Gambar ilustrasi
Beberapa waktu lampau tetangga kami di kampung yang
terdiri dari seorang ibu-ibu dengan membawa putrinya dan tidak ketinggalan pula
seorang bayi yang baru berumur beberapa bulan melakukan perjalanan jauh dengan
menggunakan mobil angkutan umum dengan tujuan untuk menziarahi kuburan kramat
pulau tukung ( di Kota Balikpapan) . Sedangkan tujuan berziarah tersebut dalam
rangka membayar nazar, karena ibu tersebut bernazar apabila putrinya yang sudah
beberapa lama berumah tangga namun belum juga dikarunia anak, hamil dan
melahirkan maka akan menyembelih kambing di kuburan keramat pulau tukung
tersebut. Namun dipertengahan perjalanan mobil yang ditumpangi mengalami
kecelakaan tabrakan yang hebat yang
mengakibatkan si ibu dan cucunya yang masih bayi meninggal dunia, sedangkan
kambing yang akan disembelih juga mati seketika.
Fenomena bernazar akan menyembelih kambing atau
melakukan sesuatu pada kuburan keramat
apabila sesuatu yang
dicita-citakan terkabul sebagaimana kejadian nyata tersebut diatas sepertinya
sudah bukan hal yang asing lagi bagi sebagian umat muslim di negeri ini. Karena
setiap hari ribuan orang yang umumnya umat Islam datang berbondong-bondong
menziarahi kuburan-kuburan keramat yang banyak tersebar di seluruh pelesok
terutama di pulau Jawa yang terkenal dengan kuburan keramat wali songo, dimana
diantara mereka tersebut sebagian besar dalam rangka melaksanakan nazarnya.
Mereka membayar nazar karena apa yang dicita-citakan terkabul, seperti
mendapatkan jodoh, sukses dalam berusaha, rezekinya terus meningkat,
mendapatkan momongan setelah sekian lama menikah, mendapatkan jabatan dan
promosi, mendapatkan kenaikan pangkat dan banyak ragam cita-cita yang lainnya.
Sedangkan hal-hal yang dinazarkan untuk dilakukan di
kuburan-kuburan keramat tersebut bermacam-macam pula, ada yang akan menyembelih
kambing, ada yang membangunkan kubah kuburan, membangunkan pagar kuburan,
membuatkan kelambu yang baru bagi kuburan, menyelenggarakan selamatan dan
member makan kepada para peziarah dan
ada pula sekedar menziarahi dan beribadah di sisi kuburan sebagaimana yang
telah dinazarkan sebelumnya. Atau ada pula yang datang untuk membagi-bagikan
sedekah kepada para pengemis yang biasanya banyak meminta-minta kepada para
peziarah.
Berkenaan dengan hal nazar ini, maka kiranya perlu diungkapkan
secara sepintas tentang bagaimana menurut syari’at Islam tentang bernazar
kepada kuburan keramat, agar mereka-mereka yang masih awam tentang hal ini (
nazar) akan dapat mengambil manfaatnya.
A. Nazar Menurut Syari’at Islam
1.Apakah Nazar itu ?
Nazar adalah perbuatan seorang mukallaf (orang yang
sudah dikenai beban syariat) yang mewajibkan dirinya sendiri untuk mengerjakan
suatu ibadah karena Allah, baik nazarnya itu secara mutlak maupun dengan
persyaratan tertentu. Di dalam al-Qur’an Allah memuji orang-orang yang menunaikan
nazar. Ini menunjukkan bahwa menunaikan nazar adalah perkara yang disukai
Allah, dan tidaklah sesuatu itu disukai (Allah) kecuali sesuatu itu pasti
disyariatkan.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
صحيح
البخاري ٦٢٠٢: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ طَلْحَةَ بْنِ عَبْدِ
الْمَلِكِ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ
فَلْيُطِعْهُ وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلَا يَعْصِهِ
Shahih Bukhari 6202: Telah menceritakan kepada kami
Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Malik dari Thalhah bin Abdul Malik
dari Al Qasim dari 'Aisyah radliallahu 'anha, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
beliau bersabda: "Barangsiapa bernadzar untuk menaati Allah, hendaknya ia
menaati-NYA, dan barangsiapa bernadzar untuk bermaksiat kepadaNya, maka
janganlah ia perturutkan untuk bermaksiat kepadaNYA."
2.Macam-Macam Nazar
Nazar ada dua macam yaitu :
a. Nazar
Muthlaq dan
b. Nazar Muqoyyad.
Nazar
Muthlaq ialah apabila ada seorang yang mewajibkan dirinya
sendiri untuk melaksanakan suatu ibadah kepada Allah tanpa ada persyaratannya.
