M U K A D D I M A H

M U K A D D I M A H : Sesungguhnya, segala puji hanya bagi Allah, kita memuji-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kami serta keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tak ada yang dapat menyesatkannya. Dan Barang siapa yang Dia sesatkan , maka tak seorangpun yang mampu memberinya petunjuk.Aku bersaksi bahwa tidak ada Rabb yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, yang tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam adalah hamba dan utusannya.

Rabu, 29 September 2010

INSYA ALLAH DAN PASTI AKAN TIBA GILIRAN KITA YANG DIPANGGIL



By : Musni Japrie al-Pasery

Nada panggil SMS di Hp ku berbunyi beberapa kali membangunkan aku dari tidur yang lelap, setelah membaca zikir Lailaah ha illalah wahdahula syarikalah ……… sebagai mana yang diazarkan oleh Rasullulqah shallalahu ‘alaihi wasallam untuk dibaca setiap kali terbangun ditengah malam, aku segera bangkit dari tempat tidur dan langsung membuka Sms yang baru masuk .
Pertama-tama kalimat yang tertera dalam Sms tersebut tersebut adalah : ‘Innalillahi wainna lillahi raji’un “ membaca kalimat itu jantung berdegup kencang karena terkejut, siapa gerangan keluarga terdekat yang meninggal pikirku. Sejenak aku berdiam diri, kemudian kalimat lanjutan teks Sms tersebut yang tertera di Hp, aku baca hingga selesai : “ Telah meninggalkan dunia sahabat kita …..pada pukul 12 tengah malam tadi” Sms dikirim oleh salah seorang mantan staf dikantor dulu.

Aku menutup Hp kemudian menengok jam dinding, angka menunjukkan pukul 2 dini hari, aku berfikir masih ada waktu l jam menyelesaikan tidur yang tertunda sampai pukul tiga untuk kembali bangun melakukan tugas rutin yang dianjurkan oleh Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam.

Sambil tiduran pikiranku menerawang tentang mati, dan terlintas dalam benak sebuah firman Allah Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan yang tertuang dalam al-Qur’an surah al-Anbiya ayat 35 :

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.

Dalam benak timbul diskusi kecil, mengenai kematian, siapapun akan mati tidak terkecuali, termasuk diri ini sendiri, entah kapan waktunya, hanya Allah Yang Maha Mengetahuinya. Tidak satupun makhluk yang mampu untuk menolak dan meminta untuk ditunda karena belum siap bekal menempuh perjalanan panjang dialam barzah menanti hari pengadilan diakhirat kelak. Kedatangan malaikat maut yang ditugaskan untuk mencabut nyawa tidak dapat ditolak atau ditunda sedetik jugapun, ini sesuai dengan firman Allah yang tertera dalam surah an- Nisaa ayat 78 :

أَيْنَمَا تَكُونُواْ يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ مُّشَيَّدَةٍ وَإِن تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُواْ هَـذِهِ مِنْ عِندِ اللّهِ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُواْ هَـذِهِ مِنْ عِندِكَ قُلْ كُلًّ مِّنْ عِندِ اللّهِ فَمَا لِهَـؤُلاء الْقَوْمِ لاَ يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا

Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka memperoleh kebaikan [mereka mengatakan : "Ini adalah dari sisi Allah", dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan : "Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)". Katakanlah : "Semuanya (datang) dari sisi Allah". Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan] sedikitpun ?
Begitu pula Allah Subhanahu Wata’ala telah pula menegaskan bahwa apabila sudah sampai batas waktu ajal tiba, maka kematian tidak dapat diundur dari jadwal yang sudah ditentukan, hal ini tercantum dalam al-Qur’an surat Al-Munaafiqun ayat 11:

-
وَلَن يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاء أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.
Pagi harinya ba’da dhuha seorang teman datang menjemput untuk pergi menuju kerumah sahabat yang meninggal untuk bertaji’ah kepada keluarganya. Disana nampak telah banyak berkumpul orang-orang bertaji’ah begitu juga teman-teman sepekerjaan dari yang meninggal

Diantara teman bercerita bahwa dua hari sebelum meninggal yang bersangkutan baru saja melakukan perjalanan keluar daerah dan pada siang hari sebelum meninggal masih masuk kerja dan berbincang-bincang sesama teman sekantor dan kelihatan sehat tanpa ada keluhan sedikitpun. Karena kepergiannya untuk selama-lamanya secara mendadak membuat orang banyak terkesima.

Pada saat jenazah dimandikan, aku sempat menengok untuk melihat dari dekat kondisi terakhir teman tersebut. Sebagaimana yang aku kenal sebelumnya yang bersangkutan bertubuh tinggi besar, nampak sehat dan masih muda dan umurnya baru empat puluh tahunan.

Melihat itu semua dibenakku berkata apabila kematian yang sudah ditentukan waktunya oleh Allah Yang Maha Mengetahui Segalanya, maka kematian itu tidak perduli apakah kondisinya dalam keadaan sehat, atau didahului dengan sakit, apakah masih muda atau sudah jompo. Malaikat maut tidak pernah pilih kasih atau pilih-pilih dulu. Apabila Allah berkehendak maka setiap makhluk akan dipanggil secara mendadak tanpa adanya undangan pemberitahuan sebelumnya.

Selesai dikafani dan dimasukkan keranda, jenazah teman yang sehari sebelumnya segar bugar, hari ini diusung dalam keranda kematian kemudian disholatkan di sebuah langgar yang dekat dengan kediamannnya.

Kami para pelayat ikut melakukan sholat jenazah, mendoakan bagi jenazah agar diberikan ampunan oleh Allah Yang Maha Pengampun , dan disisi lain tentunya akan mendapatkan ganjaran pahala ,sebagaimana bunyi hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Ibnu Hibban dari Abu Sai’id al-Khudri, dia berkata, Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda :

قَالَ عُودُوا الْمَرِيضَ وَامْشُوا مَعَ الْجَنَاتُذَكِّرْكُمْ الْآخِرَةَ
: "Jenguklah orang sakit dan iringilah jenazah, karena hal itu akan mengingatkan kalian akan akhirat."
Banyak hadits yang menyebutkan keutamaan dari menshalatkan jenazahb tersebut, antara lain juga dihadist lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah radhyallahu ‘anhum Rasullulah shalalahu alaihi wasallam bersabda :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اتَّبَعَ وَاحْتِسَابًا وَكَانَ مَعَهُ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا وَيَفْرُغَ مِنْ دَفْنِهَا فَإِنَّه يَرْجِعُ مِنْ الْأَجْرِ بِقِيرَاطَيْنِ كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ قَبْلَ أَنْ تُدْفَنَ فَإِنَّهُ يَرْجِعُ بِقِيرَاطٍ

: "Barangsiapa mengiringi jenazah muslim, karena iman dan mengharapkan balasan dan dia selalu bersama jenazah tersebut sampai dishalatkan dan selesai dari penguburannya, maka dia pulang dengan membawa dua qiroth, setiap qiroth setara dengan gunung Uhud. Dan barangsiapa menyolatkannya dan pulang sebelum dikuburkan maka dia pulang membawa satu qiroth.
Berkaitan dengan apa yang dikemukakan diatas kiranya menjadikan kita sebagai orang yang selalu ingat akan kematian yang akan datang menjumpai kita tanpa tahu kapan datangnya. Mengingat akan kematian itu sangat besar faedahnya, sehingga Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam menyebutkannya dalamsebuah hadits yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar radhyallaahu ‘anhum , ia berkata :

كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا قَالَ فَأَيُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الْأَكْيَاسُ
Telah mengabarkan kepada kami Az Zubair bin Bakkar telah mengabarkan kepada kami Anas bin 'Iyadl telah mengabarkan kepada kami Nafi' bin Abdullah dari Farwah bin Qais dari 'Atha` bin Abu Rabah dari Ibnu Umar bahwa dia berkata; Saya bersama dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba datang seorang laki-laki Anshar kepada beliau, lalu dia mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya; "Ya Rasulullah, bagaimanakah orang mukmin yang utama?" beliau menjawab: "Orang yang paling baik akhlaknya." Dia bertanya lagi; "Orang mukmin yang bagaimanakah yang paling bijak?" beliau menjawab: "Orang yang paling banyak mengingat kematian, dan yang paling baik persiapannya setelah kematian, merekalah orang-orang yang bijak."
حَدَّثَنَا الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ حَدَّثَنَا نَافِعُ
Saya bersama dengan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tiba-tiba datang seorang laki-laki Anshar kepada beliau, lalu dia mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan bertanya; "Ya Rasulullah, bagaimanakah orang mukmin yang utama?" beliau menjawab: "Orang yang paling baik akhlaknya." Dia bertanya lagi; "Orang mukmin yang bagaimanakah yang paling bijak?" beliau menjawab: "Orang yang paling banyak mengingat kematian, dan yang paling baik persiapannya menyambut kematian, merekalah orang-orang yang bijak."

Berdasarkan kepada hadits tersebut diatas, maka seyogyanya kita seluruh kaum muslimin menjadi orang yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik persiapannya menyambut kematian, karena orang-orang yang sedemikianlah yang dikatakan oleh Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam orang-orang yang bijak.

Wahai sahabat-sahabatku sudahkah kita bersiap-siap untuk menghadapi kematian dan menjalani masa-masa sesudahnya, karen Insya Allah dan pasti akann tiba giliran yang dipanggil ( Wallahu ta’ala ‘alam )

Sumber bacaan :
1. Al-qur’an dan terjemahan, program Salafi-db
2. Kitab hadits 9 Imam, Lidwa Pusaka i-sofware.
3. Rahasia Kematian, Alam Akhirat & Kiamat, Imam Al-Qurthubi

Arba,ba’da Isya 20 Syawal 1431 H / 29 September 2010.

Minggu, 26 September 2010

DETIK-DETIK SAAT PERGINYA SOSOK SAN G PENEGAK TAUHID DAN KEBENARAN



Sebelum mengakhiri tugas dan tanggung jawab besar yang diemban oleh Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam dalam rangka menegakkan tauhid mengesakan Allah Rabbul Alamin , beliau shalalahau ‘alaihi wasallam sempat melaksanakan haji bersama dengan isteri-isteri setia dan tercinta beliau, sertas para sahabat-sahabat kaumm muslimin. Haji tersebut dikenal dengan sebutan haji wada’ ( perpisahan). Pada saat haji wada’ ini yaitu pada saat Rasullulah berada dipadang arafah melakukan wukuf, turunlah firman dari Allah Rabbul Alamin kepada beliau yang diabadikan dalam al-
Qur’an surah al-Maidah ayat 3 :

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah [daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya [dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini [orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Firman tersebut oleh Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam disampaikan beliau dalam khotbah beliau di padang Arafah, dan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhum sebagai seorang sahabat paling dicintai oleh beliau dan yang sekaligus sebagai seorang mertua Nabi Shallalahu ‘alaihi wasallam yang hadir mengikuti khotbah tersebut, mempunyai suatu firasat dan dapat menafsirkan apa yang dimaksud dengan salah satu kalimat dari firman Allah yang disebut Oleh Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam yaitu : “ telah kucukupkan nikmat-Ku “ Langsung menangis dengan berlinangan air mata dipipinya . Melihat sahabat Abu Kabar ash-Shiddiq menangis , salah seorang sahabat beliau menanyakan : “ Apa yang membuatmu menangis wahai Abu Bakar “Kemudian.sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq menjawab : “ Ini adalah berita tentang akan wafatnya Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam “

Setelah melakukan haji Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam beserta seluruh kafilah dari Madinah kembali ketempat semula.

