M U K A D D I M A H

M U K A D D I M A H : Sesungguhnya, segala puji hanya bagi Allah, kita memuji-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kami serta keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tak ada yang dapat menyesatkannya. Dan Barang siapa yang Dia sesatkan , maka tak seorangpun yang mampu memberinya petunjuk.Aku bersaksi bahwa tidak ada Rabb yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, yang tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam adalah hamba dan utusannya.

Rabu, 20 Juli 2011

BUKTIKAN CINTAMU KEPADA RASUL DENGAN MENGIKUTI SUNNAHNYA,BUKAN DENGAN MENYANYIKAN SHALAWAT DAN KASIDAH BID'AH KARANGAN ULAMA


By : Musni Japrie al-Pasery

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surah al-Maidah ayat 3 yang artinya :

-
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah [394], daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya [395], dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah [396], (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini [397] orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa [398] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Dari ayat tersebut diatas maka para sahabat,tabi’in,tabi’ut tabi’in dan seluruh ulama salaf memaknai dan menafsirkan bahwa agama islam sejak turunnya ayat tersebut telah disempurnakan oleh Allah Subhana wa ta’ala. Al-Qur’an sebagai kumpulan kalamullah telah secara rinci dan lengkap untuk dijadikan panduan dasar umat islam dalam menjalani hidupnya. Tidak ada satupun yang tertinggal.
Ayat tersebut diperkuat lagi dengan hadits Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam yang artinya :
Dari Muththalib bin Hanthab : Sesungguhnya Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam telah bersabda : “ Tidak aku tinggalkan sesuatupun/sedikitpun juga apa-apa yang Allah telah perintahkan kepada kamu, melainkan sesungguhnya telah aku perintahkan kepada kamu. Dan tidak aku tinmggalkan kepada kamu sesuatupun/sedikit pun juga apa-apa yang Allah telah larang/cegah kamu (mengerjakannya), melainkan sesungguhnya telah aku larang kamu dari mengerjakannya. “( Hadits ini di keluarkan oleh asy-Syafi’iy di kitabnya ar Risalah dan B ahaiqiy dikitab Sunannya
.
Dari riwayat yang shahih bahwa seorang yahudi pernah berkata kepada salah seorang sahabat Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam, bahwa agama islam itu sangat lengkap sampai-sampai cara beristinja’ pun diajarkan.
Dari riwayat tersebut sangat jelas tersirat makna bahwa hal yang kecil/sepele saja seperti beristinja’ setelah membuang hajat besar diajarkan apalagi hal-hal yang prinsif seperti yang berkaitan dengan aqidah dan ibadah tentu lebih jelas dan lengkap lagi.
Dari ayat al-Mai’dah dan hadits tersebut diatas secara terang dan bukti memberikan penjelasan kepada kita,bahwa agama kita ini( al-Islam) telah sempurna.Sehingga dia tidak memerlukan segala bentuk tambahan dan pengurangan sedikitpun juga.
Sebagai umat islam yang mengakui bertauhid kepada Allah dan mengakui Muhammad Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam sebagai nabi dan rasul panutan kita maka kewajiban kita untuk ta’at dan mencintai beliau.
Tidak ada cara dan alternatif lain yang wajib ditempuh setiap insan muslim selain mematuhi apa yang diperintahkan dan dilarang oleh Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam, sebagaimana yang sering disebut-sebutkan yaitu as-sunnah Rasul.
Allah berfirman :
Katakanlah,jika kalian benar-benar mencintai Allah,maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi kalian dan akan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Allah Maha Pengampun lagiMaha Penyayang “ ( QS.Ali Imran : 31 )

Diantara larangan-larangan yang wajib dipatuhi oleh seorang muslim adalah larangan berbuat bid’ah, sebagaimana yang disebutkan dalam sabda Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam :
Dari ‘Aisyah, ia b erkata : telah bersabda Rasulullah shallalahu’alaihi wasallam : “ Barang siapa yang mengadakan di dalam urusan (agama) Kami ini apa-apa yang tidak ada dariya,maka tertolak dia “( HR. Bukhari,. Muslim dll )
Selain dari itu ada pula hadits kedua :
Dari ‘Aisyah ia berkata : “ Telah bersabda Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam : “ Barang siapa yang mengerjakan sesuatu amal yang tidak
Ada keterangannya dari kami ( Allah dan Rasul-Nya), maka tertolaklah amalnya it
u. (HR. Muslim)

Bid’ah adalah hal yang baru dalam agama setelah agama itu sempurna . Atau sesuatu yang dibuat-buat setelah wafatnya Nabi shallalahu’alahi wa sallam berupa keinginan nafsu dan amal perbuatan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengungkapkan bahwa : “ Bid’ah dalam islam, adalah : segala yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya,yakni yang tidak diperintahkan baik dalam wujud perintah wajib atau berbentuk anjuran “
Sedangkan Imam Asy-Syathibi rahimahullah menyebutkan bahwa :” Bid;ah itu adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuk menyerupai ajrahn syari’at yang ada, tujuannya dilaksanakannya adalah untuk b erlenih-lebihan dalam ibadah kepada Allah “

Beberapa akhli sejarah islam menulis bahwa setelah generasi Tabi’ut tabi’in mulailah muncul perbuatan bid’ah yang terus berkembang hingga sekarang ini.Berbagai ragam bentuk bid’ah yang dibuat dan dilakukan oleh para akhli pembuat bid’ah yang kemudian diikuti oleh umat yang awam, antara lain bagaimana cara menunjukkan kecintaan kepada aaaRasulullah shallalahu’alaihi wa sallam yang dituangkan dalam bentuk sya’ir-sya’ir shalawat karangan para ulama yang dinyanyikan dengan lagu-lagu bahkan dengan menggunakan gendang dan alat musik lainnya. Dimana-mana, dan hampir disetiap tempat dan pelosok seluruh penjuru terdapat organisasi yang mereka namakan shalawatan,tidak ketinggalan banyak majelis ta’lim memulai acaranya dengan mengumandang shalawat-shalawat karangan ulama tersebut. Bahkan dimasjid-masjid dan langgar pada saat menyelenggaran peringatan-peringatan Mualid dan Isra Mi’raj memeriahkan acaranya dengan mengundang group shalawatan dan kasidahan.
Islam memang betul telah mensya’riatkan kepada umatnya untuk bershalawat kepada Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam, sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikatnya-Nya bershalawat kepada kepada Nabi. Wahai orangh-orang yang beriman,bershalawatlah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah sdalam penghormatan kepada beliau
( QS. Al-Ahzab : 56)

Karena Allah telah memerintahkan umat-Nya untuk bershalawat, maka Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam telah pula mengajarkan bacaan/ucapan shalawat yang benar.Dan yang paling afdhal adalah sebagaimana yang beliau ajarkan kepada para sahabat yaitu yang sering dibaca dalam sholat pada saat tahyat.