Seperti contohnya dengan mengatakan: Aku bernazar kepada Allah akan sholat 2
rakaat. Dan nazar jenis ini bukan termasuk nazar yang dibenci Nabi shollAllahu
alaihi wa sallam.
Sedangkan Nazar Muqoyyad ialah apabila ada
seorang yang mewajibkan dirinya sendiri untuk melaksanakan suatu ketaatan
dengan syarat tertentu. Misalnya dengan mengatakan: Apabila Allah menyembuhkan
penyakitku aku bernazar kepada Allah akan menyedekahkan ini atau itu. Nazar
jenis inilah yang tidak disukai oleh Nabi sebagaimana dalam hadits beliau
bersabda,
Sebagaimana dikatakan dalam hadits bahwa nazar sama
sekali tidak menolak apa yang Allah takdirkan. Dalam hadits Ibnu ‘Umar yang
lainnya disebutkan,
النَّذْرُ لاَ يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلاَ يُؤَخِّرُهُ وَإِنَّمَا
يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Nazar
sama sekali tidak memajukan atau mengakhirkan apa yang Allah takdirkan. Sungguh
nazar hanyalah keluar dari orang yang pelit.”
(HR. Muslim no. 1639)
[Diringkas
dari At Tamhiid hal. 159].
Ditinjau dari sah dan tidaknya nazar ada 5 macam:
a.Nazar taat dan ibadah, ini wajib ditunaikan
dan bila dilanggar harus membayar kaffarah (tebusan).
Yang dimaksudkan disini ialah
seseorang mewajibkan pada dirinya untuk melakukan amalan yang sunnah
(seperti shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah sunnah, i’tikaf sunnah, haji
sunnah) atau melakukan amalan wajib yang dikaitkan dengan sifat tertentu
(seperti bernazar untuk melaksanakan shalat lima waktu di awal waktu).
Adapun jika seseorang bernazar untuk melakukan
shalat lima waktu atau melakukan puasa Ramadhan, maka bentuk semacam ini tidak
dianggap nazar karena hal tersebut sudah wajib. Hal yang telah Allah wajibkan
tentu lebih agung daripada hal yang diwajibkan lewat nazar.
Hukum penunaian nazar taat adalah wajib, baik nazar
tersebut nazar mu’allaq atau nazar muthlaq. Dalil yang menunjukkan wajibnya
adalah,
مَنْ
نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ
“Barangsiapa yang bernazar untuk
taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut.”
(HR. Bukhari no. 6696)
Ada pula hadits lain
dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata,
أَنَّ
عُمَرَ - رضى الله عنه - نَذَرَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَعْتَكِفَ فِى الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ - قَالَ أُرَاهُ قَالَ - لَيْلَةً قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله
عليه وسلم - « أَوْفِ بِنَذْرِكَ »
“Dahulu di masa jahiliyah, Umar
radhiyallahu ‘anhu pernah bernazar untuk beri’tikaf di masjidil haram –yaitu
i’tikaf pada suatu malam-, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda padanya, ‘Tunaikanlah nazarmu’.” (HR. Bukhari no. 2043 dan Muslim no.
1656)
Jika nazar yang diucapkan mampu ditunaikan, maka
wajib ditunaikan. Namun jika nazar yang diucapkan tidak mampu ditunaikan atau
mustahil ditunaikan, maka tidak wajib ditunaikan. Seperti mungkin ada yang
bernazar mewajibkan dirinya ketika pergi haji harus berjalan kaki dari
negerinya ke Makkah, padahal dia sendiri tidak mampu. Jika nazar seperti ini
tidak ditunaikan lantas apa gantinya?
Barangsiapa yang bernazar taat, lalu ia tidak mampu
menunaikannya, maka nazar tersebut tidak wajib ditunaikan dan sebagai gantinya
adalah menunaikan kafaroh sumpah.
b.Nazar mubah,
yaitu bernazar untuk melakukan suatu perkara yang mubah/diperbolehkan dan bukan
ibadah maka boleh memilih melaksanakannya atau membayar kaffarah. Seperti seseorang bernazar, “Jika lulus ujian,
saya akan berenang selama lima jam.” Nazar seperti ini bukanlah nazar taat,
namun nazar mubah. Untuk penunaiannya tidaklah wajib. Bahkan jumhur (mayoritas
ulama) menyatakan bahwa bentuk seperti ini bukanlah nazar.
