O l e h : Musni Japrie
Semua orang pasti pernah mengalami betapa sulitnya ketika berjalan kaki akan menyeberang jalan, tidak ada satupun kendaraan yang lalau lalang yang mau memberikan kesempatan kepada kita agar kita dapat menyeberang tanpa rasa was-was. Begitu juga kalau kita misalnya mengendari kendaraan,sedang berada dipertiga jalan ke kanan, kita akan mendapatkan kesulitan karena jarang ada pengendara lain yang mau memberikan kesempatan kepada kita. Contoh lain, apabila menaiki kendaraan umum yang tidak ada lagi tempat duduk yang kosong, jarang sekali orang yang mau mengalah untuk memberikan kesempatan duduk kepada ibu-ibu atau kakek-kakek yang berdiri bergantungan. Penumpang-penumpang lain terutama para anak mudanya cuek saja terhadap kondisi yang ada didepannya, tanpa mau mempedulikan orang-orang yang patut didahulukan.
Dan seperti itulah kondisi yang ditemui dimana saja dan maupun dalam berbagai situasi, nampak secara jelas tidak ada rasa kepedulian seseorang kepada orang lainnya. Rasa belas kasihan kepada sesama telah sirna dimakan zaman, orang-orang sepertinya pada hidup dalam suasana menjunjung tinggi rasa indivdualitis dengan mengabaikan sama sekali rasa soladaritas sesama manusia. Sehingga anekdot: persetan dengan lu , memangnya gue pikiran, merupakan sebuah ikon yang terus berkembang yang menunjukkan ketidak pedulian seseorang kepada orang lain, yang penting adalah memikirkan dirinya sendiri. dan keluarga
Sikap induvidualistis dengan meninggalkan sikap solidaritas dipandang dari sudut syar’i, adalah suatu sikap yang bertentangan dengan islam. Karena para ulama telah menetapkan kaedah/usul fiqh bahwa : “ Mendahulukan orang lain dalam masalah ibadah, dibenci, namun dalam masalah lainnya disukai “.
Di Dalam kaidah fiqih sikap mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri disebut Itsar, sedangkan kebalikannya adalah atsaroh, yang bermakna mendahulukan kepentingan dirinya sendiri sebelum orang lain. Dalam islam itsar maupun atsaroh kadang-kadang dipuji dan kadang-kadang tercela, sesuai dengan kondisi dan situasi dimana ditempatkannya. Apabila dalam kesempatan beribadah maka sikap mendahulukan kepentingan orang lain dari pada kepentingan sendiri ( itsar0 adalah suatu perbuatan yang tercela, tetapi sikap atsaroh adalah sikap yang terpuji, karena mendahulukan kepentingan dirinya sendiri sebelum orang lain dalam hal beribadah.
Kadang-kadang sikap atsaroh ini menjadi tercela apabila ia hanya memperhatikan dan lebih mengutamakan kepentingan dirinya dibandingkan untuk kepentingan orang lain dalam duniawi, sebagaimana yang dikemukakan dibagian awal tulisan ini.
Itsar Dalam Perkara Duniawi
Dalam hal bermualah atau berinteraksi sosial seseorang dengan orang lainnya yangb termasuk dalam perkara dunia sikap itsar adalah perkara yang sangat dianjurkan bagi umat islam. Orang yang lebih mengutamakan atau mendahulukan kepentingan orang lain dari kepentingan diri merupakan perbuatan terpuji dan akan mendapatkan imbalan pahala di akhirat kelak dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.Termasuk disini tentunya adalah mendahulukan kepentingan orang banyak daripada kepentingan perorangan dan dirinya sendiri.
Itsar dalam perkara duniawi sangat disenangi dan dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala . Perhatikan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam al-Qur’an Surah al-Hasyr : 9 :
“ Dan orang-orang yang telah beriman (anshor) sebelum (kedatangan) mereka (muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada -orang mahajirin), dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang diberikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”.