Shalawat dan kasidah yang dikarang/diciptakan oleh beberapa orang ulama dikatakan bid’ah karena tidak sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah, selain dari itu didalam shalawat/kasidah karangan tersebut banyak kalimat yang berlebihan memuji Rasulullah sebagai pengkultusan dan bahkan mensetarakan kedudukan beliau dengan Allah, dan ini sebuah kesyirikan . Padahal Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam b ersabda :
Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku seperti orang-orang Nasrani memuji Isa bin Maryam. Karena aku hanyalah sehorang hamba (Allah). Maka katakanlah (bahwa aku ini) hamba Allah dan Rasul-Nya “(HR. Bukhari)

Shalawat/kasidah yang dikarang ulama tersebut dikatakan bid’ah karena menyalahi as-sunnah, dimana Rasulullah shallahu’alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umatnya dalam melakukan ibadah dilakukan dengan menggunakan bacaan shalawat dan kasidah sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang seperti sekarang ini.

Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam dalam banyak hadits yang shahih mengajarkan dan memerintahkan banyak hal yang harus diikuti oleh umatnya. Harusnya sunah Rasulullah tersebutlah yang diikuti dan dilaksanakan, karena dengan mengikuti sunah Rasulullah shallalahu’alaihi wa sallam tersebut akan mendapatkan pahala.
Perbuatan mengikuti sunah seperti memelihara jenggot dan memotong kumis bagi kaun lelaki, sholat berjama’ah ke masjid, tidak meniru-niru atau mencontoh atau menyerupai kebiasaan umat lain ( tasyabbuh ) dan banyak yanmg lainnya lagi, jauh lebih bermanfaat dari pada menyanyikan shalawat dan kasidah bid’ah, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan dosa.
Rasulullah shallalahu’alahi wa sallam bersabda :
Amma ba’du ! Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataanadalah Kitabullah ( al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallalahu’alaihi wa sallam. Dan sejelek-jelek urusan adalah yang baru (muhdats) dn setiap muhdats adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan tempatnya di neraka.

Wallahu ‘alam

Ba'da ashar 21 Sya'ban 1432/20 Juli 2010

Sumber bacaan : 1. Al-Qur’an dan Terjemahan

2. Risalah bid’ah oleh Abdul Hakim bin Amir Abdat

3. Al-Firqotun Najiyah Jalan Hidup Golongan Yang
Selamat oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

4. Mengupas Sunnah Membedah Bid’ah oleh Dr. Said
Bin Ali bin Wahf al-Qahtani.
5. Mantan Kiai NU menggugat Sholawat & Dzikir Syirik

Jumat, 15 Juli 2011

Hukum Upcara Peringatan Malam Nisfu Sya'ban

* Beranda
* Buku Tamu
* Download E-book


Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Segala puji hanyalah bagi Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya bagi kita, dan mencukupkan nikmat-Nya kepada kita, semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam pengajak ke pintu tobat dan pembawa rahmat.

Amma ba’du:

Sesungguhnya Allah telah berfirman:

“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu.” [Al-Maidah :3]

“Artinya : Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridhoi Allah? Sekirannya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka sudah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang pedih.” [Asy-Syura' : 21]

Dari Aisyah radhiallahu ‘anha dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak.”

Dalam lafazh Muslim: “Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama), maka ia tertolak.”

Dalam Shahih Muslim dari Jabir radhiallahu ‘anhu bahwasanya Nabi pernah bersabda dalam khutbah Jum’at: Amma ba’du, sesungguhnya sebaik- baik perkataan adalah Kitab Allah (Al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, dan sejahat-jahat perbuatan (dalam agama) ialah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah (yang diada-adakan) itu adalah sesat.”

Masih banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, hal mana semuanya menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama ini untuk umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat- Nya bagi mereka; Dia tidak mewafatkan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam kecuali sesudah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umat dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun pengamalan. Beliau menjelaskan segala sesuatu yang akan diada-adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbahkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan maupun perbuatan, semuanya itu bid’ah yang tertolak, meskipun niatnya baik. Para shahabat dan ulama’ mengetahui hal ini, maka mengingkari perbuatan-perbuatan bid’ah dan memperingatkan kita darinya. Hal itu disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang pengagungan sunnah dan pengingkaran bid’ah, seperti Ibnu Wadhdhoh Ath Tharthusyi dan Abu Syaamah dan lain sebagainya.

Di antara bid’ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid’ah mengadakan upacara peringatan malam Nisfu Sya’ban dan mengkhususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran, ada hadist-hadits tentang fadhilah malam tersebut tetapi hadits-hadits tersebut dlaif sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan shalat pada hari itu adalah maudhu’. Dalam hal ini, banyak di antara para ‘ulama yang menyebutkan tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan pengkhususan puasa dan fadhilah shalat pada hari Nisfu Sya’ban, selanjutnya akan kami sebutkan sebagian dari ucapan mereka. Pendapat para ahli Syam di antaranya Hafizh Ibnu Rajab dalam bukunya “Lathaiful Ma’arif” mengatakan bahwa perayaan malam Nisfu Sya’ban adalah bid’ah dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya lemah. Hadits-hadits lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits-hadits shahih, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya’ban tidak ada dasar hadits yang shahih sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits- hadits dhaif. Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini dan kami akan menukil pendapat para ahli ilmu kepada sidang pembaca sehingga masalahnya menjadi jelas; para ulama’ telah bersepakat bahwa merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan segala apa yang diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnan Rasul (Al-Hadits), apa saja yang telah digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah satu daripadanya, maka wajib diikuti dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka harus ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah yang belum pernah disebutkan adalah bid’ah; tidak boleh dikerjakan apabila mengajak untuk mengerjakannya atau memujinya.