Beliau tetap melakukan tugas-tugas rutin sebagai seorang Kepala Negara dan tugas kerasulan beliau, dimana pada saat itu beliau mulai nampak saki-sakitan. Pada suatu hari beliau bersabda : “ Aku ingin mengunjungi syuhada perang uhud “ Maka berangkatlah beliau ketempat pemakaman para syuhada Uhud, dan ketika berdiri diatas kubur mereka lalu beliau bersabda : “Assalamu’alaikum, wahai syuhada Uhud. Kalian adalah oarng-orang yang mendahului, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian. Juga aku insya Allah akan menyusl kalian. “

Sepulang dari perjalanan ke makam syuhada Uhud beliau shallalhu ‘alaihi wasallam menangis berlinangan air mata, sehingga ada sahabat yang bertanya : “ Apa yang membuatmu menangis ya Rasullulah “ . Beliau menjawab “ Aku rindu kepada saudara-saudaraku “ Sahabat itu ,lalu berkata lagi untuk menghibur“Bukankah kami adalah saudara-saudaramu, ya Rasullulah” . Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam kembali menjawab”
Bukan, kalian adalah sahabat-sahabatku. Suadara-saudaraku adalah kaum yang datang sesudahkau. Mereka beriman kepadaku dan tidak melihatku “

Sembilan hari sebelum wafatnya Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam, beliau mendapatkan wahyu terakhir dari Allah Rabbul Alamin yang tertuang dalamal-Qur’an surah al-Baqarah ayat 281 :

وَاتَّقُواْ يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَّا كَسَبَتْ وَهُمْ لاَ يُظْلَمُونَ
“Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). “

Ulama ahli sejarah Rasullulah mencatat bahwa tiga hari sebelum wafat, sakit yang diderita Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam makin kritis dan waktu itu beliau menginap dirumah kediaman Maimunah salah seorang dari isteri beliau. Pada kesempatan tersebut beliau shallalahu ‘alaihi wasallam mengumpulkan pata isteri-isteri beliau. Salah satu ucapan beliau pada saat itu kepada para isteri-isteri beliau : “ Apakah kalian mengizinkan ku melewati (hari-hari ini) dirumahnya Aisyah “ Isteri-isteri beliau serentak menjawab : “Kami ridha dan mengizinkanmu, ya Rasullulah “
Sestelah mendengar jawaban tersebut beliau Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam hendak bangkit, tetapi tidak mampu . Lalu datanglah Ali bin Abu Thalib menantu beliau yang juga saudara sepupu/misan serta salah seorang sahabat terdekat memapah Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam dibantu seorang sahabat lainnya, Fadhl bin Abbas radhyallaahu ‘anhum menuju rumah kediaman Aisyah radhyallaahu ‘anhuma. Para sahabat tercengang karena baru pertama kali melihat Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam dipapah. Mereka pada berkumpul dan bertanya-tanya satusama lainnya, “ Ada apa gerangan dengan Rasullulah ? Ada apa dengan Rasullulah “
Berita tersebar luas dan orang-orang pada datang berkumpul untuk memndapatrkan kejelasan informasi tentang Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam, sehingga masjid Nabi penuh dengan para sahabat.

Nabi shalalahu ‘alaihi wasallam berada di rumah kediaman isteri beliau Aisyah, Aisyah berkata , “ Aku mendengarnya berkata : “ La ilaaha illallah, kematian mempunyai sekarat, La ilaaha ilallah, kematian mempunyai sekarat “
Pada saat bersamaan terdengar suara agak gaduh di masjid yang dindingnya bersebelahan dengan rumah Aisyah. Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam bertanya : “Ada apa “? Aisyah menjawab, “ orang-orang menghawatirkanmu , ya Rasullulah “ Kemudian Nabi Shallalahu ‘alaihi
Wasallam berkata : “ “Bawalah aku kepada mereka “Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam kemudian dipapah untuk dibawa kemasjid dan didudukan diatas mimbar. Kemudian berkhutbah, sebagai khutbah beliau terakhir. Dalam khutbah terakhir beliau tersebut beliau berkata : “ Wahai manusia, sepertinya kalian menghawatirkanku “ Orang-orang dimasjid serempak menjawab, “ Benar yang Rasullullah “. Rasullulah melanjutkan khotbah beliau dan bersabda : “ Wahai manusia, dunia bukanlah pertemuan kalian denganku, akan tetap, pertemuan kalian denganku adalah ditelaga. Demi Allah, serolah-olah diriku melihatnya daritempatini. Wahai manusia, demi Allah,bukan kemiskinan yang aku takutkan atas kalian. Akan tetapi akutakutkan ataskalian adalah dunia. Kalian berlomba-ploma padanya sebagaimana orang-orang sebelumkalian juga berlomba-lomba padanya. Maka ia membinasakan kalian seperti ia telah membinasakan mereka.” Sebelum mengakhiri khutbah, beliau shallalahu ‘alaihi wasallam berdoa, sebagai doa terakhir sebelum ajal tiba : “ Semoga Allah melindungi kalian, semoga Allah menjaga kalian, semoga Allah menolong kalian, semoga Allah meneguhkan kalian, semoga Allah mendukung kalian dan semoga Allah menjaga kalian.Dan kalimat teraklhir beliau ucapkan dalam doa tersebut” Wahaimanusia, sampaikan salamku kepada orang-orang yang mengikutiku dari kalangan umatku sampai hari kiamat.”

Berikutnya beliau kembali dipapah menuju rumah/kamar Aisyah, tidak begitu lama datanglah salag seorang sahabat Abdurahman bin Abu Bakar dengan siwak ditangannya. Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam memandang kepada siwak itu , tetapi beliau tidak mampu mengatakan bahwa beliau akan bersiwak. Lalu Aisyah berkata : “Dari pandangan mata kedua matanya aku mengerti bahwa beliau menginginkan siwak. Maka aku mengambil siwak itu dari Abdurahman dan melunakkannya terlebih dahulu dengan mengunyahnya terlebih dahulu, lalu aku bersihkan gigi beliau dengan siwak tersebut. Ludahkulah sesuatu yang paling terakhir yang masuk kedalam mulut Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam. Aisyah berbangga : Diantara anugerah Tuhan-ku kepadaku adalah terkumpulnya ludahku dan ludah Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam sebelum beliau wafat “

Tidak lama setelah itu Fatimah radhyallaahu ‘anhuma putri Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam datang . Dia menangis pada waktu itu . Menangisnya Fatimah karena dia terbiasa dengan sikap ayahandanya Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam yang selalu mencium keningnya setiap kali datang kepada beliau. Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam selalu berdiri menyambutnya dan mencium keningnya Fatimah. Akan tetapi pada kedatangan waktu itu, Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam tidak kuasa lagi bangun berdiri untuknya. Rasullulah berkata kepada Fatimah: Mendekatlah kemari, wahai Fatimah. Rasullulah berbisik kepada Fatimah, lalu Fatimah tersenyum. Demikian sebuah riwayat dari Bukhari:

حَدَّثَنَا يَسَرَةُ بْنُ صَفْوَانَ بْنِ جَمِيلٍ اللَّخْمِيُّ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ
دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام فِي شَكْوَاهُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ فَسَارَّهَا بِشَيْءٍ فَبَكَتْ ثُمَّ دَعَاهَا فَسَارَّهَا بِشَيْءٍ فَضَحِكَتْ فَسَأَلْنَا عَنْ ذَلِكَ فَقَالَتْ سَارَّنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ يُقْبَضُ فِي وَجَعِهِ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ فَبَكَيْتُ ثُمَّ سَارَّنِي فَأَخْبَرَنِي أَنِّي أَوَّلُ أَهْلِهِ يَتْبَعُهُ فَضَحِكْتُ

Telah menceritakan kepada kami Yasarah bin Shafwan bin Jamil Al Lakhmi Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'ad dari Bapaknya dari Urwah dari Aisyah radliallahu 'anha dia berkata; "Ketika Rasulullah sakit yang menyebabkan beliau meninggal, beliau memanggil Fathimah. Beliau membisikinya dan ia pun menangis, lalu beliau membisikinya dan ia pun tersenyum. Aisyah berkata; "Saya bertanya kepada Fathimah; 'Apa yang dibisikkan oleh Rasulullah shalallahu'alaihi wa sallam kepadamu. ia menjawab; "Beliau berbisik kepadaku dan memberitahuku perihal kematiannya, aku pun menangis. Kemudian beliau berbisik kepadaku dan memberitahuku bahwa saya adalah orang yang pertama kali mengikutinya dari keluarganya maka aku pun tersenyum."

Berikutnya Rasullulah shallalahu alaihi wasallambersabda : “ Keluarlah kalian dari sisiku “ yang kemudian dilanjutkan dengan perkataan :
“ Ya, Aisyah mendekatah kemari “ Nabi tidur menyandarkan diri di dada Aisyah isteri kesayangan beliau.

Imam Malik radhyallaahu ‘anhum meriwayatkan dari ‘Abbad Abdullah bin Az-Zubair bahwa”

أَنَّ عَائِشَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَر
أَنَّهَا سَمِعَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ وَهُوَ مُسْتَنِدٌ إِلَى صَدْرِهَا وَأَصْغَتْ إِلَيْهِ يَقُولُ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي وَارْحَمْنِي وَأَلْحِقْنِي بِالرَّفِيقِ الْأَعْلَى
Aisyah isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan kepadanya, bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, yaitu saat sebelum beliau meninggal dan bersandar pada dadanya, beliau berdoa: "ALLAHUMMAAGHFIRLII WARHAMNII WA ALHIQNII BIRRAFiiQIL A'lAA (Ya Allah, ampuni dan rahmatilah aku, serta pertemukanlah aku dengan Ar Rafiqul A'la.) "

Kemudian menurut Aisyah : “ Maka tangan Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam luruh, kepala beliau terasa berat di dadaku. Maka mengetahui beliau telah tiada” Aisyah melanjutkan : Aku tidak tahu apa yang aku perbuat. Aslu hanya bisa keluar dari kamarku ke masjid dimana para sahabat berkumpul.Aku berkata , Rasullulah telah tiada, Rasullulah telah tiada “. Maka terdengarlah gemuruh suara isak tangisan seluruh sahabat yang ada di masjid saat itu.
Mendengar apa yang dikatakan Aisyah tersebut Umar Ibnu Khatabradhyallaahu ‘anhum sepertinya tidak percaya dan yakin sehingga menjadi berang seraya berkata : “ Barang siapa yang mengatakan bahwa Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam telah wafat maka aku akan pancung kepalanya dengan pedangku ini,.Beliau hanya pergi untuk bertemu Tuhan-nya seperti Musa pergi menemui Tuhannya.”

Abu Bakar setelah mendengar berita wafatnya Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam, merupakan orang yang paling teguh, dia masuk kedalam kamar dimana terbaring jenazah Rasullulah shallalhu ‘alaihi wasallam kemudian merangkulnya sambil berkata, “ Wahai orang terkasih dan tersayang, wahai bapakku” Abu Bakar lalu menciumnya sembari berucap ,” Engkau tetapb aik, hidup ataupun mati . Setelah itu Abu Bakar radhyallaahu ‘anhum menuju masjid menemui orang-orang yang berada disana. Kepada mereka Abu Bakar berkata : “ Barang siapa yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammadtelah wafat. Dan barang siapa menyembah Allah, makan Allah kekal ,tidak pernah mati “
Aisyah sendiri setelah itu keluar sambil menangis. : Aku mencari tempat untuk menyendiri agar bisa menangis sendiri .”
Inna lillaahi wa inna lillahi raji’un. Telah pergi untuk selamanya Nabi Muhammad Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam ikutan dan teladan paling terbaik dan sempurna untuk diikuti oleh seluruh umat manusia sampai akhir zaman nanti. Telah pergi sosok tercinta penegak tauhid dengan meninggalkan warisan yang tidak ternilai yaitu berupa al-Qur’an dan as –sunnah.

Peristiwa wafatnya Rasullulah shallahu ‘alaihi wasallam terjadi pada hari senin tanggal 12 rabiul awal, dalam usia genap 63 tahun.
Meskipun semua umat islam mengetahui secara pasti tentang tanggal dan hari wafatnya nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam, tetapi tidak pernah seorangpun umatnya yang mengadakan peringatan hari kematian tersebut atau yang dikenal dengan sebutan haulan dengan mengadakan tahlilan dan yasinan. Karena memang tidak ada satupun sinyal untuk itu dari Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam sehingga upacara peringatan seperti itu tidak disyari’atkan. Namun disayangkan kebanyakan sebagian umat islam malah melakukan amalan berupa peringatan hari kematian para ulama dan orang-orang shalih yang dikramatkan sebagai perbuatan bid’ah dan malah diharamkan oleh para ulama salafus shalih dan oleh para imam mazhab.

( Sebagian naskah dikutip dari ensiklopedi Kisah Generasi Salaf
Diposkan oleh Abu Farabi al-Banjari di 19.46
Label: S i r a h

Rabu, 22 September 2010

BERSYUKUR BUKAN DENGAN SYUKURAN




O l e h : Abu Farabi al-Banjar

Sudah merupakan suatu kelaziman yang mengakar ditengah-tengah masyarakat muslim di negeri ini dan terjadi dimana-mana dan semua orang pasti mengenal dengan sebuah sebutan “ syukuran “, sebuah istilah yang ada dinegeri ini dan dikaitkan sebagai sebuah bentuk dari aplikasi rasa syukur.

Hampir semua apa saja dari setiap yang dianggap sebagai suatu kenikmatan berupa kebahagian yang ditunjukkan dengan rasa bersyukur kepada zat yang telah memberikan kenikmatan dan kebahagian dituangkan atau diimplementasikan oleh banyak kalangan umat muslim dengan pelaksanaan syukuran.

Fenomena syukuran yang dilakukan oleh banyak orang sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka dan malah dianggap sebagai label yang islami, karena di dalamnya tidak pernah lepas dari ritual pembacaan doa yang dipimpin bahkan tidak sedikit oleh mereka-mereka yang dikatakan sebagai ulama setempat.

