M U K A D D I M A H

M U K A D D I M A H : Sesungguhnya, segala puji hanya bagi Allah, kita memuji-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kami serta keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tak ada yang dapat menyesatkannya. Dan Barang siapa yang Dia sesatkan , maka tak seorangpun yang mampu memberinya petunjuk.Aku bersaksi bahwa tidak ada Rabb yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, yang tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam adalah hamba dan utusannya.

Senin, 29 Oktober 2012

MEMBUAT BANGUNAN DAN MENGHIAS KUBUR PARA ULAMA DAN ORANG SHALIH PERBUATAN GHULUW ( BERLEBIHAN ) YANG DILARANG DALAM ISLAM


I. Megah, mewah dan indahnya bangunan kuburan wali,ulama dan orang-orang shalih
Keterangan gambar : kubur Jallaluddin ar-Rumi ( Ulama Sufi )

Dibeberapa Negara di Timur Tengah dijumpai adanya banyak peninggalan bangunan bersejarah tidak saja istana dan masjid-masjid tetapi juga kuburan  para ulama dan orang-orang shalih serta sufi terkenal dalam bentuk bangunan yang megah, mewah dan indah serta menarik. Pada masa lalu beberapa generasi jauh dibawahnya generasi sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in oleh kaum muslimin pada saat itu apabila ulama dan orang-orang shalih termasuk para sufi apabila meninggal dunia  kuburannya dibuatkan bangunan berupa kubah yang mewah  dan diberi hiasan sehingga nampak sangat indah dan menarik.

Dibangunnya kubur sedemikian rupa disebutkan untuk menunjukkan  bukti kecintaan dan penghormatan dan pengagungan masyarakat terhadap para ulama dan dan orang-orang shalih atas jasa-jasanya dalam Islam. Terhadap kubur-kubur ulama dan orang shalih tersebut banyak pula masyarakat yang   membangun masjid diatasnya, sehingga kuburan berada di dalam masjid. Kuburan-kuburan tersebut berikutnya diagung-agungkan dan diberikan penghormatan yang berlebihan karena dianggap berkramat dimana banyak pula  orang-orang datang berziarah  untuk meminta pertolongan dan mengharap baraqah darinya.

Tidak hanya kuburan ulama dan orang shalih,terhadap penguasa atau raja yang meninggal kuburannya pun dibuatkan bangunan yang megah dan bahkan diantara para penguasa atau raja tersebut ada pula yang di kubur didalam masjid, sehingga orang shalat harus menghadap ke kubur tersebut.

Kondisi yang serupaberkembang kemana-mana termasuk di Indonesia, sehingga hampir seluruh kuburan yang disebut sebagai wali dibangunkan kubah diatasnya serta diberikan hiasan berupa berbagai macam pernik-pernik sedemikian rupa. Demikian pula kuburan para ulama dan orang-orang shalih lainnya yang dikramatkan tidak ketinggalan pula dibuatkan bangunan yang megah diatasnya, kemudian orang berduyun-duyun datang berziarah dengan berbagai keperluan, seperti minta pertolongan diberikan rezeki, diberikan perlindungan dan keselamatan , minta diberikan jabatan dan kekuasaan serta lain-lainnya.

Membangun kuburan yang megah dengan menghabiskan dana ratusan juta rupiah tidak saja dilakukan orang terhadap kuburnya para wali,ulama dan orang-orang shalih, tetapi juga terhadap kuburnya mantan presiden seperti kuburnya almarhum  Sukarno
Di Blitar dan kuburnya almarhum Suharto. Kubur-kubur tersebut juga berduyun-duyun diziarahi karena dianggap pula kubur yang kramat.

Apakah terhadap kubur-kubur para wali,ulama dan orang-orang shalih tersebut yang dibangun kubah dan dibuat megah memang diperkenankan dalam Islam ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka perlu ditelaah apakah ada ada dasarnya dan bersesuaian dengan as-Sunnah ataukah malah sebaliknya, dimana Islam sebenarnya tidak menganjurkannya bahkan melarangnya karena berlawanan dengan apa yang diperintahkan.

II. Bagaimana dengan kuburnya para sahabat Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam?

Ket.Gb : Kuburan Baqi di Madinah


Bagi umat Islam yang pernah berkunjung ke Madinah tentu pernah berkunjung ke Baqi yaitu kuburan kaum Muslimin yang kondisinya nampak hanya sebagai lapangan yang tandus tidak terdapat bangunan apapun diatasnya kecuali tumpukan batu bertebaran dimana-mana sebagai tanda batu nisan. Padahal di situ berkubur tidak terhitung jumlahnya para sahabat Rasullullah yang jasa-jasanya tidak ternilai dalam membantu Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam menegakkan agama tauhid yaitu Islam, di kuburan itu berkubur semua sahabat Rasullulllah shallallahu’alaihi wa sallam kecuali Abu Bakar as-Shidiq radhyallahu’anhu, Umar bin Khaththab radhyallahu’anhu dan Hamzah radhyallahu’anhu. Begitu juga di Baqi juga berkubur para isteri-isteri dan keluarga dekat Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam. Yang keseluruhannya dimata Islam merupakan orang-orang yang paling mulia setelah Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam, karena jasa-jasanya terhadap awal-awal tegaknya Islam malah diantara mereka terdapat beliau-beliau para sahabat yang dijamin masuk surga.

Meskipun mereka-mereka para sahabat dan keluarga Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam mempunyai kedudukan dan derajat yang begitu tinggi tidak saja didepan  manusia tetapi juga didepan Allah ta’ala, namun kubur-kubur mereka tidak berbeda dengan hamba-hamba Allah yang lainnya. Tidak ada satupun yang dibuatkan bangunan dan kubah sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang belakangan terhadap para wali,ulama dan orang-orang shalih karena memiliki ilmu yang dalam tentang agama dan berjasa dalam mengembangkan Islam. Kalau hitung-hitungan tentunya kedalaman ilmu agama para sahabat tentunya tidaklah sebanding dengan ilmunya para ulama dan orang-orang shalih tersebut. Begitu juga dengan jasa-jasa para sahabat tidaklah dapat dibandingkan dengan jasanya para ulama dalam mengembangkan Islam.
Timbul pertanyaan kenapa kuburnya para sahabat dan keluarga dekat Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam  tidak dibuatkan bangunan dan kubah yang megah-megah sebagai bentuk penghargaan dan kecintaan umat terhadap beliau-beliau karena yang lebih pantas mendapatkan penghargaan, pengaggungan dan kehormatan tentunya adalah para sahabat dan keluarga Rasullullah dibandingkan dengan para wali, ulama dan orang-orang shalih.
Jawabannya tiada lain adalah karena dalam Islam memang mengharamkan untuk membangun dan membina kuburan. Karena dikuatirkan akan membuka pintu perbuatan syirik.Dan ternyata apa yang dikuatirkan tersebut terbukti sekarang ini,bagaimana sikap orang-orang yang jahil terhadap ilmu agama menjadikan kuburnya para wali,ulama dan orang-orang shalih tempat untuk beribadah dan meminta pertolongan.

III. Hukum Membangun dan Membina Kubur Menurut Syari’at Islam

Sejak awal Islam telah melarang terhadap umatnya untuk membuat bangunan diatas kuburan , dimana larangan tersebut bersifat menyeluruh dan tidak hanya terbatas pada kuburan-kuburan tertentu saja. Larangan tersebut dilandasi kepada hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim :


صحيح مسلم ١٦١٠: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
و حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُا سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ

Shahih Muslim 1610:  dari Ibnu Juraij dari Abu Zubair dari Jabir ia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang mengapur kuburan, duduk dan membuat bangunan di atasnya."

Asal dari larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan keharaman sebagaimana telah dimaklumi dalam ilmu ushul fiqh. Larangan sebagaimana hadits tersebut diatas juga diperkuat lagi dengan perkataan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu– adalah salah seorang shahabat yang sangat bersemangat melaksanakan perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut sebagaimana terdapat dalam riwayat :
عَنْ أَبِي الْهَيَّاجِ الْأَسَدِيِّ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ: " أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ، وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ "
Dari Abul-Hayyaaj Al-Asadiy, ia berkata : ‘Aliy bin Abi Thaalib pernah berkata kepadaku : “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mengutusku ? Hendaklah engkau tidak meninggalkan gambar-gambar kecuali engkau hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali kamu ratakan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 969, Abu Daawud no. 3218, At-Tirmidziy no. 1049, An-Nasaa’iy no. 2031, dan yang lainnya].
Berikutnya larangan membuat bangunan diatas kubur sebagaimana yang disebutkan dalam hadits diatas, dilanjutkan pula oleh para ulama seluruh mazhab  dengan mengingatkan kepada umat seluruh umat Muslim, antara lain dikalangan madzhab Syaafi’iyyah berdasarkan perkataan Imam  Muhammad bin Idris Asy-Syafii rahimahullah :.
وأحب أن لا يبنى ولا يجصص فإن ذلك يشبه الزينة والخيلاء وليس الموت موضع واحد منهما ولم أر قبور المهاجرين والانصار مجصصة ...... وقد رأيت من الولاة من يهدم بمكة ما يبنى فيها فلم أر الفقهاء يعيبون ذلك
Dan aku senang jika kubur tidak dibangun dan tidak dikapur/disemen, karena hal itu menyerupai perhiasan dan kesombongan. Orang yang mati bukanlah tempat untuk salah satu di antara keduanya. Dan aku pun tidak pernah melihat kubur orang-orang Muhaajiriin dan Anshaar dikapur..... Dan aku telah melihat sebagian penguasa meruntuhkan bangunan yang dibangunan di atas kubur di Makkah, dan aku tidak melihat para fuqahaa’ mencela perbuatan tersebut” [Al-Umm, 1/316 – via Syamilah].
Hadits dari Ali bin Thalib radhyallahu’anhu diberi komentar pula imam An-Nawawiy rahimahullah sebagai salah seoreang ulama besar dari madzhab Syafi’iyah dimana beliau berkata :
فيه أن السنة أن القبر لا يرفع على الأرض رفعاً كثيراً ولا يسنم بل يرفع نحو شبر ويسطح وهذا مذهب الشافعي ومن وافقه،
“Pada hadits tersebut terdapat keterangan bahwa yang disunnahkan kubur tidak terlalu ditinggikan di atas permukaan tanah dan tidak dibentuk seperti punuk onta, akan tetapi hanya ditinggikan seukuran sejengkal dan meratakannya. Ini adalah madzhab Asy-Syaafi’iy dan orang-orang yang sepakat dengan beliau” [Syarh An-Nawawiy ‘alaa Shahih Muslim, 3/36].
Di tempat lain ia berkata :
وَاتَّفَقَتْ نُصُوصُ الشَّافِعِيِّ وَالْأَصْحَابِ عَلَى كَرَاهَةِ بِنَاءِ مَسْجِدٍ عَلَى الْقَبْرِ سَوَاءٌ كَانَ الْمَيِّتُ مَشْهُورًا بِالصَّلَاحِ أَوْ غَيْرِهِ لِعُمُومِ الْأَحَادِيثِ
“Nash-nash dari Asy-Syaafi’iy dan para shahabatnya telah sepakat tentang dibencinya membangun masjid di atas kubur. Sama saja, apakah si mayit masyhur dengan keshalihannya ataupun tidak berdasarkan keumuman hadits-haditsnya” [Al-Majmuu’, 5/316].