Allah berfirman dalam surat An-Nisaa’:

“Artinya : Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemimpin-pemimpin) di antara kamu, maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisaa': 59]

“Artinya : Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka keputusannya (terserah) kepada Allah (yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Tuhanku. Kepada-Nyala aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” [Asy-Syuraa: 10]

“Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya.” [An-Nisaa' : 65]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur’an yang semakna dengan ayat- ayat di atas, ia merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan agar supaya masalah-masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Hadits, selain mewajibkan kita agar rela terhadap hukum yang ditetapkan oleh keduanya (Al-Qur’an dan Hadits).

Demikianlah yang dikehendaki oleh Islam, dan merupakan perbuatan baik bagi seorang hamba terhadap Tuhannya, baik di dunia atau di akherat nanti, sehingga pastilah ia akan menerima balasan yang setimpal.

Dalam pembicaraan masalah malam Nisfu Sya’ban Ibnu Rajab berkata dalam bukunya “Lathaiful Ma’arif”, “Para Tabi’in dari ahli Syam (Syiria, sekarang) seperti Khalid bin Ma’daan, Makhul, Luqman dan lainnya pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam Nisfu Sya’ban kemudian orang- orang berikutnya mengambil keutamaan dan pengagungan itu dari mereka.

Dikatakan bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya cerita-cerita israiliyat, tatkala masalah itu tersebar ke penjuru dunia, berselisihlah kaum muslimin; ada yang menerima dan menyetujuinya ada juga yang mengingkarinya. Golongan yang menerima adalah Ahli Bashrah dan lainnya sedang golongan yang mengingkarinya adalah mayoritas ulama Hijaz (Saudi Arabia, sekarang), seperti Atha’ dan Ibnu Abi Malikah dan dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bi Aslam dari fuqaha’ Madinah, yaitu ucapan Ashhabu Malik dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa semua perbuatan itu bid’ah. Adapun pendapat ulama’ ahli Syam berbeda dalam pelaksanaannya dengan dua pendapat:

[1]. Menghidup-hidupkan malam Nisfu Sya’ban dalam masjid dengan berjamah adalah mustahab (disukai Allah). Dahulu Khalid bin Ma’daan dan Luqman bin Amir memperingati malam tersebut dengan memakai pakaian paling baru dan mewah, membakar menyan, memakai celak dan mereka bangun malam menjalankan shalatul lail di masjid. Ini disetujui

oleh Ishaq bin Ruhwiyah, ia berkata: “Menjalankan ibadah di masjid pada malam itu secara jamaah tidak bid’ah.” Hal ini dicuplik oleh Harbu Al-Kirmany.

[2]. Berkumpulnya manusia pada malam Nisfu Sya’ban di masjid untuk shalat, bercerita dan berdo’a adalah makruh hukumnya, tetapi boleh jika menjalankan shalat khusus untuk dirinya sendiri. Ini pendapat Auza’iy Imam Ahlu Syam, sebagai ahli fiqh dan cendekiawan mereka. Insya Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran, sedangkanpendapat Imam Ahmad tentang malam tentang malam Nisfu Sya’ban ini,tidak diketahui.”

Ada dua riwayat sebagai sebab cenderungnya diperingati malam Nisfu Sya’ban, dari antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua malam hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Dalam satu riwayat berpendapat bahwa memperingati dua malam hari raya dengan berjamaah adalah tidak disunnahkan, karena hal itu belum pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya. Riwayat lain berpendapat bahwa malam tersebut disunnahkan, karena Abdurrahman bin Yazid bin Aswad pernah mengerjakannya, dan ia termasuk tabi’in, begitu pula tentang malam Nisfu Sya’ban, Nabi belum pernah mengerjakannya atau menetapkannya, termasuk juga para sahabat, itu hanya

ketetapan dari golongan tabi’in ahli fiqih Syam. Demikian maksud dari Al-Hafizh Ibnu Rajab (semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya).

Ia mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam Nisfu Sya’ban ini, baik itu dari Nabi maupun dari para shahabat. Adapun pendapat Imam Auza’iy tentang bolehnya (istihbab) menjalankan shalat pada malam hari itu secara individu dan penukilan Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam pendapatnya itu adalah gharib dan dhaif, karena segala perbuatan syariah yang belum pernah ditetapkan oleh dalil-dalil syar’iy, tidak boleh bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada- adakannya dalam Islam, baik itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif, baik itu dikerjakan secara sembunyi-sembunyi ataupun terang- terangan, sebab keumuman hadits Nabi:

“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan (dalam agama) yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.”

Dan banyak lagi hadits-hadits yang mengingkari perbuatan bid’ah dan memperingatkan agar dijauhi.

Imam Abubakar Ath-Thurthusyiy berkata dalam bukunya, “Al-Hawadits wal Bida”, “Diriwayatkan oelh Wadhdhah dari Zaid bin Aslam berkata: kami belum pernah melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqih kami yang menghadiri perayaan malam Nisfu Sya’ban, tidak mengindahkan hadits Makhul (dhaif) dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam-malam lainnya. Dikatakan kepada Ibnu Malikah bahwasanya Ziad An Numairiy berkata: Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam Nisfu Sya’ban menyamai pahala Lailatul Qadar. Ibnu Malikah menjawab: Seandainya saya mendengarnya sedang di tangan saya ada tongkat, pasti saya pukul. Ziad adalah seorang penceramah. Al-’Allaamah Syaukani menulis dalam bukunya, Al-Fawaaidul Majmu’ah, sebagai berikut: Hadits:

“Wahai Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam Nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat; ia membaca setiap rakaat Al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya… dan seterusnya.”

Hadits ini adalah maudhu’, pada lafazh-lafazhnya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu’ dan perawi-perawinya majhul.