c.Nazar maksiat, nazarnya sah tapi
tidak boleh dilaksanakan dan harus membayar kaffarah. Seperti
seseorang bernazar, “Jika lulus ujian, saya akan traktir teman-teman
mabuk-mabukan.” Nazar seperti ini tidak boleh ditunaikan berdasarkan hadits,
وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barangsiapa yang bernazar untuk
bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)
Lalu apakah ada kafaroh? Jawabnya, tetap ada kafaroh
berdasarkan hadits,
النذر
نذران : فما كان لله ؛ فكفارته الوفاء وما كان للشيطان ؛ فلا وفاء فيه وعليه كفارة
يمين
“Nazar
itu ada dua macam. Jika nazarnya adalah nazar taat, maka wajib ditunaikan. Jika
nazarnya adalah nazar maksiat -karena syaithon-, maka tidak boleh ditunaikan
dan sebagai gantinya adalah menunaikan
kafaroh sumpah.”
(HR. Ibnu Jarud, Al Baihaqi. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As
Silsilah Ash Shohihah no. 479)
d.Nazar
makruh, yaitu bernazar untuk melakukan perkara yang makruh
maka memilih antara melaksanakannya atau membayar kaffarah
.
e.Nazar syirik, yaitu yang ditujukan
untuk mendekatkan diri kepada selain Allah maka nazarnya tidak sah dan tidak
ada kaffarah, akan tetapi harus bertaubat karena dia telah berbuat syirik akbar
(lihat Mutiara Faidah Kitab Tauhid buah pena Ustadz Abu Isa hafizhohulloh hal.
82).
2. Hukum Nazar
a.Syari’at Islam Tidak Memerintahkan Untuk Bernazar
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau
berkata,
نَهَى
النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - عَنِ النَّذْرِ قَالَ « إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا
، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ »
“Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bernazar, beliau bersabda: ‘Nazar
sama sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang
yang bakhil (pelit)’.” (HR. Bukhari no. 6693 dan
Muslim no. 1639)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
تَنْذُرُوا فَإِنَّ النَّذْرَ لاَ يُغْنِى مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ
بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Janganlah
bernazar. Karena nazar tidaklah bisa menolak takdir sedikit pun. Nazar hanyalah
dikeluarkan dari orang yang pelit.” (HR. Muslim no.
1640)
Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau
berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ
النَّذْرَ لاَ يُقَرِّبُ مِنِ ابْنِ آدَمَ شَيْئًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ قَدَّرَهُ لَهُ
وَلَكِنِ النَّذْرُ يُوَافِقُ الْقَدَرَ فَيُخْرَجُ بِذَلِكَ مِنَ الْبَخِيلِ مَا لَمْ
يَكُنِ الْبَخِيلُ يُرِيدُ أَنْ يُخْرِجَ
“Sungguh nazar tidaklah membuat dekat pada
seseorang apa yang tidak Allah takdirkan. Hasil nazar itulah yang Allah
takdirkan. Nazar hanyalah dikeluarkan oleh orang yang pelit. Orang yang
bernazar tersebut mengeluarkan harta yang sebenarnya tidak ia inginkan untuk
dikeluarkan. ” (HR. Bukhari no. 6694 dan Muslim no. 1640)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa nazar itu
terlarang. Demikianlah pendapat jumhur (mayoritas ulama) yang memakruhkan
bernazar. Akan tetapi, jika terlanjur mengucapkan, maka nazar tersebut tetap
wajib ditunaikan.
Perlu juga diketahui bahwa kenapa dilarang untuk
bernazar sebagaimana disebut dalam hadits-hadits larangan? Jawabnya, agar
jangan disangka bahwa tujuan nazar itu pasti terwujud ketika seseorang bernazar
atau jangan disangka bahwa Allah pasti akan penuhi maksud nazar karena nazar
taat yang dilakukan. Sebagaimana dikatakan dalam hadits bahwa nazar sama sekali
tidak menolak apa yang Allah takdirkan. Dalam hadits Ibnu ‘Umar yang lainnya
disebutkan,
النَّذْرُ
لاَ يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلاَ يُؤَخِّرُهُ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
“Nazar
sama sekali tidak memajukan atau mengakhirkan apa yang Allah takdirkan. Sungguh
nazar hanyalah keluar dari orang yang pelit.”
(HR. Muslim no. 1639)
Jadi larangan yang dimaksudkan dalam hadits-hadits
yang melarang nazar adalah larangan yang bersifat makruh. Hal ini untuk memberi petunjuk bahwa ada cara yang
lebih afdhal, yaitu sedekah dan amalan ketaatan bisa dilakukan tanpa mesti
mewajibkan diri dengan bernazar. Atau kita bisa bernazar dengan nazar yang
tanpa syarat seperti kita katakan ketika penyakit kita sembuh, “Aku ingin
bernazar dengan mewajibkan diriku untuk berpuasa.” Di sini tidak disebutkan
syarat, namun dilakukan hanya dalam rangka bersyukur pada Allah.
b. Wajibnya Menunaikan Nazar
Meskipun nazar bukan merupakan perintah agama, namun
bagi siapa-siapa yang bernazar maka inya Allah mewajibkan baginya diwajibkan
apa yang telah dinazarkannya. Ini sesuai dengan firman Allah subhanahu
wa ta’ala :
ثُمَّ
لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
“Kemudian,
hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah
mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.”