Semua orang pasti dan tidak dapat diingkari pernah mendapatkan undangan dan menghadiri acara syukuran, atau undangan dengan sebutan selamatan atau dinamai juga sebagai kenduri, seperti syukuran peringatan kelahiran atau ulang tahun, syukuran sembuh dari sakit , syukuran mendapatkan kenaikan pangkat atau jabatan, syukuran karena lulus dalam ujian disekolah, syukuran atas keberhasilan mendapatkan gelar, syukuran menempati rumah baru, syukuran isteri yang baru melahirkan, syukuran membeli kendaraan baru. Dan berbagai ragam bentuk acara syukuran yang banyak sekali dan tidak dapat disebutkan satu persatu dalama a rtikel ini karena akan memerlukan halaman yang banyak. Dan bahkan mungkin saja diantara pembaca pernah melakukan acara syukuran atau yang sejenis dengan mengundang sedikit orang berupa sanak keluarga atau tetangga, bahkan dengan jumlah undangan yang cukup banyak , yang tentunya tidak pernah lupa menyediakan makanan segala.

Yang sekarang lagi trend merebak dimana-mana yang dilakukan oleh sebagian orang-orang yang akan menunaikan haji, sebelum berangkat mereka terlebih dahulu mengadakan acara kenduri syukuran dengan mengundang seluruh keluarga, tetangga, dan para kerabat serta seluruh kenalan meskipun jauh tempatnya. Mereka membuat acara kenduri syukuran yang layaknya seperti acara perkawinan dengan membuat taruf atau tenda besar didepan rumahnya dengan hidangan makanan bermacam-macam yang menggugah selera. Bahkan tidak ketinggalan disajikan hiburan dalam bentuk rekaman qasidah atau nasyid dengan suara yang sangat keras sekali.

Acara syukuran atau kenduri yang sudah merakyat dari lapisan bawah sampai kelapisan atas, dari kalangan awam sampai kalangan yang berilmu, tidak saja dilakukan oleh orang-orang secara invidu/keluarga, tetapi banyak pula yang dilakukan secara berjama’ah ramai oleh orang-orang sekampung.Perhatikanlah betapa banyak pesta-pesta atau syukuran yang dilakukan oleh suatu kampung yangh ditayangkan oleh berbagai media televisi. Ada syukuran pasca panen, syukuran bersih desa, ada syukuran dalam bentuk pesta laut. Semua dilakukan oleh mereka, yang konon katanya sebagai ungkapan rasa syukur kepada penguasa bumi dan penguasa laut yang telah memberikan rezeki berupa hasil bumi dan hasil laut, dengan memberikan sesajen dan bentuk makanan dan buah-buah bahkan hewan ternak agar para penguasa alam berupa dewadewa dan jin tidak marah .

Syukuran Ditinjau Dari Kacamata Syari’at.

Seperti yang telah disiggung diatas bahwa hajatan kenduri syukuran yang juga dikenal dengan sebutan selamatan, oleh sebagian kalangan umat islam dikaitkan hal-hal yang bersifat ibadah, yaitu sebagai bentuk implementasi pernyataan rasa syukur kepada Allah Yang Maha Pencipta, atas segala bentuk kenikmatan dan berbagai anuggerah yang dilimpahkan-Nya .

Namun perlu dicermati apakah syukuran yang dikenal luas dikalangan umat islam itu adalah merupakan suatu bentuk pelaksanaan dari petunjuk baik yang ada dalam al-Qur’an maupun as-sunnah Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallamyamng harus dijadikan panduan dalam melakukan sesuatu yang terkait dengan kepentingan agama. Apakah syukuran itu ada dalil atau hujjah yang dapat dipakai sebagai dasar hukumnya, karena sesuatu ibadah itu dalam islam harus didasarkan kepada adanya perintah, suruhan dan contoh dari Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam, atau setidaknya pernah dilakukan oleh kalangan para sahabat radhyallaahu anhum, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in rahimahulllaah. Kalau tidak ada perintah, suruhan, atau contohnya maka perbuatan itu adalah termasuk perbuatan mengada-ada atau menambah-nambah yang dilarang keras untukdilakukan oleh umat islam. Dan pelakunya atelah melakukan pelanggaran syari’at yang diancam mendapatkan sanksi hukuman.

Dari seluruh hadits yang diriwayatkan oleh para muhadistin ,baik yang maudhu, dhaif, maupun hasan tidak ada satupun yang menyebutkan adanya syukuran tersebut, apalagi hadits yang shahih sama sekali tidak pernah menyinggung dan membicarakan tentang syukuran tersebut.

Nabi Muhammad Shalalahu ‘alaihi wasallam sebagai Rasullulah yang diutus menyampaikan risalah Islam oleh Allah Subhanahu Wata’ala dalam bentuk syari’at, telah memberikan informasi yang lengkap dan sempurna tentang bagaimana seharusnya sepak terjang, tingkah polah dan prilaku umat manusia terhadap Allah Subhanahu Wata’ala . Islam telah mengajarkan dan memberitahukan segalanya kepada makhluk yang namanya manusia, apa yang harus dilakukan berupa segala perintah yang harus dilakukan dan segala sesuatu yang sifatnya larangan. Ini sesuai dengan firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam al-Qur’an surah al- Ma’idah ayat 3 :

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.”

Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam buku beliau “ Risalah Bid’ah “ dalam bab Kesempurnaan Islam mengemukan tentang ayat tersebut diatas : “ dalam ayat yang mulai ini, Allah menegaskan b ahwa agama ini ( al Islam) te;ah sem[urna dan lengkap, yang tidak memerlukan sedikit pun tambahan dan pengurangan, apapun bentuk dan alasannya dari tambhan-tambahan tersebut meskipun disangka baik atau dari siapa saja datangnya meskipun dianggap besar oleh sebagian manusia, adalah satu perkara besar yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya. Akan tetapi sangat dicintai oleh iblis dan para pengikutnya.
Pelakunya , langsung atau tidak langsung, sadar atau tidak sadar, telah membantah firman Allah diatas dan telah menuduh Rasullulah shalalahu ‘alaihi weasallam berkhianat di dalam menyampaikan risalah.

Al-Qur’an sebagai acuan pokok dan standar atau landasan hukum yang pokok dalam syari’at islam bagi kaum muslimin , dilengkapi pula oleh as –Sunnah Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam sebagai penjelasan dan penjabaran dari al-Qur’an, merupakan aturan rinci dan lengkap bagaimana seharusnya umat islam dalam beribadah dan bermuamalah, yang mengatur bagamaina umat islam dalam mengadakan kontak dengan Allah Sang Maha Pencipta ( hablumminallaah) dan berhubungan sesama manusia ( hablumminannasy).
Semua aturan sudah tercoper secara lengkap dalam as-sunnah Rasul dan tidak satupun yang tercecer atau terlupakan, dari hal yang paling kecil sekalipun dan sepele sampai kepada hal yang besar, semuanya ada diatur.
Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam ath Thabrani dikitabnya al-Mu’jamir Kabir dari Abu Dzar, ia b erkata :

“Rasullulah shalalahu ‘alaihiwasallam telah (pergi) meninggalkan kami (wafat) dan tidak seekorpun burung yang ( terbang) membalik-balkikan kedua sayapanya diudara melainkan beliau telah menerangkan ilmunya kepada kami.
B erkata Abu Dzar : Beliau shalalahu ‘alaihi wasallamtelah bertrsabda : “ Tidak tinggal sesuatupun yangmendekatkan (kamu) kesurga dan menjauhkan (kamu) dari neraka,melainkan sesunguhnya telah dijelaskan kepada kamu “

Dijelaskan oleh Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat bahwa maksud perkataan Abu Dazr diatas ialah: Bahwasanya Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan kepada um,atnya segala sesuatu baik berupa perintah atau larangan atau kabar dan lain-lain. Untuk itu , Nabi shalalahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :” Tidak tinggal sesuatu pun yang mendekatkan (kamu) ke surga dan menjauhkan (kamu) dari api neraka,. Mnelainkan sesungguhnya telah dijelaskan kepada kamu”. Oleh karena itu,barang siapa yang mencari jalan menuju jannah/surga dan menjauhkan dirinmya darinar/neraka tanpa mengikuti al-Qur’an dan as-Sunnah Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam, maka sesungguhnya ia telah menempuh jalan yang tidak pernah dijelaskan oleh Allah dan Rasullnya.

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Salman al Faarisiy, ia berkata :


سَلْمَانَ قَالَ
قِيلَ لَهُ قَدْ عَلَّمَكُمْ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلَّ شَيْءٍ حَتَّى الْخِرَاءَةَ قَالَ فَقَالَ أَجَلْ لَقَدْ نَهَانَا أَنْ نَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ لِغَائِطٍ أَوْ بَوْلٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِالْيَمِينِ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِأَقَلَّ مِنْ ثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ أَوْ أَنْ نَسْتَنْجِيَ بِرَجِيعٍ أَوْ بِعَظْمٍ

Ditanyakan kepadanya, '(Apakah) Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu hingga adab beristinja? ' 'Abdurrahman berkata, "Salman menjawab, 'Ya. Sungguh dia telah melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar, buang air kecil, beristinja' dengan tangan kanan, beristinja' dengan batu kurang dari tiga buah, atau beristinja' dengan kotoran hewan atau tulang'."

Dari riwayat diatas dapat disimpulkan bahwa para sahabat menegaskan kepada kita : Sesungguhnya Rasullulkah shalalahuy ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada umatnya segala sesuatu tentang Agama Allah ini ( al Islam).baik aqwidah, ibadah dan lain-lain sampai kepada adab-adab buang air. Demikian yang dikutip dari penjelesan ustadz Abdul Hakim Amir Abdat.

Berdasarkan uraian diatas, maka apa saja yang tidak ada dalam al-Qur’an dan as-sunnah Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam, maka ia bukan merupakan bagian dari agama, yang tentunya tidak boleh seorangpun melakukan sesuatu dalam beragamanya tanpa dilandasi dalil yang shahih. Meskipun itu menurut pikiran, akal, perasaan dan hawa nafsu sesuatu yang baik. Karena apa yang baik menurut akal, pikiran, perasaan dan hawa nafsu itu baik,belum tentu baik menurut syari’at, mungkin ia bahkan bertentangan dengan syari’at.Tetapi sebaliknya apapun yang dikatakan oleh syari’at b aik, maka mutlak dan pasti tidak akan pernah bertentangan dan ditolak oleh akal, pikiran, dan perasaan.

Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah diriwayatkan bahwa rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam bersabda :

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ ضَلَالَةٌ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا أَوْلَى بِكُلِّ مُؤْمِنٍ مِنْ نَفْسِهِ مَنْ

: "Amma ba'du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang diada-adakan dan setiap bid'ah adalah sesat."

Dari hadits tersebut dapat ditarik benang merahnya bahwa karena syukuran bukan bagian dari agama tetapi sesuatu yang diada-adakan maka ia disebut sebagai bid’ah, dan syukuran termasuk suatu perkara yang buruk dan dikatagorikan sebagai perbuatan yang sesat.

Meskipun didalam acara selamatan, kenduri, hajatan syukuran dengan mengundang banyak orang dan menyediakan hidangan berupa aneka makanan merupakan suatu kebaikan yang mendapatkan ganjaran pahala, namun tidaklah seharusnya untuk mendapatkan pahala itu harus dengan melakukan sesuatu yang mengandung suatu kemunkaran. Karena sesungguhnya sesuai dengan kaidah/ushul fiqih bahwa sesuatu yang dilarang itu hukum asalnya haram, maka mengingat perbuatan mengada-ada hal yang baru dalam ibadah( bid’ah) adalah perbuatan sesat yang terlarang, maka syukuran sebagai perbuatan yang mengada-ada tertsebut adalah suatu kemunkaran.

Satu catatan penting yang perlu mendapat perhatian secara khusus oleh kita kaum muslimin adalah syukuran yang didalam pelaksanaannya banyak sekali bertentangan dengan syari’at karena banyaknya terjadi berbagai kemunkaran dan malah bersifat kesyirikan, yaitu syukuran yang dilaksanakan secara massal oleh masyarakat seperti pesta laut dengan melarungkan sesajen kelaut sebagai persembahan kepada dewa dan penguasa laut yang telah memberikan rezeki berupa tangkapan ikan, dimana juga sebelumnya didahului dengan pawai yang diikuti kaum dewasa,muda, anak-anak, laki-laki dan perempuan campur baur dan yang perempuannya menampakkan auratnya berupa pakaian yang terbuka dadanya. Hal yang sama juga dilakukan dalam rangka syukuran selepas panen dengan melakukan ritual pesta bersih desa, dan tentunya juga tidak ketinggalan sesajen serta pertunjukan wayang semalam suntuk. Acara hajatan syukuran bersih desa dimaksudkan agar penguasa bumi memberikan perlindungan dari bagai malapetaka, dan juga harapan panenan hasil bumi dimasa yang akan datang berlimpah.

