M U K A D D I M A H

M U K A D D I M A H : Sesungguhnya, segala puji hanya bagi Allah, kita memuji-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kami serta keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tak ada yang dapat menyesatkannya. Dan Barang siapa yang Dia sesatkan , maka tak seorangpun yang mampu memberinya petunjuk.Aku bersaksi bahwa tidak ada Rabb yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, yang tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam adalah hamba dan utusannya.

Kamis, 21 Juni 2012

LARANGAN ISLAM BAGI UMATNYA MENGHARAMKAN MAKANAN YANG HALAL



Islam sebagai agama yang diturunkan Allah sudah sejak lama dianut oleh masyarakat di Indonesia, namun demikian sebagian besar dari mereka tersebut masih banyak yang mempertahan budaya dan tradisi warisan leluhur mereka yang jahiliyah, termasuk dalam hal ini adanya tradisi larangan terhadap masyarakat untuk tidak mengkonsumsi atau memakan sesuatu jenis makanan tertentu. Meskipun menurut syari’at islam makanan tersebut termasuk makanan yang dihalalkan.
Sebagaicontoh  apa yang dikemukan diatas adalah sebagaimana yang diketemukan pada beberapa suku di Kalimantan Timur, antara lain pada masyarakat  suku Berau ( di Kabupaten Brerau ) tidak mau mengkonsumsi ikan gabus dan sejenisnya karena adanya larangan secara turun temurun sejak bahari kala. Begitu juga di kalangan masyarakat suku Paser (diKabupaten Paser dan Kabupaten Penajam Paser Utara terdapat pantangan tidak akan pernah memakan buah pepaya muda serta buah kundur ( sejenis labu putih yang bentuknya mirip semangka tetapi berwarna putih dan kulit buah seperti berselaput dengan serbuk kapur).Apabila ada diantara mereka yang memakan buah-buah tersebut maka akan menderita kebutaan. Pantangan memakan buah-buah dimaksud dikarenakan adanya larangan secara turun temurun.
Dari adanya larangan bagi masyarakat kedua suku tersebut untuk tidak memakan sesuatu makanan yang halal maka mereka secara turun temurun telah melakukan pengharaman  apa yang telah dihalalkan oleh syri’at, dan ini merupakan sesuatu yang berlawanan dengan syari’at yang telah diatur oleh Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam.
DR.Yusuf Qardawi dalam buku beliau Halal dan Haram menyebutkan  ; Diantara  hak Allah sebagai Zat yang menciptakan manusia dan pemberi nikmat yang tiada terhitung banyaknya itu, ialah menentukan halal dan haram dengan sesukanya, sebagaimana Dia juga berhak menentukan perintah-perintah dan syi'ar-syi'ar ibadah dengan sesukanya. Sedang buat manusia sedikitpun tidak ada hak untuk berpaling dan melanggar.
Ini semua adalah hak Ketuhanan dan suatu kepastian persembahan yang harus mereka lakukan untuk berbakti kepadaNya. Namun, Allah juga berbelas-kasih kepada hambaNya. Oleh karena itu dalam Ia menentukan halal dan haram dengan alasan yang ma'qul (rasional) demi kemaslahatan manusia itu sendiri. Justeru itu pula Allah tidak akan menghalalkan sesuatu kecuali yang baik, dan tidak akan mengharamkan sesuatu kecuali yang jelek.
Termasuk di antara keluasan dan kemudahan dalam syari’at Islam, Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menghalalkan semua makanan yang mengandung maslahat dan manfaat, baik yang kembalinya kepada ruh maupun jasad, baik kepada individu maupun masyarakat. Demikian pula sebaliknya Allah mengharamkan semua makanan yang memudhorotkan atau yang mudhorotnya lebih besar daripada manfaatnya. Hal ini tidak lain untuk menjaga kesucian dan kebaikan hati, akal, ruh, dan jasad, yang mana baik atau buruknya keempat perkara ini sangat ditentukan -setelah hidayah dari Allah- dengan makanan yang masuk ke dalam tubuh manusia yang kemudian akan berubah menjadi darah dan daging sebagai unsur penyusun hati dan jasadnya