(QS. Al Hajj: 29)
Allah Ta'ala juga berfirman,
وَمَا
أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ
"Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja
yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya." (QS. Al
Baqarah: 270).
Bagi mereka yang menunaikan nazarnya dipuji oleh
Allah subhanahu wa ta’ala , sebagaimana firman-Nya :
إِنَّ
الأبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا (٥)عَيْنًا يَشْرَبُ
بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا (٦)يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ
يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا (٧)
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat
kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur,
(yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang
mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar dan
takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al Insan:
5-7)
Selain dari itu ada pula hadits riwayat Imam Bukhari
rahimahullah dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda:
مَنْ
نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
“Barangsiapa
yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Barangsiapa
yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)
c. Berdosanya Orang-orang yang Tidak Menunaikan Nazarnya
Apabila seseorang bernazar untuk melakukan sesuatu
apabila hajatnya terkabul, kemudian setelah hajatnya terkabul yang bersangkutan
ingkat akan nazarnya dan tidak mau melaksanakan/menunaikan nazarnya tersebu
maka orang tersebut telah berdosa. Hal ini ditegaskan oleh Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari rahimahullah dari Imran :
خَيْرُكُمْ
قَرْنِى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ - قَالَ عِمْرَانُ
لاَ أَدْرِى ذَكَرَ ثِنْتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا بَعْدَ قَرْنِهِ - ثُمَّ يَجِىءُ قَوْمٌ
يَنْذُرُونَ وَلاَ يَفُونَ ، .
“Sebaik-baik
kalian adalah orang-orang yang berada di generasiku, kemudian orang-orang
setelahnya dan orang-orang setelahnya lagi. -‘Imron berkata, ‘Aku tidak
mengetahui penyebutan generasi setelahnya itu sampai dua atau tiga kali’-.
Kemudian datanglah suatu kaum yang bernazar lalu mereka tidak menunaikannya,
.... ” (HR. Bukhari no. 2651). Hadits ini menunjukkan berdosanya orang yang
tidak menunaikan nazar.
Dari ayat dan hadits di atas, kebanyakan ulama
Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyah –seperti Imam Nawawi dan Al Ghozali-
berpendapat bahwa hukum nazar adalah sunnah.
c.Larangan Bernazar Untuk Selain Allah
Nazar itu hanya boleh ditujukan kepada Allah
sedangkan nazar selain kepada Allah seperti bernazar kepada kuburan para wali atau kuburan yang
dikeramatkan merupakan perbuatan yang diharamkan
Asy Syaikh Sulaiman Alu Syaikh dalam “Taisir” hal.
162, menukilkan ucapan Al Imam Al Adzru’i seorang ulama’ Syafi’iyah, beliau
berkata : “Dan adapun nadzar untuk tempat yang dibangun pada kuburan wali,
syaikh atau dibangun atas nama seorang wali yang pernah singgah dan berulang
kali datang ke tempat itu, maka apabila orang yang bernadzar meniatkan – yang
kebanyakan niatnya seperti itu – untuk mengagungkan tempat, majelis, atau suatu
sudut tempat beribadah orang sholih, atau orang yang di dalam kuburan, nama
orang yang dibuat majelis karenanya, maka nadzarnya batil. Sebab, sesungguhnya
mereka berkeyakinan bahwa tempat-tempat tersebut memiliki kekhususan. Mereka
menganggap tempat-tempat tersebut merupakan sebab dicegahnya suatu bala’,
diraihnya kenikmatan-kenikmatan, dengannya pula disembuhkannya
penyakit-penyakit. Sampai-sampai mereka bernadzar kepada sebagian bebatuan
tatkala ada yang menceritakan bahwa batu-batu itu pernah diduduki orang sholih.
Mereka bernadzar kepada sebagian kubur-kubur dengan memberi pelita, lilin, atau
minyak.
Lalu mereka mengatakan : “Kubur si Fulan atau tempat
si Fulan menerima nadzar”. Mereka memaksudkan dengan ucapan tersebut dapat
teraih segala keinginan, seperti kesembuhan, kembalinya sesuatu yang hilang,
keselamatan harta dan macam-macam nadzar mujazah (muqoyyad) yang lainnya.