Dari ayat tersebut secara jelas dinyatakan bahwa mereka-mereka penduduk Madinah yang telah beriman yang disebut kaum anshor sangat mencintai para orang-orang yang berhijrah dari Mekah ke Madinah mengikuti Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam yang disebut sebagai kaum muhajirin, dan mereka kaum anshor tersebut lebih mengutamakan para kaum muhajirin dari diri mereka sendiri dengan memberikan sesuatu kebutuhan yang dihajadkan oleh kaum muhajirin, meskipun sebenarnya kaum anshor juga memerlukannya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan bahwa kaum anshor sebagai orangh-orang yang beruntung.
Ayat al-Qur’an surah al-Hasyr ayat 9 yang tersebut diatas merupakan dalil keutamaannya mendahulukan orang lain daripada kepentingannya sendiri, meski sekalipun ia sendiri juga memerlukannya, namun karena lebih mengutamakan orang lain, ia rela mengorbankan kepentingannya sendiri. Dimana kepentingan orang lain yang lebih didahulukan tersebut adalah yang berkaitan dengan duniawi.
Selain ayat al-Qur’an, hadits Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam juga menegaskan keutamaan untuk mendahulukan orang lain diatas kepentingan sendiri dalam hal keduniawi-an .Sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah radhyallaahu ‘anhum berkata :
“
Adakah kira-kira orang-orang di zaman sekarang yang berprilaku sebagaimana prilaku sahabat sebagaimana yang disebutkan dalam hadits tersebut, dimana mereka termasuk anak-anak dan isterinya rela menahan lapar, agar tamunya dapat dia berikan makanan.
Dari hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari tersebut merupakan bukti bahwa dari keutamaan mendahulukan kepentingan orang lain diatas kepentingan diri sendiri dan keluarganya yang berkenaan dengan hal bersifat keduniawian. Rasullulah memerintahkan kepada umatnya agar berbuat itsar,dan ini merupakan kewajiban bagi kaum muslimin untuk melakukan apa yang telah diperintahkan tersebut. Baik sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan untuk mendahulukan orang lain, akan mempunyai nilai yang besar.Janganlah dilihat besar kecilnya sesuatu perbuatan itu, tetapi lihatlah kepada manfat dan kemaslahatan yang diberikan kepada orang lain tersebut.
Sebagaimana apa yang dicontohkan pada awal tulisan ini, sikap kebanyakan orang-orang dalam berlalu lintas yang samasekali tidak mau pernah memperdulikan kepentingan orang lain, adalah sebagai contoh kecil dari suatu perbuatan konkrit yang perlu dirubah, dengan menghormati dan memberikan kesempatan kepada pejalan kaki, maka itulah salah satu bentuk perbuatan mendahulukan kepentingan lain.
Begitu banyak perbuatan-perbuatan kecil sehari-sehari yang tanpa kita sadari yang kita abaikan padahal sebenarnya adalah sikap mendahulukan kepentingan orang lain, namun karena kita tidak mau merasa rugi oleh perbuatan mendahulukan orang lain dari kepentingan sendiri, maka terabaikanlah kebaikan yang mestinya dapat kita peroleh. Sesungguhnya banyak sekali perbuatan dan sikap kita dalam keseharian yang kelihatanya sepele , namun ternyata di dalamnya mengandung nilai-nilai kebaikan dan pahala. Mengutamakan atau mendahulukan orang lain sebenarnya tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat kecil, tetapi hal-hal lain yang lebih b esar juga patut untuk mendapatkan perhatian. Karenanya kalau ingin memperoleh nilai-nilai tambah berupa pahala, terutama didalam bermuamalah, utamakanlah orang lain terlebih dahulu, sedangkan kepentingan pribadi kita sementara diabaikan sejenak.
Wallaahu Ta’ala ‘alam
Samarinda, Senin 20 Sya’ban 1431 H/ 1 Agustus 2010, ba’da ashar
Tulisan ini sebagian kecil diadopsi dari majalah Al-Furqon No.99 Edisi 7 th.ke 9 1431 H/2010 M
Tidak ada komentar:
Posting Komentar