan perbuatannya. Kalau menyalahi tuntunan yang disampaikan oleh Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam dia disebut sebagai pembohong dalam penghakuan cintanya itu.
Berdasarkan kepada al-Qur’an ayat 31 surah Ali Imran yaqng dikutipkan diatas sudah selayaknya setiap insan muslim untuk mempedomani seluruh perbuatan, tingkah laku, perkataan dan sikap hidup Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam yang telah diinvetarisir melalui hadits-hadits yang shahih.
Mencontoh Nabi shalalahu ‘alaihi wasallam dalam beramal adalah bagian dari keta’atan kepada beliau, dimana ini sangat ditekankan sehingga amal yang dilakukan tetapi tidak sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasullal shalalahu ‘alaihi wasallam tidak diterima. Hal ini dipertegas dalam sabda beliau yang diriwayatkan oleh Abu Daud :
دَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ الْبَزَّازُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ قَالَ ابْنُ عِيسَى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَنَعَ أَمْرًا عَلَى غَيْرِ أَمْرِنَا فَهُوَ رَدٌّ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash Shabbah Al Bazzaz berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'd. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Isa berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Ja'far Al Makhrami dan Ibrahim bin Sa'd dari Sa'd bin Ibrahim dari Al Qasim bin Muhammad dari 'Aisyah radliallahu 'anha ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam a bersabda: "Barangsiapa membuat-buat suatu perkara yang tidak ada dalam agama kami, maka akan tertolak." Ibnu Isa menyebutkan, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa membuat perkara baru selain dari yang kami perintahkan maka akan tertolak."
Hadits diatas secara tegas menyatakan bahwa siapa saja yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah yang datangnya dari Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam baik yang berbentuk perbuatan sebagai contoh atau dalam bentuk perkataan yang diucapkan beliau mengenai sesuatu amalan yang harus dikerjakan, maka amalan tersebut tidak diterima disisi Allah.

Sehingga dengan demikian sia-sialah amalan yang dilakukan karena tidakmendapatkan ganjaran pahala, malah sebaliknya menjadi berdosa karena membuat-buat amalan sendiri yang melebihi kapasitasnya sebagai pembuat syari’at. Karena pembuat syari’at dalam agama ini hanya Allah Subhanahu Wata’ala fdan Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan syari;at itu telah tetap dan lengkap serta baku adanya. Tidak seorangpun yang diperbolehkan membuatnya.

Melakukan segala amal kebajikan tidak hanya sekedar berdasarkan kepada adanya niat dan keikhlasan, tetapi diterima atau tidaknya amal kebajikan tersebut oleh Allah Subhanahu Wata’ala juga ditentukan oleh faktor bersesuaiannya dengan syari’at, yang dalam hal ini adalah As-Sunnah Rasullulah shallalahu ‘alaihi wassallam. Karenanya segala amal kebajikan dilakukan harus mengacu kepada ada atau tidaknya contoh yang dilakukan oleh Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam. Apabila amal kebajikan itu memang pernah dilakukan oleh Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam maka itulah yang wajib di contoh dan diikuti oleh umatnya.

Mencontoh Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam dalam mengamalkan sesuatu yang ditinggalkan dan berpegang teguh kepada sunnah beliau sebagaimana disabdakan dalam hadits riwayat Imam Ahmad :

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ يَعْنِي ابْنَ صَالِحٍ عَنْ ضَمْرَةَ بْنِ حَبِيبٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ قَالَ
وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ هَذِهِ لَمَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا قَالَ قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا انْقِيدَ انْقَادَ


Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah yaitu Ibnu Shalih dari Dlamrah bin Habib dari Abdurrahman bin 'Amr As-Sulami sesungguhnya telah mendengar Al 'Irbadl bin Sariyah berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam memberi nasehat kepada kami dengan nasehat yang menyebabkan mata bercucuran dan hati menjadi tergetar. Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah nasehat perpisahan, apa yang anda janjikan kepada kami?". Beliau bersabda: "Sungguh saya telah meninggalkan kalian dalam keadaan yang sangat jelas, malamnya sebagaimana siangnya. Tidak akan menyeleweng setelahku kecuali dia akan binasa. Barangsiapa yang hidup di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpeganglah dengan apa yang kalian ketahui dari sunnahku dan sunnah Khulafa' Rasyidin yang mendapat petunjuk. Kalian harus taat, walau terhadap hamba dari Habasyah, gigitlah dengan gigi geraham. Hanyasanya seorang mukmin itu laksana unta yang penurut, kemana dituntun dia akan nurut."

Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan Allah Subhanahu Wata’ala telah menyampaikan risalahnya kepada seluruh hambanya kaum muslimin, yang merupakan ikutan paling terbaik untuk dicontoh, sedangkan yang diluar itu adalah termasuk perkara bid’ah sehingga harus ditinggalkan dan dijauhi. Hal ini sesuai dengan sabda b eliau yang diriwayatkan Muslim:

“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah,dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad: seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru, dan setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan di dalam neraka.”

Ittiba’ atau mengikuti Rasullulah dalam melakukan semua amal kebajikan adalah merupakan hal yang terpuji karena selarasdan sejalan dengan sunnah sebagai syari’at islam.

F a e d a h

1.Segala amal kebajikan yang dilakukan tidak cukup dengan syarat iklas hanya untuk Allah Azza Wa’jalla semata tetapi ada syarat lain yaitu berupa iitiba’ kepada Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam, dengan mencontoh kepada apa yang dilakukan oleh beliau , sedangkan yang tidak pernah dilakukan atau dicontohkan beliau atau yang diperintahkan beliau harus ditinggalkan dan dijauhi, karena itu adalah bid’ah. Janganlah mencoba-coba untuk membuat amalan baru, agar dianggap banyak melakukan ibadah dan dikira akan mendapatkan pahal yang banyak pula

2. Orang yang mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah Azza Wajalla semata, dan dalam melakukan ibdah itu ia mencontoh Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam , maka amalannya tersebut akan diterima .

3. Orang yang kehilangan keikhlasan dan kehilangan ittiba’ kepada Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam , atau kehilangan salah satu diantara keduanya, maka amalannya itu akan tertolak.

Wallaahu Ta’ala ‘alam.

Sumber bacaan :

1. Al-Qur’an dan terjemahan ( Departemen Agama RI )
2. Tafsir Ibnu Katsir (
3. Enseklopedi Hadits 9 Imam (lidwa Pusaka)
4. Shahih riyadhush shalihin oleh Syaikh Muhammas Nmasiorudin al-Bani
5. Kumpulan Tanya-Jawab Bid’ah dalam Ibadah Syaikh Abdul Aziz bin Baz
6. Mengupas Sunnah Membedah Bid’ah

Selesai diposting , Selasa, 7 Ramadhan 1431 H/17 Agustus 2010 M