Mengutip dari sumber  blog http//www .al-atsyarriyah  bahwa :Asal dari semua makanan adalah boleh dan halal sampai ada dalil yang menyatakan haramnya. Allah -Ta’ala- berfirman:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”. (QS. Al-Baqarah: 29)
Ayat ini menunjukkan bahwa segala sesuatu -termasuk makanan- yang ada di bumi adalah nikmat dari Allah, maka ini menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah halal dan boleh, karena Allah tidaklah memberikan nikmat kecuali yang halal dan baik.
Dalam ayat yang lain:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”. (QS. Al-An’am: 119)
Maka semua makanan yang tidak ada pengharamannya dalam syari’at berarti adalah halal Faidah:Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, “Hukum asal padanya (makanan) adalah halal bagi seorang muslim yang beramal sholeh, karena Allah -Ta’ala- tidaklah menghalalkan yang baik-baik kecuali bagi siapa yang akan menggunakannya dalam ketaatan kepada-Nya, bukan dalam kemaksiatan kepada-Nya. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala:
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh”. (QS. Al-Ma`idah: 93)
- Manhaj Islam dalam penghalalan dan pengharaman makanan adalah “Islam menghalalkan semua makanan yang halal, suci, baik, dan tidak mengandung mudhorot, demikian pula sebaliknya Islam mengharamkan semua makanan yang haram, najis atau ternajisi, khobits (jelek), dan yang mengandung mudhorot”.
Manhaj ini ditunjukkan dalam beberapa ayat, di antaranya:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi”. (QS. Al-Baqarah: 168)
Dan Allah mensifatkan Nabi Muhammad dalam firman-Nya:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk”. (QS. Al-A’raf: 157)
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu” (QS. Al-Ma`idah: 96)
Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menyatakan dalam firman-Nya:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya”. (QS. Al-Ma`idah: 3)
Dan juga dalam firmannya:
وَلاَ تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan”. (QS. Al-An’am: 121)
Dengan demikian, maka dalam Islam dikenal, bahwa mengharamkan sesuatu yang halal itu dapat membawa satu keburukan dan bahaya. Sedang seluruh bentuk bahaya adalah hukumnya haram. Sebaliknya yang bermanfaat hukumnya halal. Kalau suatu persoalan bahayanya lebih besar daripada manfaatnya, maka hal tersebut hukumnya haram. Sebaliknya, kalau manfaatnya lebih besar, maka hukumnya menjadi halal.
Kaidah ini diperjelas sendiri oleh al-Quran, misalnya tentang arak, Allah berfirman:
"Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang hukumnya arak dan berjudi, maka jawablah: bahwa keduanya itu ada suatu dosa yang besar, di samping dia juga bermanfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya." (al-Baqarah: 219)
Dan begitu juga suatu jawaban yang tegas dari Allah ketika Nabi Muhammad ditanya tentang masalah halal dalam Islam. Jawabannya singkat Thayyibaat (yang baik-baik). Yakni segala sesuatu yang oleh jiwa normal dianggapnya baik dan layak untuk dipakai di masyarakat yang bukan timbul karena pengaruh tradisi, maka hal itu dipandang thayyib (baik, bagus, halal). Begitulah seperti yang dikatakan Allah dalam al-Quran:
-
يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَمَا عَلَّمْتُم مِّنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللّهُ فَكُلُواْ مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُواْ اسْمَ اللّهِ عَلَيْهِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
Mereka menanyakan kepadamu: "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?". Katakanlah: "Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatih nya untuk berburu; kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu [399]. Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu [400], dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepaskannya) [401]. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya. ( QS. al-Maidah : 4 )


[399] Maksudnya: binatang buas itu dilatih menurut kepandaian yang diperolehnya dari pengalaman; pikiran manusia dan ilham dari Allah tentang melatih binatang buas dan cara berburu.
[400] Yaitu: buruan yang ditangkap binatang buas semata-mata untukmu dan tidak dimakan sedikitpun oleh binatang itu.
[401] Maksudnya: di waktu melepaskan binatang buas itu disebut nama Allah sebagai ganti binatang buruan itu sendiri menyebutkan waktu menerkam buruan.


Dan firmanNya pula:
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan [402] diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.(QS.Al-Maidah :5 )
Mengharamkan  makanan yang halal oleh kebanyakan masyarakat islam sebenarnya tidak hanya terbatas pada masyarakat suku Berau dan Suku Paser, tetapi mungkin saja banyak masyarakat suku- suku lain yang muslim di berbagai pelosok negeri juga ada yang mengharamkan makanan yang halal.
Mengingat bahwa adanya larangan yang telah digariskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada seluruh manusia, maka seyogyanya tradisi turun temurun ditengah tengah masyarakat yang mengharamkan sesuatu makanan wajib untuk segera ditinggalkan, karena perbuatan pelarangan tersebut adalah perbuatan yang diharamkan ( Wallaahu’alam  bishawab
Selesai disusun menjelang dhuhur, Jum’ah 2 Sya’ban 1433 H/22 Juni 2012.Penyusun : Musni Japrie
Referensi :
1.Al-Qur’an dan Terjemah,  Salafi-Db.
2. Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam , software www.lidwa Pusaka
3.Halal dan Haram , DR.Yusuf Qardawi
4. Al Atssyarriyah.com

Rabu, 20 Juni 2012

ISLAM MELARANG UMATNYA MEMBANGUN DAN MEMBAGUSKAN KUBURAN



Setiap orang yang melakukan ibadah haji atau umrah dapat dipastikan   berkunjung ke Madinah, dimana selain melakukan ibadah shalat di Masjid Nabawi juga diajak  mendatangi beberapa tempat untuk berjiarah antara lain kompleks pekuburan yang terkenal yaitu Baqi’. Semua pejiarah pasti melihat bagaimana kondisi diareal kuburan tersebut yang nampaknya hanyalah hamparan lahan kosong yang diatasnya berserakan hanyalah bongkahan  batu-batu dan  samasekali tidak menggambarkan sebagai kompleks pekuburan sebagaimana layaknya di Indonesia atau negeri-negeri Islam lainnya. Padalah di kompleks kuburan Baqi’ tersebut dimakamkan hampir seluruh kerabat dekat dan  sahabat Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam,  banyak para tabi’in, banyak para tabi’ut tabi’in dan ulama-ulama besar Madinah lainnya. Dimana jasa-jasa mereka sangat besar terhadap dunia Islam.