Dalam kitab “Al Mukhtashar” Syaukani melanjutkan : Hadits yang menerangkan shalat Nisfu Sya’ban adalah batil. Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali radhiallahu ‘anhu: Jika datang malam Nisfu Sya’ban bershalat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah dhaif. Dalam buku Allaali’ diriwayatkan bahwa: Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam Nisfu Sya’ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat. Hadits riwayat Ad Dailamiy,

hadits ini maudhu’ tetapi mayoritas perawinya pada jalan ketiga majhul dan dhaif (leman). Imam Syaukani berkata: Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu’. Dan hadits empat belas rakaat … dan seterusnya adalah maudhu’ (tidakbisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent).

Para fuqaha’ banyak tertipu dengan hadits-hadits di atas, seperti pengarang Ihya’ Ulumuddin dan lainnya juga sebagian dari mufassirin. Telah diriwayatkan bahwa, shalat pada malam ini, yakni malam Nisfu Sya’ban yang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia itu, semuanya adalah bathil/tidak benar dan haditsnya adalah maudhu’.

Anggapan itu tidak bertentangan dengan riwayat Tirmidzi dari hadits Aisyah bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pergi ke Baqi’ dan Tuhan turun ke langit dunia pada malam Nisfu Sya’ban untuk mengampuni dosa sebanyak jumlah bulu domba dan bulu kambing. Sesungguhnya perkataan tersebut berkisar tentang shalat pada malam itu, tetapi hadits Aisyah ini lemah dan sanadnya munqathi’ (terputus) sebagaimana hadits Ali yang telah disebutkan di atas mengenai malam Nisfu Sya’ban, jadi dengan jelas bahwa shalat malam itu juga lemah dasarnya.

Al-Hafizh Al-Iraqi berkata: Hadits (yang menerangkan) tentang shalat Nisfu Sya’ban maudhu’ dan pembohongan atas diri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Dalam kitab Al Majmu’, Imam Nawawi berkata: Shalat yang sering kita kenal dengan shalat Raghaib ada (berjumlah) dua belas raka’at dikerjakan antara Maghrib dan Isya’ pada malam Jum’at pertama bulan Rajab; dan shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya’ban. Dua shalat itu adalah bid’ah dan mungkar. Tak boleh seseorang terpedaya oleh kedua hadits itu hanya karena telah disebutkan di dalam buku Quutul Quluub dan Ihya’ Ulumuddin. Sebab pada dasarnya hadits-hadits tersebut batil (tidak boleh diamalkan). Kita tidak boleh cepat mempercayai orang-orang yang menyamarkan hukum bagi kedua hadits, yaitu dari kalangan Aimmah yang kemudian mengarang lembaran-lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits, dengan demikian berarti salah kaprah.

Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman Ibnu Ismail al Muqadaasiy telah mengarang sebuah buku yang berharga; Beliau menolak (menganggap batil) kedua hadits (tentang malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab), ia bersikap (dalam mengungkapkan pendapatnya) dalam buku tersebut, sebaik mungkin. Dalam hal ini telah banyak pengapat para ahli ilmu; maka jika kita hendak memindahkan pendapat mereka itu, akan memperpanjang pembicaraan kita. Semoga apa-apa yang telah kita sebutkan tadi, cukup memuaskan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendapat sesuatu yang haq.

Dari penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa hadits serta pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan malam Nisfu Sya’ban dengan pengkhususan shalat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya dengan puasa; itu semua adalah bid’ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya dalam syariat ini (Islam), bahkan hanya merupakan pengada-adaan saja dalam Islam setelah masa hidupnya

para shahabat radhiallahu ‘anhu. Marilah kita hayati ayat Al-Qur’an di bawah:

“Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu.”[Al-Maidah : 3]

Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat di atas.

Selanjutnya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengada-adakan sesuatu perkara dalam agama (sepeninggalku), yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak.”

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah pernah bersabda:

“Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum’at daripada malam-malam lainnya dengan suatu shalat, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang hariny autk berpuasa daripada hari-hari lainnya, kecuali jika (sebelumnya) hari itu telah berpuasa seseorang di antara kamu.” [Hadits Riwayat. Muslim]

Seandainya pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu dibolehkan oleh Allah, maka bukanlah malam Jum’at itu lebih baik daripada malam-malam lainnya, karena pada hari itu adalah sebaik-baik hari yang disinari matahari? Hal ini berdasarkan hadits-haditsRasulullah yang shahih. Tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk mengkhususkan shalat pada malam hari itu daripada malam lainnya, hal itu menunjukkan bahwa pada malam lain pun lebih tidak boleh dikhususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shahih yang mengkhususkannya/menunjukkan atas kekhususannya. Menakala malam Lailatul Qadar dan malam-malam blan puasa itu disyariatkan supaya shalat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu. Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada umatnya agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga mengerjakannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau bersabda:

“Artinya : Barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada bulan Ramadhan dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat.” [Muttafaqun 'alaih]

Jika seandainya malam Nisfu Sya’ban, malam Jum’at pertama pada bulan Rajab, serta malam Isra’ Mi’raj diperintahkan untuk dikhususkan dengan upacara atau ibadah tentang, pastilah Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam menunjukkan kepada umatnya atau beliau menjalankannya sendiri. Jika memang hal itu pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para shahabat kepada kita; mereka tidak akan menyembunyikannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang paling banyak memberi nasehat setelah para nabi.

Dari pendapat-pendapat ulama’ tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah ataupun dari para shahabat tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban dan malam Jum’at pertama pada bulan Rajab. Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan dengan ibadah tentang adalah bid’ah mungkar; sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra’ dan Mi’raj, begitu juga tidak boleh dikhususkan dengan ibadah- ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan ibadah-ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan upacara-upacara ritual, berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan tadi.

Demikianlah, maka jika anda sekalian sudah mengetahui, bagaimana sekarang pendapat anda? Yang benar adalah pendapat para ulama’ yang menandaskan tidak diketahuinya malam Isra’ dan Mi’raj secara tepat. Omongan orang bahwa malam Isra dan Mi’raj itu jatuh pada tanggal 27 Rajab adalah batil, tidak berdasarkan pada hadits-hadits shahih. Maka benar orang yang mengatakan;

“Dan sebaik-baik suatu perkara adalah yang telah dikerjakan oleh para salaf, yang telah mendapat petunjuk. Dan sehina-hina perkara (dalam agama), yaitu perkara yang diada-adakan berupa bid’ah-bid’ah.”