Nadzar dalam bentuk seperti tadi adalah batil dan tidak ada keraguan akan
kebatilannya. Bahkan nadzar untuk memberi minyak, lilin dan selainnya kepada
kubur adalah batil secara mutlak.
Di antara contoh nadzar seperti itu adalah nadzar
untuk memberi lilin yang banyak dan besar kepada kubur Nabi Ibrohim
‘alaihissalam atau selain beliau dari para nabi atau orang-orang sholih.
Tidaklah seorang yang bernadzar untuk memberi pelita kepada kubur tersebut
melainkan pasti dalam rangka tabarruk dan pengagungan padanya.
Mereka menyangka bahwa perbuatan tersebut adalah
taqarrub (kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala ). Padahal tidak diragukan lagi
tentang batilnya perbuatan tersebut, memberikan cahaya seperti tadi adalah
haram, baik orang yang bernadzar itu mendapatkan manfaat atau pun tidak.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, di dalam “Iqtidlo’
Shirotil Mustaqim” 2/158-160 berkata : “Dan lebih jelek dari itu (safar ke
suatu tempat tertentu yang tidak disyariatkan untuk mendapatkan barokah),
seseorang bernadzar dalam rangka mempersembahkan minyak tanah untuk menerangi
tempat tersebut. Lalu dikatakan tempat itu menerima nadzar sebagaimana ucapan
orang-orang sesat. Sesungguhnya nadzar seperti itu adalah nadzar maksiat
menurut kesepakatan para ulama. Tidak boleh ditunaikan akan tetapi wajib bagi
orang yang telah bernadzar tersebut untuk membayar kafaroh (tebusan) menurut
pendapat mayoritas ulama, di antaranya Al Imam Ahmad. Ini adalah pendapat yang
masyhur dari beliau. Namun beliau juga punya pendapat lain yang persis dengan
pendapat Abu Hanifah, Al Imam Syafi’i dan selain keduanya, bahwa wajib bagi
orang tersebut meminta ampun kepada Allah dari nadzarnya. Tidak ada kafaroh
baginya, dan permasalahan ini sangat ma’ruf.
Demikian halnya jika seorang bernadzar memberikan
sebuah roti atau selainnya untuk ikan-ikan yang ada di mata air atau sumur
tertentu (dalam rangka tabarruk). Demikian juga jika bernadzar dengan harta
baik berupa uang atau selainnya untuk penjaga makam atau orang-orang yang
beri’tikaf di tempat itu. Sesungguhnya mereka para penjaga makam itu mirip
dengan para penjaga makam yang ada pada berhala Latta, Uzza dan Manat. Mereka
makan harta manusia dengan batil. Mencegah manusia dari jalan Allah. Ada pun
orang-orang yang beri’tikaf di tempat itu mirip dengan orang-orang yang
beri’tikaf, yang diajak bicara Ibrohim Al Kholil, imam orang-orang yang
bertauhid, beliau ? berkata
:
مَاهَذِه التَّمَاثِيْلُ الَّتِي أَنْتُمْ لها عَاكِفُونَ
“Berhala apa ini yang kalian beriktikaf di
dekatnya?”. (QS. Al Anbiyaa’ : 52) Beliau juga berkata
:
أَفَرَأَيْتُمْ مَا كُنْتُمْ تَعْبُدُونَ أَنْتُمْ وَأَبَاؤُكُمْ اْلأَقْدَمُوْنَ فَإِنَّهُمْ
عَدُوٌّ لِّي إِلاَّ رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
“Bagaimana pendapat kalian tentang apa yang
kalian ibadahi, kalian dan bapak-bapak kalian yang dahulu. Maka sesungguhnya
mereka (sesembahan-sesembahan) itu musuhku kecuali Robbul’alamin”. (QS.
Asy Syu’ara’ : 75-77)
Juga mirip dengan orang-orang yang didatangi Musa ?
dan kaumnya. Sebagaimana firman Allah
: وَجَاوَزْنَا
بِبَنِي إِسْرَائِيْلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا على قَوْمٍ يَعْكِفُوْنَ على أَصْنَامٍ
لهم ْ
“Dan kami selamatkan Bani Isroil dari lautan
lalu mereka mendatangi suatu kaum yang bei’tikaf dekat berhala-berhala mereka”
(QS. Al A’rof : 138)
Orang yang bernazar kepada selain Allah pada
hakikatnya telah menggantungkan harapan dan kekhawatirannya kepada selain-Nya,
padahal sebenarnya dia menyadari kalau saja Allah menghendaki maka itu pasti
terjadi, dan kalau saja Allah tak menghendaki maka pasti tak terjadi, dan tak
ada yang mampu menghalangi anugerah-Nya atau memaksa Allah utk memberikan apa
yang sudah dihalangi-Nya, maka mengesakan Allah dlm niat itulah hakikat tauhid
ibadah. Apabila ibadah itu diperuntukkan selain Allah maka akan berubah menjadi
kesyirikan terhadap Allah, karena dia telah berpaling kepada selain Allah dlm
perkara yang diharapkannya atau yang dikhawatirkan akan menimpanya, sehingga
dia telah menjadikannya sekutu bagi Allah dlm masalah ibadah (Fathul Majid hal.