Mari kita tengok seluruh kompleks kuburan kaum muslim di negeri kita dari pelosok-pelosok sampai ke kota-kota, nampak jauh sekali perbedaanya dengan kompleks kuburan Baqi’ di Madinah dan kompleks kuburan Ma’la di Makkah. Kuburan-kuburan di negeri ini dibangun sedemikian rupa, bahkan sepertinya setiap keluarga berlomba-lomba membangun dan membaguskan, memperindah kuburan para keluarganya. Semakin tinggi status kedudukan orang yang meninggal dan semakin kaya maka semakin  bagus pula kuburannya. Bahkan apabila yang dikuburkan tersebut dianggap sebagai ulama besar atau tuan guru atau kiayi atau yang dianggap sebagai wali kemudian dikramatkan, maka diatas kuburannya dibangunkan kubah atau bangunan yang sekaligus tempat orang berjiarah sambil berdoa dan membaca ayat-ayat al-Qur’an.



Karena membandingkan kondisi kompleks kuburan Baqi’ dan Ma’la dan kompleks kuburan rata-rata diseluruh negeri Saudi Arabia dengan kuburan yang ada dinegeri ini , seseorang  pernah melontarkan ucapan yang menyebutkan bahwa masyarakat muslim di wilayah Saudi Arabia sungguh sangat keterlaluan karena tidak pernah menghargai dan menghormati orang-orang yang telah meninggal dunia sehingga kuburan mereka hanya ditandai dengan hanya sebongkah batu, sangat berbeda dengan masyarakat muslim di Indonesia . Semiskin apapun keluarga yang meninggal, mereka pasti membuatkan minimal nisan baik dari kayu ataupun batu.

Perkataan mereka tersebut diatas sungguh sangat jahil, karena ketidak tahuan  banyak kaum muslimin dinegeri ini tentang syari’at Islam, sehingga sampai-sampai soal kuburan saja mereka tidak tahu bahwa sebenarnya telah ada petunjuk dari syari’at melalui hadits dari Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam tentang tata cara bagaimana seharusnya kuburan itu .

Abul-jauzaa’dalam sebuah artikelnya mengemukakan sebagai berikut :
Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhu berkata :
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ،وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Muslim no. 970, Abu Daawud no. 3225, At-Tirmidziy no. 1052, An-Nasaa’iy no. 2027-2028 dan dalam Al-Kubraa 2/463 no. 2166, ‘Abdurrazzaaq 3/504 no. 6488, Ahmad 3/295, ‘Abd bin Humaid 2/161 no. 1073, Ibnu Maajah no. 1562, Ibnu Hibbaan no. 3163-3165, Al-Haakim 1/370, Abu Nu’aim dalam Al-Musnad Al-Mustakhraj ‘alaa Shahiih Muslim no. 2173-2174, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/410 & 4/4, Ath-Thayaalisiy 3/341 no. 1905, Ath-Thabaraaniy dalam Asy-Syaamiyyiin 3/191 no. 2057 dan dalam Al-Ausath6/121 no. 5983 & 8/207 8413, Abu Bakr Asy-Syaafi’iy dalam Al-Fawaaaid no. 860, Abu Bakr Al-‘Anbariy dalam Hadiits-nya no. 68, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar1/515-516 no. 2945-2946, dan yang lainnya.