Coba disimak secara akal sehat, tidakkah hajatan syukuran seperti itu suatu kesyirikan, karena memberikan sesajen kepada para dewa penguasa bumi. Tidakkah itu merupakan prilaku menyukutukan Allah dengan yang lain . Kalau itu ditujukan kepada Allah, caranya juga telah menyalahi syariat, karena Allah tidak pernah meminta sesuatu dari hambanya berupa sesajen.



Bersyukur Sesuai Dengan Aturan Syari’at.

Di Dalam al-Qur’an terdapat cukupbanyak ayat-ayat yang menyebutkan tentang bersyukur antara lain dalam surah al-Baqarah ayat 152 :

. Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamudan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.

Juga dalam ayat lain , seperti yang tercantum dalam al-qur’an surah adh-Dhuha ayat 11 :

“ Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaknlah kamuy menyebut-nyebutnya ( dengan bersyukur ).

Selain itu dalam al-Qur’an surah Ibrahim ayat 7 Allah Ta’ala berfirman :
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nimatku) kepadamu, dan jika kamu mengingkarai (nikmatku) maka sesungguhnya azab-ku sangat pedih “

Karena b ersyukur adalah suatu perintah yang termasuk sebagai sebuah ibadah, maka cara bersyukur haruslah pula sesuai dengan kaidah-kaidah syari’at, dimana untuk itu tidak diperkenan kan seorangpun untuk membuat ketetapan syari’at yang baru dalam beribadah tersebut, termasuk dalam cara melakukan syukur.

Mensyukuri nikmat yang diberikan Allah Subhanahu wata’ala adlah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia, dan menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah dalam buku beliau Tazkiyatun Nafs bahwa pujian tidak terjadi kecuali dengan adanyanikmat dan itu merupakan inti dari syukur dan awal dari bentuk kesyukuran. Dan mensyukuri nimatAllah tidak hanya cukup dengan memuji tetapi harus dibarengi dengan tindakan baik memuji-Nya dengan lisan yaitu berzikir, menggunakan nikmat tersebut dijalan yang diridhai Allah.

Perwujudan Syukur dengan Hati, Lidah dan Anggota Tubuh.

Ibnu Qudamah rahimahullaah dalam Kitab “ Minhajul Qashidin ( Jalan orang-orang Yang Mendapatkanh Petunjuk) mengemukakan : Perwujudan syukur bisa dengan hati, lidah dan anggota tubuh.Syukur dengan hati ialah bermaksud untuk kebaikan dan menyebarkankepada semua orang. Syukur dengan lidah ialah menampakkan syukur itu kepadaAllah dengan cara memujinya. Syukur dengan anggota tubuh ialah dengan mempergunakan kenikmatan dari Asllahuntuk ta’at kepada-Nya dan tidak menggunakannya untuk mendurhakai-Nya. Perwujudan syukur dengan mata ialah dengan menutupi aib yang dilihatnya pada diri orang Muslim lainnya. Perwujudan syukur telinga ialah dengan menutupi setiap aib yang didengarnya. Ini termasuk sejumlah syukur anggotya tubuh ini.

Lebih lanjut Ibnu Qudamah rahimahullaah menyebutkan : syukur dengan lidah ialah menampakkan keridhaan terhadap apa-apa yang dfatang dari Allah dan memang manusia diperintahkan untuk melakukannya. Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda :

“ Menceritakan kenikmatan adalah syukur dan meninggalkannya adalah kufur ( diriwayatkan oleh Ahmad ).

Cara Bersyukur.

Mengutip tulisan Ahmad Abu Ari dalam majalah Fatawa Vol.06.th.II 1425H.2004 bahwa diantara cara bersyukur yang dibangun atas ilmu adalah menyadari bahwa semua nikmat itu datang dari Allah Subhanahu Wata’ala semata. Sehingga sangat tidak masuk akal jika rasa syukur itu ditujukan kepada selain Allah atau menyelisihi syari’at, sebagaimana banyak yang dilakukan masyarakat. Termasukdidalam hal ini ialah tidak memahami keharamannya secara syar’i. Misalnya melakukan pesta , bersedekah bumi sesudah panen atau sedekah laut, berterimakasih kepada kuburan atau orang pintar, memaksakan diri melakukan selamatan jnika keinginanya terkabul. Contoh lainnya ialah syukuran dengan membaca surat tertentu dari al-Qur’an ( yasinan) dengan dzikiran yangb tidak ada contohnya dari Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam.

Cara bersyukur dibangun atas amal, yaitu merasa senang dan gembira terhadap nikmat itu, serta melakukan perintah perintah Allah untuktidak bermaksiat dengan kondisi itu.

Sementara itu amalan b ersyukur ataskesehatan, ialah dengan menikmatinya,merasa senang dan memeliharanya dengan berolah raga, beristirahat dengan cukup, makan makanan yang halal dan tayyib dan sebagainya.
Harta selain dinikmati, juga digunakan untuk hal-hal yang makruf seperti untuk berzakat, bersedeqah,berinfak dan sebagainya. Termasu untuk menuntu ilmu, menghadiri majelas ta’lim, membeli buku-buku yang bermanfaat. Sedangkan nikmat kesempatan untuk hidup, tentulah tidak lain hanya melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala, sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an surah adz-Dzariyat ayat 56 :

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”

Ditambahkan pula bahwa bentuk lain yang disyari’atkan dalam mengekspresikan rasa syukur adalah dengan melakukan sujud syukur . Hal ini sebagaimana yang dilakukan Nabi shallalahu ‘alaih wasallam. Dalam hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah disampaikan bahwa:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا أَتَاهُ أَمْرٌ يَسُرُّهُ أَوْ بُشِّرَ بِهِ خَرَّ سَاجِدًا شُكْرًا لِلَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى

Jika datang suatu perkara yang menyenangkan atau menggembirakan Nabi Shalalahu ‘alaihi wasallam , beliau bersujud sebagai bentuk syukur kepada Allah Tabaraka Wata’ala.

Kapan Waktu Bersyukur.
Ahmad Abu Ari mengemukakan bahwa amalan bersykur hendaknya dilakukan pada segala kondisi. Tidak saja pada kondisi baik, sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala , tetapi juga pada kondisi yang buruk sekalipun; karena manusia masih memperoleh nikmat dari Allah Subhanahu Wata’ala yaitu kesempatan untuk hidup. Dengan kehidupan itu, seburuk bagaimana kondisinya dia tetap dapat beribadah kepada Allah Ta’ala. Ia juga dapat bersyukur dengan bersabar atas segala kondisi yang dihadapinya. Dengan melihat orang lain yang kebanyakan kondisinyha lebih buruk daripadanya, maka ia dapat mengungkapkan rasa syukujr dengan sebaik-baiknya atau setulus-tulusnya.

Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dan Shuhaib radyhiallaah anhum, Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam bersabda :

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
: "perkara orang mu`min mengagumkan, sesungguhnya semua perihalnya baik dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang mu`min, bila tertimpa kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya dan bila tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya."

Akhirul kalam, penulis mengajak kepada seluruh pembaca untuk bersyukur dengan cara yang disyari’atkan,tidak dengan cara melakukan kenduri, selamatan syukuran yang tidak ada pernah diperintahkan atau dilakukan oleh Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam .

Wallaahu ta’ala ‘alam.

Sumber bacaan :
1. Al-Qur’an dan terjemahan, Departemen Agama R.I
2. Ensiklopedi Hadits , kitab 9 Imam CDHKJ91 Ver.1.2k Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
3. Minhajul Qashidin ( Jalan Orang-Orang Yang Mendapat Petunjuk), Ibnu Qudamah.
4. Kemulian Sabar dan Keagungan Syukur, Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah.
5. Madarijus Salikin (Pendakian Menuju Allah), Ibnu Qaiyyim Al-Jauziyah.
6. Manajemen Qalbu Ulama Salaf, Syaikh Dr. Ahmad Farid.
7. Risalah Bid’ah, Abdul Hakim bin Amir Abdat.
8. Majalah Fatawa Vol.06.Th II. 1425. 2004 M
Diselesaikan pada hari Kamis, 14 Syawal 1431 H / 23 Sewptember 2010, ba’da dhuha.

Minggu, 19 September 2010

DENGAN AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR MEWUJUDKAN KEMASLAHATAN (Bagian ke Tiga )


O l e h : Musni Japrie Al-Pasery

Menyambung uraian ber-amar ma’ruf nahi munkar dibagian kedua, maka pada bagian ketiga dari tulisan bersambung ini, dikemukakan pula beberapa hal tentang pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar, baik sebagai fardhu kifayah maupun yang bersifat sebagai fardu ain.

. Setiap Pendidik Wajib Melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar Terhadap Para Anak Asuhnya.

Seorang pendidik, dimanapun ia bertugas , selain bertanggung jawab untuk memberikan pelajaran dan pengajaran kepada para anak asuhnya berupa ilmu-ilmu yang bersifat keduniaan, dituntut pula tanggung jawabnya melakukan amar ma’ruf nahi munkar didalam lingkungan pendidikan mereka. Seorang pendidik selain wajib membina akhlak anak asuhnya juga berkewajiban mencegah dan menindak perbuatan kemunkaran yang dilakukan oleh anak asuhnya .

Adalah tindakan yang keliru apabila seorang pendidik ketika melihat adanya kemunkaran yang diperbuat oleh anak asuhnya, ia berdiam diri dan membiarkannya tanpa mengambil langkah yang positif. Wajib bagi seorang guru untuk menegakkan disiplin bagi anak asuhnya yang melakukan kemunkaran berupa pemberian hukuman disiplin berdasarkan pertimbangan yang rasional dan tidak melampaui batas. Seperti adanya anak asuhnya kedapatan merokok, minum minuman keras, berjudi, terlibat narkoba, berkelahi, berbuat asusila, mencuri dan lain-lainnya yang dilakukan dilingkungan kompleks pendidikannya.

Amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan seorang pendidik kepada para anak asuhnya langsung termasuk fardhu ‘ain, karena para anak asuh yang langsung berada dibawah tanggung jawabnya tiada lain adalah seperti anak kandungnya sendiri. Sipendidik adalah selaku pengganti orangtua selagi sianak berada dalam lingkungan pendidikannya.

Merupakan suatu tindakan yang tidak bertanggung jawab, apabila seorang pendidikan membiarkan anak asuhnya/anak didiknya berbuat suatu kemunkaran, sedangkan ia sendiri mengetahui dan menyaksikan terjadinya perbuatan kemunkaran tersebut.

Peranan penting seorang pendidik dalam mewajudkan kemaslahatan secara luas dan tercegahnya berbagai kemunkaran dikalangan masyarakat adalah sangat besar, karena pendidik tidak pernah absen dalam melakukan ama’ ma’ruf nahi munkar kepada setiap anak asuh/anak didiknya.

Dilingkungan pendidikan sejak dini sudah dikenalkan yang namanya nilai-nilai kebaikan dan buruknya segala bentuk kemunkaran. Dan semua itu tiada lain adalah perbuatan amar ma’ruf nahi munkar.

Setiap Pemimpin Wajib Melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Menuurut Ensiklopedia Administrasi (disusun oleh staf Dosen Balai Pembinaan Administrasi Universitas Gadjah Mada)
Pemimpin (Leader) adalah orang yang melakukan kegiatan atau proses mempengaruhi orang lain dalam suatu situasi tertentu, melalui proses komunikasi, yang diarahkan guna mencapai tujuan/tujuan-tujuan tertentu.

Disebutkan pula rumusan yang serupa bahwa pemimpin adalah seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi individu dan/atau sekelompok orang lain untuk bekerja sama mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Dari defenisi tersebut diatas, tersirat pengertian bahwa seorang pemimpin itu mempunyai bawahan atau anggota kelompok yang berada dibawah kekuasaan atau pengaruhnya. Berapapun jumlah individu yang menjadi anggota atau bawahan seseorang ia disebut sebagai pemimpin.

Karena seorang pemimpin mempunyai kekuasaan dan mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi anggota atau bawahannya, maka segala tingkah polah anggota atau bawahannya secara umum berada dibawah kendali pemimpin. Dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas apa yang dia pimpin. Karena setiap pemimpin diminta pertanggungan jawabannya oleh pihak yang berada diatasnya sampai akhirnya bertanggung jawab kepada Allah Subhanahu Wata’ala kelak diakhirat. Hal ini sejalan dengan hadits riwayat Abu Daud dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasullulah shallalahu ‘alihi wasallam telah bersabda
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

“: Ketahuilah bahwa setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas kepemimpinannya, seorang pemimpin umat manusia adalah pemimpin bagi mereka dan ia bertanggung jawab dengan kepemimpinannya atas mereka, seorang laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan ia bertanggung jawab atas mereka, seorang wanita adalah pemimpin bagi rumah suaminya dan anaknya, dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang budak adalah pemimpin bagi harta tuannya, dan ia bertanggung jawab atasnya. Maka setiap dari kalian adalah adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kepemimpinannya."