Adapun madzhab Hanafiyyah, berikut perkataan Muhammad bin Al-Hasan rahimahullah :
أَخْبَرَنَا أَبُو حَنِيفَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا شَيْخٌ لَنَا يَرْفَعُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ تَرْبِيعِ الْقُبُورِ، وَتَجْصِيصِهَا ". قَالَ مُحَمَّدٌ: وَبِهِ نَأْخُذُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Haniifah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami seorang syaikh kami yang memarfu’kan riwayat sampai pada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasannya beliau melarang untuk membangun dan mengapur/menyemen kubur. Muhammad (bin Al-Hasan) berkata : Dengannya kami berpendapat, dan ia juga merupakan pendapat Abu Haniifah” [Al-Aatsaar no. 257].
Juga Ibnu ‘Aabidiin Al-Hanafiy rahimahullah yang berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ فَلَمْ أَرَ مَنْ اخْتَارَ جَوَازَهُ.... وَعَنْ أَبِي حَنِيفَةَ : يُكْرَهُ أَنْ يَبْنِيَ عَلَيْهِ بِنَاءً مِنْ بَيْتٍ أَوْ قُبَّةٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
“Adapun membangun di atas kubur, maka aku tidak melihat ada ulama yang memilih pendapat membolehkannya..... Dan dari Abu Haniifah : Dibenci membangun bangunan di atas kubur, baik berupa rumah, kubah, atau yang lainnya” [Raddul-Mukhtaar, 6/380 – via Syamilah].
Madzhab Maalikiyyah, maka Maalik bin Anas rahimahullah berkata :
أَكْرَهُ تَجْصِيصَ الْقُبُورِ وَالْبِنَاءَ عَلَيْهَا
“Aku membenci mengapur/menyemen kubur dan bangunan yang ada di atasnya” [Al-Mudawwanah, 1/189].
Juga Al-Qurthubiy rahimahullah yang berkata :
فاتخاذ المساجد على القبور والصلاة فيها والبناء عليها، إلى غير ذلك مما تضمنته السنة من النهي عنه ممنوع لا يجوز
“Membangun masjid-masjid di atas kubur, shalat di atasnya, membangun bangunan di atasnya, dan yang lainnya termasuk larangan dari sunnah, tidak diperbolehkan” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 10-379].
Madzhab Hanaabilah, maka Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata :
ويكره البناء على القبر وتجصيصه والكتابة عليه لما روى مسلم في صحيحه قال : [ نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم أن يجصص القبر وأن يبنى عليه وأن يقعد عليه ] - زاد الترمذي - [ وأن يكتب عليه ] وقال : هذا حديث حسن صحيح ولأن ذلك من زينة الدنيا فلا حاجة بالميت إليه
“Dan dibenci bangunan yang ada di atas kubur, mengkapurnya, dan menulis tulisan di atasnya, berdasarkan riwayat Muslim dalam Shahiih-nya : ‘Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang kubur untuk dikapur, diduduki, dan dibangun sesuatu di atasnya’. At-Tirmidziy menambahkan : ‘Dan menulis di atasnya’, dan ia berkata : ‘Hadits hasan shahih’. Karena itu semua merupakan perhiasan dunia yang tidak diperlukan oleh si mayit” [Al-Mughniy, 2/382].
Juga Al-Bahuutiy Al-Hanbaliy rahimahullah yang berkata :
ويحرم اتخاذ المسجد عليها أي: القبور وبينها لحديث أبي هريرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لعن الله اليهود اتخذوا قبور أنبيائهم مساجد. متفق عليه 
“Dan diharamkan menjadikan masjid di atas kubur, dan membangunnya berdasarkan hadits Abu Hurairah bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Allah melaknat orang Yahudi yang telah menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid-masjid’. Muttafaqun ‘alaih” [Kasysyaaful-Qinaa’, 3/774].
Juga Al-Mardawiy rahimahullah yang berkata :
وَأَمَّا الْبِنَاءُ عَلَيْهِ : فَمَكْرُوهٌ ، عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ ، سَوَاءٌ لَاصَقَ الْبِنَاءُ الْأَرْضَ أَمْ لَا ، وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ قَالَ فِي الْفُرُوعِ : أَطْلَقَهُ أَحْمَدُ ، وَالْأَصْحَابُ
Adapun bangunan di atas kubur, hukumnya makruh berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah), sama saja, apakah bangunan itu menempel tanah ataukah tidak. Pendapat itulah yang dipegang kebanyakan shahabat Ahmad. Dalam kitab Al-Furuu’ dinyatakan : Ahmad dan shahabat-shahabatnya memutlakkan (kemakruhan)-nya” [Al-Inshaaf, 2/549].
Madzhab Dhaahiriyyah, maka Ibnu Hazm rahimahullah berkata :
مَسْأَلَةٌ: وَلاَ يَحِلُّ أَنْ يُبْنَى الْقَبْرُ, وَلاَ أَنْ يُجَصَّصَ, وَلاَ أَنْ يُزَادَ عَلَى تُرَابِهِ شَيْءٌ, وَيُهْدَمُ كُلُّ ذَلِكَ
“Permasalahan : Dan tidak dihalalkan kubur untuk dibangun, dikapur/disemen, dan ditambahi sesuatu pada tanahnya. Dan semuanya itu (bangunan, semenan, dan tanah tambahan) mesti dirobohkan” [Al-Muhallaa, 5/133].
itu.....
Dari penjelasan para ulama dari berbagai madzhab  sebagaimana yang dikemukakan diatas maka sangatlah jelas keharamannya membuat bangunan dan membina kubur dengan kemegahan dan kemewahan yang menghabiskan biaya cukup besar sebagaimana yang nampak pada banyak kuburan para ulama dan orang-orang shalih yang bertebaran di seluruh negeri Islam.

IV. Membuat Bangunan dan Membina Kubur Para Ulama dan Orang-Orang Shalih Perbuatan Berlebihan ( Ghuluw) yang Terlarang Dalam Islam
Ket.Gb : Kubur Syaikh Abd.Qadir Jailani

Sebelum memasuki pembicaraan tentang inti persoalan mengenai membuat bangunan dan membina kubur para ulama dan orang-orang shalih termasuk perbuatan ghulur yang terlarang dalam agama, maka terlebih dahulu disinggung tentang pengertian ghuluw.
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ghuluw dalam agama berarti melampaui batas dengan menambah-nambah dalam memuji sesuatu atau mencela sesuatu sehingga menyimpang jauh dari apa yang menjadi haknya
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin  memberikan definisi yang semakna dengan apa yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah . Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, secara syariat ghuluw berarti berlebihan dalam mengangkat seseorang lebih dari kedudukan yang sepantasnya, seperti mengangkat seorang nabi atau orang-orang saleh ke martabat rububiyyah dan uluhiyyah (ketuhanan). 
Ada juga ulama yang mengatakan, "Ghuluw berarti melampaui batas dengan menambah-nambah dalam memuji sesuatu atau mencelanya sehingga melampaui apa yang menjadi haknya."
V. Ghuluw dalam Pandangan Agama
Sikap berlebih-lebihan (ghuluw) merupakan perbuatan yang dibenci agama. Sikap ghuluw merupakan salah satu ciri agama jahiliah dan merupakan asas kesesatan orang-orang Nasrani. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala  menerangkan kebencian-Nya terhadap perbuatan ghuluw di dua tempat di dalam Al-Qur’an, agar umat Rasulullah n tidak terjatuh dalam perbuatan tersebut, utamanya dalam menyikapi diri beliau shallallahu’alaihi wa sallam. Begitu juga Rasulullah shallahu’alahi wa sallam dalam banyak kesempatan—bahkan ketika di akhir hayat—dengan tegas mengingatkan umatnya dari hal tersebut.
 Ghuluw dengan makna di atas telah dijelaskan oleh Allah ta’ala  dalam firman-Nya:
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرًا وَضَلُّواْ عَن سَوَاء السَّبِيلِ
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus".(QS. Al Maidah : 77 )
Mencintai dan memuliakan sesama muslim merupakan perintah syari’at yang mulia ini. Terlebih kepada orang-orang shalih dan ulama. Allah menyepadankan persaksian mereka dengan persaksian Diri-Nya, dan mereka adalah teman yang terbaik. Tetapi perlakuan ini harus dalam koridor yang benar dan proporsional, tidak ghuluw atau berlebih-lebihan. Sebab mereka adalah manusia biasa, tidak memiliki kemaksuman seperti para nabi dan tidak pula memiliki sifat ketuhanan.
Hal ini perlu ditegaskan lantaran gejala atau praktek ghuluw ini masih terus menggelayuti sebagian masyarakat. Ada yang mempunyai persepsi bahwa ulama itu tidak mungkin keliru.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi dalam kitab beliau “Prilaku & Akhlak Jahilliyah  mengatakan ; bahwa orang-orang jahilliyah mereka telah berbuat ghuluw terhadap pribadi-pribadi tertentu ,yakni dengan mengangkat mereka dari kedudukannya. Sampai-sampai pada tingkatan menjadikan mereka sebagai sembahan bersama Allah . Sebagaimana orang Yahudi berbuat ghuluw kepada Uzair, mereka berkata “ Dia adalah anak Allah “. Demikian juga perbuatan ghuluw orang-orang orang Nasrani. Mereka menjunjung tinggi dan menyanjung Isa bin Maryam’alaihisallam dari kedudukannya sebagai seoramng manusia biasa dan pengemban risalah kepada derajat keuluhiyahan (sesembahan) dan mereka berkata “ Dia adalah anak Allah “
Demikian pula dengan kaum Nabi Nuh’alaihissallam sepeninggal beliau , mereka bersikap ghuluw kepada orang shalih, dengan membuat gambar dan patung mereka. Kemudian mereka mengibadahinya sebagai sesembahan selain Allah, lalu mereka mengangkat orang-orang shalih sampai kepada tingkat uluhiyyah.Sebagaimana yang disebutkan dalam firman
Allah subhanahu wa ta’ala  :
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr[1521]".(QS.Nuh : 23 )
K e t e r a n g a n :
[1521] Wadd, Suwwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr adalah nama-nama berhala yang terbesar pada qabilah-qabilah kaum Nuh.
Berdasar ayat diatas mereka telah menjadikan orang-orang shalih tersebut sebagai sesembahan. Dan demikian juga selain mereka dari kelompok kelompok kaum musyrikin sampai hari ini. Mereka telah bersikap ghuluw kepada orang-orang shalih dengan melakukan tawaf di kiburan mereka, menyembelihj dan bernazar untuk mereka, dan memohon pertolongan ketika dalam keadaan sulit kepada orang yang telah mati. Mereka bersungguh-sungguh dalam memohon kepada oarnmg-orang shalih tersebut agar memenuhi kebutuhan dan keperluan mereka. Perbuatan ghuluw seperti ini akan menyeret para pelakunya kepada kesyirikan.Maka tidak diperbolehkan bersikap ghuluw terhadap seluruh makhluk dan mengangkat mereka diatas kedudukan yang btelah Allah berikan.Karena hal ini akan menyeret kepada perbuatan menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala.Demikian pula ghuluw kepada para ulama dan ahli ibadah.
Syari’at telah melarang umat islam untuk berbuat ghuluw kepada Rasullullah shallalahu ‘alaihi wasallam yang jelas dan nyata sebagai nabinya tercinta umat islam, apalagi terhadap para ulama larangan itu tentunya semakin keras.
Termasuk ke dalam perbuatan ghuluw terhadap ulama yang dilakukan oleh sebagian umat Muslim di berbagai negeri termasuk di Indonesia adalah membuat bangunan yang megah dan mewah diatas kubur dan bahkan ada yang membangunkan masjid kemudian diziarahi dan berdoa serta meminta pertolongan kepada orang yang telah mati yang menghuni kubur tersebut. Sedangkan as-Sunnah sebagai syari’at Islam melarang membuat bangunan diatas kubur.
 Sehingga membuat bangunan diatas kubur selain sebagai perbuatan ghuluw terhadap ulama, juga merupakan pelanggaran terhadap larangan yang sudah digariskan oleh agama.

VI. K e s  i m p u l a n
Hampir di seluruh tempat di negeri-negeri Muslim termasuk di Indonesia terdapat kuburan para ulama dan orang-orang shalih yang diatasnya dibuatkan bangunan yang megah dan mewah dengan berbagai pernik- perniknya. Kubur-kubur tersebut dianggap sebagai kubur yang berkramat sehingga banyak orang-orang Muslim yang datang berziarah sambil beribadah disana dan meminta pertolongan kepada penghuni kubur.
Apa yang dilakukan oleh sebagian orang-orang Muslim tersebut sesungguhnya telah mengangkat  kedudukan para ulama dan orang-orang shalih yang telah meninggal tersebut pada kedudukan yang tidak semestinya. Hal ini merupakan perbuatan yang berlebih-lebihan ( ghuluw ) terhadap para ulama dan orang-orang shalih.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang kepada seluruh  umat Muslim untuk tidak berbuat ghuluw terhadap diri beliau, maka larangan itu juga tentunya berlaku untuk semua kalangan termasuk dalam hal ini terhadap para ulama dan orang-orang shalih.
Sebagai seorang Muslim yang ta’at dan patuh kepada Alllah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, maka seyogyanya sebagai umat Muslim bersikaplah yang wajar dan hormati dan hargailah ulama sesuai dengan kedudukannya, tidak lebih dari itu, janganlah memuji dan menyanjung ulama melebihi kapasitasnya sebagai ulama.Karena sikap yang yang berlebih lebihan ( ghuluw ) inilah yang menjadikan pintu masuk dan  menjerumuskan ke dalam kesyirikan lantaran melabeli mereka dengan sifat-sifat ketuhanan yang hanya pantas bagi Allah. (Wallahu’alam ).
Naskah bersumber dari:
1. Al-Qur’an dan Terjemahan, www.Salafi-DB.com
2. Kitab Hadits 9 Imam, www  Lidwa Pusaka .com
3.Fathul Majid ( Terjemahan ),Penjelasan Kitab Tauhid,Dyaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh,Penerbit Pustaka Azzam
4.Perilaku & Akhlak Jahiliyah,Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi, penerbit Pustaka Sumayah
5.Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i
6. Ayat-ayat Larangan dan Perintah dalam Al-Qur’an KH.Qomaruddin dkk, penerbit Diponogoro
7. Ghuluw Benalu Dalam Ber-Islam Abdurrahman bin MNU’alla Al-Luwaihiq,penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i
8. Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik H.Mahrus Ali, penerbit Laa Tasyuki Press
9. Bahaya Mengekor Non Muslim Muhammad bin ‘Ali Adh Dhabi’I, penerbit  Media Hidayah
10. www.Konsultasi Syariah.com
11.www.Asysyariah.com