Asal dari larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan keharaman sebagaimana telah dimaklumi dalam ilmu ushul fiqh. Bahkan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu – nenek moyang para habaaib – adalah salah seorang shahabat yang sangat bersemangat melaksanakan perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut sebagaimana terdapat dalam riwayat :
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: " أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ "
Dari Abul-Hayyaaj Al-Asadiy, ia berkata : ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah berkata kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku ? Hendaklah engkau tidak meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu Daawud no. 3218, At-Tirmidziy no. 1049, An-Nasaa’iy no. 2031, dan yang lainnya].
Larangan membangun kubur ini kemudian diteruskan oleh para ulama madzhab.
Madzhab Syaafi’iyyah, maka Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
وأحب أن لا يبنى ولا يجصص فإن ذلك يشبه الزينة والخيلاء وليس الموت موضع واحد منهما ولم أر قبور المهاجرين والانصار مجصصة ...... وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك
“Dan aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen, karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar dikapur..... Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di Makkah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’ mencela perbuatan tersebut” [Al-Umm, 1/316 – via Syamilah].
An-Nawawiy rahimahullah ketika mengomentari riwayat ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu di atas berkata :
فيه أن السنة أن القبر لا يرفع على الأرض رفعاً كثيراً ولا يسنم بل يرفع نحو شبر ويسطح وهذا مذهب الشافعي ومن وافقه،
“Pada hadits tersebut terdapat keterangan bahwa yang disunnahkan kubur tidak terlalu ditinggikan di atas permukaan tanah dan tidak dibentuk seperti punuk onta, akan tetapi hanya ditinggikan seukuran sejengkal dan meratakannya. Ini adalah madzhab Asy-Syaafi’iy dan orang-orang yang sepakat dengan beliau” [Syarh An-Nawawiy ‘alaa Shahih Muslim, 3/36].
Di tempat lain ia berkata :
وَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَالْأَصْحَابِ عَلَى كَرَاهَةِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ عَلَى الْقَبْرِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَيِّتُ مَشْهُورًا بِالصَّلَاحِ أَوْ غَيْرِهِ لِعُمُومِ الْأَحَادِيثِ
“Nash-nash dari Asy-Syaafi’iy dan para shahabatnya telah sepakat tentang dibencinya membangun masjid di atas kubur. Sama saja, apakah si mayit masyhur dengan keshalihannya ataupun tidak berdasarkan keumuman hadits-haditsnya” [Al-Majmuu’, 5/316].
Adapun madzhab Hanafiyyah, berikut perkataan Muhammad bin Al-Hasan rahimahullah :
أَخْبَرَنَا أَبُو حَنِيفَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا شَيْخٌ لَنَا يَرْفَعُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ تَرْبِيعِ الْقُبُورِ، وَتَجْصِيصِهَا ". قَالَ مُحَمَّدٌ: وَبِهِ نَأْخُذُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Haniifah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami seorang syaikh kami yang memarfu’kan riwayat sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau melarang untuk membangun dan mengapur/menyemen kubur. Muhammad (bin Al-Hasan) berkata : Dengannya kami berpendapat, dan ia juga merupakan pendapat Abu Haniifah” [Al-Aatsaar no. 257].
Juga Ibnu ‘Aabidiin Al-Hanafiy rahimahullah yang berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ فَلَمْ أَرَ مَنْ اخْتَارَ جَوَازَهُ.... وَعَنْ أَبِي حَنِيفَةَ : يُكْرَهُ أَنْ يَبْنِيَ عَلَيْهِ بِنَاءً مِنْ بَيْتٍ أَوْ قُبَّةٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
“Adapun membangun di atas kubur, maka aku tidak melihat ada ulama yang memilih pendapat membolehkannya..... Dan dari Abu Haniifah : Dibenci membangun bangunan di atas kubur, baik berupa rumah, kubah, atau yang lainnya” [Raddul-Mukhtaar, 6/380 – via Syamilah].
Madzhab Maalikiyyah, maka Maalik bin Anas rahimahullah berkata :
أَكْرَهُ تَجْصِيصَ الْقُبُورِ وَالْبِنَاءَ عَلَيْهَا
“Aku membenci mengapur/menyemen kubur dan bangunan yang ada di atasnya” [Al-Mudawwanah, 1/189].
Juga Al-Qurthubiy rahimahullah yang berkata :
فاتخاذ المساجد على القبور والصلاة فيها والبناء عليها، إلى غير ذلك مما تضمنته السنة من النهي عنه ممنوع لا يجوز
“Membangun masjid-masjid di atas kubur, shalat di atasnya, membangun bangunan di atasnya, dan yang lainnya termasuk larangan dari sunnah, tidak diperbolehkan” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 10-379].
Madzhab Hanaabilah, maka Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
ويكره البناء على القبر وتجصيصه والكتابة عليه لما روى مسلم في صحيحه قال : [ نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يجصص القبر وأن يبنى عليه وأن يقعد عليه ] - زاد الترمذي - [ وأن يكتب عليه ] وقال : هذا حديث حسن صحيح ولأن ذلك من زينة الدنيا فلا حاجة بالميت إليه
“Dan dibenci bangunan yang ada di atas kubur, mengkapurnya, dan menulis tulisan di atasnya, berdasarkan riwayat Muslim dalam Shahiih-nya : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya’. At-Tirmidziy menambahkan : ‘Dan menulis di atasnya’, dan ia berkata : ‘Hadits hasan shahih’. Karena itu semua merupakan perhiasan dunia yang tidak diperlukan oleh si mayit” [Al-Mughniy, 2/382].
Juga Al-Bahuutiy Al-Hanbaliy rahimahullah yang berkata :
ويحرم اتخاذ المسجد عليها أي: القبور وبينها لحديث أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لعن الله اليهود اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. متفق عليه 
“Dan diharamkan menjadikan masjid di atas kubur, dan membangunnya berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Allah melaknat orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid-masjid’. Muttafaqun ‘alaih” [Kasysyaaful-Qinaa’, 3/774].
Juga Al-Mardawiy rahimahullah yang berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ : فَمَكْرُوهٌ ، عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ ، سَوَاءٌ لَاصَقَ الْبِنَاءُ الْأَرْضَ أَمْ لَا ، وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ قَالَ فِي الْفُرُوعِ : أَطْلَقَهُ أَحْمَدُ ، وَالْأَصْحَابُ
“Adapun bangunan di atas kubur, hukumnya makruh berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah), sama saja, apakah bangunan itu menempel tanah ataukah tidak. Pendapat itulah yang dipegang kebanyakan shahabat Ahmad. Dalam kitab Al-Furuu’dinyatakan : Ahmad dan shahabat-shahabatnya memutlakkan (kemakruhan)-nya” [Al-Inshaaf, 2/549].
Madzhab Dhaahiriyyah, maka Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
مَسْأَلَةٌ: وَلاَ يَحِلُّ أَنْ يُبْنَى الْقَبْرُ, وَلاَ أَنْ يُجَصَّصَ, وَلاَ أَنْ يُزَادَ عَلَى تُرَابِهِ شَيْءٌ, وَيُهْدَمُ كُلُّ ذَلِكَ
“Permasalahan : Dan tidak dihalalkan kubur untuk dibangun, dikapur/disemen, dan ditambahi sesuatu pada tanahnya. Dan semuanya itu (bangunan, semenan, dan tanah tambahan) mesti dirobohkan” [Al-Muhallaa, 5/133].
Dari ulasan tersebut diatas maka ternyata hampir seluruh kuburan muslimin yang ada di negeri ini sudah sangat menyalahi dan jauh menyimpang  dari apa yang disyari’atkan oleh Islam. Sehingga untuk itu kewajiban bagi kita untuk memperbaiki diri dalam masalah kuburan ini agar sesuai dengan tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam yang menjadi panutan kita. ( Wallahu’alam )
Diselesaikan  ba’da ashar, arba 30 Rajab 1433 H/ 20 Juni 2012
By : Musni Japrie
Sumber : Blog Abul- Jauza

