M U K A D D I M A H

M U K A D D I M A H : Sesungguhnya, segala puji hanya bagi Allah, kita memuji-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kami serta keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tak ada yang dapat menyesatkannya. Dan Barang siapa yang Dia sesatkan , maka tak seorangpun yang mampu memberinya petunjuk.Aku bersaksi bahwa tidak ada Rabb yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, yang tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam adalah hamba dan utusannya.

Senin, 31 Oktober 2011

Selamatkanlah Aqidah, jauhilah Dukun, Paranormal dan Tukang Sihir



Dunia sekarang ini telah berada dalam era yang sering disebut dengan tekhnologi informatika membawa manusia kedalam wawasan dunia maya, ini menunjukkan kemajuan dan modernisasi yang sangat luar biasa yang tentunya banyak memberi manfaat bagi kehidupan manusia. Tetapi sangat disayangkan di dalam kondisi sedemikian masih banyak manusia yang dalam kehidupannya sehari-hari masih berkutat kepada hal-hal yang irasional dengan mempercayai adanya pedukunan, paranormal dan tukang sihir.
Tidak hanya masyarakat awam kalangan akar rumput tetapi juga banyak pula masyarakat kalangan yang berpendidikan baik kelas menengah maupun kelas atas yang sangat berkepentingan terhadap keberadaan perdukunan, paranormal dan tukang sihir. Sehingga berkembanglah dengan suburnya praktek-praktek mereka yang dijadikan sebagai lahan usaha dan dikenal secara luas. Sedangkan kekeberadaan mereka para dukun, paranormal dan tukang sihir ada dimana-mana, tidak hanya di pedesaan, tetapi juga ada di kota-kota bahkan di kota-kota besar.
Dewasa ini dukun merupakan tempat pelarian dan pilihan bagi sebagian orang yang mengalami permasalahan dibidang kesehatan terutama yang sulit sembuhnya karena dianggap sebagai penyakit akibat kena santet dari seseorang.Malah ada pula dukun yang sengaja memasang papan nama praktek persis seperti papan nama praktek dokter dan mengiklankannya dengan mengatas namakan pengobatan alternatif. Padahal di dalamnya tidak lain praktek klinik pedukunan yang sebenarnya sulit untuk dapat dipertanggung jawabkan.
Mereka yang mendatangi dukun sebenarnya tidak sebatas untuk pengobatan, tetapi juga untuk berbagai kepentingan karena dukun biasanya mengaku dirinya juga sebagai orang pintar atau paranormal yang konon katanya mempunyai kemampuan untuk melihat sesuatu yang ghaib dan hal-hal yang akan terjadi di depan dan mampu berbuat serta membantu orang-orang yang datang seperti meminta pelaris, mendapatkan jodoh, memperoleh jabatan/kedudukan, memasang susuk, memberikan jimat-jimat sesuai kebutuhan orang yang datang meminta pertolongan. Bahkan dukun juga dapat mengetahui tempat dimana barang yang hilang atau dimama tempat orang yang hilang. Singkatnya dukun dianggap orang yang serba tahu dan serba bisa.
Selain dukun, tukang sihir yang menamakan diri sebagai akhli hipnotis dan akhli magigiant dewasa ini juga sangat disukai masyarakat sehingga dibeberapa stasiun televisi sengaja ditayangkan program tetap yang menampilkan berbagai keakhliannya. Meskipun dalam pertunjukannya disajikan acara sulap yang penuh rekayasa teknik, tetapi ada pula yang benar-benar sebagai sihir.
Perdukunan, paranormal dan sihir sengaja lebih ditonjolkan ketengah masyarakat sebagai upaya musuh-musuh islam menggerogoti aqidah umat islam melalui kaki tangan dan agen-agen nyha yang termasuk jaringan televisi. Sebagai contoh cerita dukun cilik Ponari dengan batunya.
Laris manisnya kegiatan perdukunan, paranormal dan sihir ditengah-tengah umat tiada lain karena masih lemahnya pengetahuan sebagian orang tentang tauhid sehingga mereka tidak memahami bahwa perdukunan, paranormal dan sihir sebenarnya terkait erat dengan Ke Esaan Allah Subhanahu Ta’ala.
Ditinjau dari kacamata syari’at Islam, maka mereka-mereka yang mempercayai dukun, paranormal dan tukang sihir sesungguhnya telah masuk kedalam ranah haram dan bahkan berujung kepada syirik.
Sebagai seorang muslim penulis merasa turut bertanggung jawab dan terpanggil untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana sabda Rasulullah :
صحيح مسلم ٧٠: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ كِلَاهُمَا عَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ وَهَذَا حَدِيثُ أَبِي بَكْرٍ قَالَ
أَوَّلُ مَنْ بَدَأَ بِالْخُطْبَةِ يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ الصَّلَاةِ مَرْوَانُ فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ فَقَالَ الصَّلَاةُ قَبْلَ الْخُطْبَةِ فَقَالَ قَدْ تُرِكَ مَا هُنَالِكَ فَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ رَجَاءٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ وَعَنْ قَيْسِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَارِقِ بْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ فِي قِصَّةِ مَرْوَانَ وَحَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ شُعْبَةَ وَسُفْيَانَ
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan. (dalam riwayat lain disebutkan) Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin al-Mutsanna telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far telah menceritakan kepada kami Syu'bah keduanya dari Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihab dan ini adalah hadits Abu Bakar, "Orang pertama yang berkhutbah pada Hari Raya sebelum shalat Hari Raya didirikan ialah Marwan. Lalu seorang lelaki berdiri dan berkata kepadanya, "Shalat Hari Raya hendaklah dilakukan sebelum membaca khutbah." Marwan menjawab, "Sungguh, apa yang ada dalam khutbah sudah banyak ditinggalkan." Kemudian Abu Said berkata, "Sungguh, orang ini telah memutuskan (melakukan) sebagaimana yang pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bersabda: "Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman." Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin al-Ala' telah menceritakan kepada kami Abu Mua'wiyah telah menceritakan kepada kami al-A'masy dari Ismail bin Raja' dari bapaknya dari Abu Sa'id al-Khudri dari Qais bin Muslim dari Thariq bin Syihab dari Abu Sa'id al-Khudri dalam kisah Marwan, dan hadits Abu Sa'id dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, seperti hadits Syu'bah dan Sufyan."( HR. Muslim ( sahih ) no.70 )
Berkata Syaikh Sholeh Al-Fauzan :
Wajib bagi seorang penuntut ilmu untuk memperhatikan permasalahan ini (bahaya dukun dan tukang sihir) dan supaya kalian memperingatkan dari bahaya mereka, mengingkarinya, karena kebanyakan manusia tersamar dari pengetahuan tentang masalah ini dan tertipu oleh mereka ”(Iaanatul Mustafid, Syaikh Sholeh Al-Fauzan, jilid 1 hal 376)

Hukum mendatangi dukun dan sejenisnya.

Dari ‘Aisyah Radiyallahu ‘Anha bahwasannya
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda : ” Bahwa malaikat turun ke awan, kemudian menyebutkan perkara yang ditaqdirkan di langit maka syaithan mencuri dengar setelah mendengarnya kemudian melapor ke para dukun, kemudian menambah kedustaan bersama berita tersebut 100 kedustaan dari diri mereka ” ( HR. Bukhari )
Berkata Syaikh Muhammad Bin ‘Abdul Wahhab
Rahimahullah : “Pembatal keislaman yang ketujuh SIHIR dan diantara jenis sihir adalahas-sharf dan al-athaf (pelet) barangsiapa yang melakukannya atau ridho dengannya maka dia telah kafir, dalilnya adalah Firman Allah Ta’ala :
وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ
Artinya : “Dan tidaklah kami megajarkan (sihir) kepada seorang pun sampai kami berkata sesungguhnya kami adalah fitnah (ujian), maka janganlah kalian kafir” ( QS. Al-Baqarah : 102 )
Berkata Syaikh Ahmad An Najmi Rahimahullah :
Pelet adalah apa yang dibuat untuk menjadikan seorang suami mencintai istrinya atau seorang istri mencintai suaminya. Dan ini dikalangan kami dikenal dengan hidaayah, dan ini semua tidaklah boleh hukumnya. Bahkan jika seorang melakukan yang demikian itu bahwasannya dia melakukan macam dari perbuatan sihir dan sihir perbuatan haram dan tidaklah seorang melakukan nya kecuali menjadi kafir (Syarhul Muujazul Mumahadu Khooliq Mumajad Syaikh Ahmad An Najmi : 65 )

Di dalam fathul Majid sebagai syarah dari kitab tauhid , karangan syaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh dalam bab mrngenai Dukun dan Sejenisnya, disebutkan hadits yang diriwayatkan Muslim bahwa dalam shahihnya dari sebagaian isteri Nabi shallalahu ‘alaihi wasa’llam,beliau bersabda :
Barang siapa mendatangi tukang ramal dan menanyakan kepadanya tentang sesuatu , lalu ia membenarkan apa yang dikatakannya , maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh hari”

Dari Abu Hurairah radhyallaahu ‘anhum , dari Nabi shallalahu ‘alaihi wassallam, beliau bersabda:
“Barang siapa mendatangi dukun lalu membenarkan apa yang dikatakannnya, maka ia benar-benar kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallalahu ‘alaihi wassallam.”( H R.Abu Dawud )
Dari Imran Bin Hashain radhyallaahu anhum secara marfu :
Tidak termasuk golongan kami orang yang meramal atau meminta diramal, dan orang yang melakukan praktek perdukunan atau orang yang meminta ditangani dukun ( mneramal atau diramal) ,menyihir atau meminta disihirkan. Barang siapa mendatangi dukun lalumempercayai apa yang dikatakannya, maka ia benar-benar kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallalahu ‘alaihi wassa’lam “( HR. Al-Bazzar dengan isnad yang bagus.)

Dari beberapa hadits tersebut diatas disebutkan dalam Fathul Majid b ahwa setiap orang yang berbuat seperti yang dimaksud dalam hadits berarti dia telah lepas dari Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam. Karena perbuatan tersebut syirik. Seperti halnya meminta diramal; atau ia termasuk ke dalam
kufur , seperti halnya perdukunan dan sihir. Barang siapa yang telah ridha dengan sikapnya itu dan mengikuti jalan itu,maka ia seperti halnya orang melakukan kesesatan tersebut karena sikapnya yang menerima dan mengikuti begitu saja terhadap suatu kebathilan.
Dari ‘Aisyah Radiyallahu ‘Anha bahwasannya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda :
Bahwa malaikat turun ke awan, kemudian menyebutkan perkara yang ditaqdirkan di langit maka syaithan mencuri dengar setelah mendengarnya kemudian melapor ke para dukun, kemudian menambah kedustaan bersama berita tersebut 100 kedustaan dari diri mereka ” ( HR. Bukhari )
Berkata Syaikh Muhammad Bin ‘Abdul Wahhab Rahimahullah : “Pembatal keislaman yang ketujuh SIHIR dan diantara jenis sihir adalah as-sharf dan al-athaf (pelet) barangsiapa yang melakukannya atau ridho dengannya maka dia telah kafir, dalilnya adalah Firman Allah Ta’ala :
وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلا تَكْفُرْ
Artinya : “Dan tidaklah kami megajarkan (sihir) kepada seorang pun sampai kami berkata sesungguhnya kami adalah fitnah (ujian), maka janganlah kalian kafir” ( QS. Al-Baqarah : 102 )
Berkata Syaikh Ahmad An Najmi Rahimahullah :
Pelet adalah apa yang dibuat untuk menjadikan seorang suami mencintai istrinya atau seorang istri mencintai suaminya. Dan ini dikalangan kami dikenal dengan hidaayah, dan ini semua tidaklah boleh hukumnya. Bahkan jika seorang melakukan yang demikian itu bahwasannya dia melakukan macam dari perbuatan sihir dan sihir perbuatan haram dan tidaklah seorang melakukan nya kecuali menjadi kafir (Syarhul Muujazul Mumahadu Khooliq Mumajad Syaikh Ahmad An Najmi : 65 )

Larangan berbuat syirik dan perintah menetapi Tauhid.

Dalam buku Ayat-ayat Larangan Dan Perintah Dalam Al-Qur’an , KH Qomaruddin Shaleh dkk menyebutkan bahwa :
Allah Subhanahu Ta’ala berfirman dalam Qur’an Surah An-Nahl ayat 51-54:
وَقَالَ اللّهُ لاَ تَتَّخِذُواْ إِلـهَيْنِ اثْنَيْنِ إِنَّمَا هُوَ إِلهٌ وَاحِدٌ فَإيَّايَ فَارْهَبُونِ
وَلَهُ مَا فِي الْسَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَلَهُ الدِّينُ وَاصِبًا أَفَغَيْرَ اللّهِ تَتَّقُونَ
-
وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ
ثُمَّ إِذَا كَشَفَ الضُّرَّ عَنكُمْ إِذَا فَرِيقٌ مِّنكُم بِرَبِّهِمْ يُشْرِكُونَ
Kemudian apabila Dia telah menghilangkan kemudharatan itu dari pada kamu, tiba-tiba sebahagian dari pada kamu mempersekutukan Tuhannya dengan (yang lain),

"Janganlah kamu menyembah dua tuhan; sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut. Dan kepunyaan-Nya-lah segala apa yang ada di langit dan di bumi, dan untuk-Nya-lah keta'atan itu selama-lamanya. Maka mengapa kamu bertakwa kepada selain Allah? Dan apa saja ni'mat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. Kemudian apabila Dia telah menghilangkan kemudharatan itu dari pada kamu, tiba-tiba sebahagian dari pada kamu mempersekutukan Tuhannya dengan (yang lain),( QS. An-Nahl: 51-54 )
Allah Ta’ala berfirman dalam Qur’an Surah Al-Israa ayat 22
لاَّ تَجْعَل مَعَ اللّهِ إِلَـهًا آخَرَ فَتَقْعُدَ مَذْمُومًا مَّخْذُولاً
“ Janganlah kamu adakan tuhan yang lain di samping Allah , agar kamu tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan( Allah)

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman kepada Rasullullah shalalahu ‘alaihi wassallam dan orang-orang yang yang mukallaf agar tidakmelakukan perbuatan syirik dengan mengadakan tuhan selain Allah dalam ibadah yang dilakukan. Syirik hanya akan membuat pelakunya menjadi tercela dan hina. Tidak ada dosa yang paling besar di jagat raya ini , selain dosa menyekutukan Allah dengan sesuatu . Dan tidak ada dosa yang tidak diampuni Allah, kecuali dosa berbuat syirik.
Lebih lanjut dikemukan bahwa : menurut syari’at syrik adalah menyekutukan Allah dengan perkara yang merupakan hak Allah. Berdasarkan definisi ini, maka syirik itu mempunyai tiga bentuk yang salah satunya adalah yang disebut syirik dalam rububiyah, yakni meyakini adanya sesuatu selain Allah yang memiliki sifat-sifat yang termasuk hakkhusus bagi Allah dalammasalah rububiyah (Ketuhanan).Seperti hak menciptakan, menghidupkan,memelihara, memberi rezeki, atau mengaturAlam semesta

Dari keterangan yang disebutkan diatas, maka dalam hal ini meminta pertolongan penyembuhan kepada para dukun atau meminta-minta jimat kepada kiai , yang sebenarnya hanya hak Allah yang memberinya, maka termasuk kedalam syirik rububiyah, karena prilaku tersebut sama dengan mensejajarkan kedudukan si dukun atau apapun namanya dengan Allah Yang Maha Esa.

Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri dalam bukunya Ensiklopedi Islam Al-Kamil mengemukakan tentang bahaya syirik :

a. Syirik kepada Allah merupakan kezaliman yang sangat besar. Hal ini karena seseorang yang berbuat syirik berarti telah menodai hak prioritas Allah atas hamba-Nya, yaitu mentauhidkan Allah dengan tidak menyekutukan-Nya. Tauhid adalah puncak keadilan dan syirik adalah puncak kezaliman. Dengan berbuat syirik berarti telah merendahkan Tuhan semesta alam, ingkar dari keta’atan kepada-Nya, memalingkan hak-Nya kepada yang lain. Karena besarnya bahaya syirik ,maka setiap orang yang meninggal dunia dalam keadaan musyrik, Allah tidak akan mengampuninya . Firman Allah Ta’ala :

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. ( QS. An-Nisa : 48 )

b. Syirik adalah dosa yang paling besar, maka barang siapa yang menyembah kepada selain Allah,bearti dia telah mempersembahkan ibadah tidak pada tempatnya dan tidak kepada yang berhak, hal ini merupakan kezaliman yang sangat besar, sebagaimana firman Allah Ta’ala

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar"( Qs.Luqman: 13 ).


c. Syirik akbar (besar) dapat menghapus semua amal perbuatan, serta akan mendatangkan bencana dan kerugian .Syirik akbar termasuk dalamkatagori dosa-dosa besar .Halini diperjelas oleh firman Allah Ta’ala :
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi(QS. Az-Zumar : 65 ).

K h a t i m a h

Mendatangi dukun, paranormal dan tukang sihir untuk berbagai kepentingan sebagaimana yang banyak dilakukan oleh sebagian kaum muslimin sesungguhnya telah melanggar syari’at islam karena ia akan menggerogoti aqidah. Meskipun umat islam menyadari bahwa mendatangi dukun, paranormal dan tukang sihir merupakan pekerjaan yang sia-sia dan bertentangan dengan ratio, namun karena kejahilannya lebih mempercayai dukun, paranormal dan tukang sihir. Masyarakat yang masih awam dalam hal aqidah dalam islam yang sangat keras melarang perbuatan yang mengandung kesyirikan perlu diingatkan agar menjauhi dukun, paranormal dan tukang sihir sehingga selamatlah akhiratnya.
( Wallahu’alam )
Dipetik dari berbagai sumber.
Ba’da ashar, 4 Dzulhijjah 1432 H / 31 Oktober 2011
( By: Musni Japrie )

Kamis, 27 Oktober 2011

Menggunakan Kalung Atau Gelang Sebagai Pencegah dan Penyembuh Penyakit Perbuatan Syirik


Dewasa ini dimana-mana kaum muslimin baik kaum laki-lakinya maupun kaum perempuan yang mengenakan kalung dan gelang yang terbuat dari butir-butiran mungkin sejenis dari batu atau kaca berwarna putih persis seperti rangkaian tasbih. Kalung dan gelang tersebut menurut iklan yang terpampang disebutkan sebagai batu bio magnetic yang menghasilkan getaran-getaran electric penyembuh yang sekaligus pencegah berbagai penyakit.

Selain kalung dan gelang tersebut diatas banyak pula orang-orang muslim tidak saja kaum perempuan namun kaum lelaki juga mengenangkan gelang dari metal stainlestail mirip arloji/jam tangan yang diklaim juga mempunyai khasiat mampun mencegah dan menyembuhkan penyakit seperti hypertensi, diabetes, asam urat, jantung dan beberapa penyakit lain karena gelang metal tersebut mengandung magnetic electric yang berfungsi mengaktifkan seluruh system syaraf yang lemah dalam tubuh manusia. Karenanya banyak orang yang tergoda mengenakannya.

Sebenarnya tidak hanya kalung dan gelang yang disebutkan diatas yang pembuatannya secara modern banyak orang, ternyata yang dibuat secara handmade(buatan tangan) berupa tasbih ukuran kecil yang dijadikan sebagai gelang banyak pula dikenakan orang untuk dijadikan pencegah dan penyembuh berbagai penyakit karena konon gelang tersebut dibuat dari kayu fukah yang hanya tumbuh disuatu tempat di Timur Tengah yang dipercaya sangat berhasiat.haaha

Ada pula gelang yang mirip arloji kecil yang bahannya dibuat dari campuran karet, gelang tersebut juga dikenakan ditangan oleh berbagai kalangan karena memiliki kemampuan untuk keseimbangan tubuh pemakainya.

Namun sebenarnya apa yang dipercaya dan diyakini oleh kebanyakan orang-orang yang mengenakan kalung atau gelang seperti tersebut diatas sebenarnya bukanlah hasil penemuan berdasarkan penelitian dan percobaan ilmiah yang membuktikan fungsi dan manfaatnya bagi kesehatan. Seandainya kalung dan gelang tersebut memang telah direkomendasikan oleh pihak-pihak yang berkompeten di bidang kesehatan,maka kalangan kedokteran akan merekomendasikan penggunaannya. Sebagaimana mereka memberikan obat untuk penyembuhan dan pencegahan penyakit.

Banyak orang-orang termasuk kaum muslimin yang terpedaya oleh tipu daya produsen dan pedagang melalui iklan termasuk berita dari mulut kemulut, bahwa kalung dan gelang yang disebut diatas mempunyai kemampuan yang ampuh untuk mencegah dan menyembuhkan berbagai penyakit. Kebanyakan orang-orang tidak lagi berpikir secara rasional dan menerima begitu saja dan terjerumuslah mereka dalam perangkap kebohongan para pedagang.

Ironisnya dilihat dari kacamata syari’at islam mempercayai dan menyakini serta menggantungkan diri terhadap sesuatu benda yang dianggap mempunyai kemampuan memberikan pertolongan baik berupa pencegahan dan penyembuhan dari penyakit, dimana benda-benda tersebut bukan bersumb er dari kalangan akhli kehatan dan kedokteran seperti layaknya obat-obatan dari bahan kimia maupun herbal, maka mereka yang telah terjerumus kedalam kondisi yang dilarang oleh syari’at islam yaitu kesyirikan.

Cara Pengobatan Yang Syirik

Agama islam memerintahkan umatnya untuk berobat dari berbagai penyakit dengan yang di izinkan sya'ri. Kita dibolehkan meminum obat karena jelas obat tsb mengandung bahan-bahan kimia yang dapat menyembuhkan dan berdasarkan hasil kerja penelitian laboratorium. Kta dilarang berobat dengan menggunakan bahan yang haram seperti mengandung khamer atau cara lain yang berakibat kepada syirik. Kita di anjurkan untuk berobat dengan menggunakan herbal, karena herbal tsb mengandung zat-zat kimia yang dapat melawan penyakit. Kita juga dianjurkan berobat dengan cara pengobatan ala Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam, seperti berbekam, minum madu , minum habatussaudah atau jinten hitam.

Cara pengobatan yang dilarang adalah dengan menggunakan sesuatu benda yang dikenakan ditubuhnya dan diyakini dapat mencegah atau menangkal serta dapat menyembuhkan penyakit.
Penggunaan gelang dan kalung seperti yang banyak dijual untuk menangkal dan menyembuhkan penyakit bukan karena diperintahkan oleh dokter tetapi hanya berdasarkan keyakinan saja karena mengandung khasiat, maka itu termasuk kedalam kelompok mempercayai atau meyakini sesuatu dapat memberikan perlindungan dan pertolongan. Padahal dalam tauhid Rububiyah kita meyakini b ahwa hanya Allah lah Maha Pencipta, Maha Pengatur, Maha Memelihara yang termasuk didalamnya Maha Pelindung dan Maha Penolong. Kalau meyakini sesuatu selain Allah itu dapat memberikan perlindungan dan pertolongan berarti meyakini ada kekuatan selain Allah yang mempunyai kekuatan dan kemampuan seperti layaknya Allah dan itu berarti telah mensyarikatkan atau menyekutukan Allah dengan sesuatu, itu syirik namanya dan orangnya disebut musyrik.

Rasullullah Shalalahu 'alaihi wa sallam ketika melihat seorang mengenakan gelang dari kuningan yang katanya untuk menangkal penyakit memerintahkan kepada orang itu untuk segera melepaskan gelang yang dikenakannya sambil berkata : "Lepaskan gelang itu. Sesungguhnya ia tidak akan menambahkan kepadamu kecuali kelemahan. Sesungguhnya jika engkau mati sedangkan gelang itu masih pada tubuhmu ,engkau tidak akan beruntung selamanya" ( HR. Ahmad ).

Syaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh dalam kitabnya Fathul Majid , menyebutkan bahwa Imam Ahmad meriwayatkan hadist marfu dari Abdullah bin Ukaim , " Barang siapa menggantungkan sesuatu barang ( dengan anggapan bahwa barang itu bermanfaat atau dapat melindungi dirinya ) , niscaya Allah menjadikan dia selalu bergantung kepada barang tersebut ( maka dirinya akan dititipkan ke benda tersebut ) " ( HR. Imam Ahmaddan At-Tirmiidz).

Rasullulah Shalalahu 'alaihi wa sallam sangat keras memberikan larangan terhadap pemakaian kalung atau apa saja yang sejenis karena itu perbuatan syirik, dimana larangan tsb tidak saja terhadap manusia , terhadap hewan yang oleh pemiliknya di lehernya dikalungkan tali busur dengan maksud agar terhindar dari penyakit juga dilarang oleh Rasullullah shalallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dalamshahih Bukhari dan shahih Muslim dariAbu Basyir Al Anshari radhyallahu anhu, bahwa dia pernah bersama Rasullulah shallalahu 'alaihi wa sallam dalam satu perjalanan beliau. Lalu beliau mengutus seorang utusan ( untuk memaklumkan ) :" Supaya tidak terdapat lagi di leher unta kalung dari tali busur panah atau kalung apapun,kecuali harus diputuskan"

Allah sangat murka terhadap mereka yang menyekutukan-Nya dengan sesuatu, sehingga Allah berfirman :

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. ( QS.An Nisa :48 )

"
Karenanya takutlah kepada syirik dengan menjauhi segala apa saja yang menuju kepada syirik tsb. Termasuk di dalamnya adalah menyakini atau mempercayai sesuatu benda dapat memberikan perlindungan dan pertolongan seperti mengenakan gelang dan kalung untuk mencegah dan menyembuhkan penyakit.

Dalam buku syarah kitab Tauhid oleh Syaikh Muhammad Utsaimin pada bab 6 yang berjudul Memakai Kalung Jimat dan Tali mantera atau sejenisnya untuk menolak bala termasuk syirik, beliau mengemukakan :
Boleh jadi mengenakan kalung jimat disini merupakan syirik kecil dan boleh jadi merupakan syirik besar, tergantung pada keyakinan orang yang menggunakannya. Jika orang yang mengenakan kalung jimat dan mantera atau sejenisnya percaya bahwa kalung itu sendiri menimbulkan suatu pengaruh , berarti dia orang musyrik dengan kemusyrikan yang besar dalam tauhid rububiyah , karena dia percaya ada pencipta lain beserta Allah. Jika dia percaya bahwa kalung itu merupakan sebab, tapi sebab itu sendiri telah mendatangkan pengaruh , berarti dia orang musyrik dengan kemusrikkan yang kecl, karena ketika dia meyakini bahwa sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan sebab dianggap sebagai sebab ; berari dia telah menyekutukan Allah dalam hukum terhadap sesuatu itu bahwa ia merupakan sebab, padahal Allah tidak menjadikannya sebagai sebab. Adapun cara untuk mengetahui bahwa sesuatu itu merupakan sebab, dapat dilakukan lewat jalan syari'at ; seperti halnya madu yang difirmankan Allah, mengandung kesembuhan bagi manusia.
Allah Subhanahu Ta’ala berfirman :

ثُمَّ كُلِي مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِي سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلاً يَخْرُجُ مِن بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيهِ شِفَاء لِلنَّاسِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan. ( QS. An- Nahl “ 69 )

Berdasarkan hadits-hadits shahih dari Rasullullah shallalahu 'alaihi wa sallam dan keterangan dari para ulama yang telah disebutkan tadi maka semua itu adalah dalil yang dijadikan hujjah mengapa gelang dan kalung yang diyakini mempunyai kemampuan untuk menangkal yang sama artinya melindungi pemakainya dari berbagai penyakit serta dapat pula menyembuhkan penyakit yang sama artinya dengan memberikan pertolongan kepada pemakainya maka itu sama dengan meyakini bahwa Allah mempunyai sekutu dalam memberikan perlindungan dan pertolongan kepada manusia . Keyakinan seperti itulah yang dinamakan syirik.

Kita sudah ketahui bahwa dari sudut pandang logika bagaimana mungkin benda mati seperti gelang dan kalung itu mempunyai kemampuan memberikan perlindungan serta pertolongan bisa diterima, apalagi dari sudut pandang aqidah jelas-jelas tertolak. Berhati-hatilah terhadap sesuatu yang dapat membawa kita ke jalan syirik.


Di dalam buku FATHUL MAJID penjelasan Kitab TAUHID syaikh Muhammadbin Abdul Wabah At'tamimi disebutkan bahwa Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan:
صحيح مسلم ٣٩٥١: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ عَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ أَنَّ أَبَا بَشِيرٍ الْأَنْصَارِيَّ أَخْبَرَهُ
أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ قَالَ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُولًا قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي بَكْرٍ حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ وَالنَّاسُ فِي مَبِيتِهِمْ لَا يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلَادَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلَادَةٌ إِلَّا قُطِعَتْ
قَالَ مَالِكٌ أُرَى ذَلِكَ مِنْ الْعَيْنِ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya ia berkata; Aku membaca Hadits Malik dari 'Abdullah bin Abu Bakr dari 'Abbad bin Tamim bahwa Abu Basyir Al Anshari telah mengabarkan kepada kepadanya, sesungguhnya dia pernah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam suatu perjalanan. Dia berkata; suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengutus seorang utusan, -Abdullah bin Abu Bakr berkata; 'Aku kira Abu Basyir berkata seperti itu- sedangkan para sahabat berada di tempat penginapan mereka, yaitu untuk menyampaikan sabda beliau: "Putuskanlah semua kalung dari tali yang berada di leher unta.!" Malik berkata; 'Aku mengira larangan itu berlaku jika kalung tersebut bertujuan untuk menolak penyakit 'Ain (disebabkan mata).( Shahih Muslim 3951).
Dahulu orang-orang jahiliyah jika tali busur panah hampir rusak, mereka menggantikannya
dengan tali busur yang baru, sedangkan talibusur yang lama dipergunakan sebagai kalung unta. Karena mereka meyakini, bahwa tali itu akan menjaga unta dari 'ain ( tertimpa penyakit karena pandangan mata ).

Selanjut disebutkan juga bahwa Al-Baghawi berkata dalam syarah As-Sunnah ; " Malik menafsirkan perintah Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam tersebut supaya memotong kalung yang ditujukan untuk menolak 'ain . Dahulu mereka mengikatkan tali-tali dan tamimah itu, dan menggantungkan perlindungan kepada binatang-binatang mereka. Mereka menyangka bahwa tali-tali itu akan melindungi mereka dari bahaya . Maka Nabi shallalahu 'alaihi wa sallam melarang mereka akan hal itu , dan beliau memberitahukan mereka bahwa tali-tali itu sama sekali tidak dapat menolak apa yang telah ditentukan Allah.

Disebutkan juga hadits Uqbah bin Amir yang diperkuat dengan marfunya :
“Barang siapa menggantungkan tamimah, semoga Allah tidak mengabulkan keinginannya " ( HR Abu Daud) , yaitu kalung yang digantungkan karena takut 'ain dan sebagainya.

Diriwayatkan oleh Abu Daud dari Zainab isterinya Abdullah bin mas'ud, ia berkata : " Sesungguhnya Abdullah melihat benang di leherku, lalu ia berkata : " apa ini "?.
Aku menjawab : " Benang untuk meruqyahku". Zainab berkata , lalu Abdullah mengambilnya kemudian memotongnya ." Lalu berkata . " Kamu semua, wahai keluarga Abdullah, sungguh tidak butuh kepada syirik. Aku telah mendengar Rasullulah shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda "
" Sesungguhnya ruqyah, tamimah dan tiwalah adalah syirik ". Maka aku berkata, " Waktu itu mataku, dan aku berobat kepada fulan orang yahudi. Jika ia meruqyahku, maka aku merasa enak" Maka Abdullah berkata , " O Itu hanyalah perbuatan syaitan, syaitan itu merangsangnya dengan tangannya, karenanya, jika ia meruqyah ia menahannya dari rasa salah. Akan tetapi cukuplah kamu mengucapkan doa sebagaima Rasullulah ajarkan.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At'tamimi dalam kitab Tauhid dalam bab7 yang diberi judul Termasuk Syirik Memakai Gelang , Benang dan Yang Sejenisnya Untuk Pengusir atau Tolak Bala.
مسند أحمد ١٩١٤٩: حَدَّثَنَا خَلَفُ بْنُ الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا الْمُبَارَكُ عَنِ الْحَسَنِ قَالَ أَخْبَرَنِي عِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْصَرَ عَلَى عَضُدِ رَجُلٍ حَلْقَةً أُرَاهُ قَالَ مِنْ صُفْرٍ فَقَالَ وَيْحَكَ مَا هَذِهِ قَالَ مِنْ الْوَاهِنَةِ قَالَ أَمَا إِنَّهَا لَا تَزِيدُكَ إِلَّا وَهْنًا انْبِذْهَا عَنْكَ فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا
:Khalaf bin Walid, telah menceritakan kepada kami Al Mubarak dari Al Hasan ia berkata, telah mengabarkan kepadaku Imran bin Hushain bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melihat lengan seorang lelaki yang memakai gelang -menurut pendapatku ia mengatakan; (gelang) dari kuningan- Lalu beliau bersabda: "Celakalah kamu, apa maksud dari gelang ini?" Orang tersbut menjawab; "Ini untuk mengobati penyakit wahinah! Beliau bersabda: "Ketahuilah sesungguhnya benda ini tidak akan menambahmu melainkan kesengsaraan, lepaskanlah ia darimu! Sebab kalau kamu mati dan benda itu masih melekat padamu, maka kamu tidak akan beruntung selamanya."( HR. Ahmad 19149 )


Dan Abi Hatim meriwayatkan dari Hudzaifah,bahwasanya ia melihat seorang laki-laki yang ditangannya ada benang untuk mengobati sakit panas, maka ia putuskan benang itu seraya membaca firman Allah Ta'ala :

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللّهِ إِلاَّ وَهُم مُّشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” ( QS. Yusuf : 106 )

Mengacu kepada dalil-dalil yang dikemukakan diatas maka menggunakan kalung dan gelang untuk mencegah dan mengobati penyakit sebagaimana yang diutarakan diawal tulisan ini termasuk perbuatan syirik yang sangat terlarang di dalam syari’at islam ( Walaahu Ta’ala ‘alam )

Sumber Bacaan :

1. Al-Quran dan terjemahan oleh Departemen Agama R.I
2. Ringkasan Shahih Bukhari oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Bani.
3. Ringkasan Shahih Muslim oleh Syaikh Muhammad Nashirudidn Al-Bani.
4. Shahih Sunan Abu Dawud oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Bani.
5. Ad-Daa- wa Ad-Dawaa' oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah.
6. Mengetuk Pintu Ampunan Meraih Berjuta Anugerah oleh Ibnu Qayymin Al-Jauziyah.
7. Kitab Tauhid oleh Syaikh Muhammad bin Abdl Wahab At-tamimi.
8. Syarah kitab Tauhid oleh Syaikh Muhammad Al-Utsaimin.
9. Fathul Majid oleh Syaikh Muhammad Hasan Alu Syaikh.
10. Prilaku dan akhlak Jahiliyah oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi.

( by: Musni Japrie )
Ba’da dhuha, Jum’at 1 Dzulhijjah 1432 H / 28 Oktober 2011

Minggu, 23 Oktober 2011

" BERBAHAGIALAH ORANG-ORANG YANG SAKIT "



Secara rutin satu bulan sekali kami para menderita penyakit seperti diabetes, hypertensi, jantung dan lain sebagainya diharuskan untuk melakukan control dan sekaligus untuk memperoleh obat untuk jatah selama sebulan ke poliklinik Dalam Rumah Sakit Umum Abdl.Wahab Syahranie. Pada kesempatan kunjungan rutin ke poliklinik dalam tersebut sekaligus dianggap oleh teman-teman sesama pasien tetap rawat jalan dianggap sebagai reuni bulanan sekaligus bersilaturahim .
Yang menggembirakan didalam pertemuan sesama penderita sambil menunggu antrian giliran panggilan untuk diperiksa oleh dokter spesialis atau antrian di apotek mengambil obat kadang-kadang diselingi dengan gurauan-gurauan sehinga hilanglah rasa jenuh.
Salah seorang diantara kami pernah mengatakan : “ sebenarnya orang-orang yang menderita sakit seperti kita-kita inipatut merasa berbahagia karena akibat sakit yang diderita selama ini telah menghapuskan atau menggugurkan kesalahan-kesalahan bagaikan daun-daun kering yang rontok berjatuhan “

Sesungguhnya apa yang disebutkan teman tersebut diatas benar adanya karena kata-kata yang disampaikannya tersebut merupakan kalimat penggalan dari hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam sebagai berikut :
Tidaklah seseorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya.” (HR. Bukhari).
Dari pengertian hadits Rasullullah tersebut diatas maka dapatlah dimaknai bahwa hal-hal yang kecil seperti keletihan, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundahan, penyakit yang diderita hingga duri yang menusuk merupakan penderitaan yang menimpa manusia.Dimana hal-hal yang dirasakan oleh manusia sebagai penderitaan di dunia oleh Allah yang Maha Pengampun dan Maha Pengasih akan diberikan imbalan berupa dihapuskannya sebagian dari kesalahan-kesalahannya. Yang berarti dihapuskannya dosa akibat kesalahan yang pernah dilakukannya.

Penghapusan sebagian kesalahan ini merupakan hadiah khusus dari Allah kepada hamba-hambanya sehingga akan mengurangi beban dosa yang ada, dan ini tiada lain sesungguhnya adalah sebagai bentuk kebahagian tersendiri bagi orang-orang yang menderita sakit, apalagi bagi mereka yang menderita sakit berkepanjangan. Dengan tanpa meminta ampun atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya, Allah Subhanahu Ta’ala secara otomatis menghapuskan sebagian kesalahan sipenderita.
Selain terhadap orang-orang yang sakit tentunya terdapat perbedaan dimana Allah Yang Maha Pengampun tentunya tidak akan menghapuskan kesalahan-kesalahan ataupun dosa-dosa begitu saja tanpa adanya permintaan ampun dan tanpa melakukan kebaikan-kebaikan yang diperintahkan Allah sebagai persyaratan datangnya pengampunan dari Allah Subhanahu Ta’ala. Karena permintaan ampun kepada Allah Ta’ala oleh hamba-hambanya atas kesalahan dan dosa-dosanya adalah merupakan syarat mutlak datangnya pengampunan. Selain itu berbuat kebaikan-kebaikan yang diperintahkan juga merupakan usaha untuk menghapus kesalahan-kesalahan. Seperti melakukan sholat baik fardhu maupun sunat.

Penyakit Merupakan Musibah Sebagai Ketetapan Dari Allah
Sebagaimana yang sering diriwayatkan dari sumber yang shahih, bahwa seluruh makhluk yang diciptakan Allah mengikuti skenario yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu Ta’ala dalam takdir 50.000 tahun sebelum bumi diciptakan, yang tentunya termasuk di dalamnya segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan bani adam baik berupa kebahagian atau kesengsaraan seperti musibah yang menimpa manusia, baik yang sifatnya berbentuk musibah kecil untuk masing-masing orang seperti menderita sesuatu penyakit maupun musibah berskala besar yang menimpa umat manusia. Hal tersebut ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu Ta’ala :

وَإِن يَمْسَسْكَ اللّهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَآدَّ لِفَضْلِهِ يُصَيبُ بِهِ مَن يَشَاء مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
‘Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ ( QS. Yunus : 107 )

Apapun yang menimpa manusia berupa takdir sebagai suatu ketetapan yang datangnya dari Allah Subhanahu Ta’ala tidak akan lepas dari manusia seperti yang disebutkan Allah dalam firman-Nya
قُلْ لَنْ يُصِيْبَنَا إلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللهِ فَاْليَتَوَكَّلِ اْلمُؤْمِنُوْنَ
Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal”( QS.at-Taubah : 51 )
Sesungguhnya musibah dan bencana merupakan bagian dari takdir Allah Yang Maha Bijaksana. Allah ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidaklah menimpa suatu musibah kecuali dengan izin Allah. Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (Qs. at-Taghabun: 11)
Ibnu Katsir rahimahullah menukil keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa yang dimaksud dengan izin Allah di sini adalah perintah-Nya yaitu ketetapan takdir dan kehendak-Nya. Beliau juga menjelaskan bahwa barang siapa yang tertimpa musibah lalu menyadari bahwa hal itu terjadi dengan takdir dari Allah kemudian dia pun bersabar, mengharapkan pahala, dan pasrah kepada takdir yang ditetapkan Allah niscaya Allah akan menunjuki hatinya. Allah akan gantikan kesenangan dunia yang luput darinya -dengan sesuatu yang lebih baik, pent- yaitu berupa hidayah di dalam hatinya dan keyakinan yang benar. Allah berikan ganti atas apa yang Allah ambil darinya, bahkan terkadang penggantinya itu lebih baik daripada yang diambil. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma ketika menafsirkan firman Allah (yang artinya), “Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya.” Maksudnya adalah Allah akan tunjuki hatinya untuk merasa yakin sehingga dia menyadari bahwa apa yang -ditakdirkan- menimpanya pasti tidak akan meleset darinya. Begitu pula segala yang ditakdirkan tidak menimpanya juga tidak akan pernah menimpa dirinya Beliau -Ibnu Katsir- juga menukil keterangan al-A’masy yang meriwayatkan dari Abu Dhabyan, dia berkata, “Dahulu kami duduk-duduk bersama Alqomah, ketika dia membaca ayat ini ‘barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya’ dan beliau ditanya tentang maknanya. Maka beliau menjawab, ‘Orang -yang dimaksud dalam ayat ini- adalah seseorang yang tertimpa musibah dan mengetahui bahwasanya musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha dan pasrah kepada-Nya.” Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim di dalam tafsir mereka. Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan ketika menafsirkan ayat itu, “Yaitu -Allah akan menunjuki hatinya- sehingga mampu mengucapkan istirja’ yaitu Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ayat di atas berlaku umum untuk semua musibah, baik yang menimpa jiwa/nyawa, harta, anak, orang-orang yang dicintai, dan lain sebagainya. Maka segala musibah yang menimpa hamba adalah dengan ketentuan qadha’ dan qadar Allah. Ilmu Allah telah mendahuluinya, kejadian itu telah dicatat oleh pena takdir-Nya. Kehendak-Nya pasti terlaksana dan hikmah/kebijaksanaan Allah memang menuntut terjadinya hal itu. Namun, yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah hamba yang tertimpa musibah itu menunaikan kewajiban dirinya ketika berada dalam kondisi semacam ini ataukah dia tidak menunaikannya? Apabila dia menunaikannya maka dia akan mendapatkan pahala yang melimpah ruah di dunia dan di akherat. Apabila dia mengimani bahwasanya musibah itu datang dari sisi Allah sehingga dia merasa ridha atasnya dan menyerahkan segala urusannya -kepada Allah - niscaya Allah akan tunjuki hatinya. Dengan sebab itulah ketika musibah datang hatinya akan tetap tenang dan tidak tergoncang seperti yang biasa terjadi pada orang-orang yang tidak mendapat karunia hidayah Allah di dalam hatinya. Dalam keadaan seperti itu Allah karuniakan kepada dirinya -seorang mukmin- keteguhan ketika terjadinya musibah dan mampu menunaikan kewajiban untuk sabar. Dengan sebab itulah dia akan memperoleh pahala di dunia, di sisi lain ada juga balasan yang Allah simpan untuk-Nya dan akan diberikan kepadanya kelak di akherat. Hal itu sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya hanya akan disempurnakan balasan bagi orang-orang yang sabar itu dengan tanpa batas hitungan.”
Beliau melanjutkan, dari sinilah dapat dimengerti bahwa barang siapa yang tidak beriman terhadap takdir Allah ketika terjadinya musibah dan dia meyakini bahwa apa yang terjadi sekedar mengikuti fenomena alam dan sebab-sebab yang tampak niscaya orang semacam itu akan dibiarkan tanpa petunjuk dan dibuat bersandar kepada dirinya sendiri. Apabila seorang hamba disandarkan hanya kepada kekuatan dirinya sendiri maka tidak ada yang diperolehnya melainkan keluhan dan penyesalan yang hal itu merupakan hukuman yang disegerakan bagi seorang hamba sebelum hukuman di akherat akibat telah melalaikan kewajiban bersabar. Di sisi yang lain, ayat di atas juga menunjukkan bahwasanya setiap orang yang beriman terhadap segala perkara yang diperintahkan untuk diimani, seperti iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, takdir yang baik dan yang buruk, dan melaksanakan konsekuensi keimanan itu dengan menunaikan berbagai kewajiban, maka sesungguhnya hal ini merupakan sebab paling utama untuk mendapatkan petunjuk Allah dalam menyikapi keadaan yang dialaminya sehingga dia bisa berucap dan bertindak dengan benar. Dia akan mendapatkan petunjuk ilmu maupun amalan. Inilah balasan paling utama yang diberikan Allah kepada orang-orang yang beriman. Maka orang-orang beriman itulah orang yang hatinya paling mendapatkan petunjuk di saat-saat berbagai musibah dan bencana menggoncangkan jiwa kebanyakan manusia. Keteguhan itu ditimbulkan dari kokohnya keimanan yang tertanam di dalam jiwa mereka
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa di dalam ayat di atas terkandung beberapa pelajaran yang agung, yaitu:
1.Segala musibah yang menimpa itu terjadi dengan qadha’ dan qadar dari Allah ta’ala.
2.Merasa ridha terhadap takdir tersebut dan bersabar dalam menghadapi musibah merupakan bagian dari nilai-nilai keimanan, sebab Allah menamakan sabar di sini dengan iman.
3.Kesabaran itu akan membuahkan hidayah menuju kebaikan di dalam hati dan kekuatan iman dan keyakinan.

Sabar Dalam Menghadapi Penyakit

Mengingat penyakit yang disandang oleh para penderita merupakan bagian dari musibah, maka diperlukan adanya kesabaran dengan menjauhkan dan meninggalkan segala bentuk keluh kesah, sebagaimana Allah Subhanahu Ta’ala dalam al-Qur’an menceritakan tentang kesabaran Nabi Ayyub dalam menghadapi penyakit kulit yang dideritanya.Berkenaan dengan cerita kesabaran Nabi Ayyub ini kami kutipkan tulisan Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar dalam Blog.Asy-Syariah. Disebutkan bahwa salah satu pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah Nabi Ayyub adalah bahwa kesabaran yang dimiliki seorang hamba ketika menghadapi sebuah musibah, akan senantiasa menghasilkan kebaikan. Karena memang sudah menjadi kepastian dari Allah Subhanahu Ta’ala bahwa ketika seorang hamba mampu bersikap sabar atas sebuah musibah yang menimpanya, maka Allah akan memberikan banyak kebaikan kepadanya. Sebagaimana Nabi Ayyub alaihisalam yang ditimpa penyakit kulit yang demikian hebat, namun beliau senantiasa bersabar dan ridha dengan apa yang menimpanya. Akhirnya Allah Ta’ala pun menyembuhkannya dan mengganti musibah itu dengan berbagai kenikmatan.
Al-Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menukilkan dari Ibnu ‘Abbas radhyallahu anhuma bahwa Nabi Ayyub alaihisalam dinamakan demikian karena beliau selalu kembali (dari kata ) kepada Allah segenap keadaannya.
Beliau termasuk nabi dari keturunan Bani Israil dan hamba Allah yang pilihan. Allah menyebut namanya dalam Kitab-Nya dan memuji dengan pujian yang baik, terutama terhadap kesabarannya dalam menghadapi ujian yang beliau alami.
Allah Subhanahu Ta’ala berfirman :
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
-
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِن ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُم مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Rabbnya: ‘(Ya Rabbku), sesung-guhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang’. Maka Kamipun memper-kenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”
Doa tersebut dikabulkan oleh Allah Subahanahu Ta'ala yang kemudian melepaskan beliau dari semua musibah yang menimpa beliau.

Demikianlah penderitaan Nabi Ayyub alaihisalam. Dan ini telah diisyaratkan oleh Rasulullah n dalam hadits Sa’d bin Abi Waqqash
Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?” Kata beliau: “Para Nabi, kemudian yang seperti mereka dan yang seperti mereka. Dan seseorang diuji sesuai dengan kadar dien (keimanannya). Apabila diennya kokoh, maka berat pula ujian yang dirasakannya; kalau diennya lemah, dia diuji sesuai dengan kadar diennya. Dan seseorang akan senantiasa ditimpa ujian demi ujian hingga dia dilepaskan berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak mempunyai dosa.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi)

Dari uraian yang disajikan diatas maka kita dapat mengambil manfaat bahwa, penyakit yang diderita oleh seseorang merupakan bagian dari musibah yang datangnya sesuai dengan ketetapan Allah Subhanahu Ta’ala yang harus dihadapi dengan kesabaran tanpa keluh kesah yang tentunya diikuti dengan ikhtiar melakukan pengobatan yang sesuai dengan syar’i, tidak berobat kedukun, orang pintar atau paranormal.Selanjutnya perlu diketahui bahwa orang-orang yang menderita sakit oleh Allah akan diberikan imbalan berupa kebaikan dengan digugurkannya/dihapuskannya sebagian dari kesalahan-kesalahannya ( Wallahu Ta’ala ‘alam)
Sumber : Asy-Syariah.com
27 Dzulqa’idah 1432 H/24 Oktober 2011
( Musni Japrie )

" BERBAHAGIALAH ORANG-ORANG YANG SAKIT "



Secara rutin satu bulan sekali kami para menderita penyakit seperti diabetes, hypertensi, jantung dan lain sebagainya diharuskan untuk melakukan control dan sekaligus untuk memperoleh obat untuk jatah selama sebulan ke poliklinik Dalam Rumah Sakit Umum Abdl.Wahab Syahranie. Pada kesempatan kunjungan rutin ke poliklinik dalam tersebut sekaligus dianggap oleh teman-teman sesama pasien tetap rawat jalan dianggap sebagai reuni bulanan sekaligus bersilaturahim .
Yang menggembirakan didalam pertemuan sesama penderita sambil menunggu antrian giliran panggilan untuk diperiksa oleh dokter spesialis atau antrian di apotek mengambil obat kadang-kadang diselingi dengan gurauan-gurauan sehinga hilanglah rasa jenuh.
Salah seorang diantara kami pernah mengatakan : “ sebenarnya orang-orang yang menderita sakit seperti kita-kita inipatut merasa berbahagia karena akibat sakit yang diderita selama ini telah menghapuskan atau menggugurkan kesalahan-kesalahan bagaikan daun-daun kering yang rontok berjatuhan “

Sesungguhnya apa yang disebutkan teman tersebut diatas benar adanya karena kata-kata yang disampaikannya tersebut merupakan kalimat penggalan dari hadits Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam sebagai berikut :
, “Tidaklah seseorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya.” (HR. Bukhari).
Dari pengertian hadits Rasullullah tersebut diatas maka dapatlah dimaknai bahwa hal-hal yang kecil seperti keletihan, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundahan, penyakit yang diderita hingga duri yang menusuk merupakan penderitaan yang menimpa manusia.Dimana hal-hal yang dirasakan oleh manusia sebagai penderitaan di dunia oleh Allah yang Maha Pengampun dan Maha Pengasih akan diberikan imbalan berupa dihapuskannya sebagian dari kesalahan-kesalahannya. Yang berarti dihapuskannya dosa akibat kesalahan yang pernah dilakukannya.

Penghapusan sebagian kesalahan ini merupakan hadiah khusus dari Allah kepada hamba-hambanya sehingga akan mengurangi beban dosa yang ada, dan ini tiada lain sesungguhnya adalah sebagai bentuk kebahagian tersendiri bagi orang-orang yang menderita sakit, apalagi bagi mereka yang menderita sakit berkepanjangan. Dengan tanpa meminta ampun atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya, Allah Subhanahu Ta’ala secara otomatis menghapuskan sebagian kesalahan sipenderita.
Selain terhadap orang-orang yang sakit tentunya terdapat perbedaan dimana Allah Yang Maha Pengampun tentunya tidak akan menghapuskan kesalahan-kesalahan ataupun dosa-dosa begitu saja tanpa adanya permintaan ampun dan tanpa melakukan kebaikan-kebaikan yang diperintahkan Allah sebagai persyaratan datangnya pengampunan dari Allah Subhanahu Ta’ala. Karena permintaan ampun kepada Allah Ta’ala oleh hamba-hambanya atas kesalahan dan dosa-dosanya adalah merupakan syarat mutlak datangnya pengampunan. Selain itu berbuat kebaikan-kebaikan yang diperintahkan juga merupakan usaha untuk menghapus kesalahan-kesalahan. Seperti melakukan sholat baik fardhu maupun sunat.

Penyakit Merupakan Musibah Sebagai Ketetapan Dari Allah
Sebagaimana yang sering diriwayatkan dari sumber yang shahih, bahwa seluruh makhluk yang diciptakan Allah mengikuti skenario yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu Ta’ala dalam takdir 50.000 tahun sebelum bumi diciptakan, yang tentunya termasuk di dalamnya segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan bani adam baik berupa kebahagian atau kesengsaraan seperti musibah yang menimpa manusia, baik yang sifatnya berbentuk musibah kecil untuk masing-masing orang seperti menderita sesuatu penyakit maupun musibah berskala besar yang menimpa umat manusia. Hal tersebut ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu Ta’ala :

وَإِن يَمْسَسْكَ اللّهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَآدَّ لِفَضْلِهِ يُصَيبُ بِهِ مَن يَشَاء مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ ( QS. Yunus : 107 )

Apapun yang menimpa manusia berupa takdir sebagai suatu ketetapan yang datangnya dari Allah Subhanahu Ta’ala tidak akan lepas dari manusia seperti yang disebutkan Allah dalam firman-Nya
قُلْ لَنْ يُصِيْبَنَا إلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللهِ فَاْليَتَوَكَّلِ اْلمُؤْمِنُوْنَ
“Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal”( QS.at-Taubah : 51 )
Sesungguhnya musibah dan bencana merupakan bagian dari takdir Allah Yang Maha Bijaksana. Allah ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidaklah menimpa suatu musibah kecuali dengan izin Allah. Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (Qs. at-Taghabun: 11)
Ibnu Katsir rahimahullah menukil keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa yang dimaksud dengan izin Allah di sini adalah perintah-Nya yaitu ketetapan takdir dan kehendak-Nya. Beliau juga menjelaskan bahwa barang siapa yang tertimpa musibah lalu menyadari bahwa hal itu terjadi dengan takdir dari Allah kemudian dia pun bersabar, mengharapkan pahala, dan pasrah kepada takdir yang ditetapkan Allah niscaya Allah akan menunjuki hatinya. Allah akan gantikan kesenangan dunia yang luput darinya -dengan sesuatu yang lebih baik, pent- yaitu berupa hidayah di dalam hatinya dan keyakinan yang benar. Allah berikan ganti atas apa yang Allah ambil darinya, bahkan terkadang penggantinya itu lebih baik daripada yang diambil. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma ketika menafsirkan firman Allah (yang artinya), “Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya.” Maksudnya adalah Allah akan tunjuki hatinya untuk merasa yakin sehingga dia menyadari bahwa apa yang -ditakdirkan- menimpanya pasti tidak akan meleset darinya. Begitu pula segala yang ditakdirkan tidak menimpanya juga tidak akan pernah menimpa dirinya Beliau -Ibnu Katsir- juga menukil keterangan al-A’masy yang meriwayatkan dari Abu Dhabyan, dia berkata, “Dahulu kami duduk-duduk bersama Alqomah, ketika dia membaca ayat ini ‘barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya’ dan beliau ditanya tentang maknanya. Maka beliau menjawab, ‘Orang -yang dimaksud dalam ayat ini- adalah seseorang yang tertimpa musibah dan mengetahui bahwasanya musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha dan pasrah kepada-Nya.” Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim di dalam tafsir mereka. Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan ketika menafsirkan ayat itu, “Yaitu -Allah akan menunjuki hatinya- sehingga mampu mengucapkan istirja’ yaitu Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ayat di atas berlaku umum untuk semua musibah, baik yang menimpa jiwa/nyawa, harta, anak, orang-orang yang dicintai, dan lain sebagainya. Maka segala musibah yang menimpa hamba adalah dengan ketentuan qadha’ dan qadar Allah. Ilmu Allah telah mendahuluinya, kejadian itu telah dicatat oleh pena takdir-Nya. Kehendak-Nya pasti terlaksana dan hikmah/kebijaksanaan Allah memang menuntut terjadinya hal itu. Namun, yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah hamba yang tertimpa musibah itu menunaikan kewajiban dirinya ketika berada dalam kondisi semacam ini ataukah dia tidak menunaikannya? Apabila dia menunaikannya maka dia akan mendapatkan pahala yang melimpah ruah di dunia dan di akherat. Apabila dia mengimani bahwasanya musibah itu datang dari sisi Allah sehingga dia merasa ridha atasnya dan menyerahkan segala urusannya -kepada Allah - niscaya Allah akan tunjuki hatinya. Dengan sebab itulah ketika musibah datang hatinya akan tetap tenang dan tidak tergoncang seperti yang biasa terjadi pada orang-orang yang tidak mendapat karunia hidayah Allah di dalam hatinya. Dalam keadaan seperti itu Allah karuniakan kepada dirinya -seorang mukmin- keteguhan ketika terjadinya musibah dan mampu menunaikan kewajiban untuk sabar. Dengan sebab itulah dia akan memperoleh pahala di dunia, di sisi lain ada juga balasan yang Allah simpan untuk-Nya dan akan diberikan kepadanya kelak di akherat. Hal itu sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya hanya akan disempurnakan balasan bagi orang-orang yang sabar itu dengan tanpa batas hitungan.”
Beliau melanjutkan, dari sinilah dapat dimengerti bahwa barang siapa yang tidak beriman terhadap takdir Allah ketika terjadinya musibah dan dia meyakini bahwa apa yang terjadi sekedar mengikuti fenomena alam dan sebab-sebab yang tampak niscaya orang semacam itu akan dibiarkan tanpa petunjuk dan dibuat bersandar kepada dirinya sendiri. Apabila seorang hamba disandarkan hanya kepada kekuatan dirinya sendiri maka tidak ada yang diperolehnya melainkan keluhan dan penyesalan yang hal itu merupakan hukuman yang disegerakan bagi seorang hamba sebelum hukuman di akherat akibat telah melalaikan kewajiban bersabar. Di sisi yang lain, ayat di atas juga menunjukkan bahwasanya setiap orang yang beriman terhadap segala perkara yang diperintahkan untuk diimani, seperti iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, takdir yang baik dan yang buruk, dan melaksanakan konsekuensi keimanan itu dengan menunaikan berbagai kewajiban, maka sesungguhnya hal ini merupakan sebab paling utama untuk mendapatkan petunjuk Allah dalam menyikapi keadaan yang dialaminya sehingga dia bisa berucap dan bertindak dengan benar. Dia akan mendapatkan petunjuk ilmu maupun amalan. Inilah balasan paling utama yang diberikan Allah kepada orang-orang yang beriman. Maka orang-orang beriman itulah orang yang hatinya paling mendapatkan petunjuk di saat-saat berbagai musibah dan bencana menggoncangkan jiwa kebanyakan manusia. Keteguhan itu ditimbulkan dari kokohnya keimanan yang tertanam di dalam jiwa mereka
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa di dalam ayat di atas terkandung beberapa pelajaran yang agung, yaitu:
1.Segala musibah yang menimpa itu terjadi dengan qadha’ dan qadar dari Allah ta’ala.
2.Merasa ridha terhadap takdir tersebut dan bersabar dalam menghadapi musibah merupakan bagian dari nilai-nilai keimanan, sebab Allah menamakan sabar di sini dengan iman.
3.Kesabaran itu akan membuahkan hidayah menuju kebaikan di dalam hati dan kekuatan iman dan keyakinan.

Sabar Dalam Menghadapi Penyakit
Mengingat penyakit yang disandang oleh para penderita merupakan bagian dari musibah, maka diperlukan adanya kesabaran dengan menjauhkan dan meninggalkan segala bentuk keluh kesah, sebagaimana Allah Subhanahu Ta’ala dalam al-Qur’an menceritakan tentang kesabaran Nabi Ayyub dalam menghadapi penyakit kulit yang dideritanya.Berkenaan dengan cerita kesabaran Nabi Ayyub ini kami kutipkan tulisan Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar dalam Blog.Asy-Syariah. Disebutkan bahwa salah satu pelajaran penting yang bisa diambil dari kisah Nabi Ayyub adalah bahwa kesabaran yang dimiliki seorang hamba ketika menghadapi sebuah musibah, akan senantiasa menghasilkan kebaikan. Karena memang sudah menjadi kepastian dari Allah Subhanahu Ta’ala bahwa ketika seorang hamba mampu bersikap sabar atas sebuah musibah yang menimpanya, maka Allah akan memberikan banyak kebaikan kepadanya. Sebagaimana Nabi Ayyub alaihisalam yang ditimpa penyakit kulit yang demikian hebat, namun beliau senantiasa bersabar dan ridha dengan apa yang menimpanya. Akhirnya Allah Ta’ala pun menyembuhkannya dan mengganti musibah itu dengan berbagai kenikmatan.
Al-Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya menukilkan dari Ibnu ‘Abbas radhyallahu anhuma bahwa Nabi Ayyub alaihisalam dinamakan demikian karena beliau selalu kembali (dari kata ) kepada Allah segenap keadaannya.
Beliau termasuk nabi dari keturunan Bani Israil dan hamba Allah yang pilihan. Allah menyebut namanya dalam Kitab-Nya dan memuji dengan pujian yang baik, terutama terhadap kesabarannya dalam menghadapi ujian yang beliau alami.
Allah Subhanahu Ta’ala berfirman :
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَى رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
-
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِن ضُرٍّ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُم مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَذِكْرَى لِلْعَابِدِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Ayyub, ketika ia menyeru Rabbnya: ‘(Ya Rabbku), sesung-guhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang’. Maka Kamipun memper-kenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” (Al-Anbiya`: 83-84)
Dalam dua ayat yang mulia ini, Allah Ta’ala memerintahkan Nabi-Nya n agar mengingat Nabi Ayyub u ketika beliau berdoa kepada Rabbnya:

“Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”
Doa tersebut dikabulkan oleh Allah Subahanahu Ta'ala yang kemudian melepaskan beliau dari semua musibah yang menimpa beliau.
Demikianlah penderitaan Nabi Ayyub alaihisalam. Dan ini telah diisyaratkan oleh Rasulullah n dalam hadits Sa’d bin Abi Waqqash
Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berat ujiannya?” Kata beliau: “Para Nabi, kemudian yang seperti mereka dan yang seperti mereka. Dan seseorang diuji sesuai dengan kadar dien (keimanannya). Apabila diennya kokoh, maka berat pula ujian yang dirasakannya; kalau diennya lemah, dia diuji sesuai dengan kadar diennya. Dan seseorang akan senantiasa ditimpa ujian demi ujian hingga dia dilepaskan berjalan di muka bumi dalam keadaan tidak mempunyai dosaa.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi)

Dari uraian yang disajikan diatas maka kita dapat mengambil manfaat bahwa, penyakit yang diderita oleh seseorang merupakan bagian dari musibah yang datangnya sesuai dengan ketetapan Allah Subhanahu Ta’ala yang harus dihadapi dengan kesabaran tanpa keluh kesah yang tentunya diikuti dengan ikhtiar melakukan pengobatan yang sesuai dengan syar’i, tidak berobat kedukun, orang pintar atau paranormal.Selanjutnya perlu diketahui bahwa orang-orang yang menderita sakit oleh Allah akan diberikan imbalan berupa kebaikan dengan digugurkannya/dihapuskannya sebagian dari kesalahan-kesalahannya ( Wallahu Ta’ala ‘alam)
Sumber : Asy-Syariah.com
27 Dzulqa’idah 1432 H/24 Oktober 2011
( Musni Japrie )

Sabtu, 22 Oktober 2011

"Janganlah Kita Menjadi Warga yang Mendzalimi Pemerintah "



Hari ini berita mengenai tewasnya pemimpin Libya yang terkenal Muamar Khadafy menjadi head line di hampir seluruh surat-surat kabar maupun televisi, bagaimana mantan orang nomor satu di negeri Islam yang disegani oleh banyak negara dihabisi secara berutal dan sadis dalam keadaan tidak berdaya dieksekusi oleh bekas rakyatnya sendiri ditengah eforia kemenangan kaum pemberontak dan oposisi yang merebut kekuasaan sah.
Sesungguhnya perbuatan seperti yang dilakukan oleh rakyat sebagian besar rakyat Libya dan dibanyak negara-negara yang mayoritas penduduknya umat islam seperti Tunisia, Mesir, Suriah dan Yaman merupakan perbuatan yang dzalim terhadap penguasa atau pemimpin negaranya yang secara sah diangkat dan dipilih oleh rakyatnya.
Sebagai sesama muslim kita sepatutnya kecewa dan prihatin atas eksekusi terhadap Muamar Khadafy, terlepas bagaimana tingkah dan tindak tanduk yang bersangkutan selama 42 tahun menjadi Presiden Libya, kita patut sesalkan terjadinya tindakan pendzaliman yang dilakukan oleh sebagian orang-orang terhadap kepala negaranya sendiri, padahal mereka adalah orang-orang muslim.
Tulisan ini sengaja diketengahkan untuk mengingatkan kepada sesama saudara muslim dinegeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam, bahwa sebenarnya Islam memerintahkan kepada umatnya untuk taat tidak saja kepada Allah, Rasulullah tetapi juga taat kepada penguasa/pemimpin/pemerintah.Dan ketaatan kepada pemerintah ini merupakan salah satu prinsii yang agung dalam islam.
Allah Subhanahu Ta’ala telah memerintahkan kepada kaum muslimin untuk taat kepada penguasanya betapapun jelek dan dzalimnya mereka. Tentunya dengan syarat, selama para penguasa tersebut tidak menampakkan kekafiran yang juga memerintahkan agar kita bersabar menghadapi kedzaliman mereka dan tetap berjalan di atas sunnah.
Karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah dan memberontak kepada penguasanya maka matinya mati jahiliyyah. Yakni mati dalam keadaan bermaksiat kepada Allah seperti keadaan orang-orang jahiliyyah.1 (Lihat ucapan Al-Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim)
Dari Ibnu Abbas c, dia berkata: ”Rasulullah bersabda
Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak dia sukai dari penguasanya, maka bersabarlah! Karena barangsiapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, maka ia akan mati dalam keadaan mati jahiliyyah.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Wajib taat kepada pemimpin/pemerintah walaupun jahat dan dzalim

Kewajiban taat kepada pemerintah ini, sebagaimana dijelaskan , adalah terhadap setiap penguasa, meskipun jahat, dzalim, atau melakukan banyak kejelekan dan kemaksiatan. Kita tetap bersabar mengharapkan pahala dari Allah dengan memberikan hak mereka, yaitu ketaatan walaupun mereka tidak memberikan hak kita.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud z, dia berkata: “Rasulullah bersabda :‘Akan muncul setelahku atsarah (orang-orang yang mengutamakan diri mereka sendiri dan tidak memberikan hak kepada orang yang berhak -red) dan perkara-perkara yang kalian ingkari’. Mereka (para shahabat -red) bertanya: ‘Apa yang engkau perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau berkata:“Tunaikanlah kewajiban kalian kepada mereka dan mintalah hak kalian kepada Allah.”(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)
Diriwayatkan pula dari ‘Adi bin Hatim z. Dia berkata: “Kami mengatakan: Wahai Rasulullaah kami tidak bertanya tentang ketaatan orang-orang yang takwa, tetapi orang yang berbuat begini dan begitu…(disebutkan kejelekan-kejelekan), maka Rasulullah bersabda :
‘Bertakwalah kepada Allah! Dengar dan taatlah!’
(Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu Abu ‘Ashim dalam As-Sunnah dan lain-lain. Lihat Al-Wardul Maqthuf, hal. 32)
Berkata Ibnu Taimiyyah rahimahulah : “Bahwasanya termasuk ilmu dan keadilan yang diperintahkan adalah sabar terhadap kedzaliman para penguasa dan kejahatan mereka, sebagaimana ini merupakan prinsip dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah dalam hadits yang masyhur.” (Majmu’ Fatawa juz 28, hal. 179, cet. Maktabah Ibnu Taimiyyah Mesir)
Sedangkan menurut Al-Imam An-Nawawi rahimahullah: “Kesimpulannya adalah sabar terhadap kedzaliman penguasa dan bahwasanya tidak gugur ketaatan dengan kedzaliman mereka.” (Syarah Shahih Muslim, 12/222, cet. Darul Fikr Beirut)
Berkata Ibnu Hajar: “Wajib berpegang dengan jamaah muslimin dan penguasa-penguasa mereka walaupun mereka bermaksiat.” (Fathul Bari Bi Syarhi Shahihil Bukhari
Meskipun penguasa tersebut cacat secara fisik, Rasulullah memerintahkan kita untuk tetap mendengar dan taat. Walaupun hukum asal dalam memilih pemimpin adalah laki-laki, dari Quraisy, berilmu, tidak cacat, dan seterusnya, namun jika seseorang yang tidak memenuhi kriteria tersebut telah berkuasa -apakah dengan pemilihan, kekuatan (kudeta), dan peperangan- maka ia adalah penguasa yang wajib ditaati dan dilarang memberontak kepadanya. Kecuali, jika mereka memerintahkan kepada kemaksiatan dan kesesatan, maka tidak perlu menaatinya (pada perkara tersebut, red) dengan tidak melepaskan diri dari jamaah.
Diriwayatkan dari Abu Dzar z bahwa dia berkata:
Telah mewasiatkan kepadaku kekasihku agar aku mendengar dan taat walaupun yang berkuasa adalah bekas budak yang terpotong hidungnya (cacat)2” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya, 3/467, cet. Daru Ihya-ut Turats Al-Arabi, Beirut. HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 54)
Juga diriwayatkan dari Suwaid bin Ghafalah z. Dia berkata: “Berkata kepadaku ‘Umar z: ‘Wahai Abu Umayyah, aku tidak tau apakah aku akan bertemu engkau lagi setelah tahun ini…, jika dijadikan amir (pemimpin) atas kalian seorang hamba dari Habasyah, terpotong hidungnya maka dengarlah dan taatlah! Jika dia memukulmu, sabarlah! Jika mengharamkan untukmu hakmu, sabarlah! Jika ingin sesuatu yang mengurangi agamamu, maka katakanlah aku mendengar dan taat pada darahku bukan pada agamaku, dan tetaplah kamu jangan memisahkan diri dari jamaah .

Beramar ma’ruf nahi munkar kepada Pemerintah
Allah adalah Dzat Yang Maha Adil. Dia akan memberikan kepada orang-orang yang beriman seorang pemimin yang arif dan bijaksana. Sebaliknya Dia akan menjadikan bagi rakyat yang durhaka seorang pemimpin yang dhalim.
Maka jika terjadi pada suatu masyarakat seorang pemimpin yang dhalim, sesungguhnya kedhaliman tersebut dimulai dari rakyatnya. Meskipun demikian apabila rakyat dipimpin oleh seorang penguasa yang melakukan kemaksiatan dan penyelisihan (terhadap syariat) yang tidak mengakibatkan dia kufur dan keluar dari Islam maka tetap wajib bagi rakyat untuk menasihati dengan cara yang sesuai dengan syariat.
Bukan dengan ucapan yang kasar lalu dilontarkan di tempat-tempat umum apalagi menyebarkan dan membuka aib pemerintah yang semua ini dapat menimbulkan fitnah yang lebih besar lagi dari permasalahan yang mereka tuntut.
Adapun dasar memberikan nasihat kepada pemerintah dengan sembunyi-sembunyi adalah hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Barangsiapa yang hendak menasihati pemerintah dengan suatu perkara maka janganlah ia tampakkan di khalayak ramai. Akan tetapi hendaklah ia mengambil tangan penguasa (raja) dengan empat mata. Jika ia menerima maka itu (yang diinginkan) dan kalau tidak, maka sungguh ia telah menyampaikan nasihat kepadanya. Dosa bagi dia dan pahala baginya (orang yang menasihati).”
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ahmad, Al Khaitsami dalam Al Majma’ 5/229, Ibnu Abi Ashim dalam As Sunnah 2/522, Abu Nu’aim dalam Ma’rifatus Shahabah 2/121. Riwayat ini banyak yang mendukungnya sehingga hadits ini kedudukannya shahih bukan hasan apalagi dlaif sebagaimana sebagian ulama mengatakannya. Demikian keterangan Syaikh Abdullah bin Barjas bin Nashir Ali Abdul Karim (lihat Muamalatul Hukam fi Dlauil Kitab Was Sunnah halaman 54).
Dan Syaikh Al Albani menshahihkannya dalam Dzilalul Jannah fi Takhriji Sunnah 2/521-522. Hadits ini adalah pokok dasar dalam menasihati pemerintah. Orang yang menasihati jika sudah melaksanakan cara ini maka dia telah berlepas diri (dari dosa) dan pertanggungjawaban. Demikian dijelaskan oleh Syaikh Abdullah bin Barjas.
Bertolak dari hadits yang agung ini, para ulama Salaf berkata dan berbuat sesuai dengan kandungannya. Di antara mereka adalah Imam As Syaukani yang berkata : “Bagi orang-orang yang hendak menasihati imam (pemimpin) dalam beberapa masalah –lantaran pemimpin itu telah berbuat salah– seharusnya ia tidak menampakkan kata-kata yang jelek di depan khalayak ramai.
Tetapi sebagaimana dalam hadits di atas bahwa seorang tadi mengambil tangan imam dan berbicara empat mata dengannya kemudian menasihatinya tanpa merendahkan penguasa yang ditunjuk Allah. Kami telah menyebutkan pada awal kitab As Sair : Bahwasanya tidak boleh memberontak terhadap pemimpin walaupun kedhalimannya sampai puncak kedhaliman apapun, selama mereka menegakkan shalat dan tidak terlihat kekufuran yang nyata dari mereka. Hadits-hadits dalam masalah ini mutawatir.
Akan tetapi wajib bagi makmur (rakyat) mentaati imam (pemimpin) dalam ketaatan kepada Allah dan tidak mentaatinya dalam maksiat kepada Allah. Karena sesungguhnya tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (As Sailul Jarar 4/556)
Imam Tirmidzi membawakan sanadnya sampai ke Ziyad bin Kusaib Al Adawi. Beliau berkata : “Aku di samping Abu Bakrah berada di bawah mimbar Ibnu Amir. Sementara itu Ibnu Amir tengah berkhutbah dengan mengenakan pakaian tipis. Maka Abu Bilal[3] berkata : “Lihatlah pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasik.”
Lantas Abu Bakrah berkata : “Diam kamu! Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Barangsiapa yang menghina (merendahkan) penguasa yang ditunjuk Allah di muka bumi maka Allah akan menghinakannya.’ ” (Sunan At Tirmidzi nomor 2224)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah menjelaskan tata cara menasihati seorang pemimpin sebagaimana yang dikatakan oleh Imam As Syaukani sampai pada perkataannya : “ … sesungguhnya menyelisihi pemimpin dalam perkara yang bukan prinsip dalam agama dengan terang-terangan dan mengingkarinya di perkumpulan-perkumpulan masjid, selebaran-selebaran, tempat-tempat kajian, dan sebagainya, itu semua sama sekali bukan tata cara menasihati. Oleh karena itu jangan engkau tertipu dengan orang yang melakukannya walaupun timbul dari niat yang baik. Hal itu menyelisihi cara Salafus Shalih yang harus diikuti. Semoga Allah memberi hidayah padamu.” (Maqasidul Islam halaman 395)
Diriwayatkan dari Usamah bin Zaid bahwasanya beliau ditanya : “Mengapa engkau tidak menghadap Utsman untuk menasihatinya?” Maka jawab beliau : “Apakah kalian berpendapat semua nasihatku kepadanya harus diperdengarkan kepada kalian? Demi Allah, sungguh aku telah menasihatinya hanya antara aku dan dia. Dan aku tidak ingin menjadi orang pertama yang membuka pintu (fitnah) ini.” (HR. Bukhari 6/330 dan 13/48 Fathul Bari dan Muslim dalam Shahih-nya 4/2290)
Syaikh Al Albani mengomentari riwayat ini dengan ucapannya : “Yang beliau (Usamah bin Zaid) maksudkan adalah (tidak melakukannya, pent.) terang-terangan di hadapan khalayak ramai dalam mengingkari pemerintah. Karena pengingkaran terang-terangan bisa berakibat yang sangat mengkhawatirkan. Sebagaimana pengingkaran secara terang-terangan kepada Utsman mengakibatkan kematian beliau

K h a t i m a h
Dari ulasan berdasarkan dalil yang shahih sebagaimana diungkapkan diatas, maka umat islam sebenarnya diperintahkan untuk taat kepada pemimpin dalam hal ini pemerintah dan seyogyanya tidak melakukan upaya-upaya untuk merongrong dan berusaha menjatuhkan pemimpin/pemerintah seperti melakukan demonstrasi serta menghujat pemimpin lagi-lagi melakukan pemberontakan sehingga pemimpin terdzalimi sebagaimana di Negara-negara Timur Tengah yang notabene penduduknya mayoritas islam . ( Walahu Ta’ala ‘alam )
Dalil dipetik/ diambil dari sumber : http://asysyariah.com
22 Oktober 2011
( Musni Japrie )

Jumat, 21 Oktober 2011

" Hai Bani Adam ! Aku sakit mengapa kamu tidak menjenguk-Ku ? "



Kalimat tersebut diatas adalah kutipan dari penggalan sebuah hadits qudsi tentang diperintahkannya seorang muslim untuk mengunjungi saudaranya sesama muslim yang lagi sakit. Dan hadits qudsi tersebut disampaikan oleh ustadz yang juga sekaligus imam tetap di langgar kami, yang disampaikan pada saat sejumlah jama’ah langgar dikampung kami datang bersama-sama menjenguk salah seorang anggota jama’ah yang sedang sakit beberapa waktu yang lalu.
Sudah merupakan tradisi dilingkungan langgar kami apabila ada diantara anggota jamaah yang sakit untuk dikunjungi. Dan biasanya apabila salah seorang jama’ah yang biasanya secara rutin tidak pernah ketinggalan sholat berjama’ah kemudian selama beberapa hari tidak nampak hadir dilanggar, maka ketidak hadirannya akan dipertanyakan, apabila ternyata ketidak hadiran tersebut dikarenakan alasan ,maka imam langgar mengajak jama’ah lainnya untuk mengunjungi sisakit.
Kunjungan yang dilakukan kepada mereka- mereka yang sedang sakit itu adalah sebagai bentuk solidaritas manusia yang hidup bermasyakat dalam bermuamalah dan membina hubungan yang baik sesama manusia.

Islam sebagai agama samawi yang mempunyai tuntunan paling terlengkap dan paling sempurna tentang segala sesuatunya baik yang berkaitan dengan bagaimana manusia berhubungan dengan Allah Yang Maha Pencipta, serta bagaimana cara manusia berhubungan dengan sesama manusia sebagai makhluk sosial. Tuntunan tersebut disusun dalam bentuk al-Qur’an sebagai Kalamullah dan Sunnah Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam.

Salah satu tuntutan dalam Islam yang perlu mendapatkan perhatian dan perlu diaplikasikan dalam kehidupan keseharian sebagai makhluk sosial dalam bermuamalah adalah Mengunjungi orang-orang yang sakit.

Mengingat bahwa mengunjungi orang yang sakit telah disyari’atkan oleh agama., maka tentunya aturan tersebut tidak saja memberikan dampak positip bagi si sakit yang dikunjungi tetapi juga memberikan dampak positip bagi pihak yang mengunjungi. Subhanahullaah, dapat dibayangkan apa saja yang dilakukan oleh seorang hama yang bersifat positip , oleh Allah telah dijanjikan akan diberikan imbalan berupa pahala yang berlipat.

Islam telah mensyari’atkan mengenai hal-hal yang berkenaan dengan mengunjungi orang yang sakit dengan memberikan keutamaan bagi yang melakukannya. Keutamaan tersebut tertuang dalam banyak hadits dari Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam yang dijadikan dasar pijakan mengapa seseorang hamba diperintahkan mengunjungi orang sakit.

Mengunjungi orang yang sedang sakit merupakan sikap untuk menunjukkan kecintaan kita kepada sesama saudara seiman, serta ikut merasakan apa yang menjadi penderitaan saudara kita tersebut. Sebuah hadits menyinggung tentang keutamaan saling mencintai dan berkunjung serta ikut merasakan sakit diantara kaum muslimin adalah sebagai mana yang diriwsayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullaah :

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ عَامِرٍ قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَرَى الْمُؤْمِنِينَ فِي تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Zakariya` dari 'Amir dia berkata; saya mendengar An Nu'man bin Basyir berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kamu akan melihat orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya)."

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Zakariya` dari 'Amir dia berkata; saya mendengar An Nu'man bin Basyir berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Kamu akan melihat orang-orang mukmin dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga dan panas (turut merasakan sakitnya)."

Sedangkan Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan sebagai berikut :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا زَكَرِيَّاءُ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ الْحَنْظَلِيُّ أَخْبَرَنَا جَرِيرٌ عَنْ مُطَرِّفٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنَحْوِهِ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Abdillah bin Numair; Telah menceritakan kepada kami Bapakku; Telah menceritakan kepada kami Zakaria dari Asy Sya'bi dari An Nu'man bin Bisyir dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang-Orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya) '" Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Al Hanzhali; Telah mengabarkan kepada kami Jarir dari Mutharrif dari Asy Sya'bi dari An Nu'man bin Bisyir dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan Hadits yang serupa.

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin 'Abdillah bin Numair; Telah menceritakan kepada kami Bapakku; Telah menceritakan kepada kami Zakaria dari Asy Sya'bi dari An Nu'man bin Bisyir dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang-Orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya) '" Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Al Hanzhali; Telah mengabarkan kepada kami Jarir dari Mutharrif dari Asy Sya'bi dari An Nu'man bin Bisyir dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dengan Hadits yang serupa.

Dari hadits yang diriwayatkan baik oleh Imam al-Bukhari rahimahullah dan Imam Muslim rahimahullah diatas, disebutkan bahwa sesama muslim yang saling mencintai, mengasihi dan menyayangi diumpamakan oleh Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam sebagai satu batang tubuh dari manusia, dimana apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut merasa sakit sehingga tidak dapat tidur. Sehingga dengan demikian maka apabila ada diantara kaum muslim yang mendapatkan sesuatu musibah seperti sakit maka saudara sesama muslim lainnya juga turut merasakannya.

Sebagai bentuk wujud dari merasakan apa yang dirasakan oleh saudara kita yang menderita sakit maka Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits qudsi menggambarkan tentang pertanyaan Allah kepada bani Adam yang tidak menengok Allah, lebih lengkapnya sebagai mana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullaah dari Abu Hurairah, dia berkata bahwa Rasullulah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda : Allah berfirman :

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَا ابْنَ آدَمَ مَرِضْتُ فَلَمْ تَعُدْنِي قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَعُودُكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّ عَبْدِي فُلَانًا مَرِضَ فَلَمْ تَعُدْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ عُدْتَهُ لَوَجَدْتَنِي عِنْدَهُ يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَطْعَمْتُكَ فَلَمْ تُطْعِمْنِي قَالَ يَا رَبِّ وَكَيْفَ أُطْعِمُكَ Telah."
وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّهُ اسْتَطْعَمَكَ عَبْدِي فُلَانٌ فَلَمْ تُطْعِمْهُ أَمَا عَلِمْتَ أَنَّكَ لَوْ أَطْعَمْتَهُ لَوَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي يَا ابْنَ آدَمَ اسْتَسْقَيْتُكَ فَلَمْ تَسْقِنِي قَالَ يَا رَبِّ كَيْفَ أَسْقِيكَ وَأَنْتَ رَبُّ الْعَالَمِينَ قَالَ اسْتَسْقَاكَ عَبْدِي فُلَانٌ فَلَمْ تَسْقِهِ أَمَا إِنَّكَ لَوْ سَقَيْتَهُ وَجَدْتَ ذَلِكَ عِنْدِي

: Hai anak Adam! Aku sakit, mengapa kamu tidak menjenguk-Ku?" Jawab anak Adam; "Wahai Rabbku, bagaimana mengunjungi Engkau, padahal Engkau Tuhan semesta alam?" Allah Ta'ala berfirman: "Apakah kamu tidak tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sakit, mengapa kamu tidak mengunjunginya? Apakah kamu tidak tahu, seandainya kamu kunjungi dia kamu akan mendapati-Ku di sisinya?" "Hai, anak Adam! Aku minta makan kepadamu, mengapa kamu tidak memberi-Ku makanJawab anak Adam; "Wahai Rabbku, Bagaimana mungkin aku memberi engkau makan, padahal Engkau Tuhan semesta alam?" Allah Ta'ala berfirman: "Apakah kamu tidak tahu, bahwa hamba-Ku si Fulan minta makan kepadamu tetapi kamu tidak memberinya makan. Apakah kamu tidak tahu seandainya kamu memberinya makan niscaya engkau mendapatkannya di sisi-Ku?" "Hai, anak Adam! Aku minta minum kepadamu, mengapa kamu tidak memberi-Ku minum?" Jawab anak Adam; "Wahai Tuhanku, bagaimana mungkin aku memberi Engkau minum, padahal Engkau Tuhan semesta alam?" Allah Ta'ala menjawab: "Hamba-Ku si Fulan minta minum kepadamu, tetapi kamu tidak memberinya minum. Ketahuilah, seandainya kamu memberinya minum, niscaya kamu mendapatkannya di sisi-Ku.

Kaum muslimin olrh Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam dianjurkan untuk menjenguk sesama saudara muslim yang sakit karena dalam kunjungan itu mempunyai keutamaan dan mendapatkan ganjaran pahala sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits pendek riwayat Muslim rahimahullah dari Tsauban maula Rasullulah shallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَادَ مَرِيضًا لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَرْجِعَ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi; Telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari Khalid dari Abu Qilabah dari Abu Asma' dari Tsauban -budak- dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa yang menjenguk orang sakit, maka dia senantiasa berada dalam sebuah taman surga sampai dia pulang kembali."

: "Barangsiapa yang menjenguk orang sakit, maka dia senantiasa berada dalam sebuah taman surga sampai dia pulang kembali."

Di lain hadists riwayat at-Tirmidzi rahimahullaah dari Abu Hurairah Radhyallah ‘anhum , dia berkata Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّ اللَّهِ نَادَاهُ مُنَادٍ أَنْ طِبْتَ وَطَابَ مَمْشَاكَ وَتَبَوَّأْتَ مِنْ الْجَنَّةِ مَنْزِلًاالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ وَأَبُو سِنَانٍ اسْمُهُ عِيسَى بْنُ سِنَانٍ وَقَدْ رَوَى حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا مِنْ هَذَا

: "Barangsiapa yang menjenguk orang sakit atau mengunjungi saudaranya semata-mata karena Allah, maka seorang penyeru akan menyeru: Engkau telah berbuat baik dan berjalanmu pun baik serta engkau telah memesan sebuah tempat di surga." Berkata Abu Isa: Ini merupakan hadits hasan gharib dan Abu Sinan bernama Isa bin Sinan. Hammad bin Salamah telah meriwayatkan dari Tsabit dari Abi Rafi' dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebagian dari hadits ini.

Dalam rangka menjenguk orang yang sakit Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan agar mendoakan kepada si sakit akan kesembuhannya, sebagaimana yang dituangkan dalam hadits riwayat Imam al-Bukhari rahimahullah :”

حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا يَزِيدُ أَبُو خَالِدٍ عَنْ الْمِنْهَالِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ عَادَ مَرِيضًا لَمْ يَحْضُرْ أَجَلُهُ فَقَالَ عِنْدَهُ سَبْعَ مِرَارٍ أَسْأَلُ اللَّهَ الْعَظِيمَ رَبَّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ أَنْ يَشْفِيَكَ إِلَّا عَافَاهُ اللَّهُ مِنْ ذَلِكَ الْمَرَضِ

Telah menceritakan kepada kami Ar Rabi' bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Yazid? Abu Khalid dari Al Minhal bin 'Amr dari Sa'id bin Jubair dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau berkata: "Barangsiapa yang mengunjungi orang sakit yang belum datang ajalnya kemudian ia mengucapkan (doa) di sebelahnya sebanyak tujuh kali: AS ALULLAAHAL 'AZHIIM RABBAL 'ARSYIL 'AZHIIM AN YASYFIYAKA (aku mohon kepada Allah yang Maha Agung, Tuhan Arsy yang Agung semoga Dia menyembuhkanmu), maka Allah akan menyembuhkannya dari penyakit tersebut.

Selain mendoakan kesembuhan sisakit, maka bagi mereka yang menjenguk seyogyanya memberikan anjuran agar sisakit menerima dengan sabar musibah berupa penyakit yang datangnya dari Allah Yang Maha Berkehendak. Karena berkenaan dengan keutamaan beberapa penyakit danmusibah bagi orang mukmin dan orang yang sabar dan ridha Allah Ta’ala telah berfirmanm dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 155-157 ) :

وَلَنَبْلُوَ َّكُمْ بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ن

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُواْ إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّـا إِلَيْهِ رَاجِعونَ أُولَـئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَـئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun" Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.


Selain ayat-ayat al-Qur’an sebagaimana yang dikutipkan diatas, maka hadist riwayat Imam Muslim rahimahullaah Menyebutkan :

حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ وَشَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ جَمِيعًا عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ الْمُغِيرَةِ وَاللَّفْظُ لِشَيْبَانَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ صُهَيْبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ

Telah menceritakan kepada kami Haddab bin Khalid Al Azdi dan Syaiban bin Farrukh semuanya dari Sulaiman bin Al Mughirah dan teksnya meriwayatkan milik Syaiban, telah menceritakan kepada kami Sulaiman telah menceritakan kepada kami Tsabit dari Abdurrahman bin Abu Laila dari Shuhaib berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "perkara orang mu`min mengagumkan, sesungguhnya semua perihalnya baik dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang mu`min, bila tertimpa kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya dan bila tertimpa musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya."

Berdasarkan beberapa dalil yang diutarakan diatas maka sangatlah dianjurkan kepada kaum muslim yang menderita sakit, untuk bersabar karena niscaya Allah Rabbul ‘Alamin akan memberikan pahala ( Wallaahu Ta’ala ‘Alam )2011
Kamis, ba’da ashar 24 Dzulqa’idah 1342 H/21 Oktober 2011
(Musni Japrie)

Kamis, 20 Oktober 2011

" HIDUP INI SUDAH SURATAN "



Hari selasa kemarin, saya kembali menjalani program fisioterafi di RSU Wahab Syahranie atas syaraf terjepit yang sayaderita sudah 3 minggu ini. Sementara menunggu antrian giliran saya duduk santai diruang tunggu yang ada pendinginnya,duduk disamping saya seorang lelaki dengan memangku seorang gadis cilik yang ternyata juga harus menjalani program fisioterafi secara rutin karena kelumpuhan tidak bisa berjalan. Lelaki tersebut saya ajak ngobrol tentang berbagai hal. Ia mengaku bernama Giman berasal dari sebuah desa kecil di Kabupaten Kutai Barat jauh dipedalaman sungai Mahakam. Giman juga bercerita bahwa empat orang anak-anaknya seluruhnya menderita penyakit kelumpuhan tidak dapat berjalan sehingga hanya mampu merangkak. Gadis kecil yang dipangkunya merupakan anak yang keempat berumur kurang lebih 5 tahun.Giman menceritakan kehidupannya sebagai petani dipedalaman dengan tanggungan anak-anak yang seluruhnya menderita kelumpuhan bagi orang lain mungkin merupakan hal yang cukup berat dan membutuhkan kesabaran yang tinggi, namun bagi ia dan isterinya kondisi seperti ini mereka hadapi dengan pasrah kepada yang diatas karena hidup ini sudah suratan katanya.
Apa yang diucapkan oleh Giman bahwa “ hidup ini sudah suratan “ sangatlah berkesan karena orang semacam Giman petani lugu dari pedalaman dapat memaknai hidup sebagai sebuah ketetapan dan ia dan isterinya pasrah menerimanya dengan kesabaran yang tinggi dab memahami hakekat dari takdir Allah.
Penderitaan Merupakan Ketetapan Dari Allah Bagi Manusia
Sebagaimana yang sering disinggung oleh para ulama, bahwa seluruh makhluk yang diciptakan Allah mengikuti skenario yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu Ta’ala dalam takdir 50.000 tahun sebelum bummi diciptakan, yang tentunya termasuk di dalamnya segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan bani adam baik berupa kebahagian atau kesengsaraan seperti penderitaan berupa penyakit yang menimpa manusia, Hal tersebut ditegaskan dalam firman Allah Subhanahu Ta’ala :

وَإِن يَمْسَسْكَ اللّهُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِن يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَآدَّ لِفَضْلِهِ يُصَيبُ بِهِ مَن يَشَاء مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
‘Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’ ( QS. Yunus : 107 )

Apapun yang menimpa manusia berupa takdir sebagai suatu ketetapan yang datangnya dari Allah Subhanahu Ta’ala tidak akan lepas dari manusia seperti yang disebutkan Allah dalam firman-Nya
قُلْ لَنْ يُصِيْبَنَا إلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللهِ فَاْليَتَوَكَّلِ اْلمُؤْمِنُوْنَ
“Katakanlah: Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan oleh Allah bagi kami. Dialah pelindung kami, dan hanyalah kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakkal”( QS.at-Taubah : 51 )
Sesungguhnya musibah dan bencana merupakan bagian dari takdir Allah Yang Maha Bijaksana. Allah ta’ala berfirman,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَنْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidaklah menimpa suatu musibah kecuali dengan izin Allah. Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (Qs. at-Taghabun: 11)
Ibnu Katsir rahimahullah menukil keterangan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma bahwa yang dimaksud dengan izin Allah di sini adalah perintah-Nya yaitu ketetapan takdir dan kehendak-Nya. Beliau juga menjelaskan bahwa barang siapa yang tertimpa musibah lalu menyadari bahwa hal itu terjadi dengan takdir dari Allah kemudian dia pun bersabar, mengharapkan pahala, dan pasrah kepada takdir yang ditetapkan Allah niscaya Allah akan menunjuki hatinya. Allah akan gantikan kesenangan dunia yang luput darinya -dengan sesuatu yang lebih baik, pent- yaitu berupa hidayah di dalam hatinya dan keyakinan yang benar. Allah berikan ganti atas apa yang Allah ambil darinya, bahkan terkadang penggantinya itu lebih baik daripada yang diambil. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma ketika menafsirkan firman Allah (yang artinya), “Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya.” Maksudnya adalah Allah akan tunjuki hatinya untuk merasa yakin sehingga dia menyadari bahwa apa yang -ditakdirkan- menimpanya pasti tidak akan meleset darinya. Begitu pula segala yang ditakdirkan tidak menimpanya juga tidak akan pernah menimpa dirinya Beliau -Ibnu Katsir- juga menukil keterangan al-A’masy yang meriwayatkan dari Abu Dhabyan, dia berkata, “Dahulu kami duduk-duduk bersama Alqomah, ketika dia membaca ayat ini ‘barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan menunjuki hatinya’ dan beliau ditanya tentang maknanya. Maka beliau menjawab, ‘Orang -yang dimaksud dalam ayat ini- adalah seseorang yang tertimpa musibah dan mengetahui bahwasanya musibah itu berasal dari sisi Allah maka dia pun merasa ridha dan pasrah kepada-Nya.” Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim di dalam tafsir mereka. Sa’id bin Jubair dan Muqatil bin Hayyan ketika menafsirkan ayat itu, “Yaitu -Allah akan menunjuki hatinya- sehingga mampu mengucapkan istirja’ yaitu Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa ayat di atas berlaku umum untuk semua musibah, baik yang menimpa jiwa/nyawa, harta, anak, orang-orang yang dicintai, dan lain sebagainya. Maka segala musibah yang menimpa hamba adalah dengan ketentuan qadha’ dan qadar Allah. Ilmu Allah telah mendahuluinya, kejadian itu telah dicatat oleh pena takdir-Nya. Kehendak-Nya pasti terlaksana dan hikmah/kebijaksanaan Allah memang menuntut terjadinya hal itu. Namun, yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah hamba yang tertimpa musibah itu menunaikan kewajiban dirinya ketika berada dalam kondisi semacam ini ataukah dia tidak menunaikannya? Apabila dia menunaikannya maka dia akan mendapatkan pahala yang melimpah ruah di dunia dan di akherat. Apabila dia mengimani bahwasanya musibah itu datang dari sisi Allah sehingga dia merasa ridha atasnya dan menyerahkan segala urusannya -kepada Allah, pent- niscaya Allah akan tunjuki hatinya. Dengan sebab itulah ketika musibah datang hatinya akan tetap tenang dan tidak tergoncang seperti yang biasa terjadi pada orang-orang yang tidak mendapat karunia hidayah Allah di dalam hatinya. Dalam keadaan seperti itu Allah karuniakan kepada dirinya -seorang mukmin- keteguhan ketika terjadinya musibah dan mampu menunaikan kewajiban untuk sabar. Dengan sebab itulah dia akan memperoleh pahala di dunia, di sisi lain ada juga balasan yang Allah simpan untuk-Nya dan akan diberikan kepadanya kelak di akherat. Hal itu sebagaimana yang difirmankan Allah ta’ala (yang artinya), “Sesungguhnya hanya akan disempurnakan balasan bagi orang-orang yang sabar itu dengan tanpa batas hitungan.”
Beliau melanjutkan, apabila seorang hamba disandarkan hanya kepada kekuatan dirinya sendiri maka tidak ada yang diperolehnya melainkan keluhan dan penyesalan yang hal itu merupakan hukuman yang disegerakan bagi seorang hamba sebelum hukuman di akhirat akibat telah melalaikan kewajiban bersabar. Di sisi yang lain, ayat di atas juga menunjukkan bahwasanya setiap orang yang beriman terhadap segala perkara yang diperintahkan untuk diimani, seperti iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, takdir yang baik dan yang buruk, dan melaksanakan konsekuensi keimanan itu dengan menunaikan berbagai kewajiban, maka sesungguhnya hal ini merupakan sebab paling utama untuk mendapatkan petunjuk Allah dalam menyikapi keadaan yang dialaminya sehingga dia bisa berucap dan bertindak dengan benar. Dia akan mendapatkan petunjuk ilmu maupun amalan. Inilah balasan paling utama yang diberikan Allah kepada orang-orang yang beriman. Maka orang-orang beriman itulah orang yang hatinya paling mendapatkan petunjuk di saat-saat berbagai musibah dan bencana menggoncangkan jiwa kebanyakan manusia. Keteguhan itu ditimbulkan dari kokohnya keimanan yang tertanam di dalam jiwa mereka
Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan bahwa di dalam ayat di atas terkandung beberapa pelajaran yang agung, yaitu:
1.Segala musibah yang menimpa itu terjadi dengan qadha’ dan qadar dari Allah ta’ala.
2.Merasa ridha terhadap takdir tersebut dan bersabar dalam menghadapi musibah merupakan bagian dari nilai-nilai keimanan, sebab Allah menamakan sabar di sini dengan iman.
Kesabaran itu akan membuahkan hidayah menuju kebaikan di dalam hati dan kekuatan iman dan keyakinan.Dan semoga kita dapat mencontoh bagaimana Giman dan isterinya dengan kesabaran tinggi menerima hidup miskin dengan anak-anak yang menderita kelumpuhan karena hidup ini sudah suratan.
Samarinda, 20 Oktober 2011
( Musni Japrie )