153)
.
Nadzar untuk selain Allah adalah batil. Bila
seseorang misalnya bernadzar seekor kambing untuk Syaikh Muhyiddin atau Abdul
Qodir Al Jailani. Kemudian menginfakkan dagingnya kepada para faqir dengan
harapan untuk tersampainya pahala infak tersebut kepada ruh syaikh tersebut.
Yang dari perbuatan itu akan muncul barokah kepada orang yang bernadzar menurut
keyakinannya. Apakah nadzar seperti ini dianggap sah? Bila tidak, apakah
dihalalkan makan daging tadi ataukah termasuk di dalam firman Allah ?:
وَما
أُهِلَّ لِغَيْرِ اللهِ به
“Dan apa-apa yang disembelih karena selain
Allah”. (QS. Al Maidah : 3)
Sebab, hewan yang dinadzarkan tadi adalah hewan
suci. Apakah menjadi haram untuk dimakan karena nadzar yang batil tadi?
Nadzar dan menyembelih karena Allah adalah sebuah
ibadah dari bentuk-bentuk ibadah yang tidak boleh sedikit pun diperuntukkan
kepada selain Allah. Barangsiapa yang bernadzar atau menyembelih karena selain
Allah, maka dia telah berbuat syirik kepada-Nya. Makin besar dosanya apabila
orang tersebut berkeyakinan bahwa si mayit mampu memberikan manfaat atau
mudhorot karena dia telah menyekutukan Allah di dalam rububiyyah dan sekaligus
uluhiyyah-Nya.
Nadzar untuk selain Allah tidaklah sah bahkan batil.
Sehingga segala sesuatu yang dinadzarkan untuk selain Allah berupa makanan atau
pun hewan yang boleh dimakan, namun tidak disembelih karena Allah merupakan
bangkai yang diharamkan untuk dimakan pemiliknya atau orang lain. Maka masuklah
di dalam keumuman ayat tadi. (Fatwa Lajnah Da’imah no. 4299)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh mengatakan
bernazar untuk selain Allah, Adapun segala sesuatu yang dinazarkan bukan utk
Allah, seperti bernazar utk berhala, matahari, bulan & kuburan serta yang
semacamnya maka hukumnya sebagaimana orang yang bersumpah dgn menyebut selain
Allah berupa makhluk, maka tak boleh ditunaikan & juga tak ada kaffarah-nya.
Begitulah hukum bagi orang yang bernazar utk makhluk, sesungguhnya keduanya
adalah syirik. Dan syirik tak memiliki nilai kehormatan sedikit pun. Pelakunya
wajib beristigfar meminta ampun kepada Allah taala dari dosanya &
mengucapkan bacaan sebagaimana yang diajarkan Nabi: Laa ilaaha illAllah. (HR.
Al Bukhori & Muslim) (Fathul Majid hal. 152)
.
Bernazar utk selain Allah hukumnya syirik akbar.
Nazar adalah ibadah maka tak boleh diarahkan kepada selain Allah. Apabila
diarahkan kepada selain Allah maka itu syirik akbar. Sebab ibadah itu
pengertiannya luas, yaitu segala sesuatu yang dicintai & diridhoi Allah
baik perkataan maupun perbuatan yang lahir maupun yang batin, & nazar
termasuk di dalamnya (Al Qoul As-Sadiid, hal. 50).
Orang yang bernazar kepada selain Allah pada
hakikatnya telah menggantungkan harapan & kekhawatirannya kepada
selain-Nya, padahal sebenarnya dia menyadari kalau saja Allah menghendaki maka
itu pasti terjadi, dan kalau saja Allah tak menghendaki maka pasti tak terjadi,
dan tak ada yang mampu menghalangi anugerah-Nya atau memaksa Allah utk
memberikan apa yang sudah dihalangi-Nya, maka mengesakan Allah dalam niat
itulah hakikat tauhid ibadah. Apabila ibadah itu diperuntukkan selain Allah
maka akan berubah menjadi kesyirikan terhadap Allah, karena dia telah berpaling
kepada selain Allah dalam perkara yang diharapkannya atau yang dikhawatirkan
akan menimpanya, sehingga dia telah menjadikannya sekutu bagi Allah dlm masalah
ibadah (Fathul Majid hal. 153).