Selasa, 23 Oktober 2012

BERLEBIHAN MENGAGUNGKAN NABI,WALI,ULAMA DAN ORANG SHALIH PERBUATAN GHULUW YANG TERLARANG DALAM ISLAM





           I.P e n  d a h u l u a n
Bukanlah hal yang baru dikalangan masyarakat Islam sejak zaman dahulu  bahwa sebagian diantara mereka dalam menunjukkan kecintaannya  terhadap Nabi, para imam, wali, ulama dan orang-orang shalih yang dianggap sebagai orang-orang diidolakan  melakukan hal-hal yang kadang-kadang dianggap aneh oleh sebagian orang dan sulit dapat diterima oleh akal sehat. Segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan bagian dari upaya untuk menunjukkan kecintaannya dengan cara mengagungkan dan memuji secara berlebihan dan melampaui batas ( ghuluw) yaitu misalnya salah satu contoh dengan cara menyiksa diri yang dilakukan oleh kalangan penganut Syi’ah  dalam memperingat kematian Husien bin Ali Abi Thalib .
Bentuk pengagungan kepada wali ditunjukan oleh penganut thariqat Qadiriyah , dimana pada malam- malam tertentu atau acara-acara tententu mengamalkan pembacaan manaqib ( sejarah perjalanan hidup)  ulama besar Syaikh Abdul Qadir Jailani untuk mendapatkan baraqah dari syaikh . Isi dari manaqib tersebut banyak yang menyimpang, karena kalau disimak dengan menterjemahkan manaqib atau riwayat tersebut maka di dalamnya oleh pengarangnya banyak sekali terdapat riwayat-riwayat berupa isapan jempol belaka. Namun karena sebagai tanda penghargaan dan memuliakan Syaikh Abdul Qadir Jailani, cerita-cerita bohong dalam manaqib tersebut dianggap benar. Disebutkan bahwa konon salah seorang pernah mendatangi Syaikh Abd.Qadir Zailani melaporkan bawah anaknya meninggal dunia dan meminta tolong kepada  sang Syaikh agar anaknya dapat hidup kembali,atas permintaan tolong tersebut syaikh lalu terbang keangkasa mengejar Malaikat maut yang membawa roh si anak yang telah dicabut nyawanya. Ketika bertemu dengan Malaikat tersebut syaikh Abd.Qadir Jailani meminta agar roh si anak dikembalikan, tetapi malaikat menolak. Syaikh Abdul Qadir Jailani lalu berusaha merebut roh tersebut dari Malaikat namun Malaikat tetap mempertahankannya sehingga terjadilah perkelahian dimana akhirnya Malaikat kalah dalam perkelahian tersebut dan syaikh dapat membawa pulang roh si anak.
Gambaran lain tentang pengagungan dan memuji melampaui batas ditunjukkan pula oleh sebagian masyarakat di Kalimantan terhadap salah seorang tuan guru ( yang sudah almarhum) yang menganggap tuan guru tersebut sebagai wali Allah yang mengetahui perkara ghaib dan sampai-sampai gambar/foto sang tuan guru dianggap dapat mendatangkan baraqah bagi yang memajang dirumah-rumah,kuburannya dianggap berkramat. Ada pula majelis ta’lim yang ustadznya merupakan murid dari tuan guru memajang foto tuan guru dimana pada saat berjama’ah foto tersebut diletakkan didepan imam shalat. Semuanya itu dilakukan tidak lain sebagai bentuk penggambaran akan kecintaan dan pengagungan kepada sang tuan guru.
Bagaimanakah sesungguhnya  sikap Islam terhadap perilaku mereka-mereka yang berbuat ghuluw baik terhadap Nabi, para wali, syaikh, tuan guru, kiai dan orang-orang shalih.?
Dalam ulasan yang serba terbatas dibawah ini dicoba mengungkapkan tentang larangan berbuat ghuluw dengan mengagungkan, memuji secara berlebihan  yang dilakukan oleh banyak kalangan Islam yang materi pokoknya bersumber dari penjelasan para ulama.



II.Apakah ghuluw itu ?
1. Pengertian Ghuluw
KH.Qomaruddin dalam buku beliau “ Ayat-ayat Larangan & Perintah Dalam al-Qur’an menywebutkan bahwa :”dalam kamus lisanul ‘arab disebutkan bahwa asal kata ghuluw diambil dari kata ghala yaghlu, yang secara bahasa artinya melampaui batas atau berlebih-lebihan.
 Pengertian ghuluw dalam arti syari’at adalah berbuat melampaui batas, baik dalam keyakinan maupun amalan yang justru membuatnya menyimpang dari apa yang telah ditetapkan oleh syari’at.
 Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa ghuluw dalam agama berarti melampaui batas dengan menambah-nambah dalam memuji sesuatu atau mencela sesuatu sehingga menyimpang jauh dari apa yang menjadi haknya
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin  (al-Qaulul Mufid, 1/466) memberikan definisi yang semakna dengan apa yang dinyatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah . Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, secara syariat ghuluw berarti berlebihan dalam mengangkat seseorang lebih dari kedudukan yang sepantasnya, seperti mengangkat seorang nabi atau orang-orang saleh ke martabat rububiyyah dan uluhiyyah (ketuhanan). (Syarah Masail al-Jahiliah, hlm. 85)

Ada pula yang menyebutkan  ghuluw dalam beragama berarti: melampaui apa yang dikehendaki syari'at, baik dalam keyakinan, maupun amalan.

Ada juga ulama yang mengatakan, "Ghuluw berarti melampaui batas dengan menambah-nambah dalam memuji sesuatu atau mencelanya sehingga melampaui apa yang menjadi haknya."

2 .Beberapa Nama Lain Ghuluw
 Dalam hadits-hadits juga banyak diriwayatkan peringatan serupa, dengan lafadz yang memiliki pengertian serupa dengan ghuluw.  Diantaranya :
a. At Tanatthu' (keras tidak karu-karuan)
Rasulullah pernah bersabda :
Binasalah mereka yang bersikap tanatthu', binasalah mereka yang bersikap tanatthu', binasalah mereka yang bersikap tanatthu'
Imam Nawawi menyatakan, "Tanatthu' berarti melampaui batas." Dalam pernyataan beliau lainnya, "Tanatthu' berarti sikap keras tidak karu-karuan yang tidak pada tempatnya."
b. Tasyaddud (Menyusah-nyusahkan Urusan)
Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda,
صحيح البخاري ٣٨: حَدَّثَنَا عَبْدُ السَّلَامِ بْنُ مُطَهَّرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ مَعْنِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْغِفَارِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ
Shahih Bukhari 38: dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira dan minta tolonglah dengan Al Ghadwah (waktu pagi) dan ar-ruhah (waktu zhuhur) dan sesuatu dari ad-duljah ((waktu malam) ".
Syaikh Nashiruddin Ahmad bin Muhammad al Iskandari berkata, Disebutkan disitu "sedikit waktu malam", karena beribadah dimalam hari itu berat. Maka disunnahkan mempergunakan sedikit waktunya.
Lalu Syaikh Shalahuddien Maqbul Ahmad dalam komentarnya terhadap kitab tersebut menyatakan,
"Beliau (Imam Bukhari) hendak menyatakan bahwa yang utama bagi orang yang beramal itu untuk tidak usah memaksa diri, sehingga malah letih dan berhenti beramal. Namun hendaknya ia beramal perlahan - lahan secara bertahap agar amalannya berlangsung terus dan tidak terputus."
c. Al 'Itida' (Melangkahi Ketentuan Syari'at)
Rasulullah bersabda,
"Sesungguhnya Allah telah menetapkan kewajiban-kewajiban, janganlah kalian melalaikannya, menetapkan hal-hal yang haram, janganlah kalian melakukannya. Allahpun telah menetapkan batasan, maka janganlah kalian melangkahinya ..."
Allah berfi rman,
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf [115] dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.(QS,Al Baqarah: 187 )
Ibnu Taimiyah berkomentar, "Ini adalah awal perbuatan haram." Artinya, kita harus memelihara diri agar tidak mendekati yang haram, dan mencukupkan diri dengan yang halal.
Allah berfi rman,
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُواْ مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلاَّ أَن يَخَافَا أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ يُقِيمَا حُدُودَ اللّهِ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللّهِ فَأُوْلَـئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.(QS.Al Baqarah : 229 )
Ibnu Taimiyah berkata, "Inilah akhir perbuatan halal." Artinya, kita harus memelihara diri dalam melakukan tindakan yang asalnya adalah halal. Karena apabila kita melampaui batas, ia menjadi haram, atau menjerumuskan kita kepada yang haram, dan inilah perbuatan I'tida'. Wal 'iyadzu billah.
d. At Takalluf (Memaksakan Diri)
Dari Umar ia berkata,:
سنن أبي داوود ٣١١٣: حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الْمَهْرِيُّ أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ بْنِ يَزِيدَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ الرَّأْيَ إِنَّمَا كَانَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُصِيبًا لِأَنَّ اللَّهَ كَانَ يُرِيهِ وَإِنَّمَا هُوَ مِنَّا الظَّنُّ وَالتَّكَلُّفُ
Sunan Abu Daud 3113: bahwa Umar bin Al Khathab radliallahu 'anhu berada di atas mimbar dan berkata, "Wahai para manusia, sesungguhnya jika pendapat itu berasal dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam maka ia benar adanya, sebab Allah memperlihatkan kepadanya, dan pendapat yang berasal dari kita hanyalah prasangka dan takalluf (membebani diri)."
Syaikh Salim al Hilali berkomentar, (Hadits ini menunjukkan dilarangnya , bersikap keras dan memaksa diri untuk hal yang tidak perlu.
3.Macam-Macam Ghuluw
Sikap ghuluw kaitannya dengan perbuatan-perbuatan hamba, dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
Pertama, ghuluw i’tiqadi.
Ghuluw dalam i’tiqad ini dilakukan oleh orang Nasrani terhadap ‘Isa bin Maryam ‘alaihisallam. Seperti juga ghuluw Syi’ah Rafidhah terhadap ‘Ali radhyallahu’anhu  atau terhadap imam yang 12. Termasuk juga ghuluw Khawarij dalam mengafirkan orang-orang Islam hanya karena melakukan kemaksiatan-kemaksiatan atau dosa-dosa besar.
Kedua, ghuluw amali.
Yaitu ghuluw yang terkait dengan amalan-amalan, baik amalan lisan maupun amalan anggota badan yang tidak terkait dengan i’tiqad. Contohnya, melempar jumrah dengan batu besar, melakukan puasa wishal (puasa terus-menerus), atau bangun malam untuk shalat semalam suntuk.
Dari kedua jenis ghuluw ini, yang paling berbahaya dan besar adalah ghuluw i’tiqadi. (Bida’il I’tiqad wa Akhtharuha, hlm. 94)
4.Ghuluw dalam Pandangan Agama
Sikap berlebih-lebihan (ghuluw) merupakan perbuatan yang dibenci agama. Sikap ghuluw merupakan salah satu ciri agama jahiliah dan merupakan asas kesesatan orang-orang Nasrani. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala  menerangkan kebencian-Nya terhadap perbuatan ghuluw di dua tempat di dalam Al-Qur’an, agar umat Rasulullah n tidak terjatuh dalam perbuatan tersebut, utamanya dalam menyikapi diri beliau shallallahu’alaihi wa sallam. Begitu juga Rasulullah shallahu’alahi wa sallam dalam banyak kesempatan—bahkan ketika di akhir hayat—dengan tegas mengingatkan umatnya dari hal tersebut.
 Ghuluw dengan makna di atas telah dijelaskan oleh Allah ta’ala  pada dua tempat:
Pertama, Allah ta’ala berfirman:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقِّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُواْ ثَلاَثَةٌ انتَهُواْ خَيْرًا لَّكُمْ إِنَّمَا اللّهُ إِلَـهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَات وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللّهِ وَكِيلاً
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu [383], dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya [384] yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya [385]. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan : "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.(QS. An Nisaa : 171 )
 K e t e r a n g a n :
[383] Maksudnya : janganlah kamu mengatakan Nabi 'Isa u itu Allah, sebagai yang dikatakan oleh orang-orang Nasrani. [384] Lihat not 193. [385] Disebut tiupan dari Allah karena tiupan itu berasal dari perintah Allah.

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرًا وَضَلُّواْ عَن سَوَاء السَّبِيلِ
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus".(QS. Al Maidah : 77 )
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam syarahnya terhadap Kitab at-Tauhid mengatakan, “Sekalipun yang diajak berbicara oleh Allah ta’ala adalah ahli kitab, namun arahannya umum untuk setiap umat sebagai suatu bentuk peringatan dari sifat ghuluw, sebagaimana perbuatan Nasrani terhadap Nabi ‘Isa’alaihissallam dan perbuatan orang Yahudi terhadap ‘Uzair.” (Fathul Majid, 1/371)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala  melarang ahli kitab dari ghuluw dan kultus individu. Hal ini banyak terjadi di kalangan Nasrani yang melampaui batas terhadap diri ‘Isa’alaihissallam, sehingga mereka mengangkatnya lebih dari martabat yang telah diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala  pada diri beliau. Mereka memosisikan beliau dari kedudukannya sebagai seorang nabi menjadi sesembahan yang mereka sembah selain Allah .Bahkan, mereka juga berlebih-lebihan dalam menyikapi para pengikut Nabi Isa ‘alaihissallam(di antaranya para pendeta) yang mereka meyakini pada diri para pengikut tersebut, kesucian dari dosa. Mereka mengikuti setiap apa yang dipetuahkan oleh (para pendetanya), baik itu benar ataupun salah, kesesatan ataupun petunjuk, benar ataupun dusta. Oleh karena itu, Allah l mengatakan, ‘Mereka menjadikan ulama-ulama dan pendeta-pendeta tersebut sebagai sesembahan-sesembahan selain Allah’.” [an-Nisa: 171] (Tafsir Ibnu Katsir, 1/603)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 179) mengatakan hal yang semakna dengan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t yang berkata, “Barang siapa dari umat ini yang menyerupai Yahudi dan Nasrani, serta dia berlebih-lebihan di dalam agama baik dengan cara menambah maupun mengurangi, maka dia telah sama seperti mereka.” (Minhaj as-Sunnah, 1/28, Majmu’ Fatawa, 3/370—394)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di t juga mengatakan, “Barang siapa berlebih-lebihan dalam menyikapi seorang makhluk sehingga menjadikannya memiliki kekuasaan tunggal dalam mengatur dan sebagainya, maka sesungguhnya dia telah menyamakannya dengan Rabbul ‘alamin. Hal itu termasuk sebesar-besar dosa syirik, karena hak-hak itu ada tiga:
1.Hak yang hanya khusus bagi Allah ta’ala  dan tidak ada seorang pun yang menyamai-Nya dalam hak ini. Itulah hak peribadatan hanya kepada-Nya semata dan tidak kepada selain-Nya, baik dengan cinta, bertaubat, takut, berharap dsb.

2. Hak yang khusus bagi rasul-rasul-Nya, yaitu memuliakan mereka, melaksanakan hak-hak mereka, dan sebagainya.

3. Hak yang dimiliki bersama, yaitu hak beriman kepada Allah l dan beriman kepada rasul Allah. Cinta kepada Allah  subhanahu wa ta’ala  dan cinta kepada rasul-Nya, menaati Allah subhanahu wa ta’ala dan menaati rasul-Nya. Namun pada asalnya hak ini terkait dengan Allah. Adapun kepada rasul-Nya hanya sebatas mengikuti hak Allah.” (al-Qaulus Sadid, hlm. 73)
Dari dua ayat di atas, jelaslah bahwa ghuluw dalam beragama, menyikapi sesuatu atau seorang yang alim dengan cara berlebihan sehingga meletakkannya pada martabat lebih dari kedudukannya sebagai manusia, merupakan perbuatan yang dibenci oleh Allah l dan Rasul-Nya .Rasulullah n bersabda dalam sebuah hadits dari ‘Umar ibnul Khaththab radhyallahu’anhu:

لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى بْنِ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ

Janganlah kalian memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani memuji ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku adalah seorang hamba, maka katakanlah: hamba Allah dan rasul-Nya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3445 dan 6830, Muslim no. 1691, at-Tirmidzi no. 284)
Makna dari hadits ini: “Janganlah kalian memujiku sehingga kalian berlebih-lebihan terhadapku, sebagaimana kaum Nasrani berlebih-lebihan terhadap ‘Isa ‘alaihissallam yang pada akhirnya mereka mengakui adanya hak peribadatan bagi ‘Isa bin Maryam. Aku ini tidak lebih dari seorang hamba Allah ta’ala. Maka sifatilah diriku sebagaimana Rabb-ku mensifatiku. Katakanlah: hamba Allah dan rasul-Nya.”


shallallahu’alaihi wa sallam dan pengagungan kepadanya, serta menampakkan ketauhidan dan keikhlasan (seolah-olah) sebagai bentuk mengurangi serta meremehkan beliau.” (Fathul Majid, 1/381)
Di dalam hadits dari Ibnu ‘Abbas c, Rasulullah n bersabda:

إِيَّاكُمْ وَاْلغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ

“Hati-hatilah kalian dari sikap ghuluw di dalam agama, sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena ghuluw di dalam agama.” (HR. Ahmad, dalam al-Musnad, 1/215 dan 347, Ibnu Majah no. 3064, an-Nasa’i )
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t (al-Iqtidha, 1/289—290) mengatakan, ”(Makna) hadits ini adalah umum mencakup segala macam ghuluw, baik di dalam i’tiqad (keyakinan) maupun amalan-amalan.”
Beliau menyebutkan alasan menjauhi langkah orang-orang sebelum kita adalah agar tidak terjatuh pada perkara yang menyebabkan kebinasaan, dan bahwa mengikuti mereka pada sebagian ciri mereka dikhawatirkan akan menyebabkan tertimpa kebinasaan.
III. Hukum Ghuluw 
Allah berfirman,
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرًا وَضَلُّواْ عَن سَوَاء السَّبِيلِ
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus". (QS.Al Maidah : 77 )
Ayat serupa disebutkan pula dalam firman Allah ta’ala dalam surat An Nisa: 171.

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقِّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُواْ ثَلاَثَةٌ انتَهُواْ خَيْرًا لَّكُمْ إِنَّمَا اللّهُ إِلَـهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَات وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللّهِ وَكِيلاً
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu [383], dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya [384] yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya [385]. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan : "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.(QS,An Nisaa: 171 )
K e t e r a n g a n :
[383] Maksudnya : janganlah kamu mengatakan Nabi 'Isa u itu Allah, sebagai yang dikatakan oleh orang-orang Nasrani. [384] Lihat not 193. [385] Disebut tiupan dari Allah karena tiupan itu berasal dari perintah Allah.
Imam Al Qurthubi menegaskan dengan ayat di atas, Allah mengharamkan sikap ghuluw di atas. Sedangkan ghuluw itu sendiri adalah melampaui batas. Dia mencontohkan, bahwa di antara bentuk ghuluw seperti sikap ghuluwnya orang-orang Yahudi terhadap Maryam binti Imran yang sampai - sampai menuduhnya berzinah. Sebaliknya juga sikap ghuluw-nya orang-orang Nashrani terhadap dia (Maryam) sehingga menganggapnya sebagai Tuhan. 
Ibnu Katsir menambahkan banyak golongan lain yang menuruti jejak orang-orang Nashrani tersebut. Di mana mereka bersikap ghuluw terhadap pemimpin-pemimpin yang dianggap berkompeten dalam urusan agamanya, yang kemudian mereka yakini sebagai yang ma'shum.
Ucapan  merekapun diikuti, baik itu benar maupun salah, baik berpedoman (pada yang haq) maupun yang sesat, baik jujur maupun dusta!
Sementara dalam hadits Ibnu Abbas disebutkan, bahwa Rasulullah bersabda, Wahai manusia, waspadalah kamu sekalian terhadap ghuluw di dalam Islam. Sesungguhnya yang membinasakan umat-umat sebelum kamu hanyalah sikap ghuluw dalam agama mereka.
IV.Dasar Hukum/Dalil Tentang Larangan Berbuat Ghuluw
Adanya larangan untuk berbuat ghuluw terhadap nabi, para sahabat,para Imam , para wali Allah, syaikh, ulama, tuan guru dan orang-orang shalih merupakan ketentuan syari’at yang mempunyai dasar/landasan hukum sebagai dalil yang syar’I, bukan karena pertimbangan akal semata. Dalil tersebut ada di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.
1.Dalil dalam al-Qur’an
a.Firman Allah ta’ala :
Allah ta’ala berfirman :

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقِّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُواْ ثَلاَثَةٌ انتَهُواْ خَيْرًا لَّكُمْ إِنَّمَا اللّهُ إِلَـهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَات وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللّهِ وَكِيلاً
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu [383], dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya [384] yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya [385]. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan : "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.(QS. An Nisaa : 171 )
________________________________________
[383] Maksudnya : janganlah kamu mengatakan Nabi 'Isa u itu Allah, sebagai yang dikatakan oleh orang-orang Nasrani.
[384] Lihat not 193.
[385] Disebut tiupan dari Allah karena tiupan itu berasal dari perintah Allah.
b .Firman Allah ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُحَرِّمُواْ طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللّهُ لَكُمْ وَلاَ تَعْتَدُواْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(QS.Al Maidah : 87)
c. firman Allah dalam al-Qur’an surah at-Taubah ayat 31 :
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah [639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.(Qs.At Taubah:31)
 K e t e r a n g a n :
[639] Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah[639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
d.Allah ta’ala berfirman :

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقِّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُواْ ثَلاَثَةٌ انتَهُواْ خَيْرًا لَّكُمْ إِنَّمَا اللّهُ إِلَـهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَات وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللّهِ وَكِيلاً
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu [383], dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya [384] yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya [385]. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan : "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.(QS. An Nisaa : 171 )
________________________________________
[383] Maksudnya : janganlah kamu mengatakan Nabi 'Isa u itu Allah, sebagai yang dikatakan oleh orang-orang Nasrani.
[384] Lihat not 193.
[385] Disebut tiupan dari Allah karena tiupan itu berasal dari perintah Allah.
1.5. Allah berfirman,
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرًا وَضَلُّواْ عَن سَوَاء السَّبِيلِ
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus". (QS.Al Maidah : 77
e. firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam al-Qur’an surah Hud : 112 :
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَن تَابَ مَعَكَ وَلاَ تَطْغَوْاْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
(QS.Huud:112)
f.Firman Allah ta’ala :
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah [639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.(QS.At Taubah : 31 )
 K e t e r a n g a n :
[639] Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.
2.Dalil Dari As- Sunnah
a. Hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam bersabda :
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ قَالَ زَعَمَ الزُّهْرِيُّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
Telah menceritakan kepada kami Husyaim dia berkata; Az Zuhri telah menganggap (meriwayatkan) dari 'Ubaidillah Bin Abdullah Bin 'Utbah Bin Mas'ud dari Ibnu Abbas dari Umar bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian mengkultuskan aku sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa Bin Maryam, aku hanyalah hamba Allah dan Rasul-Nya.”
b. Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسٍ قَالَ
مَا كَانَ شَخْصٌ أَحَبَّ إِلَيْهِمْ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُومُوا لِمَا يَعْلَمُوا مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لِذَلِكَ
Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi dari Hammad bin Salamah dari Humaid dari Anas, ia berkata; "Tidak seorangpun dari mereka yang lebih dicintainya selain Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, namun jika mereka melihat beliau, mereka tidak berdiri karena mereka tahu beliau tidak menyukai hal itu."(HR. Ahmad dan At-Timidzi )
c.Hadits diriwayatkan oleh Imam Bukhari Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
صحيح البخاري ٣١٨٩: حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ سَمِعْتُ الزُّهْرِيَّ يَقُولُ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ سَمِعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ عَلَى الْمِنْبَرِ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
Shahih Bukhari 3189: dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhua bahwa dia mendengar 'Umar radliallahu 'anhum berkata di atas mimbar, "Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian melampaui batas dalam memujiku (mengkultuskan) sebagaimana orang Nashrani mengkultuskan 'Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku hanyalah hamba-Nya, maka itu katakanlah 'abdullahu wa rasuuluh (hamba Allah dan utusan-Nya").
d. Hadits  diriwayatkan oleh Imam Ahmad Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda :
مسند أحمد ٣٠٧٨: حَدَّثَنَا يَحْيَى وَإِسْمَاعِيلُ الْمَعْنَى قَالَا حَدَّثَنَا عَوْفٌ حَدَّثَنِي زِيَادُ بْنُ حُصَيْنٍ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ الرِّيَاحِيِّ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ يَحْيَى لَا يَدْرِي عَوْفٌ عَبْدُ اللَّهِ أَوْ الْفَضْلُ قَالَ
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ الْعَقَبَةِ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى رَاحِلَتِهِ هَاتِ الْقُطْ لِي فَلَقَطْتُ لَهُ حَصَيَاتٍ هُنَّ حَصَى الْخَذْفِ فَوَضَعَهُنَّ فِي يَدِهِ فَقَالَ بِأَمْثَالِ هَؤُلَاءِ مَرَّتَيْنِ وَقَالَ بِيَدِهِ فَأَشَارَ يَحْيَى أَنَّهُ رَفَعَهَا وَقَالَ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّينِ
Musnad Ahmad 3078: dari Ibnu Abbas. Yahya berkata; 'Auf tidak tahu itu Abdullah atau Al Fadlal, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda kepadaku di pagi hari Aqabah, sedangkan saat itu beliau duduk di atas unta beliau: "Ambilkan kerikil untukku." Maka aku pun memungutkan kerikil untuk beliau gunakan melempar jumrah. Kemudian beliau meletakkan kerikil itu di tangannya, lalu beliau bersabda: "Seperti mereka." beliau mengucapkan dua kali. Ia Yahya mengatakan; Dengan tangannya, lalu Yahya mengisyaratkan bahwa beliau mengangkatnya. Beliau bersabda: "Janganlah kalian berlaku ghuluw (sikap berlebih-lebihan), karena sesungguhnya kebinasaan orang-orang sebelum kalian adalah karena bersikap ghuluw dalam agama."
V.Bahaya Sifat Ghuluw
Sebagaimana pembahasan di atas, ghuluw dalam agama merupakan perkara yang sangat dibenci karena akan mengakibatkan kerusakan agama, diri, dan masyarakat. Di antara bahaya dan kerusakan dari sifat ghuluw ini adalah:
Pertama, melanggar larangan Allah subhanahu wa ta’ala  dan Rasul-Nya, sebagaimana larangan Allah subhanahu wa ta’ala  yang ditujukan kepada Yahudi dan Nasrani, namun pada hakikatnya larangan tersebut untuk seluruh umat. Sebagaimana firman-Nya:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ وَلاَ تَقُولُواْ عَلَى اللّهِ إِلاَّ الْحَقِّ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِّنْهُ فَآمِنُواْ بِاللّهِ وَرُسُلِهِ وَلاَ تَقُولُواْ ثَلاَثَةٌ انتَهُواْ خَيْرًا لَّكُمْ إِنَّمَا اللّهُ إِلَـهٌ وَاحِدٌ سُبْحَانَهُ أَن يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ لَّهُ مَا فِي السَّمَاوَات وَمَا فِي الأَرْضِ وَكَفَى بِاللّهِ وَكِيلاً
Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu [383], dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, 'Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya [384] yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya [385]. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan : "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara.(QS.An Nisaa : 171 )
K e t e r a n g a n :
[383] Maksudnya : janganlah kamu mengatakan Nabi 'Isa u itu Allah, sebagai yang dikatakan oleh orang-orang Nasrani. [384] Lihat not 193. [385] Disebut tiupan dari Allah karena tiupan itu berasal dari perintah Allah.
Firman Allah ta’ala :

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لاَ تَغْلُواْ فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلاَ تَتَّبِعُواْ أَهْوَاء قَوْمٍ قَدْ ضَلُّواْ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّواْ كَثِيرًا وَضَلُّواْ عَن سَوَاء السَّبِيلِ
Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus".(QS. Al Maidah : 77 )
Rasulullah n bersabda:

إِيَّاكُمْ وَاْلغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ

“Hati-hatilah kalian dari sikap ghuluw di dalam agama.” (HR. Ahmad, 1/215 dan 437, an-Nasa’i no. 3057, Ibnu Majah no. 3029, serta disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani sebagaimana di atas)
Kedua, ghuluw telah membinasakan umat-umat terdahulu. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,  bersabda sebagaimana telah disebutkan di atas:

فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ

Maka sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa disebabkan ghuluw di dalam agama.”
Ketiga, ghuluw merupakan jembatan menuju kekufuran dan kesyirikan kepada Allah l.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullahG, di dalam kitabnya at-Tauhid, menulis sebuah judul “Di Antara Sebab-Sebab Kekufuran Bani Adam dan Sikap Meninggalkan Agama oleh Mereka, adalah Berlebih-lebihan dalam Menyikapi Orang-Orang Saleh.” Di dalam Masa’il al-Jahiliah beliau juga menyebutkan, “Masalah ketiga belas (sebagai ciri kehidupan jahiliah): berlebih-lebihan dalam menyikapi ulama dan orang-orang saleh.”
Keempat, ghuluw merupakan asas tunggal kesyirikan orang-orang musyrik jahiliah serta kekufuran orang-orang Yahudi dan Nasrani berikut kesesatan firqah-firqah yang ada di tengah-tengah kaum muslimin.
Kelima, ghuluw akan mengangkat orang yang dikultuskan hingga mencapai martabat yang sangat tinggi atau menghinakannya hingga ke martabat yang sangat rendah.
Keenam, ghuluw akan mengantarkan kepada penyembahan yang dipuja-puja.
Ketujuh, ghuluw akan menghalangi atau melalaikan  (seseorang) untuk mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala ,
Kedelapan, ghuluw akan menimbulkan keangkuhan dan kesombongan orang yang dikultuskan. (lihat sebagian faedah dalam al-Qaulul Mufid, 1/469)
VI.Bersikap Ghuluw Terhadap Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas dalam  Syarah Aqidah Ahlus Dunnah Wa Jama’ah  dalam bab tentang  Wajibnya Men cintai dan Mengagungkan Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam serta  Larangan Ghuluw (berlebih-lebihan) menyebutkan bahwa Pertama-tama, wajib bagi setiap hamba mencintai Allah dan ini merupakan bentuk ibadah yang paling agung. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:



وَمِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِن دُونِ اللّهِ أَندَاداً يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللّهِ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبًّا لِّلّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُواْ إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلّهِ جَمِيعاً وَأَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ
Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu [106] mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).(QS.Al Baqarah:165)
 K e t e r a n g a n :
[106] Yang dimaksud dengan orang yang zalim di sini ialah orang-orang yang menyembah selain Allah.
Ahlus Sunnah mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengagungkannya sebagaimana para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum mencintai beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dari kecintaan mereka kepada diri dan anak-anak mereka, sebagai-mana yang terdapat dalam kisah ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, yaitu sebuah hadits dari Sahabat ‘Abdullah bin Hisyam Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
 
صحيح البخاري ٦١٤٢: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي حَيْوَةُ قَالَ حَدَّثَنِي أَب عَقِيلٍ زُهْرَةُ بْنُ مَعْبَدٍ أَنَّهُ سَمِعَ جَدَّهُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ هِشَامٍ قَالَ
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ آخِذٌ بِيَدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا مِنْ نَفْسِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ نَفْسِكَ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ فَإِنَّهُ الْآنَ وَاللَّهِ لَأَنْتَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ نَفْسِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْآنَ يَا عُمَرُ
Shahih Bukhari 6142: Abdullah bin Hisyam menuturkan; kami pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang saat itu beliau menggandeng tangan Umar bin Khattab, kemudian Umar berujar: "ya Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala-galanya selain diriku sendiri." Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak, demi Dzat yang jiwa berada di Tangan-Nya, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri." Maka Umar berujar; 'Sekarang demi Allah, engkau lebih aku cintai daripada diriku'. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "sekarang (baru benar) wahai Umar."
Berdasarkan hadits di atas, maka mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib dan harus didahulukan daripada kecintaan kepada segala sesuatu selain kecintaan kepada Allah, sebab mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengikuti sekaligus keharusan dalam men-cintai Allah. Mencintai Rasulullah adalah cinta karena Allah. Ia bertambah dengan bertambahnya kecintaan kepada Allah dalam hati seorang mukmin, dan berkurang dengan berkurangnya kecintaan kepada Allah.
Orang yang beriman akan merasakan manisnya iman apabila hanya Allah dan Rasul-Nya yang paling ia cintai.
Disebutkan pula oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas bahwa :Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat tentang wajibnya mencintai dan mengagungkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi kecintaan dan pengagungan terhadap seluruh makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Akan tetapi dalam mencintai dan mengagungkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak boleh melebihi apa yang telah ditentukan syari’at, karena bersikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam seluruh perkara agama akan menye-babkan kebinasaan.
Orang-orang di masa kini banyak kita temui dengan dalih cinta kepada Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam mengamalkan bershalawat kepada beliau shallallahu’alaihi wa sallam secara rutin dengan menggunakan bacaan shalawat berdasarkan tuntunan Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam,melainkan bershalawat dengan syair-syair  yang dikarang oleh ulama-ulama sedangkan isi shalawat tersebut sangat berlebihan menyanjung dan mengangkat kedudukan Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam menyamai kedudukan Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka menyerupai orang Nasrani dalam sifat ghuluw mereka berikut kesyirikannya. Mereka terjatuh pada perkara yang jelas-jelas dilarang. Mereka menampakkan sikap ghuluw terhadap beliau shallallahu’alaihi wa sallam  dan menampakkan kesyirikannya, seperti dalam lantunan bait-bait syair yang disusun oleh ulama.
Syair-syair yang dimaksud antara lain yang disusun oleh  al-Bushiri dan ucapan kufurnya dalam qashidah-nya al-Burdah ketika (dia seolah) mengajak berbicara kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Dimana isi syair tersebut antara lain:

Wahai semulia-mulia makhluk Siapa lagi tempat aku berlindung selainmu

Ketika terjadinya malapetaka yang menyeluruh
Jika engkau tidak menyelamatkan tanganku pada hari kiamat
Sebagai keutamaan darimu maka katakanlah, wahai orang yang tergelincir kakinya
sesungguhnya termasuk dari kedermawananmu adalah dunia dan akhirat
Dan termasuk ilmumu adalah ilmu al-Lauh (catatan takdir) dan al-Qalam (pena penulis takdir)
Begitu juga shalawat Nariyah yang begitu terkenal oleh banyak kaum muslimin yang dijadikan amalan rutin membacanya setiap kesempatan karena shalawat tersebut dipercaya mempunyai khasiat yang luar biasa.Shalawat jenis ini banyak tersebar dan diamalkan di kalangan kaum muslimin. Bahkan ada yang menuliskan lafadznya di sebagian dinding masjid. Mereka berkeyakinan, siapa yang membacanya 4444 kali, hajatnya akan terpenuhi atau akan dihilangkan kesulitan yang dialaminya. Berikut nash shalawatnya:
اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تَامًّا عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تُنْحَلُ بِهَ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِيْمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ عَدَدَ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ
 “Ya Allah, berikanlah shalawat yang sempurna dan salam yang sempurna kepada Baginda kami Muhammad yang dengannya terlepas dari ikatan (kesusahan) dan dibebaskan dari kesulitan. Dan dengannya pula ditunaikan hajat dan diperoleh segala keinginan dan kematian yang baik, dan memberi siraman (kebahagiaan) kepada orang yang sedih dengan wajahnya yang mulia, dan kepada keluarganya, para shahabatnya, dengan seluruh ilmu yang engkau miliki.”
Muhammad Jamil Zainu  dalam Minhaj Al-Firqatin Najiyah berkata :”Ada beberapa hal yang perlu dijadikan catatan kaitannya dengan shalawat ini:
1- Sesungguhnya aqidah tauhid yang diseru oleh Al Qur’anul Karim dan yang diajarkan kepada kita dari Rasulullah shallallahu laiahi wasallam, mengharuskan setiap muslim untuk berkeyakinan bahwa Allah-lah satu-satunya yang melepaskan ikatan (kesusahan), membebaskan dari kesulitan, yang menunaikan hajat, dan memberikan manusia apa yang mereka minta.
Tidak diperbolehkan bagi seorang muslim berdo’a kepada selain Allah untuk menghilangkan kesedihannya atau menyembuhkan penyakitnya, walaupun yang diminta itu seorang malaikat yang dekat ataukah nabi yang diutus. Telah disebutkan dalam berbagai ayat dalam Al Qur’an yang menjelaskan haramnya meminta pertolongan, berdo’a, dan semacamnya dari berbagai jenis ibadah kepada selain Allah Azza wajalla. Firman Allah:

قُلِ ادْعُوا الَّذِيْنَ زَعَمْتُمْ مِنْ دُوْنِهِ فَلاَ يَمْلِكُوْنَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنْكُمْ وَلاَ تَحِْويْلاً
“Katakanlah: ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya.” (Al-Isra: 56)
Para ahli tafsir menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan segolongan kaum yang berdo’a kepada Al Masih ‘Isa, atau malaikat, ataukah sosok-sosok yang shalih dari kalangan jin. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 3/47-48)
2- Bagaimana mungkin Rasulullah shallallahu alaihi wasallam rela dikatakan bahwa dirinya mampu melepaskan ikatan (kesulitan), menghilangkan kesusahan, dsb, sedangkan Al Qur’an menyuruh beliau untuk berkata:

قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيْرٌ وَبَشِيْرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ
“Katakanlah: ‘Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman’.” (Al-A’raf: 188)

Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, lalu mengatakan, “Berdasarkan kehendak Allah dan kehendakmu”. Maka beliau bersabda:
أَجَعَلْتَنِيْ للهِ نِدًّا؟ قُلْ مَا شَاءَ اللهُ وَحْدَهُ
“Apakah engkau hendak menjadikan bagi Allah sekutu? Ucapkanlah: Berdasarkan kehendak Allah semata.” (HR. An-Nasai dengan sanad yang hasan)

Ustadz Ammi Nur Baits dalam artikelnya tentang syirik dalam shalawat Nariyah mengemukakan bahwa

Pertama, pada shalawat ini terdapat beberapa lafadz yang maknanya telah melanggar pengertian syirik di atas. Lafadz tersebut adalah:

تـُــنْحَلُ بِهِ العُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الحَوَائِجُ وَ تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ

Rincian:

(تنحل به العقد)

1.Segala ikatan dan kesulitan bisa lepas karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam

(وتنفرج به الكرب)

2. Segala bencana bisa tersingkap dengan adanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam

(وتقضى به الحوائج)

3.Segala kebutuhan bisa terkabulkan karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam

(و تنال به الرغائب)

4.Segala keinginan bisa didapatkan dengan adanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
Empat kalimat di atas merupakan pujian yang ditujukan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika kita perhatikan, empat kemampuan di atas merupakan kemampuan yang hanya dimiliki oleh Allah dan tidak dimiliki oleh makhluk-Nya siapa pun orangnya. Karena yang bisa menghilangkan kesulitan, menghilangkan bencana, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan serta doa hanyalah Allah.
Seorang Nabi atau bahkan para malaikat tidak memiliki kemampuan dalam hal ini. Oleh karena itu, ketika pujian-pujian ini ditujukan kepada selain Allah (termasuk kepada Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam) maka berarti telah menyamakan makhluk tersebut dengan Allah dalam perkara yang menjadi hak khusus bagi Allah. Cukuplah kita ingat firman Allah yang memerintahkan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengatakan:

قُلْ إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلَا رَشَدًا

Katakanlah (wahai Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam): Aku tidak memiliki kemampuan untuk menghindarkan kalian dari bahaya dan tidak pula mampu memberi kebaikan pada kalian.” (QS. Al-Jin: 21)
Dalam ayat yang lain, Allah juga menegaskan:

قُلْ لَا أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَا إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Katakanlah (wahai Muhammad), aku tidak mampu memberikan manfaat maupun menimpakan bahaya untuk diriku, selain apa yang dikehendaki Allah. Andaikan aku tahu hal yang gaib, tentu aku akan memperbanyak untuk mendapatkan kebaikan dan tidak mungkin ada bencana yang menimpaku. Aku hanyalah pemberi peringatan dan pemberi kabar gembira bagi kaum yang beriman.” (QS. Al-A’raf: 188)
Itulah pengakuan beliau yang sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Artinya, beliau sama sekali tidak memiliki sifat-sifat ketuhanan. Beliau sama sekali tidak memiliki kemampuan sebagaimana yang dimiliki Allah, seperti mengabulkan doa atau menghilangkan bencana.
Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri juga pernah mengatakan kepada Fatimah, “Wahai Fatimah, lakukanlah apa yang kamu inginkan, (namun ingat) saya tidak mampu melindungimu dari (adzab) Allah sedikit pun.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).
Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak bisa menghalangi keburukan dan kondisi kekurangan yang menimpa beliau dan para sahabat. Sebagaimana disebutkan dalam sejarahperjalanan beliau, bahwasanya beliau pernah terluka ketika Perang Uhud, kaki beliau berdarah-darah karena dilempari orang-orang kafir, beliau merasakan lapar hingga perut beliau diganjal dengan dua batu, beliau pernah jatuh dari kendaraan, beliau pernah tersihir dan masih banyak bencana dan kesulitan yang beliau alami ketika berdakwah.
Jika beliau sendiri tidak mampu menyelamatkan diri beliau sendiri dari segala bentuk kesulitan, bagaimana mungkin diri beliau bisa menyelamatkan orang lain dari kesulitan. Semua ini terjadi karena beliau adalah seorang hamba dan manusia biasa. Hanya saja perintah dan larangan beliau ditaati karena kedudukan beliau sebagai seorang utusan Allah Ta’ala.
Kedua, dalam shalawat ini terdapat pujian yang berlebihan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Sementara pujian berlebihan kepada beliau merupakan salah satu sikap yang dilarang keras oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Suatu ketika ada seorang sahabat memuji Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengatakan: “Engkau adalah manusia terbaik di antara kami, putra dari manusia terbaik kami,…” kemudian beliau bersabda, “Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji Nabi Isa ‘alaihi wa sallam. Aku hanyalah seorang hamba, maka sebutlah Aku: Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Jika pujian semacam ini dilarang oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal di sana tidak mengandung ungkapan kesyirikan, maka bagaimana lagi dengan pujian yang mengandung kalimat-kalimat kesyirikan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia, hati-hatilah kalian (jangan sampai) melakukan ghuluw (bersikap berlebihan) dalam beragama. Karena sesungguhnya sikap ini telah menghancurkan umat-umat sebelum kalian.” (HR. Ibn Majah dan dishahihkan Syaikh Al Albani).
Ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkan bentuk shalawat semacam ini.
Shalawat yang beliau ajarkan adalah shalawat yang sering dibaca ketika shalat pada saat duduk tasyahud.
Dalam sebuah hadis riwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim, Dari sahabat Ka’ab bin ‘Ujrahradhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Wahai Rasulullah, Allah telah mengajari kami bagaimana cara memberi salam kepadamu, tapi bagaimanakah cara memberikan shalawat kepadamu?” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bacalah:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ،

اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa shalawat ini adalah shalawat terbaik, dengan ditinjau dari beberapa sisi:
- Shalawat ini diajarkan langsung oleh Nabi kepada sahabat yang bertanya tentang shalawat. Padahal setiap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang masalah agama, maka beliau akan memberikan jawaban terbaik sesuai dengan apa yang Allah ajarkan.
- Dzahir hadis menunjukkan bahwa sebelumnya sahabat tidak tahu cara bershalawat, kemudian baru diajari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini menunjukkan bahwa shalawat tersebut adalah cara bershalawat kepada beliau yang ditetapkan oleh syariat Islam. Oleh karena itu, orang yang membaca shalawat yang tidak diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dikhawatirkan sudah dianggap telah mengganti ajaran beliau dengan ajaran yang lain.
- Shalawat ini dibaca pada saat shalat. ini men
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin  mengatakan, “Sikap berlebih-lebihan mereka melebihi orang Nasrani. Orang Nasrani mengatakan, ‘Isa adalah anak Allah’ dan ‘Sesungguhnya Allah adalah yang ketiga dari yang tiga’.” (al-Qaulul Mufid, 1/81)
Demikianlah setan menampakkan kesyirikan yang besar di hadapan mereka sebagai bentuk cinta kepada Rasul shallallahu’alaihi wa sallam dan pengagungan kepadanya, serta menampakkan ketauhidan dan keikhlasan (seolah-olah) sebagai bentuk mengurangi serta meremehkan beliau.” (Fathul Majid, 1/381)
Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas mengemukan bahwa Sebuah hadits dari Anas :
Anas bin Malik Radhiyallahu a’nhu berkata, “Sebagian orang berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, wahai orang yang terbaik di antara kami dan putera orang yang terbaik di antara kami! Wahai sayyid kami dan putera sayyid kami!’ Maka seketika itu juga Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Wahai manusia, ucapkanlah dengan yang biasa (wajar) kalian ucapkan! Jangan kalian terbujuk oleh syaithan, aku (tidak lebih) adalah Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku tidak suka kalian mengangkat (menyanjung)ku di atas (melebihi) kedudukan yang telah Allah berikan ke-padaku.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci jika orang-orang memujinya dengan berbagai ungkapan seperti: “Engkau adalah sayyidku, engkau adalah orang yang terbaik di antara kami, engkau adalah orang yang paling utama di antara kami, engkau adalah orang yang paling agung di antara kami.” Padahal sesungguhnya beliau adalah makhluk yang paling utama dan paling mulia secara mutlak. Meskipun demikian, beliau melarang mereka agar menjauhkan mereka dari sikap melampaui batas dan berlebih-lebihan dalam menyanjung hak beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga untuk menjaga kemurnian tauhid. Selanjutnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan mereka agar menyifati beliau dengan dua sifat yang merupakan derajat paling tinggi bagi hamba yang di dalamnya tidak ada ghuluw serta tidak membahayakan ‘aqidah. Dua sifat itu adalah ‘Abdullaah wa Rasuuluh (hamba dan utusan Allah).

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan dan Allah ridhai. Tetapi banyak manusia yang melanggar larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut, sehingga mereka berdo’a kepadanya, meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Hal itu sebagaimana yang mereka lakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dalam kasidah atau nasyid, di mana mereka tidak membedakan antara hak Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan hak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
VII. Bersikap Ghuluw Kepada Ulama dan Orang-Orang Shalih
Mencintai dan memuliakan sesama muslim merupakan perintah syari’at yang mulia ini. Terlebih kepada orang-orang shalih dan ulama. Allah menyepadankan persaksian mereka dengan persaksian Diri-Nya, dan mereka adalah teman yang terbaik. Tetapi perlakuan ini harus dalam koridor yang benar dan proporsional, tidak ghuluw atau berlebih-lebihan. Sebab mereka adalah manusia biasa, tidak memiliki kemaksuman seperti para nabi dan tidak pula memiliki sifat ketuhanan.
Hal ini perlu ditegaskan lantaran gejala atau praktek ghuluw ini masih terus menggelayuti sebagian masyarakat. Ada yang mempunyai persepsi bahwa ulama itu tidak mungkin keliru.

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi dalam kitab beliau “Prilaku & Akhlak Jahilliyah “ memuat masalah ke 13 dibawah judul mereka bersikap ghuluw kepada ulama dan orang shalih mengatakan  bahwa orang-orang jahilliyah mereka telah berbuat ghuluw terhadap pribadi-pribadi tertentu ,yakni dengan mengangkat mereka dari kedudukannya. Sampai-sampai pada tingkatan menjadikan mereka sebagai sembahan bersama Allah . Sebagaimana orang Yahudi berbuat ghuluw kepada Uzair, mereka berkata “ Dia adalah anak Allah “. Demikian juga perbuatan ghuluw orang-orang orang Nasrani. Mereka menjunjung tinggi dan menyanjung Isa bin Maryam’alaihisallam dari kedudukannya sebagai seoramng manusia biasa dan pengemban risalah kepada derajat keuluhiyahan (sesembahan) dan mereka berkata “ Dia adalah anak Allah “
Demikian pula dengan kaum Nabi Nuh’alaihissallam sepeninggal beliau , mereka bersikap ghuluw kepada orang shalih, dengan membuat gambar dan patung mereka. Kemudian mereka mengibadahinya sebagai sesembahan selain Allah, lalu mereka mengangkat orang-orang shalih sampai kepada tingkat uluhiyyah.Sebagaimana yang disebutkan dalam firman
Allah subhanahu wa ta’ala  :
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
Dan mereka berkata: "Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr[1521]".(QS.Nuh : 23 )
K e t e r a n g a n :
[1521] Wadd, Suwwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr adalah nama-nama berhala yang terbesar pada qabilah-qabilah kaum Nuh.

Berdasar ayat diatas mereka telah menjadikan orang-orang shalih tersebut sebagai sesembahan. Dan demikian juga selain mereka dari kelompok kelompok kaum musyrikin sampai hari ini. Mereka telah bersikap ghuluw kepada orang-orang shalih dengan melakukan tawaf di kiburan mereka, menyembelihj dan bernazar untuk mereka, dan memohon pertolongan ketika dalam keadaan sulit kepada orang yang telah mati. Mereka bersungguh-sungguh dalam memohon kepada oarnmg-orang shalih tersebut agar memenuhi kebutuhan dan keperluan mereka. Perbuatan ghuluw seperti ini akan menyeret para pelakunya kepada kesyirikan.Maka tidak diperbolehkan bersikap ghuluw terhadap seluruh makhluk dan mengangkat mereka diatas kedudukan yang btelah Allah berikan.Karena hal ini akan menyeret kepada perbuatan menyekutukasn Allah subhanahu wa ta’ala.Demikian pula ghuluw kepada para ulama dan ahli ibadah.
Syari’at telah melarang umat islam untuk berbuat ghuluw kepada Rasullullah shallalahu ‘alaihi wasallam yang jelas dan nyata sebagai nabinya tercinta umat islam, apalagi terhadap para ulama larangan itu tentunya semakin keras.
Bersikaplah yang wajar dan hormati dan hargailah ulama sesuai dengan kedudukannya, tidak lebih dari itu, janganlah memuji dan menyanjung ulama melebihi kapasitasnya sebagai ulama.

Perhatikanlah bagaimana  perilaku orang-orang yang fanatik kepada madzhab. Sedangkan lainnya meyakini bahwa seorang ulama itu mampu menjamin pengikutnya masuk surga. Lihat kitab Manaqib Syaikh Abdul Qodir Jailani. Bahkan dikisahkan beliau mengancam malaikat Munkar dan Nakir agar tidak menyiksa pengikutnya. Subhanallah! Begitu dalamnya mereka tercebur ke dalam jurang kesyirikan!
Itulah sekelumit fenomena ghuluw yang terus berkembang dan diyakini sebagian masyarakat. Sikap inilah yang menjerumuskan ke dalam kesyirikan lantaran melabeli mereka dengan sifat-sifat ketuhanan yang hanya pantas bagi Allah.
Fenomena ghuluw terhadap  para wali, syaikh, ulama, tuan guru, habib dan orang-orang shalih di tengah-tengah masyarakat Muslim sangat nampak di negeri ini antara lain :

a.Sangat Mengagungkan  dan memuji Yang tidak sesuai dengan kedudukan mereka

Banyak sekali kita jumpai bahwa sebagian umat Islam yang sangat mengagungkan terhadap baik wali, syaikh, habib, ulama, tuan guru dan orang shalih. Mereka beranggapan bahwa oarng yang diagungkan dan dipuji tersebut mempunyai kelebihan dalam hal ilmu agama yang tidak dimiliki orang lain.Mereka yang diagungkan tersebut dapat mengetahui hal-hal yang ghaib,
Dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit,mempunyai karomah sehingga orang datang berbondong-bondong untuk sekedar bertemu  serta yang datang untuk menyampaikan bermacam hajat .


Banyak sekali diantara umat Islam yang sangat mengagung-agungkan dan memuji-muji serta menyanjung  secara berlebihan para wali,syaikh, ulama, kiai,tuan guru dan orang-orang shalih yang mereka idolajan dengan perkataan serta ucapan yang sangat berlebihan.Sebagai contoh mereka pada malam-malam tertentu atau pada acara tertentu berkumpul membaca manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani yang berisi puji-pujian terhadap syaikh secara berlebihan. Begitu juga banyak sekali orang-orang yang memuji tuan guru, ulama, syaikh, kiai dengan menceritakan hal ikhwal tentang mereka-mereka tersebut secara berlebihan dan kadang-kadang tidak masuk diakal, seperti cerita tentang adanya ulama yang setiap hari Jum’at shalatnya di Masjidil Haram.
Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam saja sangat tidak menyukai orang-orang yang memuji beliau .
Rasulullah shallallahu’alahi wa sallam  bersabda dalam sebuah hadits dari ‘Umar ibnul Khaththab radhyallahu’anhu:

لاَ تُطْرُوْنِيْ كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى بْنِ مَرْيَمَ، إِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقُوْلُوْا عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ

Janganlah kalian memujiku sebagaimana orang-orang Nasrani memuji ‘Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku adalah seorang hamba, maka katakanlah: hamba Allah dan rasul-Nya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3445 dan 6830, Muslim no. 1691, at-Tirmidzi no. 284)
Sabda Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam :
سنن الترمذي ١٠١٠: حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ الْبَصْرِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ ذَكْوَانَ عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ قَالَتْ
جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَخَلَ عَلَيَّ غَدَاةَ بُنِيَ بِي فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي وَجُوَيْرِيَاتٌ لَنَا يَضْرِبْنَ بِدُفُوفِهِنَّ وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ إِلَى أَنْ قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ
فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْكُتِي عَنْ هَذِهِ وَقُولِي الَّذِي كُنْتِ تَقُولِينَ قَبْلَهَا
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Sunan Tirmidzi 1010: dari Ar Rubai' binti Mu'awwidz berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menemuiku pada pagi hari setelah saya digauli. Beliau duduk pada tempat dudukku seperti tempat dudukmu itu dariku. Anak-anak perempuan kami memukul gendang dan menyanjung orang-orang tua kami yang telah terbunuh pada Perang Badar. Salah seorang dari mereka ada yang mendendangkan (syair); 'Di antara kami ada seorang Nabi yang mengetahui hari esok hari'." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berhentilah (diamlah) dari ucapan itu, katakanlah sebagaimana yang kamu ucapakan tadi."
Dari hadits tersebut tersurat adanya larangan dari Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam agar tidak memuji beliau. Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam saja sangat tidak menyukai orang-orang yang memuji beliau, lalu bagaimanakah dengan orang-orang yang memuji secara berlebihan para wali,syaikh, tuan guru, kiai, ulama, habib dan orang shalih, tentunya lebih terlarang lagi.
Al-hafizh Ibnu Hajar menerangkan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingkari ucapan mereka hanyalah karena mereka berlebih-lebihan dalam memuji dimana mereka mengatakan bahwa beliau mengetahui semua ilmu ghaib. Padahal ilmu ini hanya khusus bagi Allah. Firman-Nya:
قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS. An-Naml [27]: 65)
قُل لاَّ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ ضَرّاً إِلاَّ مَا شَاء اللّهُ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ إِنْ أَنَاْ إِلاَّ نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Katakanlah: “Aku tidak berkuasa menarik kemanfa’atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman“. (QS. al-A’raf [7]: 188)
Adapun ilmu ghaib yang diketahui beliau karena informasi dari Allah, bukannya beliau mengetahui dengan sendirinya, seperti firman Allah:
عَالِمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَداً* إِلَّا مَنِ ارْتَضَى مِن رَّسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَداً
(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS. al-Jin [72]: 26-27)
(Lihat Fathul Bari 9/255 cet. Darus Salam). Allahu A’lam.


b.Menta’ati, mengikuti dan mengekor kepada ulama,tuan guru, syaikh, kiai dan orang shalih yang jadi panutan (taqlid)
Orang-orang yang berbuat ghuluw kepada mereka yang jadi panutannya ( bertaqlid) ta’at, mengikuti dan mengekor dengan mengikuti segala apa saja yang dikatakan atau diucapkan  oleh para ulama,tuan guru, syaikh, habib dan kiai yang mana ucapan dan perkataan  mereka tersebut tidak berlandaskan  atau bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka yang berbuat ghuluw lebih memilih  untuk menuhankan ulama yaitu dengan  mengikuti pendapat mereka sekalipun bertentangan dengan ayat al-Qur’an atau al-Hadits.Fenomena semacam ini banyak sekali terjadi dikalangan yang mengaku dirinya sebagai muslim. Mereka bersikukuh kepada pendapat guru-guru mereka sekalipun bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan al-Hadits . Bahkan ada dikalangan mereka yang enggan mengaji kepada guru-guru lain. Ada tanda-tanda bahwa hanya guru mereka yang benar dan guru lain sesat. Marilah kita berfsikap sederhana dan yang kita tonjolkan hanyalah dalil. Siapapun yang tak punya dalil harus ditinggalkan dan yang punya dalil harus diikuti. Ingatlah firman Allah dalam al-Qur’an surah at-Taubah ayat 31 :
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah [639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.(Qs.At Taubah:31)
 K e t e r a n g a n :
[639] Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah[639] dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”
Maksudnya: mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta, biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau mengharamkan yang halal.
Mereka menghormati para pemimpin atau ulama melebihi kedudukan Allah Subhanahu Wata’ala tanpa mereka sadari, dimana perintah Allah di tinggalkan untuk taat kepada pimpin atau ulama . Bila dikatakan kepada mereka ikutilah ayat-payat Allah atau hadits-hadits Rasul,mereka menjawab: kita tidak mampu mengerti maksud ayat-ayat Qur’an atau dalil hadits, kita harus ikut ulama atau tokoh –tokoh kita.

c.Mengagungkan dan mengistimewakan kedudukan akhlul bait turunan Rasullullah ( para sayyid dan habib)

Dimata  mereka yang berbuat ghuluw sangat mengagungkan dan menghormati Orang-orang yang keturunan Arab yang bergelar sayyid dan habib karena  dianggap sebagai keturunan dari Rasullullah shallallahu’alaihi salam.Mereka- tersebut dianggap mempunyai kedudukan yang istimewa karenanya patut diberikan penghormatan yang berlebih, apabila tidak maka akan menjadi kualat. Setiap bertemu dengan para sayyid dan habib orang-orang pada berebut mencium tangan mereka untuk berebur baraqah. Apa yang dikatakan oleh sayyid dan habib yang berkaitan dengan hal-hal agama meskipun bertentangan dengan syari’at ( al-Qur’an dan as-Sunnah) selalu akan diikuti

d.Menjadikan kubur-kubur para wali, syaikh,kiai,tuan guru,ulama dan habib sebagai kubur yang berkeramat untuk ngalap berkah

Orang-orang yang berbuat ghuluw menjadikan kubur-kubur yang dianggap wali, syaikh, tuan guru, kiai,ulama, habib, dan orang shalih sebagai tempat yang berqaromah ( berkeramat ).Sehingga mereka  yang jahil berduyun-duyun mendatangi kubur orang-orang yang dianggap berqaromah mencari berkah dan berdoa menyampaikan berbagai hajat keperluan. Padalah menurut syari’at bahwa mencari baroqah itu terbatas hanya kepada Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam ketika beliau masih hidup, begitu juga mencari baroqah kepada orang-orang shalih yang masih hidup dengan mengambil ilmu yang bermanfaat dari mereka dan doa mereka . Sedangkan bertabaruk ( mencari baroqah) pada kubur-kubur yang dianggap berqaromah dilarang oleh syari’at.

e.Bepergian ( melakukan safar ) untuk  ziarah kubur

Banyak diantara umat Muslim di seluruh Nusantara ini yang berkeyakinan bahwa makam/kuburan para wali Allah, ulama, kiai, tuan guru dan orang-orang shalih mempunyai karomah sehingga patut untuk diziarahi, meskipun untuk itu harus melakukan perjalanan yang jauh yang memerlukan waktu,tenaga dan biaya. Perhatikanlah betapa banyak hampir setiap hari kuburan wali songo didatangi ribuan penjiarah dari berbagai daerah. Para peziarah itu mempunyai maksud-maksud untuk berdo’a di sisi kubur wali karenalebih berkah, terkabul, menjadikan mereka wasilah (perantara) kepada Allah, bahkan sampai meminta kepada para wali itu. Bentuk ghuluw yang sangat nyata. Akibatnya mereka akan terjatuh ke dalam kesyirikan atau minimal terjerembab ke dalam bid’ah.Mereka yang datang secara berombongan dengan dipimpin seseorang ustadz membaca beramai-ramai bacaan untuk berziarah yaitu yang diberi nama “ Salamullah Ya Sadah

f. Membangun masjid di kuburan

Membangun masjid di kuburan termasuk tindakan ghuluw, sebab ketika Ummu Habibah dan Ummu Salamah menceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang gereja yang mereka lihat di Habasyah (Ethiopia), dan banyak gambar (patung) di dalamnya, baliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 إن أولئك إذا كان فيهم الرجل الصالح فمات  بنوا على قبره مسجدا، وصوروا فيه تلك الصور، فأولئك شرار الخلق عند الله يوم القيامة
Mereka itu (orang Nasrani) jika ada seorang shalih yang meninggal, mereka membangun masjid di atas kuburnya, dan membuat gambar (patung)nya, mereka itu makhluk paling jelek di sisi Allah pada hari kiamat. (HR. Bukhari 427, Muslim 528).
Allah melaknat orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur para nabi mereka sebagai masjid, (Aisyah berkata): “Kalau bukan karena hal itu, niscaya kubur beliau akan dinampakkan, hanya saja beliau takut atau ditakutkan kuburannya akan dijadikan masjid. (HR. Bukhari 435)

Dalam redaksi lain beliau mengatakan:
Camkan, sesungguhnya aku melarang perbuatan itu. (HR. Muslim 532).
Beberapa hadits di atas menunjukkan bahwa membangun masjid di kubur atau mengubur mayit dalam masjid adalah dilarang karena termasuk tindakan kelewat batas. Selain itu, bisa menyeret kepada kesyirikan. Sebab orang yang shalat di dalam masjid tersebut akan menghadap kepada kubur, adanya ta’aluq (keterkaitan) hati dengan mereka dan akhirnya beribadah kepada penghuni kubur dengan minta berkah, syafaat dan lain sebagainya. Imam Qurthubi mengatakan: “Semua (larangan) itu bertujuan memutus jalan menuju peribadatan kepada penghuni kubur, sebab larangan ini sama halnya dengan sebab dilarangnya membuat patung orang-orang shalih karena akhirnya patung itu juga diibadahi.” (Lihat Fathul Majid, hal. 277)
Imam Syafi’i berkata: “Saya benci bila ada makhluk yang diagungkan hingga kuburnya dijadikan sebagai masjid. Sebab ditakutkan akan terjadi fitnah yang menimpa pelakunya juga orang-orang sesudahnya.” (al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, 1/456)
Maksud menjadikan masjid di sini tidak sebatas membangun masjid tetapi mencakup mendirikan shalat di kubur walaupun tidak ada masjidnya, sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

سنن أبي داوود ١٧٤٦: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ قَرَأْتُ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نَافِعٍ أَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
Sunan Abu Daud 1746: dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan (tidak pernah dilaksanakan di dalamnya shalat dan juga tidak pernah dikumandangkan ayat-ayat Al Quran, sehingga seperti kuburan), dan jangan kalian jadikan kuburanku sebagai 'id (hari raya, yakni tempat yang selalu dikunjungi dan didatangi pada setiap waktu dan saat), bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku di manapun kalian berada."
Sabdanya pula:
Kalian jangan shalat menghadap kubur dan mendudukinya. (HR. Muslim 1614)
Imam al-Albani menyimpulkan: “Makna menjadikan kubur sebagai masjid ada tiga:
1. Shalat di atas kubur, yaitu sujud di atasnya.
2. Sujud dengan menghadap kubur, baik dengan melakukan shalat atau berdo’a.
3. Membangun masjid di atas kubur dan shalat di dalamnya.” (Tahdzirus Sajid Liman Itakhadza al-Kubura Masajida, hal. 33)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Peringatan dari beliau dan laknat terhadap penyerupaan kepada ahli kitab di dalam membangun masjid di atas kubur orang shalih merupakan larangan yang sangat gamblang dari penyerupaan dalam masalah ini dan merupakan dalil agar waspada dari perbuatan mereka. Karena tidak ada jaminan bahwa seluruh perbuatan orang muslim tidak akan sama dengan mereka. Dan sudah diketahui bahwa umat ini telah tertimpa musibah ini berupa pembangunan masjid di atas kubur dan menjadikan masjid tempat shalat meski tidak dibangun masjid.” (Iqtidho Sirothol Mustaqim, 1/335).
Imam al-Albani mengatakan: “Sesungguhnya setiap orang yang mencermati semua hadits yang mulia tadi akan jelas baginya, tiada keraguan lagi bahwa menjadikan kuburan sebagai masjid adalah haram, bahkan termasuk dosa besar yang paling besar, sebab adanya laknat dan disifatinya orang yang melakukan perbuatan tersebut sebagai makhluk yang terjelek di sisi Allah, tidaklah mungkin kecuali bagi orang yang melakukan dosa besar. Hal ini tidak samar lagi.” (Tahdzirus Sajid, hal. 33)
g. Membangun kuburan dengan diberi kubah, dikijing, dicat dan ditulisi

Perhatikanlah   bagaimana keadaan kubur umat muslim dinegeri ini yang dibuat dan dibangun sedemikian rupa, apalagi yang namanya kubur-kubur orang-orang yang dianggap berkeramat seperti kuburnya para wali,syaikh, habib, ulama,tuan guru dan orang shalih dibangun sedemikian rupa dengan diberi kubah dan diberi berbagai hiasan-hiasan indah berupa kaligrafi islam. Padahal rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang hal tersebut sebagaimana yang tersebut dalam  hadits :

صحيح مسلم ١٦١٠: حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ
و حَدَّثَنِي هَارُونُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا حَجَّاجُ بْنُ مُحَمَّدٍ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ جَمِيعًا عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُا سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِهِ
Shahih Muslim 1610: dari Jabir ia berkata; "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang mengapur kuburan, duduk dan membuat bangunan di atasnya."

Imam Syafi’i mengatakan, “Saya benci dibangunnya masjid di atas kubur, tetapi harus diratakan (disisakan sejengkal, sebagaimana ditunjukkan hadits yang shahih, -pen), saya membenci shalat di atasnya sedang kubur itu tidak diratakan, atau shalat menghadap kubur”. (Al-Umm, 1/278).
Kata beliau juga: “Dibenci apabila kubur ini dicat, ditulis namanya, atau selain itu dan dibenci kubur itu dibangun.” (Al-Majmu’, an-Nawawi 5/266).
Imam Nawawi menambahkan, “Dibenci apabila kubur dicat, dibangun, dan ditulis nama si mati. Jika kubur itu dibangun maka harus dihancurkan.” (as-Sirajul Wahhaj 1/114)
Imam al-Haitami malah menganjurkan agar merobohkan kubah dan bangunan yang ada di kubur. Sebab perbuatan tersebut lebih jelek ketimbang pembangunan masjid Dhirar, dan dilandasi durhaka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena beliau telah melarang pembangunan tersebut dan memerintahkan agar merobohkan dan menghilangkan segala macam lampu yang ada di sana.” (az-Zawajir, 1/195).
Perlu diperhatikan bahwa ulama salaf sering menggunakan istilah “saya benci”, “hal itu dibenci” diambil dari kata bahasa Arab “makruh”, lantas apa maksudnya? Al-‘Allamah al-Mubarokfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi Syarah Tirmidzi jilid I, memaparkan: “Kata ini sangat sering diucapkan para salaf dan seringkali makna yang dimaksud adalah haram.” Lalu beliau menukil perkataan al-‘Allamah al-‘Aini (pensyarah Shahih Bukhari): “Para ulama terdahulu memutlakkan kata karohah (makruh) dan makna yang dikehendaki adalah haram.” Usai itu menukil dari Ibnul Qoyyim dan ulama lainnya. (hal. 324)
Adapun hadits tentang pelarangan meninggikan tanah kubur adalah hadits Ali bin Abi Thalib, beliau berkata kepada Abul Hayyaj al-Asadi:
سنن أبي داوود ٢٨٠١: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا حَبِيبُ بْنُ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ أَبِي هَيَّاجٍ الْأَسَدِيِّ قَالَ
بَعَثَنِي عَلِيٌّ قَالَ لِي أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا أَدَعَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتُهُ وَلَا تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتُهُ
Sunan Abu Daud 2801: dari Abu Wail dari Abu Hayyaj Al Asadi, ia berkata; Ali telah mengutusku, ia berkata; aku mengutusmu sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah mengutusku, agar aku tidak meninggalkan kuburan yang ditinggikan kecuali aku meratakannya, dan tidak meninggalkan berhala kecuali aku hancurkan.
Imam Nawawi mengatakan, “Termasuk sunnah (bukan sunnah dalam definisi fiqih, -pen) tidak meninggikan kubur terlalu tinggi, tidak boleh menjulang, tetapi hanya sekitar satu jengkal. Inilah madzhab Syafi’i dan orang-orang yang menyetujui beliau. Qodhi Iyadh menukil bahwa ini juga termasuk madzhab Imam Malik.” (Syarh Muslim 3/32 cet. Darul Khair).
h. Menjadikan mereka perantara kepada Allah ( bertawasul)

Sudah menjadi kebiasaan bagi sebagian orang-orang Muslim dalam memanjatkan doa mereka bertwasul dengan menyebutkan para wali, ulama dan orang-orang shalih yang sudah meninggal sebagai perantara kepada Allah subhanahu wa ta’ala.Padahal bertawasul kepada orang-orang yang sudah meninggal tidak dibenarkan dan terlarang dalam Islam, termasuk bertawasul kepada Rasullullah shallaahu’alaihi wa sallam yang sudah tiada, apalagi bertawasul kepada selain beliau.
Sementara orang membolehkan bertawasul dengan orang-orang shalih yang telah mati, baik para Nabi atau selainnya, dengan anggapan mereka kuasa memfasilitasi permintaan mereka kepada Allah. Anggapan ini muncul  didasari keyakinan bahwa mereka adalah wali Allah sehingga dekat dengan Allah, niscaya permintaan mereka lebih mungkin terkabul. Memang tidak sekedar itu argumen mereka. Banyak ayat dan hadits yang disodorkan untuk menguatkan pendapat mereka. Namun ternyata dalil-dalil tersebut kalau tidak dha’if, salah dalam istidlal (penyimpulan dalil) atau dalil tersebut tidak ada hubungannya dengan tawasul. Tawasul semacam ini termasuk bid’ah. Tetapi bila mereka meyakini bahwa orang shalih tersebut mampu dengan sendirinya mengabulkan permintaan mereka maka digolongkan ke dalam kesyirikan. Anehnya mereka menamakannya sebagai tawasul. (Lihat Al-Furqon edisi 10 Th. II, lihat juga kitab at-Tawasul oleh Imam al-Albani dan at-Tawashul ila Haqiqatit Tawasuloleh Syaikh Muhammad Nashib Rifa’i).
Karena terlarangnya bertawasul kepada orang yang telah mati, maka disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa dizaman khalifah ‘Umar bin Khaththab terjadi kemarau panjang maka beliau meminta hujan dengan berwasilah ( bertawasul ) melalui ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib paman Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam , karena pada saat tersebut Rasullullah shallallahu’alai wa sallam telah wafat. Sesuai dengan hadits riwayat Bukhari :

صحيح البخاري ٣٤٣٤: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ حَدَّثَنِي أَبِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُثَنَّى عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ
Shahih Bukhari 3434: dari Anas radliallahu 'anhu bahwa 'Umar bin Al Khaththab ketika mereka ditimpa musibah kekeringan dia meminta hujan dengan berwasilah kepada 'Abbas bin 'Abdul Muththalib seraya berdo'a; "ALLOOHUMMA INNAA KUNNA NATAWASSALU ILAIKA BIN ABIYYINAA MUHAMMAD SHALLALLAHU'ALAIHIWASALLAM FATASQIINAA WA-INNAA NATAWASSALU ILAIKA BI'AMMI NABIYYINAA FASQINAA" Ya Allah, kami dahulu pernah meminta hujan kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami kemudian Engkau menurunkan hujan kepada kami. Maka sekarang kami memohon kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi kami, maka turunkanlah hujan untuk kami". Anas berkata; "Kemudian turunlah hujan.

1.Melestarikan peninggalan

Telah disinggung di muka tentang pengagungan kaum Nuh –‘alaihis salam- terhadap tokoh mereka. Allah mengkisahkan dalam firman-Nya:
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّاً وَلَا سُوَاعاً وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً
Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwwa’, yaghuts, ya’uq dan nasr “. (QS. Nuh: 23)
Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Abbas, berkata: “Nama-nama itu (Wadd, dll –pen) adalah orang-orang shalih pada masa Nabi Nuh. Tatkala mereka meninggal, setan membisikkan kepada pengikut mereka agar membuat patung perwujudan mereka, dinamakan dengan nama-nama mereka lalu memasangnya di majelis para pengikut itu. Rencana ini dilaksanakan, namun ketika itu belum disembah. Akhirnya ketika para pengikut ini mati dan ilmu telah dicabut, disembahlah patung-patung tersebut.” (Kitab Tafsir no. 4920)
Ibnu Hajar mengomentari, “Dan kisah orang-orang shalih ini merupakan titik awal penyembahan patung-patung ini oleh kaum Nuh, kemudian diikuti oleh umat sesudah mereka.” Kata beliau juga, “Amr bin Rabi’ah mempunyai khadam jin, dia menginformasikan kepada Amr  tempat patung-patung itu. Lalu Amr bin Rabi’ah mendatangi tempatnya yaitu di pantai Jedah (Saudi Arabia) dan dia menemukan patung Wadd, Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr. Ini adalah nama-nama patung yang disembah pada zaman Nabi Nuh dan Idris, namun angin topan telah membawanya ke pantai itu lalu tertimbun pasir. Amr sangat mengagungkan patung-patung itu lantas dibawanya ke Tihamah (Makkah). Ketika  musim haji, dia mengajak orang-orang untuk menyembahnya. Ternyata ajakannya disambut baik. Amr bin Rabi’ah ini adalah Amr bin Luhai seperti (yang, -ed) telah disebutkan di muka.” (Fathul Bari 8/852-853 cet. Darus Salam)
Al-Qurthubi  mengatakan: “Pematungan mereka itu tiada lain agar pengikutnya dapat meneladani dan mengingat amalan-amalan mereka yang baik sehingga dapat bersungguh-sungguh  seperti kesungguhan mereka dan beribadah kepada Allah di sisi kubur mereka. Akan tetapi generasi penerus mereka tidak mengetahui maksud pematungan tersebut. Lalu setan membisiki mereka bahwa para pendahulu menyembah dan mengagungkan patung-patung itu.” (Fathul Majid, hal. 265)
Syaikh Abdurrahman mengatakan, “Hal ini merupakan peringatan dari sikap ghuluw dan dari sarana-sarana kesyirikan, meskipun bertujuan baik. Karena setan menjerumuskan mereka ke dalam lembah kesyirikan lewat pintu ghuluw kepada orang-orang shalih dan berlebih-lebihan dalam mencintai mereka. Dan akhir-akhir ini perilaku ini telah muncul pula di tengah umat. Setan menampakkan sikap ghuluw dan bid’ah-bid’ah kepada orang tersebut di balik nama pengagungan dan kecintaan kepada orang-orang shalih dengan maksud ingin menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan yang lebih berbahaya, yaitu penyembahan kepada orang-orang shalih. Disebutkan dalam suatu riwayat, orang-orang itu mengatakan: “Pendahulu kita tidaklah mengagungkan mereka melainkan karena mengharap syafa’at mereka di sisi Allah.” Yaitu mereka mengharap syafa’at orang-orang shalih yang mereka patungkan sesuai nama mereka.” (Fathul Majid hal. 264).
Lantaran itu ketika ada sekelompok penulis yang menyuarakan agar peninggalan Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam dan para suhada Uhud dilestarikan, maka Imam Abdul Aziz bin Baz membantah mereka dalam fatwanya (1/139)

VIII. K h a t i m a h

Sikap berlebih-lebihan (ghuluw) merupakan perbuatan yang dibenci agama. Sikap ghuluw merupakan salah satu ciri agama jahiliah dan merupakan asas kesesatan orang-orang Nasrani. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala  menerangkan kebencian-Nya terhadap perbuatan ghuluw di dua tempat di dalam Al-Qur’an, agar umat Rasulullah shallallahu’alaihiwa sallam  tidak terjatuh dalam perbuatan tersebut, utamanya dalam menyikapi diri beliau shallallahu’alaihi wa sallam. Begitu juga Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam banyak kesempatan—bahkan ketika di akhir hayat—dengan tegas mengingatkan umatnya dari hal tersebut.
Pengkultusan terhadap diri Rasullulla shallallahu’alaihi wa sallam saja tidak diperkenankan, tentunya lebih-lebih terhadap individu selain beliau seperti wali, syaikh, tuan guru, kiai, ulama dan orang shalih sangatlah terlarang dan haram hukumnya.
Sehubungan dengan itu marilah kita jauhkan dan hindarkan diri kita dari sikap ghuluw baik kepada Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam terlebih lagi terhadap individu selain beliau.(Wallahu’alam)

Sumber :
1. Al-Qur’an dan Terjemahan, www.Salafi-DB.com
2. Kitab Hadits 9 Imam, www  Lidwa Pusaka .com
3.Fathul Majid ( Terjemahan ),Penjelasan Kitab Tauhid,Dyaikh Abdurrahman Hasan Alu Syaikh,Penerbit Pustaka Azzam
4.Perilaku & Akhlak Jahiliyah,Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab At-Tamimi, penerbit Pustaka Sumayah
5.Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i
6. Ayat-ayat Larangan dan Perintah dalam Al-Qur’an KH.Qomaruddin dkk, penerbit Diponogoro
7. Ghuluw Benalu Dalam Ber-Islam Abdurrahman bin MNU’alla Al-Luwaihiq,penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i
8. Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik H.Mahrus Ali, penerbit Laa Tasyuki Press
9. Bahaya Mengekor Non Muslim Muhammad bin ‘Ali Adh Dhabi’I, penerbit  Media Hidayah
10. www.Konsultasi Syariah.com
11.www.Asysyariah.com
Selesai disusun,Selasa, 7 Dzulhijjah 1433H/24 Oktober 2012
( Musni Japrie )