Dari hadits tersebut diatas tersirat makna bahwa setiap pemimpin itu mempunyai tanggung jawab moral dari setiap tingkah laku dan perbuatan bawahannya apakah sejalan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah atau mungkin bertolak belakang dari keduanya. Karenanya seorang pemimpin berkewajiban melakukan pembinaan kepada setiap bawahannya dengan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.

Berkenaan dengan amar ma’ruf nahi munkar oleh pemimpin kepada setiap anggotanya , maka seorang pemimpin yang bertanggung jawab wajib melakukan pengawasan atas segala apa yang dikerjakan oleh bawahannya tidak saja dalam rangka kepentingan organisasinya tetapi pengawasan yang lebih luas lagi terkait dengan moralnya. Seorang pemimpin yang bertanggung jawab wajib mengetahui bahwa bawahannya tidak melakukan hal-hal yang berseberangan dengan syari’at. Seperti contoh kecil, apakah bawahannya menyukai minuman keras, suka berzinah, suka berbuat onar dan berbuat zolim, mencuri dan lain sebagainya, atau mungkin menyalah gunakan wewenang jabatannya . Apabila bawahan dibiarkan berbuat sesuka hatinya maka akan berpengaruh buruk bagi kinerja dan perkembangan organisasinya. Dan lebih jauh lagi akan berimbas negatif kepada masyarakat.

Bagi kepentingan kebaikan organisasi dan lingkungan disekitarnya, seorang pemimpin harus berani mengambil tindakan terhadap bawahannya yang melakukan kemunkaran dengan tindakan hukuman disiplin sesuai dengan tingkatan kemunkaran yang diperbuatnya. Dan apabila sudah sampai kepada perbuatan kemunkaran yang tidak dapat ditolerir lagi, pemimpin wajib untuk membawanya kepihak yang berwewenang.

Pemimpin dalam mengorganisasikan bawahannya tidaklah hanya sekedar berupaya untuk mencapai apa yang menjadi tujuan organisasi, tetapi yang penting pula adalah bagaimana kemaslahatan para bawahannya dapat diwujudkan, yang pada gilirannya akan bermuara kepada kemaslahatan lingkungan disekitarnya.

Bertalian dengan bunyi hadits dari Abdullah bin Umar yang dikutip diatas maka yang dimaksud dengan pemimpin disini, adalah semua pemimpin tidak terkecuali, baik ia pemimpin kecil dirumah tangga sampai kepada pemimpin tertinggi negara/penguasa.

Siapa saja yang berpredikat sebagai pemimpin, maka agar dia selamat selaku pemegang tanggung jawab yang diberi amanah dari peradilan diakhirat kelak, maka amanah yang dipegang wajib dipelihara dengan melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

Selaku seorang pemimpin, baik dalam kedudukan level tertinggi dengan kedudukan top manager, midle manager sampai manager yang terbawah yang mempunyai kewenangan dalam mengendalikan bawahannya dalam bertindak memberikan sanksi berupa hukuman disiplin atas setiap kemunkaran yang dilakukan bawahannya jauh lebih efektif serta memberikan efek jera bagi bawahannya.

Meskipun sebenarnya tindakan pemberian sanksi hukuman disiplin yang diberikan oleh seorang pimpinan adalah dalam kepentingan khusus bagi organisasi, namun tindakan tersebut juga terkait bagi kepentingan yang luas sebagai usaha mewujudkan kemaslahatan, dan semua ini termasuk dalamamarma’ruf nahi munkar didalam tubuh organisasi tersebut.

Seorang pimpinan sebelum lebih jauh dalam menjatuhkan sanksi yang berat tentu sebelumnya telah memberikan peringatan sebagai nasihat bagi bawahannya yang diketahui melakukan kemunkaran dalam organisasinya, dimana pemberian nasihat tersebut sejalan dengan firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam Al-Qur’an surah Al-‘Ashr ( 103) ayat : 3 :

وَالْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Amar Ma’ruf Nahi Munkar Oleh Penguasa.

Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawasdalam buku beliau Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah mengemukan bahwa satu masyarakat akanmenjadi baik apabila ditegakkan amarma’ruf nahi munkar di dalamnya. Sedangkan satu masyarakat akan binasa dan rusak apabila tidak ditegakkan amar ma’ruf nahi munkar didalamnya.


حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْمُدْهِنِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فِي الْبَحْرِ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا يَصْعَدُونَ فَيَسْتَقُونَ الْمَاءَ فَيَصُبُّونَ عَلَى الَّذِينَ فِي أَعْلَاهَا فَقَالَ الَّذِينَ فِي أَعْلَاهَا لَا نَدَعُكُمْ تَصْعَدُونَ فَتُؤْذُونَنَا فَقَالَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا فَإِنَّا نَنْقُبُهَا مِنْ أَسْفَلِهَا فَنَسْتَقِي فَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ فَمَنَعُوهُمْ نَجَوْا جَمِيعًا وَإِنْ تَرَكُوهُمْ غَرِقُوا جَمِيعًا
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ;

"Perumpamaan mereka yang menegakkan hukum dan berjalan di atasnya adalah bagaikan suatu kaum yang berada di atas perahu di tengah hamparan lautan yang luas. Sebagian dari mereka bertempat di atasnya dan sebagian yang lain berada di bawah. Mereka yang berada di bawah apabila membutuhkan air, maka mereka akan naik ke atas lalu menimba air sehingga mengganggu mereka yang berada di atas. Maka orang-orang yang berada di atas pun berkata, 'Kami tidak akan membiarkan kalian naik ke atas sehingga kalian menyusahkan kami.' Sedangkan mereka yang berada di bawah juga berkata, 'Kalau begitu, maka kami akan membuat lubang di bawah sehingga memudahkan kami untuk mengambil air.' Maka apabila mereka mencegahnya, niscaya mereka semua akan selamat. Namun bila mereka meninggalkannya, niscaya mereka semua akan tenggelam”

Dalam hadits diatas, Nabi Shallalahu a’laihi wasallam memberikan perumpamaan tentang satu masyarakat, dimana orang –orang berada dibawah ( yang dimaksud adalah orang-orang awam( melakukan kemaksiatan, dan apabila orang-orang yang lainnya tidak mencegahnya maka akan binasalah semuanya. Maka manusia tidaklah memilki kebebasan berbuat semaunya. Manusia diciptakan diatas perintah dan larangan.

Seorang penguasa dalam suatu negara, dalam hal ini kepala negara/kepala pemerintahan dalam rangka mewujudkan cita-cita negaranya berupa kemaslahaan bagi rakyatnya, wajib pula menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di dalam negaranya, dengan mencegah berbagai kemunkaran dan mengambil tindakan atas setiap terjadinya kemunkaran yang dilakukan oleh warga negaranya, yang dalam hal ini ditangani oleh aparat dari institusi penegak hukum . Tindakan fisik tersebut dilakukan karena adanya kekuasaan dan kewenangan yang diikuti dengan kemampuan, hal mana tindakan tersebut sejalan dengan hadits riwayat Abu Daud dari Abu Sa’id al-Khudri radhyallaahu ‘anhu. Ia berkata aku mendengar Rasullullah shalalahu ‘alaihi wasallam bersabda :

"Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran lalu ia mampu mengubahnya dengan tangan, hendaklah ia ubah kemungkaran tersebut dengan tangannya."

Dengan hadits tersbut diatas maka berbagai kemunkaran yang terjadi ditengah –tengah masyarakat dalam berbagai bentuknya dalam suatu negara hanyalah dapat dicegah dan ditindak dengan tindakan fisik (secara paksa )oleh tangan kekuasaan yaitu aparat penegak hukum. Dan setiap anggota masyarakat harus patuh dan tunduk terhadap penegak hukum selaku tangannya pemerintah. Sedangkan umat islam dalam kedudukannya selaku rakyat harus tunduk dan patuh serta ta’at kepada pemerintah. Kepatuhan dan keta’atan ini sejalan dengan bunyi firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam Al-Qur’an surah an-Nisaa ayat 9 :

ي كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّه َا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُو الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ وَأُوْلِي إِن ِ وَالْيَوْمِ تَأْوِيلاً الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ

Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Pemerintah selaku penguasa dalam rangka penegakkan kewibawaannya perlu bertindak tegas dalam mengambil tindakan terhadap setiap kemunkaran yang terjadi ditengah masyarakat, tidak saja kemunkaran yang berskala besar, kemunkaran-kemunkaran kecilpun seperti kasus pencurian, perzinahan, minuman keras, narkoba, perjudian, perkelahian dan lain sebagainya. Sehingga apa yang telah dilakukan oleh pemerintah selaku penguasa tersebut telah sejalan dengan amar ma’ruf nahi munkar seperti yang diamanahkan oleh syari’at.

Apabila pemerintah selaku penguasa berdiam diri dan membiarkan berkembangnya kemunkaran dalam berbagai bentuknya, sehingga menimbulkan kemudharatan dan hilangnya kemaslahatan bagi masyarakat, maka kelak para pemimpin yang atau siapa saja yang terlibat di dalam penanganan pemerintahan tersebut akan dimintakan pertanggungan jawabannya oleh Allah Ta’ala diakhirat. Sebagaimana yang tercantum dalam hadits riwayat Abu Daud dari sahabat Abdullah bin Umar yang dikutip diatas.

Tugas dan fungsi negara dalam hal ini pemerintah yang termasuk utama dan penting, salah satunya adalah melindungan rakyatnya dari segala bentuk kemunkaran yang dilakukan oleh individu-individu yang memiliki kecendrungan berbuat penyimpangan berupa kemunkaran. Sehingga dengan pelaksanaan tanggung jawab memberikan perlindungan dan rasa aman bagi masyarakat maka kemaslahatan akan terwujud.





Amar Ma’ruf Nahi Munkar Oleh Ulama, Ustadz dan Da’i.

Amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana yang dikemukan oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas , adalah merupakan sifat dari Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an surah Al-A’raaf ayat 157 :

الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُم بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُواْ بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُواْ النُّورَ الَّذِيَ أُنزِلَ مَعَهُ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka . Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Setelah wafatnya Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam, tugas amar ma’ruf nahi munkar berlanjut oleh para sahabat radhyallaahu anhu, kemudian diteruskan oleh para tabi’in dan tabi’ut tabi’in rahimahullaah , berlanjut kepada generasi para ulama salaf hingga seterusnya dilakukan oleh para ulama dari zaman ke zaman sampai kepada ulama sekarang ini. Selain itu tanggung jawab menyelenggarakan amar ma’ruf nahi munkar, sesuai dan fungsinya juga diselenggarakan oleh ustadz dan da’i/mubaligh sebagai juru penerang kepada seluruh umat.


Tugas utama dalam agama berupa amar ma’ruf nahi munkar yang diwariskan oleh Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam, kepada para ulama karena para ulama itu sendiri adalah pewaris Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam seperti tertera dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Darda, ia berkata :

” Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak.".


Mengingat para ulama, ustadz dan da’i/mubaligh adalah sebagai penerus tugas Rasullulah dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, maka tentunya sebagaimana Rasullulah shalalahu ‘alaih wasallam sebagaimana yang dinukilkan oleh Ustadz Yazid bin Abvdul Qadir Jawas bahwa: sungguh Rasullulah shallalahu ;alaihi wasallam telah memulai pertama kalai sebagaimana para Nabi sebelum beliau dengan memperbaiki aqidah-aqidah manusia dan mengumpukan mereka diatas aqidah tauhid; sebagaimana beliau mendidik para sahabatnya radhyallaahu ‘anhu . Apabila para ulama, ustadz dan da’I tidak memulaidakwahnya sebagaimana yang Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam memulai dengannya, maka ia t5idak akan beruntung dalam dakwahnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah b erkata : “ Diantara bentuk kebaikan ialah hendaklah memerintah dan melarang itu dilakukan diatas shiratal mustaqim ( jalanyang lurus),sedangkan shiratal mustaqim adalah jalan yang paling dekat,yang menyampaikan kmepaqda tercapainya tujuan .

Setiap dakwah amar ma’ruf nahi munkar oleh para ulama, ustadz dan da’i adalah yang menyeru kepada jalannya manhaj Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam yaitu manhajnya ahlus sunnah wal jama’ah. Apabilaia tidak mengikutinya maka ia telah menyimpang dari manhaj Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam.

Para ulama, ustadz, da’i sebagai pelaku amar ma’ruf nahi munkar adalah golongan orang-orang yang berilmu, karena mereka mengetahui bahwa apa-apa yang diperintahkan itu adalah benar-benar perbuatan ma’ruf, demikian pula ketika mereka melarang orang-orang dari kemunkaran, mereka mengetahui benar-benar bahwa apa yang dilarangnnya itu benar termasuk perkara kemunkaran yang dilarang.

Para ulama, ustadz dan da’i aqdalah sekelompok orang yang menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam buku beliau “ Tazkiyatun Nafs “: yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan agama. Dalam menjalankan hal tersebut mereka ikhklas karena Allah. Memperbaiki apa yang mereka lakukan, dan mereka istiqamah serta sabar atas gangguan yang mereka alami. Mereka itulah yang beriman dan beramal shalih, dan mereka itulah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia,mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar serta beriman kepada Allah.

Sejalan dengan itu Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas mengemukakan : apabila dakwahmengajak manusia ke jalan Allah merupakan kedudukan yang mulia dan utama bagi seorang hamba, maka hal itu itu tidak akan terlaksana kecuali dengan ilmu. Dengan ilmu., seorang dapat berdakwah dan kepada ilmu ia berdakwah.

Karena kemampuan dan keilmuan yang dimilikinya, maka para ulama,ustadz dan da’I, dibebani tugas untuk menyerukan umat kepada kebaikan dan mencegahnya dari berbuat kemunkaran.

Sebaliknya banyak pula ditemukan ditengah-tengah masyarakat sekarang ini mereka-mereka yang mengaku dirinya sebagai ulama. Ustadz dan da’i yang memiliki ilmu namun ternyata mereka bodoh, karena berdakwah tidak mengikuti manhajnya Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam dan manhaj nya para sahabat. Jika orang-orang semacam itu terjun dimedan dakwah dan melibatkan diri nya dalam dakwah bahkan berani menjadi pemimpin didalamnya lalu melakukan amar ma’ruf nahi munkar , sedangkan ia tidak mempunyai ilmu tentang itu semuanya,maka pada hakikatnya mereka merusak dengan kereusakan yang lebih besar dari pada apa yang mereka perbaiki. Bahkan sebagian dari mereka ada yang menyuruh kemunka
ran dan melarang kebaikan karena kejahilan (kebodohan)nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surah An-Nahl : 116 :



وَلاَ تَقُولُواْ يُفْلِحُونَ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ
Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung

Sesungguhnya diantara tanda-tanda hari kiamat dan termasuk sebab hilangnya amar ma’ruf nahi munkar ialah diangkatnya ilmu. Ini sesuai dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari sahabat ‘Abdullah bin “amr bin al-‘Ash radhyallaahu ‘anhum:, ia berkata
Saya pernah mendengar Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam bersabda “

'Allah Azza wa Jalla menghapuskan ilmu agama tidak dengan cara mencabutnya secara langsung dari hati umat manusia. Tetapi Allah akan menghapuskan ilmu agama dengan mewafatkan para ulama, hingga tidak ada seorang ulama pun yang akan tersisa. Kemudian mereka akan mengangkat para pemimpin yang bodoh. Apabila mereka, para pemimpin bodoh itu dimintai fatwa, maka mereka akan berfatwa tanpa berlandaskan ilmu hingga mereka tersesat dan menyesatkan.


Dalam melakukan perannya menyuruh kepada kebaikan dan mencegah/melarang dari kemunkaran para ulama, ustadz dan da’i lebih bersifat kepada pemberian nasihat baik langsung ataupun tidak langsung
melalui dakwah dalam berbagai bentuk salurannya.Termasuk didalamnya menyusun buku-buku dan pemberian fatwa.

Pemberian nasihat yang dilakukan oleh ulama, ustadz dan da’I adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar ,hal ini termasuk dalam hadits riwayat Abu Daud dari Abu Sa’id al-Khudri radhyallaahu ‘anhu. Ia berkata aku mendengar Rasullullah shalalahu ‘alaihi wasallam bersabda:
.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ وَهَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ رَجَاءٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَعَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مُنْكَرًا فَاسْتَطَاعَ أَنْ يُغَيِّرَهُ بِيَدِهِ فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ وَقَطَعَ هَنَّادٌ بَقِيَّةَ الْحَدِيثِ وَفَّاهُ ابْنُ الْعَلَاءِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ بِلِسَانِهِ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

: "Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran lalu ia mampu mengubahnya dengan tangan, hendaklah ia ubah kemungkaran tersebut dengan tangannya." Hannad kemudian memotong (tidak melanjutkan) sisa hadits tersebut. Kemudian Ibnul 'Ala melengkapinya, "jika ia tidak mampu hendaklah dengan lisannya, jika tidak mampu dengan lisan hendaklah dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman."

Mencegah kemunkaran dengan nasihat sebagai mana yang dilakukan oleh ulama,ustadz dan da’i adalah bentuk dari mengubah kemunkaran dengan lisannya, seperti yang bermaktub dalam hadits tersebut diatas.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sejak dari awal sepeninggal wafatnya Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radhyallaahu ‘anhu, penegakan agama berupa amar ma’ruf nahi munkar peranan para ulama ustadz dan da’i tidak dapat dipandang hanya sebelah mata saja. Mereka-merekalah yang terus berkiprah mengembangkan, membangun, mempertahankan dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar ditengah-tengah masyarakat yang senantiasa selalu memerlukan pembinaan dan bimbingan, agar kemaslahatan dapat diwujudkan dan kemudharatan dapat dihindarkan. Wallaahu ta’ala ‘alam
( Bersambung kebagian : IV)

Sumber bacaan “
1.Al-Qur’an dan terjemahan .
2.Hadits kitab 9 Imam CDHK 91 Ver.1.2 Lidwa Pusaka.
3. Ihya Ulumiddin, Imam A-Ghazali.
4.Tazkiyatun Nafs .Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
5.Riyadhus- Shalihin, Imam Nawawi
6.Tanbihul Ghafilin ,Ibnu Qudamah.
7.Ayat-ayat Larangan dan Perintah dalam Al-Qur’an, K.H Qomarudin
8.AmarMa’ruf Nahi Munkar Menurut Ahlus Sunnah wa Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas.

Diselesaikan pada hari Senin, ba’da dhuha, 11 Syawal 1431 H / 20 September 2010

Selasa, 14 September 2010

DENGAN AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR MEWUJUDKAN KEMASLAHATAN


DENGAN AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR MEWUJUDKAN KEMASLAHATAN .( Bagian kedua )

O l e h : Musni Japrie al-Pasery


Beberapa Dalil Sebagai Dasar Hukum Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Sebagaimana yang dikemukakan diatas bahwa sesuatu itu dikatakan kebaikan atau kemunkaran tolok ukurnya haruslah berdasarkan ketentuan yang termaktub dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka tentunya melakukan amar ma'ruf dan nahi munkar harus juga didasarkan kepada dalil yang tertera dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Tidaklah seseorang akan berani melangkah melakukan aktifitas dakwahnya atau mengingatkan kepada seseorang tentang perlunya melakukan kebaikan atau menjauhi larangan apabila tidak dikawal dengan dasar hukum yang kuat sebagai patokan dan perintah dari pembuat syari'at yaitu Allah 'Azza wajalla, yakni dalam hal ini adalah al-QAur'an dan as -Sunnah yang memuat begitu banyak dalil-dalih sebagai hujjah.
Begitu banyak ayat-ayat dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan amar ma’ruf nahi munkar, baik yang bersifat langsung dengan menyebutkan kata-kata amar ma’ruf atau nahi munkar, dan ada pula ayat yang tidak secara langsung menyebutkan kata-kata amar ma’ruf atau nahi munkar namun maknanya mengandung hal-hal yang berkaitan dengan amar ma’ruf maupun nahi munkar. Karena perlu diketahui sebenarnya al-qur’an sebagai petunjuk pada hakekatnya seluruhnya merupakan panduan dan tuntunan dalam menuju kebaikan dan meninggalkan segala hal-hal yang buruk dengan segala ikutannya berupa jalan menuju kepada keburukan tersebut.

Beberapa dalil yang tercantum dalam al-Qur'an berupa firman Allah Subhanahu wata'ala an yang mengandung kata-kata amar ma’ruf nahi munkar atau yang sepadan atau serupa dengannya antara lain :

1. Qur’an surah . Al-Qassash (28) ayat : 87 :

وَلَا يَصُدُّنَّكَ عَنْ آيَاتِ اللَّهِ بَعْدَ إِذْ أُنزِلَتْ إِلَيْكَ وَادْعُ إِلَى رَبِّكَ وَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari (menyampai- kan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan) Tuhanmu, dan janganlah sekali-sekali kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.

Dalam kalimat “Dan serulah mereka kepada ( jalan ) Tuhanmu”, merupakan kalimat perintah dari Allah kepada Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam agar menyeru atau mengajak kepada manusia kepada jalan Allah Subhanahu wata’ala, dimana jalan menuju Allah tidak lain adalah jalan menuju kebaikan .

2. Qur’an surah Al-Maaidah (5) ayat : 2 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُحِلُّواْ شَعَآئِرَ اللّهِ وَلاَ الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلاَ الْهَدْيَ وَلاَ الْقَلآئِدَ وَلا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّ رَّبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُواْ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَن صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَن تَعْتَدُواْ وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah [dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram [jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya], dan binatang-binatang qalaa-id dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya] dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

Di dalam ayat tersebut diatas Allah memerintahkan kepada hambanya “ dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam berb uat dosa dan pelanggaran “ secara tegas dinyatakan agar hambanya saling tolong menolong dalam hal-hal yang bersifat kebaikan yaitu merupakan bagian dari perbuatan amar ma’ruf dan nahi munkar.

3. Al-Qur’an Surah Al-‘Ashr ( 103) ayat : 3 :

وَالْعَصْرِ
إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.

Ayat 3 surah Al-Ashr tersebut diatas menyebutkan pentingnya untuk saling nasihat menasihati sesama muslim agar tidak termasuk orang yang merugi. Sedangkan nasihat menasihati merupakan salah satu cara beramar ma’ruf dan bernahi munkar kepada sesama hamba Allah.

4.Al-Qur’an Surah Ali ‘Imran ayat 110:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. “


5.Al-Qur’an Surah Aali-Imraan (3) ayat 104 :

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.”

Dalam surah Aali-Imran (3) ayat 104 yang dikutip diatas secara langsung disebutkan perintah kepada segolongan umat islam yang menyuruh kepada golongan lainnya kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, sehingga mereka akan menjadi orang-orang yang beruntung .

6. A-Qur’an Surah Al A’raaf (7)

فَلَمَّا نَسُواْ مَا ذُكِّرُواْ بِهِ أَنجَيْنَا الَّذِينَ يَنْهَوْنَ عَنِ السُّوءِ وَأَخَذْنَا الَّذِينَ ظَلَمُواْ بِعَذَابٍ بَئِيسٍ بِمَا كَانُواْ يَفْسُقُونَ

"Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. “

Dari kalimat “melarang dari perbuatan jahat “ tiada lain adalah nahi munkar.

7. Al-Qur’an Surah At-Taubah (9) ayat : 71

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللّهَ وَرَسُولَهُ أُوْلَـئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta'at pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. “

Ayat diatas secara tegas menyebutkan tentang menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.

كَانُواْ لاَ يَتَنَاهَوْنَ عَن مُّنكَرٍ فَعَلُوهُ لَبِئْسَ مَا كَانُواْ يَفْعَلُونَ

“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. “

Ayat diatas juga secara tegas menyebutkan tentang buruknya perbuatan yang tidak melarang tindakan munkar, sehingga lawan dari tidak melarang tindakan munkar itu adalah melarang perbuatan munkar

8. Al-Qur’an Surah Al-Hajj ayat 41 “

الَّذِينَ إِن مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.

9. Al-Qur’an surah Luqman ayat : 17




يَا الْأُمُورِ بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ
“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)”.


Selain ayat-ayat al-Qur’an yang merupakan dalil untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, maka banyak pula hadits-hadits yang shahih menyebutkan tentang amar ma’ruf nahi munkar.Hadits- hadits tersesebut antara lain :

1. Hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah bahwasanya Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :


حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ يَعْنُونَ ابْنَ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa'id dan Ibnu Hujr, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Isma'il yaitu Ibnu Ja'far dari Al 'Ala dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: "Barang siapa mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sebaliknya, barang siapa mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapat dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun."

"Barang siapa mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sebaliknya, barang siapa mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapat dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun."

Hadits tersebut mengandung makna siapa yang beramar ma’ruf mendapatkan pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya. Dan ini merupakan isyarat untuk melakukan amar ma’ruf.

2. Hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Said Al Khudri radhyallaahu anhum, dari Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda :

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ أَخْبَرَنَا أَبُو عَامِرٍ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا بُدٌّ نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ إِذْ أَبَيْتُمْ إِلَّا الْمَجْلِسَ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنْ الْمُنْكَرِ

: "Janganlah kalian duduk-duduk di pinggir jalan." Mereka (para sahabat) berkata; "Wahai Rasulullah, Itu kebiasaan kami yang sudah biasa kami lakukan karena itu menjadi majelis tempat kami untuk bercakap-cakap." Beliau bersabda: "Jika kalian tidak mau meninggalkan majelis seperti itu maka tunaikanlah hak jalan tersebut." Mereka bertanya: "Apa hak jalan itu?" Beliau menjawab: "Menundukkan pandangan, menyingkirkan halangan, menjawab salam dan amar ma'ruf nahi munkar."

3. Hadits riwayat Muslim dari Tamim ad-Dari radhyallaahu ‘anhu, ia berkata Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ

"Agama itu adalah nasihat." Kami bertanya, "Nasihat untuk siapa?" Beliau menjawab, "Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin, serta kaum awam mereka."

4. Hadits riwayat Abu Daud dari Abu Sa’id al-Khudri radhyallaahu ‘anhu. Ia berkata aku mendengar Rasullullah shalalahu ‘alaihi wasallam bersabda :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ وَهَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ رَجَاءٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَعَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مُنْكَرًا فَاسْتَطَاعَ أَنْ يُغَيِّرَهُ بِيَدِهِ فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ وَقَطَعَ هَنَّادٌ بَقِيَّةَ الْحَدِيثِ وَفَّاهُ ابْنُ الْعَلَاءِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ بِلِسَانِهِ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

: "Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran lalu ia mampu mengubahnya dengan tangan, hendaklah ia ubah kemungkaran tersebut dengan tangannya." Hannad kemudian memotong (tidak melanjutkan) sisa hadits tersebut. Kemudian Ibnul 'Ala melengkapinya, "jika ia tidak mampu hendaklah dengan lisannya, jika tidak mampu dengan lisan hendaklah dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman."

5. Hadits riwayat At-Tirmidzi dari An Nu’man bin Basyir, dia berkata , Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam bersabda :


حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْقَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالْمُدْهِنِ فِيهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا عَلَى سَفِينَةٍ فِي الْبَحْرِ فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا يَصْعَدُونَ فَيَسْتَقُونَ الْمَاءَ فَيَصُبُّونَ عَلَى الَّذِينَ فِي أَعْلَاهَا فَقَالَ الَّذِينَ فِي أَعْلَاهَا لَا نَدَعُكُمْ تَصْعَدُونَ فَتُؤْذُونَنَا فَقَالَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا فَإِنَّا نَنْقُبُهَا مِنْ أَسْفَلِهَا فَنَسْتَقِي فَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ فَمَنَعُوهُمْ نَجَوْا جَمِيعًا وَإِنْ تَرَكُوهُمْ غَرِقُوا جَمِيعًا
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ;

"Perumpamaan mereka yang menegakkan hukum dan berjalan di atasnya adalah bagaikan suatu kaum yang berada di atas perahu di tengah hamparan lautan yang luas. Sebagian dari mereka bertempat di atasnya dan sebagian yang lain berada di bawah. Mereka yang berada di bawah apabila membutuhkan air, maka mereka akan naik ke atas lalu menimba air sehingga mengganggu mereka yang berada di atas. Maka orang-orang yang berada di atas pun berkata, 'Kami tidak akan membiarkan kalian naik ke atas sehingga kalian menyusahkan kami.' Sedangkan mereka yang berada di bawah juga berkata, 'Kalau begitu, maka kami akan membuat lubang di bawah sehingga memudahkan kami untuk mengambil air.' Maka apabila mereka mencegahnya, niscaya mereka semua akan selamat. Namun bila mereka meninggalkannya, niscaya mereka semua akan tenggelam”

Berkenaan dengan hadits tersebut diatas ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas mengartikannya bahwa dalam hadits diatas Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam memberikan perumpamaan tentang satu masyarakat dimana or
ang-orang yang berada dibawah (yang dimaksud adalah orang awam) melakukan kemaksiatan, dan apabila orang-orang lainnya tidak mencegahnya, maka akan binasalah semua.

6. Hadits riwayat Abu Dawud dari Abu Dzar, Rasuullulah shallalhu ‘alaihi wasallam bersabda :

سُلَامَى مِنْ ابْنِ آدَمَ صَدَقَةٌ تَسْلِيمُهُ عَلَى مَنْ لَقِيَ صَدَقَةٌ وَأَمْرُهُ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيُهُ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَإِمَاطَتُهُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ صَدَقَةٌ وَبُضْعَةُ أَهْلِهِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ كُلِّهِ رَكْعَتَانِ مِنْ الضُّحَى قَالَ أَبُو دَاوُد وَحَدِيثُ عَبَّادٍ أَتَمُّ وَلَمْ يَذْكُرْ مُسَدَّدٌ الْأَمْرَ وَالنَّهْيَ زَادَ فِي حَدِيثِهِ وَقَالَ كَذَا وَكَذَا وَزَادَ ابْنُ مَنِيعٍ فِي حَدِيثِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَحَدُنَا يَقْضِي شَهْوَتَهُ وَتَكُونُ لَهُ صَدَقَةٌ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ وَضَعَهَا فِي غَيْرِ حِلِّهَا أَلَمْ يَكُنْ يَأْثَمُحَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ عَنْ عَبَّادِ بْنِ عَبَّادٍ ح و حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ الْمَعْنَى عَنْ وَاصِلٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ
"Setiap pagi dari setiap ruas yang di miliki oleh ibnu Adam terdapat sedekahnya, memberi salam kepada orang yang di jumpainya adalah sedekah, memerintahkan kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah adalah sedekah, menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah dan mengumpuli (bersenggama) dengan isterinya adalah sedekah, dan itu semua bisa di gantikan dengan dua raka'at shalat Dluha." Abu Daud berkata; "Haditsnya 'Abbad lebih lengkap, namun Musaddad tidak menyebutkan kalimat "Memerintahkan (yang ma'ruf) dan mencegah (dari kemungkaran) ", dalam haditsnya ada sedikit tambahan, beliau bersabda seperti ini dan ini, Ibnu Mani' menambahkan dalam haditsnya; para sahabat bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah jika salah seorang dari kami memenuhi tuntutan syahwatnya (mengumpuli isterinya) mendapatkan sedekah?" beliau menjawab; "Bagaimana pendapatmu jika dia meletakkan syahwatnya bukan pada yang di halalkannya, apakah dia mendapatkan dosa?"


7. Hadits riwayat At-Tirmidzi dari Abu Bakar Ash-Sidiq, ia berkata :

قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَقَدْ رَوَاهُ غَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ نَحْوَ هَذَا الْحَدِيثِ مَرْفُوعًا وَرَوَى بَعْضُهُمْ عَنْ إِسْمَعِيلَ عَنْ قَيْسٍ عَنْ أَبِي بَكْرٍ قَوْ
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ أَبِي خَالِدٍ عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ أَنَّهُ قَالَ
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ هَذِهِ الْآيَةَ
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ }
وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا ظَالِمًا فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللَّهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ
لَهُ وَلَمْ يَرْفَعُوهُ

"Hai manusia, sesungguhnya kalian sering membaca ayat ini Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk QS Al Ma`idah: 105, sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya jika manusia melihat orang yang berbuat dzalim, namun mereka tidak mencegahnya, hampir saja Allah meratakan siksaan kepada mereka semuanya."




حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ عَنْ خَالِدٍ ح و حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ أَخْبَرَنَا هُشَيْمٌ الْمَعْنَى عَنْ إِسْمَعِيلَ عَنْ قَيْسٍ قَالَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ
بَعْدَ أَنْ حَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ تَقْرَءُونَ هَذِهِ الْآيَةَ وَتَضَعُونَهَا عَلَى غَيْرِ مَوَاضِعِهَا
{ عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ }
قَالَ عَنْ خَالِدٍ وَإِنَّا سَمِعْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللَّهُ بِعِقَابٍ و قَالَ عَمْرٌو عَنْ هُشَيْمٍ وَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي ثُمَّ يَقْدِرُونَ عَلَى أَنْ يُغَيِّرُوا ثُمَّ لَا يُغَيِّرُوا إِلَّا يُوشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللَّهُ مِنْهُ بِعِقَابٍ
قَالَ أَبُو دَاوُد وَرَوَاهُ كَمَا قَالَ خَالِدٌ أَبُو أُسَامَةَ وَجَمَاعَةٌ وَقَالَ شُعْبَةُ فِيهِ مَا مِنْ قَوْمٍ يُعْمَلُ فِيهِمْ بِالْمَعَاصِي هُمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يَعْمَلُهُ

“ Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Baqiyyah dari Khalid. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Amru bin Aun berkata, telah mengabarkan kepada kami Husyaim secara makna, dari Isma'il dari Qais ia berkata, "Setelah mengucapkan pujian dan mengagungkan-Nya, Abu Bakar berkata, "Wahai manusia sekalian, kalian telah membaca ayat ini, namun kalian tidak meletakkannya sebagaimana mestinya: '(.. jagalah dirimu; tidaklah orang yang sesat itu akan memberi madharat kepadamu apabila kamu telah mendapatkan petunjuk..) ' -Al Maidah: 105-. Wahb menyebutkan dari Khalid, (Abu Bakar berkata;) "Kami mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya orang yang melihat kezhaliman kemudian tidak mencegah dengan tangannya, maka sangat dikawatirkan Allah akan menimpakan siksa kepada mereka secara merata." Amru menyebutkan dari Husyaim, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah kemaksiatan yang dilakukan pada suatu kaum, kemudian mereka mampu mencegahnya tetapi tidak mau mencegah, melainkan Allah akan meratakan siksa kepada mereka." Abu Dawud berkata; " Abu Usamah dan sekelompok orang juga meriwayatkannya sebagaimana yang dikatakan oleh Khalid". sedangkan Syu'bah meriwayatkan dengan lafadz di dalamnya, "Tidaklah suatu kemaksiatan dilakukan pada suatu kaum, sementara jumlah mereka lebih banyak dari .

Kewajiban Melakukan Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Amar ma’ruf nahi munkar merupakan bagian penting dari agama, malah sebenarnya inti dari agama sebenarnya adalah amar ma’ruf nahi munkar. Mengingat sangat pentingnya amar ma’ruf nahi munkar tersebut banyak para ulama mengupasnya secara lengkap dalam berbagai tulisan. Karena Allah Subhanau Wata’ala telah mewajibkan kepada umat islam untuk menyeru kepada kebajikan,menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, sesuai dengan firmannya dalam Al-Qur’an Surah Aali-Imraan (3) ayat 104 :

وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang beruntung.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah dalam Tazkiyatun Nafs ( Mensucikan Jiwa dan Menjernihkan Hati dengan Akhlak yang Mulia ) mengemukakan bahwa Allah Ta’ala menerangkan bahwa umat ini (Islam) adalah umat terbaik untuk manusia. Merekalah yang lebih bermanfaat untuk umat ini dan paling banyak berbuat baik terhadap mereka, karena mereka berbuat maksimal dalam menyeru manusia berbuat kebaikan dan melarang mereka dari kemunkaran.

Mengenai kewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar ini para ulama menyebutkannya sebagai fardu kifayah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam buku Beliau Tazkiyatun Nafs menyebutkan : “ Kewajiban
amar ma’ruf nahi munkar, bagi setiap orang tidak bersifat fardhu ain, tetapi fardhu kifayah, yakni jika ada yang telah melaksanakannya maka yang lain tidak berdosa.

Imam Al-Ghazali rahimahullaah dalam kitab beliau Ihya Ulumiddin berkata : Didalam al-Qur’an ( Surah Ali Imran ayat : 104 ) terdapat penjelasan bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah fardhu kifayah bukan fardu ‘ain dan bahwa apabila ada golongan satu golongan telah melaksanakannya, maka gugur kewajiban itu dari golongan yang lain. Karena Allah tidak berfirman : “ Hendaklah setiap kamu memerintah yang ma’ruf, tetapi Dia berfirman: “ Hendaklah diantara kamu segolongan umat “. Jadi manakala seseorang atau sekelompok orang telah melaksanakan kewajiban ini, maka gugur dosa dari yang lain dan keberuntungan tertentu bagi orang-orang yang melaksanakannya secara langsung dan kalau makhluk semuanya duduk tidak melaksanakan kewajiban ini, maka dosa mereka semua orang yang mampu melaksanakannya tidak boleh tidak.

Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah dalam buku beliau Minhajul Qashidin menyebutkan amar ma’ruf nahi munkar adalah fardu kifayah dengan redaksi yang sama dengan apa yang disebutkan oleh Imam Al-ghazali. Oleh Imam Ibnu Qudamah disebutkan pula bahwa jika sudah ada yang melaksanakan nya, berarti yang lain sudah terbebas dari tugas tersebut. Namun ada keberuntungan bagi orang-orang yang melaksanakannya.

Imam Nawawi rahimahullaah dalam Syarah Shahih Muslim, sebagaimana yang dikutip oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, berkata : “ Menyuruh yang ama ma’ruf dan menecegah dari yang munkar hukumya adalah fardu kifayah “ . Selain itu dikutip juga keterangan dari Abu Bakar al- Jashshah rfahimahullaah : bahwa wajib untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar, dan amarf ma’ruf nahi munkar hukumnya adalah fardhu kifayah. Apabuila sebagian oramng sudah melaksanakannya maka kewajibannya gugur bagi yang lainnya.

Meskipun telah ditetapkannya amar ma’ruf nahi munkar sebagai fardhu kifayah, bukan berarti tertutupnya peluang berubahnya amar ma’ruf nahi munkar tersebut dari fardhu kifayah menjadi fardu ain, yaitu kewajiban bagi setiap orang muslim. Dimana perubahan tersebut diakibatkan adanya keadaan keadaan tertentun yang menghendakinya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ustadz Yasid bin Abdul Qadir Jawas:b ahwa ada beberapa keadaan di mana me;lakukan amar ma’ruf nahi munkar yang hukum asalnya fardhu kifayah berubah fardhu ain bagi setiap muslim, sesuai dengan yang dikatakan oleh Iman an-Nawawi rahimahullaah : “ Sesungguhnya amar ma’ruf nahi munkar adalah fardu kifayah kemudian terkadang menjadi fardhu ‘ain jika pada suatu keadaan dan kondisi tertentu tidak ada yang mengetahuinya kecuali dirinya.
Disebutkan pula oleh Imam An- Nawawi rahimahullaah : “ Kemudian ia ( amar ma’ruf nahi munkar ) menjadi Fardu ain, jika tidak mungkin dihilangklan oleh dirinya sendiri, seperti orang (suami) yang melihat isterinya, atau anaknya , atau hamba sahayanya yang berada dalam kemungkaran atau menyepelekan perbuatan yang ma’ruf.

Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas juga mengutip dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah , beliau berkata : “ (amar ma’ruf nahi munkar)
berubah menjadi fardu ‘ain atasorang yang sanggup melakukan nya dimana orang lain tidak sanggup melakukannya .”

Sedangkan Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdullah bin Baaz rahimahullaah yang dikutip oleh Ustadz Yazid bin AbdulQadir Jawas berpendapat bahwa amar ma’ruf nahi munkar menjadi fardhu ain ketika terjadi perubahan keadaan, dimana beliau berkata : “ Maka ketika sedikitnya para da’i, ketika banyaknya kemungkaran, dan ketika kebodohan telah berkuasa seperti keadaan kita sekarang ini maka dakwah menjadi fardhu’ain atas setiap orang sesuai dengan kemampuannya.

Amar ma’ruf nahi munkar dilakukan bukan tergantung kepada besar atau kecilnya kebaikan yang dianjurkan atau kemudharatan yang dicegah, tetapi harus dilihat kepada kepentingannya. Sekecil apapun yang namanya kebaikan pasti akan memberkin manfaat yang dapat dirasakan oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung, apalagi yang sifatnya lebih besar, tentu manfaatnya pun besar pula bagi kemaslahatan umat manusia.Begitu pula halnya dengan mencegah kemunkaran, tidak dilihat kepada besar atau kecilnya kemunkaran yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok, karena sekecil apapun kemunkaran itu pasti akan berujung kepada kemudharan bagi manusia, baik dia secara langsung ataupun tidak langsung. Meskipun kelihatannya kemunkaran yang terjadi itu bersifat kemunkaran kecil tetapi apabila dia dibiarkan, maka akan berkembang membesar. Maka dampaknya pun akan sangat berisiko.Sehingga kemunkaran sejak dini harus dicegah. Lagi-lagi kemunkaran yang berhubungan dengan hak-hak Allah Subhanahu Wata’ala, janganlah dilihat atas besar kecilnya kemunkaran yang diperbuat, tetapi harus dilihat siapa yang dimaksiati. Sekecil apapun kemunkaran yang berkaitan dengan hak-hak Allah Subhananu Wata’ala maka ia tetap merupakan sebuah kemaksiatan yang akan mengakibatkan balasan hukuman yang setimpal karena dosa-dosanya.

Sejalan dengan kewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar baik ia sebagai fardhu kifayah maupun sebagai fardhu ‘ain, ada sebuah hadits yang menyatakan tentang bagaimana penanganan sebuah kemunkaran yang dilakukan berdasarkan kemampuan dan kekuatan yang melakukan pencegahan tersebut.


Hadits riwayat Abu Daud dari Abu Sa’id al-Khudri radhyallaahu ‘anhu. Ia berkata aku mendengar Rasullullah shalalahu ‘alaihi wasallam bersabda :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ وَهَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ رَجَاءٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَعَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مُنْكَرًا فَاسْتَطَاعَ أَنْ يُغَيِّرَهُ بِيَدِهِ فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ وَقَطَعَ هَنَّادٌ بَقِيَّةَ الْحَدِيثِ وَفَّاهُ ابْنُ الْعَلَاءِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ بِلِسَانِهِ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ

: "Barangsiapa dari kalian melihat kemungkaran lalu ia mampu mengubahnya dengan tangan, hendaklah ia ubah kemungkaran tersebut dengan tangannya." Hannad kemudian memotong (tidak melanjutkan) sisa hadits tersebut. Kemudian Ibnul 'Ala melengkapinya, "jika ia tidak mampu hendaklah dengan lisannya, jika tidak mampu dengan lisan hendaklah dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemah iman."

1. Amar Ma’ruf Nahi Mungkar di Lingkungan Keluarga Dekat

Amar Ma’ruf nahi mungkar dilingkungan keluarga dekat merupakan tanggung jawab mutlak orang tua (kepala keluarga) sebagai fardhu ‘ain sehingga dapat diciptakannya kemaslahatan dan dijauhkannya kemudharatan bagi keluarganya. Perintah dilaksanakannya amar ma’ruf nahi munkar sebagai fardu ‘ain, sesuai dengan firman Allah Subhanahu Wata’ala dalam al-Qur’an surah At-Thahrim ( 66) ayat 6 :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.

Berdasarkan ayat tersebut kepada seluruh orang-orang mukmin telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala , tidak saja memelihara diri sendiri dari api neraka tetapi juga berkewajiban memelihara keluarganya dari api neraka dengan cara menyuruh, memberikan peringatan dan menasihati seluruh keluarga untuk melakukan berbagai perbuatan yang mengan kebaikan dalam rangka pendekatan diri kepada Allah Subhanahu Wata’ala, serta menjauhkan segala perbuatan-perbuatan mungkar yang dilarang. Sebagai seorang yang beriman dan sekaligus bertindak selaku kepala keluarga, maka ia dituntut tanggung jawab secara pribadi melakukan amar ma’ruf nahi munkar bagi dirinya sendiri, kemudian untuk keluarga yang yang berada dalam tanggungannya serta keluarga lainnya yang terdekat.

Dalam al-Qur’an surah Thahaa ( 29 ) ayat 132 Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan agar, setiap orang menyuruh keluarganya mengerjakan shalat :

وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نَّحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلتَّقْوَى

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu, Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.

Ayat tersebut secara tegas menetapkan agar kepada setiap orang-orang beriman memerintahkan keluarganya mendiri shalat sebagai bentuk pengabdian dan pengakuan seorang hamba kepada Sang Maha Penciptanya, dan selebihnya adalah bagian dari amar ma’ruf nahi mungkar.

Berlandaskan kepada dua ayat al-Qur’an tersebut yang lebih dilengkapi lagi dengan hadits riwayat Abu Daud yang telah disebutkan diatas,maka kepada setiap orang yang mempunyai kewenangan fardhu ‘ain dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar dilingkungan keluarga/kerabat dekatnya, seperti anak, saudara,isteri, orang tua, suami wajib di melakukan tindakan fisik. Sebagai contoh apabila menemukan anak atau saudara yang meminum minuman keras maka boleh dilakukan tindakan fisik seperti memecahkan botol ninuman keras tersebut dan membuangnya,bahkan kalau perlu memukulnya sebagai tindakan hukuman. Tentunya tindakan fisik itu sebelumnya telah didahului dengan pemberian nasihat, namun bila tidak diindahkan barulah dilakukan tidakan yang bersifat fisik. Sehingga keluarga terselamatkan dari neraka.

Sebelum melakukan amar ma’ruf nahi munkar kepada pihak lain ( dalam hal ini seluruh keluarga ) maka terlebih dahulu sipelaku amar ma’ruf nahi munkar yang telah mendahului dibanding yang lainnya dalam melakukan segala bentuk kebaikan dan menjauhi setiap hal-hal yang munkar, sekecil apapun kemunkaran tersebut. Sehingga yang bersangkutan dapat dijadikan contoh teladan oleh yang lainya.

Peranan orang tua dalam ber-amar ma’ruf dan nahi munkar di dalam keluarga atau rumah tangga memegang kunci dalam diraihnya kemaslahatan dan terhindarkannya keluarga dari segala bentuk kemudharatan. Orang tua sebagai figur ditengah keluarga sejak dini sudah harus membangun, mengembangkan dan membina akhlak seluruh anggota keluarganya. Kemudian mengarahakan, menggerakkan dan mengawasi bagaimana anggota keluarganya melakukan segala hal yang mengandung nilai-nilai keb aikan serta menjauhi segala halyang dilarang.

Melakukan amar ma’ruf nahi munkar bagi anggota keluarga terutama dilakukan dengan memberikan ilmu yang bermanfaat dengan menomor satukan pendidikan agama, kemudian barulah diperintahkan untuk menuntut ilmu dunia. Bukan sebaliknya, sebagaimana yang telah lumrah terjadi sekarang ini, dimana pendidikan agama bagi anggota keluarganya dinomor duakan dan tidak mendapatkan perhatian. Sehingga setelah beranjak dewasa wajarlah kalau anggota keluarganya tidak atau kurang memiliki dasar-darar keagamaan sesuai dengan tuntunan al-Qaur’an dan as-Sunnah.

Perlu mendapat perhatian penting, bahwa apabila ditemui adanya suatu kemunkaran didalam rumah tangga atau keluarga terdekat wajib untuk dihindarkan menggunakan kaidah hanya sekedar pengingkaran dalam hati saja, tetapi harus lah digunakan menthode secara lisan dalam bentuk pemberian nasihat, arahan dan petunjuk yang diikuti dengan langkah penindakan dengan fisik berdasarkan kekuasaan dan hak serta tanggung yang ada selaku orang tua. Karena sikap membiarkan terjadinya kemunkaran serta hanya mengingkarinya dengan hati, merupakan gambaran selemah-lemahnya iman. Lebih jauh lagi merupakan sebuah dosa selaku orang tua yang akan dimintakan pertanggungan jawabnya kelak dikemudian hari oleh Allah Subhanahu Wata’ala.


Mengingat setiap individu mukmin adalah bagian dari anggota masyarakat muslim dalam skala luas, maka berarti setiap amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan oleh masing-masing individu muslim di lingkungan keluarganya, merupakan sumbangan yang sangat penting dan strategis dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar ditengah-tengah masyarakat muslim. Yang semuanya akan bermuara pada terciptanya kemaslahatan dan dijauhkannya segala bentuk kemungkaran ditengah-tengah masyarakat yang ujung-ujungnya akan diperolehlah ridha Allah Ta’ala.

Wallaahu Ta’ala ‘alam
( Bersambung pada Bag. Ketiga)

Sumber bacaan “
1.Al-Qur’an dan terjemahan .
2.Hadits kitab 9 Imam CDHK 91 Ver.1.2 Lidwa Pusaka.
3. Ihya Ulumiddin, Imam A-Ghazali.
4.Tazkiyatun Nafas .Szyaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
5.Riyadhus- Shalihin, Imam Nawawi
6.Tanbihul Ghafilin ,Ibnu Qudamah.
7.Ayat-ayat Larangan dan Perintah dalam Al-Qur’an, K.H Qomarudin
8.AmarMa’ruf Nahi Munkar Menurut Ahlus Sunnah wa Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas.

Selesai ditulis , hari Arba, ba’da shubuh, 6 Syawal 1431 H/15 September 2010.