Bernazar Kepada Selain
Allah Bertentangan Dengan Kalimat Tauhid
Sesungguhnya kalimat tauhid Laa ilaaha illAllah
menetapkan ibadah itu harus ditujukan hanya kepada Allah dan menolak beribadah
kepada selain-Nya. Sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah taala,
وَاعْبُدُواْ
اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ
بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ
مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh [294], dan teman sejawat,
ibnu sabil [295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri,(QS.An Nisaa:36)
K
e t e r a n g a n :
[294] Dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan
dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang muslim dan yang
bukan muslim. [295] Ibnus sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang bukan
ma'shiat yang kehabisan bekal. Termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu
bapaknya.
Inilah inti ajaran Islam yang keislaman seseorang
tidak akan sah kalau keduanya tidak tergabung dalam dirinya. Lalu bagaimana
mungkin seorang yang mengakui Allah sebagai satu-satunya tempat bergantung,
satu-satunya Zat yang menguasai segala urusan kemudian menujukan salah satu
bentuk ibadah (yaitu nazar) kepada selain-Nya. Bukankah hal ini jelas-jelas
bertentangan dengan syahadat yang diucapkannya?
Sesungguhnya nadzar itu adalah sebuah ibadah.
Sehingga mutlak harus dipersembahkan kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala saja dan tidak diperkenankan untuk diselewengkan
pada selain-Nya.
B.Bernazar Kepada Kuburan Wali atau Tempat-Tempat Keramat Termasuk Nazar Yang Di Larang Dalam
Islam.
Berdasarkan uraian diatas yang didasari atas dalil
baik yang termaktub dalam al-Qur’an maupun hadits-hadits Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam ternyata bahwa bernazar kepada kuburan para wali
atau tempat-tempat yang dikeramatkan sebagaimana yang banyak dilakukan oleh
banyak orang-orang muslim yang awam di negeri ini sesungguhnya merupakan nazar
yang dilarang dalam Islam. Karena bernazar kepada kuburan-kuburan atau
tempat-tempat keramat bukanlah ibadah sebagaimana yang diyakini oleh mereka
yang bernazar. Bahkan nazar tersebut termasuk perbuatan syirik.
Nazar menurut syari’at Islam adalah bagian dari
ibadah,sedangkan ibadah itu hanya ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Apabila melakukan ibadah kepada selain Allah seperti bernazar kepada kuburan maka
perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang syirik.
Sesungguhnya bahwa nadzar itu adalah sebuah ibadah.
Sehingga mutlak harus dipersembahkan kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala saja dan tidak diperkenankan untuk
diselewengkan pada selain-Nya.
Para ulama kita sebagai pewaris Nabi Shallallaahu
‘alahi wasallam menerangkan kepada kita tentang perkara-perkara yang ternyata
banyak di antara kita tidak memahaminya. Terutama dengan digolongkannya nadzar
sebagai suatu ibadah sehingga sangat rawan sekali untuk kita terjerumus kepada
kesyirikan kepada Allah Subhaanahu wa ta’ala. Banyak kalangan mengira bahwa
nazar itu boleh ditujukan kepada apa saja, termasuk bernazar kepada selain
Allah subhanahu wa ta’ala yang didalamnya termasuk bernazar kepada kuburan dan
tempat tempat yang dikeramatkan.
Allah Subhaanahu wa ta’ala berfirman di dalam Al
Quran yang mulia :
وَ مَا أنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ
نَذْرٍفَإِنَّ اللهَ يَعْلَمُهُ
“Dan
apa yang kalian nafkahkan dari sebuah nafkah atau kalian nadzarkan dari sebuah
nadzar maka pasti Allah mengetahui-Nya “. (QS. Al
Baqarah : 270)
Apabila seseorang yang menghajatkan sesuatu kemudian
dia bernazar kepada kuburan wali atau tempat-tempat keramat untuk misalnya akan
menyembelih seekor kambing, ternyata kemudian apa yang dia hajatkan terkabul,
maka sesungguhnya terkabulnya hajat yang bersangkutan sama sekali bukanlah
karena nazarnya. Melainkan hajat tersebut terkabul adalah karena atas kehendak
Allah subhanahu wa ta’ala dan sebenarnya itu sudah memang menjadi bagian dari
takdirnya. Tidak ada samasekali kaitannya dengan kuburan wali dan tempat-tempat
keramat. Sesungguhnya selain Allah subhanahu wa ta’ala tidak ada kekuatan, kekuasaan atau kemampuan pihak siapapun yang
dapat mengabulkan hajat seseorang. Begitu pula penghuni kubur dan tempat-tempat
keramat.Hanya Allah-lah semata-mata yang dapat memberikan
kemaslahatan/kemanfaatan dan begitu pula sebaliknya hanya Allah-lah yang dapat
mendatangkan kemudharatan
Bernazar utk selain Allah hukumnya syirik akbar.