Selasa, 19 Juni 2012

NASIHAT LUKMAN KEPADA ANAKNYA ( 3 )


BERBAKTILAH KEPADA ORANG TUA
                                  Gambar ilustrasi dari Musni Japrie
Oleh :Muhammad Abduh Tuasikal Belajar Islam
Wasiat Lukman berikutnya adalah mengenai berbakti pada orang tua. Di dalam nasehat tersebut disampaikan alasan kenapa kita mesti berbakti pada orang tua. Karena kesusahan yang dihadapi oleh ibu ketika mengandung hingga menyapih, maka sudah pantas kita membalas kebaikannya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS. Lukman: 14).

Perintah Bakti pada Orang Tua
Sebelumnya Lukman menyampaikan wasiat yang amat penting pada anaknya yaitu untuk mentauhidkan Allah dan tidak berbuat syirik kepada-Nya. Setelah itu, ia menggandengkan wasiat elanjutnya dengan bakti pada kedua orang tua. Ini menunjukkan berbakti pada orang tua adalah ibadah yang amat mulia karena digandengkan dengan amalan yang mulia yaitu tauhid dan menjauhi kesyirikan. Wasiat berbakti pada orang tua yang digandengkan dengan perintah untuk mentauhidkan Allah juga disebutkan dalam beberapa ayat di antaranya,
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al Isro’: 23).
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak” (QS. An Nisa’: 36).
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلَّا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak” (QS. Al An’am: 151).
  
Kesusahan Ibu Ketika Mengandung Kita
Disebutkan dalam ayat yang mulia ini bahwa ibu yang mengandung kita telah mengalami berbagai kesusahan. Allah Ta’alaberfirman,
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ
“Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah” (QS. Lukman: 14). Inilah di antara alasan kenapa kita mesti berbakti pada orang tua karena kesusahan yang ia hadapi ketika mengandung kita (Lihat Taisir Al Karimir Rahman, 648).
Mujahid berkata bahwa yang dimaksud “وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ” adalah kesulitan ketika mengandung anak. Qotadah berkata bahwa yang dimaksud adalah ibu mengandung kita dengan penuh usaha keras. ‘Atho’ Al Khorosani berkata bahwa yang dimaksud adalah ibu mengandung kita dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 53).
Namun demikianlah kita jarang mengingat kesusahan ibu ketika mengandung kita. Jika kita mengingat demikian, tentu balas budi yang kita berikan pada ibu, bukan malah kedurhakaan, bukan malah suka membantah, dan bukan malah seringnya merendahkan ortu. Dan kita harus selalu ingat, bahwa ibu menyapih kita selama dua tahun, lalu pantaskah dengan kedurhakaan yang kita balas?
Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami atas kedurhakaan kami selama ini.

Masa Minimal Kehamilan
Dari ayat,
وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ
Dan menyapihnya dalam dua tahun” (QS. Lukman: 14). dan juga ayat lainnya,
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (QS. Al Baqarah: 233),  para ulama mengambil kesimpulan bahwa waktu minimal ibu mengandung adalah 6 bulan. Demikian pendapat di antara dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Hal ini disimpulkan pula dari ayat lainnya,
وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاثُونَ شَهْرًا
Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan” (QS. Al Ahqaf: 15). Karena kalau dihitung-hitung waktu total dari mengandung sampai menyapih adalah 30 bulan. Dan waktu menyapih adalah 2 tahun, sama dengan 24 bulan. Dengan demikian waktu minimal seorang ibu mengandung adalah 30 – 24 bulan, sama dengan 6 bulan.

Bersyukurlah pada Kedua Orang Tua
Jika kita telah mengetahui bagaimana orang tua telah mengasuh kita dan bagaimana susahnya mereka siang dan malam, maka hendaklah kita sebagai seorang anak untuk berbuat baik dan membalas kebaikan kita. Sebagaimana Allah Ta’alaberfirman,
وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Dan ucapkanlah: "Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil"(QS. Al Isro’: 24).
Oleh karenanya dalam nasehat Lukman yang kita bahas, Allah Ta’ala berfirman,
أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu” (QS. Lukman: 14). Siapa yang membalas kebaikan orang tua dengan berbuat baik padanya, maka Allah pun akan membalasnya di hari kiamat kelak (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 53-54).
Syaikh As Sa’di berkata, “Hendaklah kita berbuat baik pada kedua orang tua dengan berkata yang lemah lembut, perbuatan yang baik, tawadhu’, selalu memuliakan mereka dan jangan sampai menyakiti mereka dengan perkataan atau perbuatan”. (Taisir Al Karimir Rahman, 648).
  
Bakti kepada Ibu Lebih Utama
Dari ayat yang kita bahas, menunjukkan bahwa bakti kepada ibu itu lebih utama. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَابَتِى قَالَ « أُمُّكَ » . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « أُمُّكَ » . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « أُمُّكَ » . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « ثُمَّ أَبُوكَ »
Seorang pria pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Siapa dari kerabatku yang paling berhak aku berbuat baik?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu.’ Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ayahmu’.” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat dorongan untuk berbuat baik kepada kerabat dan ibu lebih utama dalam hal ini, kemudian setelah itu adalah ayah, kemudian setelah itu adalah anggota kerabat yang lainnya. Para ulama mengatakan bahwa ibu lebih diutamakan karena keletihan yang dia alami, curahan perhatiannya pada anak-anaknya, dan pengabdiannya. Terutama lagi ketika dia hamil, melahirkan (proses bersalin), ketika menyusui, dan juga tatkala mendidik anak-anaknya sampai dewasa” (Syarh Muslim, 8: 331).
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi:
1.    Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Manan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.
2.    Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, 1421 H.
3.    Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.
4.    Fiqh  At Ta’amul Ma’al Walidain, Musthofa Al ‘Adawi, terbitan Maktabah Makkah.
@ KSU, Riyadh, KSA, 1 Jumadil  Ula 1433 H
Sumber : www.rumaysho.com

Minggu, 17 Juni 2012

NASIHAT LUKMAN KEPADA ANAKNYA ( 2 )




SYIRIK SEJELEK-JELEK KEDZALIMAN

Oleh :Muhammad Abduh Tuasikal Belajar Islam

syirik_1
Melanjutkan inti nasehat Lukman pada anaknya, saat ini kita akan masuk ke wasiat atau nasehat pertama. Nasehat kali ini begitu penting karena berkaitan dengan akidah dan tauhid seorang muslim. Di dalamnya dijelaskan mengenai bahaya apabila seorang muslim melakukan kesyirikan. Syirik adalah sejelek-jeleknya perbuatan zholim.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".” (QS. Lukman: 13).
Sebagaimana dijelaskan dalam serial sebelumnya mengenai makna hikmah, yaitu hikmah adalah kepahaman, ilmu dan ta’bir (penjelasan) (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 52). Dan apa yang disampaikan oleh Lukman dalam ayat di atas termasuk pokok dan kaedah besar dalam hikmah (Taisir Al Karimir Rahman, 648). Hal ini menunjukkan penting dan amat urgentnya mengenali dan memahami hikmah pertama yang disampaikan oleh Lukman pada anaknya.
Ia pun menggunakan cara penyampaian yang amat baik yaitu dengan panggilan “yaa bunayya”, wahai anakku. Ini adalah panggilan yang amat lemah lembut pada anaknya, yang bernama Tsaron sebagaimana dikatakan oleh As Suhaili. Tujuannya, ia menyampaikan hal ini dalam rangka kasih sayang, supaya anaknya mudah menerima kebaikan. Demikianlah seharusnya kita dalam menyampaikan suatu nasehat kepada anak kita.
Ibnu Katsir rahimahullah, “Lukman menasehati anaknya yang tentu amat ia sayangi, yaitu dengan nasehat yang amat mulia. Ia awali pertama kali dengan nasehat untuk beribadah kepada Allah semata dan tidak berbuat syirik kepada Allah dengan sesuatu apa pun.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 53)
Nasehat Lukman pada anaknya,
يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".” (QS. Lukman: 13).
Dalam hadits Bukhari, dari Qutaibah, dari Jarir, dari Al A’masy, dari Ibrahim, dari ‘Alqomah, dari ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhu, beliau menyebutkan ayat,
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman” (QS. Al An’am: 82). Ketika disebutkan ayat ini, para sahabat pun menjadi khawatir. Mereka berkata,
أينا لم يَلْبس إيمانه بظلم؟
“(Wahai Rasul), siapakah yang tidak mencampurkan keimanannya dengan kesyirikan?
Lantas Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"إنه ليس بذاك، ألا (3) تسمع إلى قول لقمان: { يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ } .
Itu bukanlah kezholiman seperti yang kalian sangkakan. Tidakkah kalian pernah mendengar nasehat Lukman pada anaknya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (HR. Bukhari no. 3360)
Kenapa syirik disebut sejelek-jelek kezholiman?
Karena orang yang berbuat syirik telah menyamakan makhluk yang dicipta dari tanah dengan Malik, Raja semesta alam, yaitu Allah Ta’ala. Ia pun telah menyamakan sesuatu yang tidak memiliki sesuatu pun di muka bumi dengan Allah yang memiliki segala sesuatu. Makhluk yang penuh kekurangan dari segala sisi dan begitu fakir disamakan dengan Allah yang Maha Sempurna dari segala sisi dan Maha Kaya. Makhluk yang tidak dapat menciptakan dan memberi nikmat sebesar dzarrah (yang kecil semisal semut) disamakan dengan Allah yang Maha Pencipta dan Maha Pemberi nikmat, yaitu nikmat agama, dunia, akhirat, hati, badan, semua nikmat ini hanya berasal dari Allah. Tidak ada pula yang dapat mencabut nikmat-nikmat tadi selain Allah. Apakah ini bukan sejelek-jelek kezholiman?! (Taisir Al Karimir Rahman, 648).
Kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, “Bukankah sejelek-jelek kezholiman ketika Allah menciptakan kita dengan maksud untuk beribadah kepada-Nya dan mentauhidkan-Nya, lalu tujuan mulia ini dipalingkan ke derajat yang amat rendah, yaitu menjadi beribadah kepada makhluk yang tidak mungkin disamakan dengan Allah?! Inilah kenapa disebut sejelek-jelek perbuatan zholim.” (Taisir Al Karimir Rahman, 648).
Renungan
Sungguh sangat menyedihkan jika ada seorang muslim meskipun ia bersyahadat, shalat, rajin puasa, gemar bersedekah dan bahkan sudah berhaji, namun dia melakukan salah satu kesyirikan. Sungguh dia telah menistakan tujuan hidupnya. Ibadah-ibadahnya jadi sia-sia gara-gara syirik. Bahkan ia pun telah merendahkan Sang Pencipta dengan makhluk yang hina karena telah menyamakan Allah dalam ibadah. Sudah sepantasnya seorang muslim meninggalkan syirik dengan berbagai macam ragamnya termasuk dalamnya tradisi-tradisi sesat. Masih ada sebagian kita melakukan tumbal dengan sembelihan ketika dibangun jembatan, memakai jimat dan penglaris. Bukankah ini semua syirik dan merendahkan pencipta serta menistakan jalan hidup kita yang mesti kita tempuh?
Semoga Allah memudahkan kita untuk merealisasikan tujuan hidup kita untuk beribadah pada-Nya dan semoga kita dijauhkan dari segala bentuk kesyirikan.
Baca ulasan lebih lengkap mengenai bahaya kesyirikan di sini.
Wallahu waliyyut tuafiq.
Referensi:
1.    Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Manan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.
2.    Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, 1421 H.

@ KSU, Riyadh, KSA, 5 Rabi’uts Tsani 1433 H

Sabtu, 16 Juni 2012

NASIHAT LUKMAN KEPADA ANAKNYA (1) : BERSYUKUR ATAS ANUGERAH HIKMAH


                        Gambar ilustrasi dari Abu Farabi al Banjari
Muhammad Abduh Tuasikal Belajar Islam
Ada nasehat berharga dari Lukman Al Hakim, seorang sholeh, kepada anaknya. Nasehat-nasehat ini bisa dijadikan renungan bagi orang tua dan kaum muslimin pada umumnya, mana saja nasehat penting yang lebih utama diberikan kepada anaknya. Tulisan ini adalah serial awal dari nasehat Lukman. Namun kami awali terlebih dahulu siapakah Lukman. Karena kata pepatah, “Tak kenal, maka tak sayang”. Bahasan ini pun akan menyinggung perintah Allah pada Lukman untuk bersyukur karena anugerah hikmah yang diperuntukkan padanya.
Allah Menganugerahkan Hikmah pada Lukman
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". (QS. Lukman: 12)
Yang dimaksud hikmah di sini, ada dua pendapat di kalangan para ulama. Mayoritas ulama berpandangan bahwa hikmah adalah kepahaman dan logika. Sedangkan ulama lainnya berpendapat bahwa hikmah ada nubuwwah (kenabian). Para ulama lalu berbeda pendapat apakah Lukman adalah seorang Nabi. Sa’id bin Musayyib, Mujahid dan Qotadah berpendapat bahwa Lukmah hanyalah orang yang diberi hikmah dan bukan seorang Nabi. Sedangkan ‘Ikrimah berpendapat bahwa Lukman adalah seorang Nabi. Namun pendapat pertama yang menyatakan  Lukman hanyalah orang yang mendapatkan hikmah, itulah yang lebih tepat (Lihat Zaadul Masiir, 6: 317-318).
Dari Sa’id bin Abi ‘Arubah, dari Qotadah, ia berkata mengenai firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman”. Maksud hikmah adalah memahami Islam. Dan Lukman bukanlah Nabi dan ia pun tidak diberi wahyu.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 52).
Ibnu Katsir mengatakan bahwa hikmah adalah kepahaman, ilmu dan ta’bir (penjelasan). (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 52).
Syaikh As Sa’di menyatakan bahwa hikmah akan membuahkan ilmu, bahkan amalan. Oleh karenanya, hikmah ditafsirkan dengan ilmu yang bermanfaat dan amalan sholeh. Beliau rahimahullah juga mengatakan, “Hikmah adalah ilmu yang benar dan pengetahuan akan berbagai hal dalam Islam. Orang yang memiliki hikmah akan mengetahui rahasia-rahasia di balik syari’at Islam. Jadi orang bisa saja ‘alim (memiliki banyak ilmu), namun belum tentu memiliki hikmah.” (Taisir Al Karimir Rahman, 648).
Siapakah Lukman?
Lukman adalah seorang hamba yang sholeh sebagaimana keterangan di atas. Sa’id bin Al Musayyib mengatakan bahwa Lukman adalah penjahit. Ibnu Zaid mengatakan bahwa Lukman adalah seorang pengembala. Ulama lain seperti Kholid Ar Rob’i menyatakan bahwa Lukman adalah seorang tukang kayu.
Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa Lukman adalah seorang budak dari negeri Habasyah (sekarang: Ethiopia sekitarnya). Sa’id bin Al Musayyib mengatakan bahwa Lukman itu seorang yang berkulit hitam dari Sudan (negeri kulit hitam). Ciri-ciri Lukman, bibirnya itu tebal dan kakinya pecah-pecah sebagaimana kata Mujahid. Ia adalah seorang qodhi dari Bani Isroil (Lihat Zaadul Masiir, 6: 318).
Ada pelajaran penting dari sini bahwa Allah tidaklah memandang pada warna kulit. Lihatlah Lukman, ia orang yang berkulit hitam dari negeri Sudan. Kita sudah ma’ruf bagaimanakah wajah orang Afrika, hitam kelam. Seseorang mulia adalah dengan takwa, sehingga tidaklah perlu minder dengan warna kulit dan asal daerah kita. Sekali lagi kita akan semakin mulia dengan takwa. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.” (QS. Al Hujurat: 13). Lihatlah perkataan di bawah ini.
Al Auza’i rahimahullah berkata bahwa ‘Abdurrahman bin Harmalah berkata, “Ada seorang yang berkulit hitam menghadap Sa’id bin Al Musayyib dan ia ingin menanyakan sesuatu. Dan ketika ketika itu Sa’id berkata pada laki-laki berkulit hitam tadi,
لا تحزن من أجل أنك أسود، فإنه كان من أخير الناس ثلاثة من السودان: بلال، ومهْجَع مولى عمر بن الخطاب، ولقمان الحكيم
“Janganlah sedih karena engkau orang berkulit hitam. Lihatlah ada tiga orang pilihan dari Sudan (negeri kulit hitam): (1) Bilal, (2) Mahja’, bekas budak ‘Umar bin Al Khottob, (3) Lukman Al Hakim.”  (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 50).
Bersyukurlah pada Allah
Asy Syaukani berkata, “Bersyukur pada Allah adalah memuji-Nya sebagai balasan atas nikmat yang diberikan dengan cara melakukan ketaatan pada-Nya” (Fathul Qodir, 5: 487). Para ulama menjelaskan bahwa seseorang dinamakan bersyukur ketika ia memenuhi 3 rukun syukur: (1)  mengakui nikmat tersebut secara batin (dalam hati), (2) membicarakan nikmat tersebut secara zhohir (dalam lisan), dan (3) menggunakan nikmat tersebut pada tempat-tempat yang diridhoi Allah (dengan anggota badan). Ibnu Taimiyah menyatakan, “Syukur haruslah dijalani dengan mengakui nikmat dalam hati, dalam lisan dan menggunakan nikmat tersebut dalam anggota badan.” (Majmu’ Al Fatawa, 11: 135)
Yang diperintahkan pada Lukman adalah untuk bersyukur pada Allah. Syukur ini diperintahkan sebagai anugerah hikmah dan kemuliaan dari Allah yang diperuntukkan padanya. Di mana hikmah ini teristimewa untuknya dibanding orang yang sejenis dengannya dan orang berada di zamannya. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 52).
Lalu Allah berfirman,
وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ
Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri”.
Ibnu Katsir berkata, “Barangsiapa yang bersyukur, maka manfaat dan pahalanya akan kembali pada dirinya sendiri. Sebagaimana Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِأَنْفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ
Dan barangsiapa yang beramal saleh maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan).” (QS. Ar Rum: 44). (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 52).
Sebaliknya barangsiapa yang mengingkari nikmat atau enggan bersyukur,
وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ
dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". (QS. Lukman: 12). Artinya, Allah itu Maha Kaya, tidak butuh pada hamba. Jika hamba tidak bersyukur, itu pun tidak membuat Allah terluka. Jika seluruh penduduk di muka bumi kufur, maka Allah tidak bergantung pada yang lainnya. Laa ilaha illallah, tidak ada yang berhak disembah selain Allah (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 52). Yahya bin Salam berkata, “Allah itu Maha Kaya, tidak butuh pada selain Dia. Allah pun Maha Terpuji dalam segala perbuatan-Nya.” (Fathul Qodir, 5: 487).
Dalam hadits qudsi ditunjukkan bahwa Allah tidak butuh pada rasa syukur seorang hamba dan jika mereka tidak bersyukur, itu pun tidaklah mengurangi kekuasaan Allah.
يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا
Wahai hamba-Ku, kalau orang-orang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu bertaqwa seperti orang yang paling bertaqwa di antara kalian, tidak akan menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Jika orang-orang yang terdahulu dan yang terakhir di antara kalian, sekalian manusia dan jin, mereka itu berhati jahat seperti orang yang paling jahat di antara kalian, tidak akan mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun juga.” (HR. Muslim no. 2577).
Ayat dari surat Lukman di atas mengajarkan kepada kita untuk bersyukur atas berbagai macam nikmat, lebih-lebih lagi dengan nikmat yang begitu besar yang Allah anugerahkan. Kepahaman terhadap agama adalah suatu nikmat yang besar dan begitu berharga. Kepahaman terhadap diinul Islam pun termasuk hikmah. Jika kita diberikan anugerah ilmu oleh Allah, rajin-rajinlah untuk selalu bersyukur pada-Nya.
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".” (QS. Ibrahim: 7). Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Barangsiapa bersyukur pada Allah atas berbagai macam nikmat yang dianugerahkan, Allah akan menjadikannya semakin taat.” Maqotil berkata, “Barangsiapa yang mengesakan Allah dalam syukur, maka Allah akan memberikan baginya kebaikan di dunia.” (Lihat Zaadul Masiir, 4: 347).
Begitu pula terhadap nikmat yang terlihat kecil dan sepele, syukurilah. Jika nikmat kecil saja tidak bisa disyukuri, bagaimana lagi dengan nikmat yang besar.
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ
Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4: 278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667)
Kita belum memasuki nasehat Lukman pada anaknya, baru pada muqoddimah atau introduction. Insya Allah dalam tulisan selanjutnya kita akan melihat bagaimana nasehat-nasehat Lukman pada anaknya. Ada nasehat penting  dan begitu urgent yang disampaikan Lukman, yaitu dalam masalah akidah. Nantikan saja pada tulisan rumaysho.com selanjutnya. Moga Allah beri kemudahan.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi:
1.    Fathul Qodir, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir.
2.    Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Manan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.
3.    Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, 1421 H.
4.    Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, terbitan Al Maktab AIslami, cetakan ketiga, 1404 H. 
@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 28 Rabiul Awwal 1433 H