Allahlah yang bertanggung jawab untuk melimpahkan taufiq-Nya kepada kita dan kaum muslimin semua, taufiq untuk tetap berpegang teguh dengan sunnah dan konsisten di atasnya, serta waspada terhadap hal-hal yang bertentangan dengannya, karena hanya Allah yang terbaik dan termulia.

Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada hamba-nya dan Rasul-Nya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam begitu pula atas keluarga dan para shahabat beliau. Amiin.

[Disalin dari kitab Waspada Terhadap Bid’ah Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerjemah Farid Ahmad Oqbah, Riyadh: Ar-Raisah Al-'Ammah li-IdaratiAl-Buhuts Al-'Ilmiah wa Al-Ifta' wa Ad-Da'wah wa Al-Irsyad, 1413 H]

Sumber http://www.almanhaj.or.id

Selasa, 12 Juli 2011

Peringatan Malam Nisfu Sya'ban

Sebagian besar umat islam di Indonesia pada saaat dimasukinya tgl 15 Sya'ban tahun hijriyah baik laki-laki,perempuan, dewasa muapun anak-anak datang berbondong-bondong ke masjid atau langgar sambil membawa air untuk melakukan sholat berjama'ah magrib yang kemudian dilanjutkan dengan sholat tasybih berjamaah serta beramai-ramai membaca surah yasin yang dipimpin imam. Pembacaan surah yasin tsb dilakukan 3 kali berulang-ulang yang didahului dengan pembacaan doa untuk minta di
panjangkan umur, kemudian doa dimurahkan rezeki dan dijauhkan dari segala bala.

Uniknya mereka yang jarang atau tidak pernah datang ke masjid untuk sholat berjama'ah setiap hari,pada saat malam nisfu tersebut sengaja meluangkan waktu untuk tidak melewatkan malam nisfu sya'ban yang dianggap memiliki keutamaan.

Betulkah peringatan malam nisfu sya'ban tersebut memiliki keutamaan dan bersesuaiankah dengan sunah Rasulullah shallalahu'alaihi wa sallam, maka silahkan disimak artikel berikut ini :

Malam Nisfu Sya’ban dan mengkhususkan puasa pada hari tersebut, hingga saat ini masih membudaya di sebagian kaum muslimin. Padahal tidak ada satu pun dalil shahih yang dapat dijadikan sandaran. Berikut ini adalah penjelasan dari Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz Rahimahullaah berkenaan dengan peringatan tersebut, semoga bermanfaat.

Memang ada beberapa riwayat tentang malam Nisfu Sya’ban berasal dari sebagian salaf ahli Syam dan lainnya. Namun pendapat yang dianut jumhur (mayoritas) ulama’ bahwa peringatan malam Nisfu Sya’ban adalah bid’ah dan hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaannya semuanya dha’if, dan sebagian lagi maudhu’.

Di antara ulama yang memperi-ngatkan hal tersebut yaitu Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam kitab Latha’iful Peringatan Malam Nisfu Sya’ban
Peringatan Ma’arif dan ulama’ lainnya.

Hadits-hadits dha’if (lemah)hanya bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh dalil yang shahih. Adapun peringatan malam Nisfu Sya’ban tidak ada hadits shahih yang mendasari hadits-hadits yang dha’if, itu agar dapat dijadikan sebagai pendukungnya.

Kaidah agung ini telah disebutkan oleh Imam Abul Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullaah .

Berikut ini akan kami sampaikan kepada para pembaca pendapat para ahli ilmu dalam hal ini, sehingga masa-lahnya menjadi jelas. Para ulama, telah sepakat bahwa wajib mengembalikan segala masalah yang diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah (Al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam. Ibadah apa pun yang tidak disebutkan oleh keduanya adalah bid’ah, tidak boleh dikerjakan, apalagi mengajak un-tuk mengerjakannya atau memujinya.

Firman Allah Subhannahu wa Ta'ala ,

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa’: 59)

“Tentang sesuatu apa pun kamu berseli-sih, maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itu Allah Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (Asy-Syura: 10)

“Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” (Ali ‘Imran: 31)

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman, hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa kebera-tan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65).

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna dengan ini. Itu semua merupakan nash yang mewajibkan agar masalah-masalah yang diperse-lisihkan tersebut dikembalikan kepada Al-Qur’an dan hadits.

Mengenai malam Nisfu Sya’ban, Ibnu Rajab dalam kitabnya, Latha’iful Ma’arif mengatakan, “Para tabi’in dari ahli Syam (sekarang Syria, pen) seperti: Khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin Amir dan lain-lainnya, pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam Nisfu Sya’ban, kemudian orang-orang berikutnya mengambil keutamaan dan pengagungan itu dari mereka. Dikatakan pula, bahwa mereka melaku-kan perbuatan demikian karena adanya cerita-cerita Israiliyat (cerita-cerita Bani Israil). Ulama’ ahli Syam pun juga berbeda pendapat di dalam bentuk pelaksanaannya. Ada dua pendapat:

Pertama, dianjurkan menghidupkan malam ini dengan berjama’ah di masjid-masjid. Khalid bin Ma’dan, Luqman bin Amir dan lainnya pada malam ini biasanya mengenakan pakaian yang paling baik, memakai wewangian dan celak, serta mereka bangun malam melakukan shalat di masjid. Ini disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih. Menurutnya, shalat malam secara berjama’ah tidak bid’ah. Hal ini dinukil oleh Harb Al-Karmani dalam kitabnya, Masa’il.

Kedua, adalah makruh berkumpul pada malam ini di masjid untuk shalat, bercerita dan berdoa. Tetapi boleh, jika menjalankan shalat secara sendirian. Ini pendapat Al-Auza’i, seorang imam, ahli fiqih dan ulama’ ahli Syam. Insya Allah pendapat inilah yang lebih mendekati kebenaran. Sedangkan Imam Ahmad tidak diketahui bahwa beliau mempunyai pendapat khusus berkenaan dengan malam Nisfu Sya’ban.

Adapun pendapat Imam Al-Auza’i tentang istihab (dianjurkannya) shalat pada malam itu secara individu, sebagaimana pendapat ini menjadi pilihan Al-Hafizh Ibnu Rajab, maka hal itu adalah aneh dan lemah. Karena segala perbuatan, bila tidak ada dalil syar’i yang menetapkan pensyari’atan-nya, maka tidak boleh bagi seorang muslim mengada-adakannya di dalam Islam, baik itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif (berjama’ah), secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Berdasarkan keumuman sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ,

“Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka (perbuatan) itu tertolak”.

Dan dalil-dalil lainnya yang meng-ingkari perbuatan bid’ah dan memperi-ngatkan agar dijauhi.

Imam Abu Bakar Ath-Thurthusyi Rahimahullaah dalam kitab-nya, Al-Hawadits wal Bida’ mengatakan, “Diriwayatkan oleh Ibnu Wadhdhah dari Zaid bin Aslam, katanya, ‘Kami tidak menjumpai seorang pun dari guru dan ahli fiqh kami yang memperhatikan malam Nisfu Sya’ban, ataupun mengindahkan hadits Makhul. Mereka pun tidak memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam-malam lainnya. Dikatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah bahwa Zaid An-Numari menyatakan, ‘Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam Nisfu Sya’ban menyamai pahala Lailatul Qadar.’ Ia pun berkata, “Seandainya saya men-dengarnya sedang di tangan saya ada tongkat pasti saya pukul. Zaid adalah seorang pendongeng.”

Al-‘Allamah Asy-Syaukani Rahimahullaah dalam kitab Al-Fawa’id Al-Majmu’ah menyatakan bahwa hadits,

“Wahai Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam Nisfu Sya’ban sebanyak 100 rakaat, pada setiap rakaat ia membaca Al-Fatihah dan Al-Ikhlash sebanyak 10 kali, pasti Allah memenuhi segala hajatnya …dst.”

Hadits ini adalah maudhu’ (palsu). Lafazh-nya yang menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelaku-nya, tidak diragukan lagi kelemahan-nya, bagi orang yang berakal. Sanadnya pun majhul (tidak dikenal). Telah diriwayatkan dari jalan ke dua dan ke tiga, tetapi kesemuanya maudhu’ dan para periwayatnya adalah orang-orang yang tidak dikenal.”

Di dalam kitab Al-Mukhtashar, Asy-Syaukani menyatakan, “Hadits yang menerangkan shalat Nisfu Sya’ban adalah bathil. Sedangkan hadits,

“Jika datang malam Nisfu Sya’ban, maka bershalatlah pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya”.
Yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Ali adalah dha’if.”

Di dalam kitab Al-La’ali, dinyatakan bahwa hadits “Seratus rakaat pada malam Nisfu Sya’ban dengan ikhlas pahalanya sepuluh kali lipat”, yang diriwayatkan Ad-Dailami, adalah maudhu’ dan mayoritas perawinya pada ketiga jalan hadits ini adalah orang-orang yang majhul dan dha’if. Kata Imam Asy-Syaukani, “Hadits yang menerang-kan bahwa dua belas rakaat dengan ikhlas pahalanya tiga puluh kali lipat, dan hadits empat belas rakaat…dst adalah maudhu’.”

Shalat pada malam Nisfu Sya’ban ini telah diriwayatkan dengan berbagai cara dan banyak jalan, kesemuanya bathil dan maudhu’. Al-Hafizh Al-Iraqi mengatakan, “Hadits yang menerang-kan tentang Nisfu Sya’ban adalah maudhu’ (palsu) dan pendustaan atas diri Rasulullah n.”

Di dalam kitab Al-Majmu’, Imam An-Nawawi Asy Syafi’i menyatakan, “Shalat yang dikenal dengan Ragha’ib yang berjumlah dua belas rakaat dan dikerjakan antara Maghrib dan Isya’ pada Malam Jum’at pertama Bulan Rajab, serta shalat malam Nisfu Sya’ban yang berjumlah seratus rakaat, adalah bid’ah yang mungkar, tak boleh seseorang terperdaya hanya karena kedua shalat ini disebutkan dalam kitab Quutul Qulub dan Ihya’ Ulumiddin, atau karena berdasarkan hadits yang disebutkan dalam kedua kitab ini.

Cukuplah bagi pencari kebenaran dalam masalah ini, juga masalah lainnya, firman Allah Subhannahu wa Ta'ala

Pada hari ini tlah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukup-kan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu sebagai agama bagimu.” (Al-Ma’idah: 3)

Dan ayat-ayat lain serta hadits-hadits yang senada maknanya, seperti sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam ,

“Barangsiapa mengada-adakan (sesuatu hal baru) dalam urusan (agama) kami, yang bukan merupakan ajaran-nya, maka akan ditolak.”
Dalam riwayat Muslim disebutkan,

“Barangsiapa mengerjakan sesuatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka (perbuatan) itu tertolak”.

Dari Jabir Radhiallaahu anhu katanya, “Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam dalam khutbah Jum’at pernah bersabda,

“Adapun sesudahnya, sungguh, sebaik-baik perkataan ialah kitab Allah (Al-Qur’an), sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, dan seburuk-buruk perkara (dalam agama) ialah yang diada-adakan (bid’ah), sedang setiap bid’ah itu kesesatan”.

Diriwayatkan dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu , Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,

“Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum’at dari-pada malam-malam lainnya dengan shalat, dan janganlah kalian mengkhususkan siang harinya daripada hari-hari lainnya dengan puasa, kecuali jika dalam puasa yang mesti (biasa) dilakukan oleh seseorang di antara kalian”

Tatkala Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam melarang pengkhususan shalat pada malam Jum’at daripada malam lainnya, hal itu menunjukkan bahwa pada malam lain lebih tidak boleh dikhususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shahih yang menunjukkan pengkhususan, seperti malam Lailatul Qadar dan malam-malam Bulan Ramadhan.

Andaikata malam Nisfu Sya’ban diperintahkan untuk dikhususkan dengan cara atau ibadah tertentu, pastilah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam memberikan petunjuk kepada umatnya atau beliau sendiri mengerjakannya. Dan jika hal itu memang pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para sahabat kepada kita, mereka tidak akan menyembunyi-kannya, karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang paling tulus setelah para nabi.

Kepada Allah jualah kita memohon, semoga melimpahkan taufik-Nya kepada kita dan kaum muslimin semua untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menetapinya, serta mewaspadai hal-hal yang bertentangan dengannya. Sungguh, Dia Maha Mulia dan Maha Pemberi. Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam , kepada keluarga dan para sahabatnya.

(Dari buku “At-Tahdzir Minal Bida” Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz.)
Di copas dari :
Artikel : Bulein Annur - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits

Senin, 11 Juli 2011

BERSHALAWAT UNTUK RASULULLAH SESUAI DENGAN YANG DIAJARKAN,BUKAN DENGAN SHALAWAT BUATAN ULAMA/TUAN GURU

By : Musni Japrie al-Pasery.

Sejak beberapa tahun terakhir ini banyak majelis mejelis ta’lim terutama di kalangan ibu-ibu menambah aktifitasnya dengan membentuk group shalawat habsyi yang dilengkapi dengan tetabuhan berupa gendang , dan bahkan banyak majelis ta’lim yang merubah samasekali aktifitasnya dengan meninggalkan tujuan awal dibentuknya majelis tsb berupa ta’lim /pengajian tentang agama islam dan hanya memfokuskannya pada kegiatan pada group shalawat habsyi semata.Dimana pada intinya menyanyikan puji-pujian kepada Rasulullah .
Selain dikalangan ibu-ibu, dikalangan remaja putri juga tidak ketinggalan dengan membentuk group kasidahan yang lebih dikenal dengan group rebana .Mereka seakan tidak mau ketinggalan berlomba-lomba menampilkan kebolehannya menembangkan kasidahan, nasyid dan berbagai syair sholawat. Sehingga hingar bingarlah nuansa puji-pujian kepada Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam.
Dalam setiap kesempatan acara yang terkait dengan adanya simbol-simbol islam (keagamaan ) baik yang diselenggarakan oleh keluarga/perorangan seperti pemberian nama ( Tasymiah ) atau peringatan-peringatan hari besar islam ( Maulid dan Isra Mi’raj Rasul, tidaklah ketinggalan group-group sholawat/maulud habsyi dari kalangan wanita/ibu-ibu yang ditampilkan meskipun acaranya diselenggarakan didalam masjid. Mereka tampil dengan pakaian yang menarik dan penuh gaya serta suara keras diselingi dengan suara tetabuhan gendang rebana.
Bertumb uh kembangnya group-group yang menembangkan sholawat/maulud habsyi tersebut tidak lepas dari peran guru-guru/ustazd-ustazd yang mempeloporinya dengan dalih untuk semakin meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah dan berkembangnya syi’ar islam. Dan tentunya ujung dari semua itu adalah akan diperolehnya imbalan pahala di akhirat kelak. Karena adanya anggapan bahwa membaca sholawat/maulud habsyi termasuk bagian dari ibadah.

Timbul pertanyaan apakah membaca sholawat baik yang namanya sholawat habsyi atau sholawat yang namanya bermacam-macam seperti sholawat Nariyah Barzanzi, dllnya itu berdasarkan perintah yang disya’riatkan baik oleh al-Qur’an maupun oleh as-Sunnah.Karena sebagaimana yang diyakini oleh umat islam bahwa agama itu adalah al-qur’an dan as-Sunnah diluar itu selain ijma dan kias adalah hal-hal yang diada-adakan. Sedangkan hal-hal yang diada-adakan dalam agama yang tentunya terkait pula dengan hal-hal yang bersifat ibadah disebut sebagai bid’ah, sedangkan bid’ah terlarang, sesuai dengan sabda Rasullulah shalllahu’alaihi wasallam :
“Barang siapa yang melakukan ibadah yang tidak ada dasarnya dari ajaran kami,maka amalannya tertolak “
Kata kunci yang harus dipegang teguh dimana mengakui Muhammad shallalahu’alaihiwasallam sebagai Rasul, berarti menetapkan hal-hal yang wajib kita lakukan terhadap beliau. Kita harus mengikuti perintah beliau ,menjauhi larangan beliau, mempercayai apa yang beliau kabarkan, dan hanya beribadah dengan cara yang beliau ajarkan.Beribadah tidak dengan cara yang diajarkan oleh Rasulullah shallalahu’alaihi wasallam dengan anggapan bahwa hal itu dibolehkan, adalah penghianatan terhadap beliau.
Imam Malik rahimahullah mengungkapkan , “ Barang siapa yang melakukan perbuatan bid’ah,lalu menganggapnya sebagai amal kebajikan, berarti telah menuduh Nabi telah berhianat terhadap kerasulannya”

Bersholawat kepada Nabi Muhammad Shallalahu’alaihiwasallam itu suatu kewajiban yang ditetapkan dalam al-Qur’an . Allah Subhanawata’ala berfirman yang artinya :
“ Sesungguhnya Allah dan Malaikat-malaikat-Nya bersholawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman , bersholawat lah kalian untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepada beliau (
QS.Al-Ahzab:56)
Syari’at islam memerintahkan kita untuk bersholawat pada tempat-tempat dan waktu-waktu yang tertentu antara lain :Setelah membaca tasyahud dalam sholat,setelah azan,apabila disebutkan nama Nabi Muhammad ,ketika hendak b erdoa, bersholawart pada hari jum’at.
Sholawat yang dibaca adalah sesuai yang diajarkan oleh Rasullullah shalalahu’alaihi wasallam yang diriwayatkan secara shahih oleh para ulama hadits. Dimana sholawat tersebut tidak boleh ditambah atau dikurangi.Terimalah apa adanya yang datang dari Rasulullah. Karena sholawat yang datang dari Rasul tersebut sudah sangat sempurna. Sehingga apabila siapa saja yang menambahkan atau menguranginya berarti mereka menganggap apa yang diajarkan oleh Rasul tersebut belum lengkap.
Dari seluruh hadits shahih yang diriwayatkan oleh para ulama hadits tentang sholawat kepada Nabi Muhammad tidak ada satupun yang menunjukkan adanya bacaan sholawat seperti yang dilapazkan secara nyaring dan berjama’ah berupa tembang-tembang yang dibawakan banyak orang seperti sholawat/maulud habsyi, barzanzi,maulud di’ba dllnya.
Kita perlu mengetahui bahwa sebenarnya bacaan sholawat yang sering kita dengar tidak sesuai dengan yang diajarkan Rasulullah shallalahu’alaihi wasallam,para sahabat, para tabi’n, tabi’ut tabi,in dan para imam m ujtahid. Bacaan sholawat tersebut adalah hasil gubahan atau karangan para tuan guru belakangan tidak bedanya dengan lagu-lagu yang dibawakan oleh Bimbo sebagai gubahan dari Taufik Ismail.
Karena sholawat merupakan bagian dari agama dan terkait dengan ibadah, maka bacaan sholawat yang tidak berasal dari as-Sunnah maka ia termasuk sebagai yang diada-adakan atau yang lebih dikenal dengan sebutan bid’ah.
Sholawat-sholawat yang dikarang oleh para tuan guru atau yang menyebutkan dirinya sebagai sastrawan isi dan arti yang terkandung di dalamnya sebenarnya banyak tidak dipahami oleh para pembacanya dari kalangan awam, karena berbahasa arab mereka menganggap bahwa pujian-pujian yang ada dalam syair itu tidak bersentuhan dengan nilai-nilai yang dilarang dalam aqidah.
Apabila dicermati makna yang terkandung di dalam syair-syair sholawat tersebut dengan menterjemahkannya kedalam bahasa Indonesia, maka didalam syair tersebut terdapat bait-bait yang memuji Rasulullah shallalahu’alaihi wasallam yang sangat berlebihan yang bersifat kultus individu dan bahkan menjurus kepada mensejajarkan kedudukan Rasulullah dengan Allah. Ini sangatlah bertentangan dengan aqidah islam yang mentauhidkan Allah, dan ini berarti kesyirikan.
Di dalam sholawat –sholawat bid’ah terdapat berbagai penyelewengan dari sholawat yang diajarkan oleh Rasulullah shallalahu’alaihi wasallam. Salah satu contoh sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu dalam buku beliau al Firqotun An Najiyah (Jalan Golongan yang Selamat) :
“ Wahai Allah, berikanlah sholawat dan salam untuk Muhammad sang penawar dan pengobat hati ,sang penyehat dan penyembuh badan, cahaya dan penerang pandangan mata; juga atas keluarga beliau “.
Oleh Syaikh Zainu ditambahkan pula bahwa padahal kita tahu bahwa yang menyembuhkan dan menyehatkan badan, yang mampu mengobati hati, dan yang mampu menerangkan pandangan mata adalah hanya Allah semata. Rasulullah untuk hal-hal yang serupa itu terhadap dirinya sendiri saja beliau tidak mampu berbuat apa-apa, apalagi untuk orang lain. Sedangkan lafal shalawat diatas bertentangan dengan fimar Allah “:
“ Katakanlah , Aku tidak mampu memberikan manfaat maupun mencegah mara bahaya dari diriku sendiri, kecuali apa yang telah dikehendaki oleh Allah” (QS.Al-A’raf : 188 )
Lafal shalawat tersebut diatas juga bertentangan dengan sabda rasulullah shalallahua’alaihi wasallam :
“Janganlah kalian berlebih-lebihan memujiku seperti orang-orang Nasrani memuji Isya bin Maryam. Karena aku hanyalah seorang hamba(Allah). Maka katakanlah (bahwa akunini) hamba Allah dan Rasulnya “ (HR.Imam Bukhari ).

Dari apa yang dikemukakan diatas sebagai salah satu lafal dari sekian banyak lafal-lafal lain dalam shalawat gubahan para pengarang dapat ditarik benang merahnya bahwa lirik/lafal shalawat tersebut selain mengandung kesyirikan juga berbuat b erlebihan (guluw ) terhadap Rasul dan agama yang terlarang menurut syari’at.

Mengutip apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu; bahwa hati-hati dan waspadalah terhadap berbagai shalawat bid’ah semacam itu. Karena shalawat –shalawat itu akan menjerumuskan diri kita kedlam kesyirikan. Cukuplah kita bershalawat dengan shalawat yang diajarkan oleh Rasulullah yang tidak pernah berbicara dengan memperturutkan hawa nafsunya . Orang-orang yang mau mengikuti beliau akan mendapatkan petunjuk dan keselamatan. Sebaliknya, orang-orang yang enggan mengikuti ajaran beliau,maka akan tertolaklah amalan mereka.
Rasulullah shallalahu’alaihi wasallam bersabda :
“B arang siapa yang beramal tidak sesuai dengan tuntunan kami,maka amalan tersebut tertolak ( HR.Imam Muslim).

Kita kaum muslimin hendaknya tidak terobsesi oleh pendapat/perkataan ulama yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallalahu’alaihi wasallam, yang berfatwa tentang adanya bid’ah hasanah. Karena fatwa dan pendapat mereka itu hanya berdasarkan kepada perasaan, hawa nafsu,pikiran dan akal,bukan berdasarkan kitabulah dan as-sunnah.
Sebenarnya tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan dasar tentang adanya bid’ah hasanah. Semua bid’ah adalah sesat,tidak ada yang hasanah, dan ini sejalan dengan sabda Rasulullah shalalahu’alailhi wasallam :
“Amma ba’du, maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah (al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah Muhammad shallalahu’alaihi wasallam. Dan sejelek-jelek urusan adalah yang baru dan setiap yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap sesat tempatnya di neraka ( HR.Imam muslim).

Lafal shalawat untuk Rasulullah shallalahu’alaihi wa salam yang dikarang oleh para ulama mengandung hal-hal sebagai berikut :
1.Kesyirikan karena telah menyamakan kedudukan
Allah dengan Rasullulah.
2. Memuji Rasullulah shallalahu’alaihi wa salam secara berlebihan (gulluw ) atau mengkultuskan Rasullulah.
3. Bid’ah karena mengada-ada atau membuat lafal shalawat yang baru, sedangkan lafal shalawat telah diajarkan oleh Rasullulah kepada umatnya melalui sahabat beliau.

Ketiga hal tersebut diatas bertentangan dengan syari’at islam dan harus dijauhi oleh kita kaum muslimin.
Wallahu ‘alam.