Nazar adalah ibadah maka tak boleh diarahkan kepada selain Allah. Apabila
diarahkan kepada selain Allah maka itu syirik akbar. Sebab ibadah itu
pengertiannya luas, yaitu segala sesuatu yang dicintai & diridhoi Allah
baik perkataan maupun perbuatan yang lahir maupun yang batin, & nazar
termasuk di dalamnya (Al Qoul As-Sadiid, hal. 50).
Orang yang bernazar kepada selain Allah pada
hakikatnya telah menggantungkan harapan & kekhawatirannya kepada
selain-Nya, padahal sebenarnya dia menyadari kalau saja Allah menghendaki maka
itu pasti terjadi, dan kalau saja Allah tak menghendaki maka pasti tak terjadi,
dan tak ada yang mampu menghalangi anugerah-Nya atau memaksa Allah utk
memberikan apa yang sudah dihalangi-Nya, maka mengesakan Allah dalam niat
itulah hakikat tauhid ibadah. Apabila ibadah itu diperuntukkan selain Allah
maka akan berubah menjadi kesyirikan terhadap Allah, karena dia telah berpaling
kepada selain Allah dalam perkara yang diharapkannya atau yang dikhawatirkan
akan menimpanya, sehingga dia telah menjadikannya sekutu bagi Allah dlm masalah
ibadah (Fathul Majid hal. 153).
Sesungguhnya kalimat tauhid Laa ilaaha illAllah
menetapkan ibadah itu harus ditujukan hanya kepada Allah dan menolak beribadah
kepada selain-Nya. Sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah taala,
وَاعْبُدُواْ
اللّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ
بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ
مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh [294], dan teman sejawat,
ibnu sabil [295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri,(QS.An Nisaa:36)
K e s i m p u l a n
Nazar adalah perbuatan seorang mukallaf (orang yang
sudah dikenai beban syariat) yang mewajibkan dirinya sendiri untuk mengerjakan
suatu ibadah karena Allah, baik nazarnya itu secara mutlak maupun dengan
persyaratan tertentu. Di dalam al-Qur’an Allah memuji orang-orang yang menunaikan
nazar. Ini menunjukkan bahwa menunaikan nazar adalah perkara yang disukai
Allah, dan tidaklah sesuatu itu disukai (Allah) kecuali sesuatu itu pasti
disyariatkan.
Sesungguhnya Islam tidak mensyari’atkan kepada
umatnya untuk melakukan nazar, namun demikian syari’at memerintahkan apabila
bernazar wajib untuk dipenuhi.Nazar menurut syari’at Islam adalah bagian dari
ibadah,sedangkan ibadah itu hanya ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Apabila melakukan ibadah kepada selain Allah seperti bernazar kepada kuburan
maka perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang syirik.
Bernazar kepada kuburan para wali atau tempat-tempat
yang dikeramatkan sebagaimana yang banyak dilakukan oleh orang-orang muslim
yang awam di negeri ini sesungguhnya merupakan nazar yang dilarang dalam Islam.
Karena bernazar kepada kuburan-kuburan atau tempat-tempat keramat bukanlah
ibadah sebagaimana yang diyakini oleh mereka yang bernazar. Bahkan nazar
tersebut termasuk perbuatan syirik.
Bernazar untuk selain Allah hukumnya syirik akbar.
Nazar adalah ibadah maka tak boleh diarahkan kepada selain Allah. Apabila
diarahkan kepada selain Allah maka itu syirik akbar. Sebab ibadah itu
pengertiannya luas, yaitu segala sesuatu yang dicintai & diridhai Allah
baik perkataan maupun perbuatan yang lahir maupun yang batin, dimana nazar termasuk di dalamnya ( Wallahu ta’ala
‘alam ).
S u m b e r :
3. Kitab Tauhid ( terjemahan ) Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahab at-Tamimi.
4. Fathul Majid Penjelasan Kitab Tauhid (
Terjemahan), Syaikh Abdurrahman Hasan
Alu Syaikh.\
5.Artikel www.rumaysho.com
6.Artikel www.assalafy.org
7.Artikel www.muslim.or.id
Samarinda, 23 Rabiul Awal 1434 H / 4 Pebruari-2013 M
( Musni Japrie )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar