Tidak sedikit umat Islam di negeri ini yang dalam
melakukan berbagai pekerjaan dan kegiatan selalu mempertimbangkan hari dimana
mereka-mereka tersebut terlebih dahulu memilih-milih hari yang dianggap baik.
Karena mereka beranggapan apa bila salah memilih hari maka akan berdampak
buruk. Seperti apabila hendak bepergian jauh banyak orang yang tidak
melakukannya pada hari selasa, karena hari tersebut dianggap hari nahas atau
hari yang dapat mendatangkan kesialan.
Begitu
pula tidak sedikit orang dalam merencanakan sesuatu pekerjaan atau hajat
mereka tidak akan memilih hari yang sama
dengan hari kelahirannya. Apabila tetap memaksakan diri memilih hari yang sama
dengan hari kelahiran nantinya akan terjadi sesuatu yang tidak diharapkan.
Timbul
pertanyaan bagaimana menurut Islam tentang adanya anggapan atau keyakinan
terhadap adanya hari-hari nahas dan sial tersebut?. Apakah Islam membenarkan
atau membolehkan adanya anggapan seperti tersebut, dan apakah tidak
bertentangan dengan aqidah ?.
Dalam
bahasan singkat berikut ini diketengahkan jawaban terhadap pertanyaan tersebut
diatas menurut Islam.
Sekilas Tentang Anggapan Hari Baik DanBuruk (Hari Sial)
Dalam
sebuah artikel millis yahoogroup dijumpai informasi tentang adanya hari baik-buruk
menurut kalender hijriyah yang katanya bersumber dari kitab Makarimul Akhlaq,
halaman 474, dimana disebutkan dalam artikel tersebut bahwa untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan, dan juga untuk memperoleh kebaikan dan
keberkahan, maka sebaiknya kita memilih hari yang baik dan tepat untuk
melakukan aktivitas. Misalnya akad pernikahan, memulai usaha,memulai membangun
rumah, melakukan kontrak kerja, pindah rumah, bepergian dan lainnya. Karena
hari-hari itu tidak sama nilainya, ada yang baik untuk aktivitas tertentu dan
tidak baik untuk aktivitas yang lain, dan ada jugahari yang nahas (sial)
sepanjang hari.
Allah swt
berfirman: "Kami menghembuskan badai dalam beberapa hari yang
nahas,
karena Kami hendak merasakan kepada mereka itu siksaan yang
menghinakan
dalam kehidupan dunia. Dan sesungguhnya siksaan di akhirat lebih menghinakan
sedangkan mereka tidak diberi pertolongan." (Fushshilat/41: 16)
"Sesungguhnya
Kami menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang pada hari nahas yang
terus menerus." (Al-Qamar/54: 19).
Tentang
hari-hari pilihan, Imam Ja’far Ash-Shadiq (sa) berkata:
"Hindarilahmelakukan safar (bepergian) pada hari ketiga, keempat, ke 21
dan ke 25 setiap bulan, karena hari-hari itu adalah hari nahas."
(Makarimul Akhlaq: 424)
Beliau
juga mengatakan:
Tanggal 1
: Baik untuk menjumpai penguasa, mencapai hajat, jual-beli, bercocok tanam, dan
bepergian.
Tanggal 2
: Baik untuk bepergian, dan mencapai hajat.
Tanggal 3
: Buruk dan tidak baik untuk seluruh kegiatan
Tanggal 4
: Baik untuk perkawinan, dan tidak disukai untuk bepergian.
Tanggal 5
: Buruk dan na’as.
Tanggal 6
: Diberkati, baik untuk perkawinan, dan mencapai hajat.
Tanggal 7
: Diberkahi, terpilih dan baik untuk segala yang diinginkan danrencana usaha.
Tanggal 8
: Baik untuk semua hajat kecuali bepergian.
Tanggal 9
: Diberkahi, baik untuk semua yang diinginkan manusia, dan siapa yang bepergian
pada hari ini ia akan dianugerahi harta dan akan melihat setiap kebaikan dalam
bepergiannya.
Tanggal
10 : Baik untuk semua hajat kecuali mendatangi penguasa; orang yang lari dari
penguasa pada hari ini ia akan tertangkap; orang yang kehilangan sesuatu akan
didapatkan; hari ini sangat baik untuk jual-beli.
Tanggal
11 : Baik untuk jual-beli, dan mencapai semua hajat kecuali mendatangi
penguasa; dan baik untuk melakukan persembunyian.
Tanggal
12 : Hari ini baik dan penuh berkah; capailah hajat anda dan berusahalah insya
Allah tercapai.
Tanggal
13 : Sepanjang hari ini na’as, maka waspadalah dalam seluruh urusan.
Tanggal
14 : Sangat baik untuk mencapai seluruh hajat dan usaha.
Tanggal
15 : Baik untuk semua hajat yang diinginkan, maka capailah hajat Anda, insya
Allah tercapai.
Tanggal
16 : Buruk dan tercela untuk segala sesuatu.
Tanggal
17 : Baik dan terpilih untuk mencapai keinginan, perkawinan, jual-beli,
bercocok tanam, mendirikan bangunan, mendatangi penguasa untuk suatu hajat,
insya Allah tercapai.
Tanggal
18 : Terpilih dan baik untuk bepergian, dan mencapai hajat; orang yang
melakukan perlawanan terhadap musuhnya ia akan memperoleh kemenangan dengan
kekuasaan Allah swt.
Tanggal
19 : Terpilih dan baik untuk seluruh amal perbuatan; anak yang dilahirkan pada
hari ini ia akan diberkahi.
Tanggal
20 : Sangat baik dan terpilih untuk mencapai hajat, bepergian, mendirikan
bangunan, bercocok tanam, melangsungkan resepsi perkawinan, dan mendatangi
penguasa; hari ini penuh berkah dengan kehendak Allah swt.
Tanggal
21 : Hari na’as sepanjang hari.
Tanggal
22 :Terpilih dan baik untuk jual-beli, mendatangi penguasa, bepergian, dan
bersedekah.
Tanggal
23 :Terpilih dan sangat baik khusus untuk perkawinan, perdagangan, dan
mendatangi penguasa.
Tanggal
24 : Hari na’as dan tercela.
Tanggal
25 : Buruk dan tercela, waspadalah melakukan sesuatu.
Tanggal
26 : Baik untuk mencapai seluruh hajat kecuali perkawinan dan bepergian;
hendaknya bersedekah Anda akan merasakan manfaatnya.
Tanggal
27 : Sangat baik dan terpilih untuk mencapai semua hajat dan apa yang
diinginkan, dan mendatangi penguasa.
Tanggal
28 : Berimbang antara baik dan buruk.
Tanggal
29 : Terpilih dan sangat baik untuk semua hajat orang yang sakit pada hari ini
akan cepat sembuh; orang yang bepergian pada hari ini hartanya akan terkena
musibah,dan orang yang lari akan kembali.
Tanggal
30 : Terpilih dan sangat baik untuk semua hajat, jual-beli, perkawinan, dan
bercocok tanam; orang yang sakit pada hari akan cepat sembuh; anak yang lahir
pada hari ini ia memiliki sifat tabah dan diberkahi, dimuliakan urusannya,
jujur lisannya, dan setia terhadap janji.
Dalam
suatu riwayat disebutkan bahwa Jika terpaksa melakukan aktivitas pada hari
nahas atau hari yang tidak baik, maka hendaknya bersedekah sebelum melakukan
aktivitas dan membaca doa penolak bala
Asal Usul Mengenai Anggapan Adanya Hari Buruk Atau Hari Nahas (Hari Sial )
Artikel
dari Kantor Kementerian Mufti Brunai Darussallam mengetengahkan tentang asal
usul anggapan adanya hari buruk atau hari nahas sebagai berikut :
Kepercayaan tentang hari baik atau buruk itu
telah ada sejak zaman Arab Jahiliyah.
Sebagai contoh apabila seseorang itu hendak keluar rumah dan didapati ada
burung terbang atau lalu di sebelah kanan, mereka mempercayai bahwa seseorang
itu tidak akan mendapat bencana dan boleh melakukan atau meneruskan hajatnya
untuk keluar rumah. Sebaliknya jika burung itu terbang atau melintas ke sebelah
kiri, seseorang itu tidak dibolehkan
keluar rumah atau jka dia telah keluar rumah, dia harus kembali ke rumahnya dan tidak meneruskan
hajatnya. Oleh karena yang demikian,
menurut mereka burung itu terbang sebagai petanda dan petunjuk untuk mengetahui
tentang baik buruknya melakukan sesuatu pekerjaan atau sesuatu hajat seperti hendak keluar rumah.
Di
dalam Al-Qur‘an Allah Subhanahu wa Ta‘ala telah menceritakan peristiwa kaum
‘Add. Allah Subhanahu wa Ta‘ala membinasakan mereka kerana mendustakan RasulNya
dengan menurunkan angin ribut yang kencang yang berlanjutan sehingga manusia
gugur bergelempangan seperti batang-batang pohon kurma yang terbongkar.
Peristiwa ini telah digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta‘ala dalam
firmanNya yang tafsirnya :
“(Demikian juga) kaum ‘Add telah mendustakan Rasulnya (lalu mereka
dibinasakan); maka perhatikanlah, bagaimana buruknya azabKu dan kesan
amaran-amaranKu!. Sesungguhnya Kami telah menghantarkan kepada mereka angin
ribut yang kencang, pada hari nahas yang berterusan; Yang menumbangkan manusia
gugur bergelempangan, seolah-olah mereka batang-batang pohon kurma yang
terbongkar”. (Surah Al-Qamar: 18-20)
Imam
Qurtubi menceritakan bahawa menurut Ibnu Abbas, peristiwa tersebut berlaku pada
hari Rabu yang terakhir bagi bulan itu. Yang dimaksudkan hari nahas di dalam
ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta‘ala membinasakan kaum ‘Add yang kafir dan
orang-orang mendustakan Rasul mereka sahaja. Dengan kata lain Allah tidak
membinasakan RasulNya dan orang-orang yang beriman dengan rasul mereka. Maka
peristiwa tersebut tidak ada kena mengena dengan hari yang membawa bencana,
sial dan nahas. (Al-Qurtubi: 17/135)
Dari peristiwa tersebut sebahagian orang mempercayai bahawa pada hari
Rabu yang terakhir bagi setiap bulan adalah hari bala diturunkan. Maka tidak
ada sebarang pekerjaan atau kerja-kerja amal pada hari tersebut.
Menurut Sayyid Alwi bin Tahir Al-Haddad, Mufti
Kerajaan Johor tidak terdapat satupun hadis yang sahih mengenai turunnya bala
pada hari Rabu atau pada hari Rabu yang terakhir bagi setiap bulan. Sebahagian
ulama mengatakan bahawa hadis-hadis yang diriwayatkan berkaitan dengan perkara
tersebut adalah hadis-hadis rekaan (maudhu‘) semata-mata. Salah satu hadis
maudhu‘ tersebut ialah:
“Akhir hari Rabu tiap-tiap bulan itu
nahas yang berkekalan”.
Ulama berpendapat bahawa beberapa
orang perawi hadis ini adalah pendusta dan tidak dipakai riwayatnya. Di antara
mereka itu ialah Maslamah bin Al-Shilat, Al-Abrazi, Ibrahim bin Abu Hibbah dan
Isa bin Abdullah. (Fatwa-Fatwa Mufti Kerajaan Johor : 2/210-211)
Anggapan di atas juga jelas meleset dari
kebenaran kerana jika hari Rabu yang terakhir bagi setiap bulan itu adalah hari
nahas atau bencana, bagaimana pula doa pada hari itu dikabulkan? Menurut
sahabat Jabir bin Abdullah Radhiallahu ‘anhuma mengatakan bahawa doa pada hari
Rabu di antara Zohor dan ‘Asar itu adalah doa yang dikabul dan diangkat.
(Al-Qurtubi: 2/313) Beliau menceritakan dan berkata:
Maksudnya: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah berdoa di
Masjid Fath sebanyak tiga kali pada hari Isnin dan hari Selasa, maka dikabulkan
juga doa Baginda pada hari Rabu antara waktu Zohor dan ‘Asar. (Kerana) aku
mengetahui (doa Baginda dikabulkan) dari wajahNya, Baginda merasa gembira.
Jabir berkata lagi: “Tidak ada bagiku suatu perkara yang lebih penting dan
payah/kusut melainkan aku bermohon (berdoa) pada masa atau saat (doa
dikabulkan), lalu aku bermohon pada waktu (tersebut) dan aku mengetahui
permohonanku dikabulkan”.
Keterangan-keterangan di atas dengan
sendirinya menolak dan menangkis berbagai pendapat yang mengatakan bahawa hari
Rabu yang terakhir pada setiap bulan adalah hari bala, sehingga tidak perlu
kita membuat apa-apa upacara tertentu semata-mata untuk menolak bala hari Rabu.
Pendapat ini tidak mempunyai asas.
Larangan Menganggap Adanya Hari Sial
Asy-Syaikh
Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh rahimahullahu dalam memberikan jawaban atas
pertanyaan apakah dibolehkan bagi seseorang untuk menganggap sial angka
tertentu, demikian pula hari, bulan dan seterusnya menyebutkan :
“Tidak
boleh, bahkan hal itu termasuk kebiasaan orang-orang jahiliyyah yang syirik, di
mana Islam datang untuk menolak dan membatilkannya. Dalil-dalil yang ada
demikian jelas menyatakan keharaman kebiasaan tersebut. Perbuatan atau anggapan
sial seperti itu termasuk kesyirikan dan sebenarnya tidak ada pengaruhnya dalam
menarik kemanfaatan atau menolak kemudaratan, karena tidak ada yang memberi,
yang menolak, yang memberi manfaat dan memberi mudarat kecuali Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ
اللهُُ بِضُرٍّ فَلاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلاَ رَادَّ
لِفَضْلِهِ
“Jika
Allah menimpakan kepadamu kemudaratan maka tidak ada yang dapat
menghilangkannya kecuali Dia dan bila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka
tidak ada yang dapat menolak keutamaan-Nya.” (Yunus: 107)
Dalam
hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma disebutkan bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
مسند أحمد
٢٥٣٧: حَدَّثَنَا يُونُسُ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ قَيْسِ بْنِ الْحَجَّاجِ عَنْ حَنَشٍ
الصَّنْعَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ
حَدَّثَهُ
أَنَّهُ رَكِبَ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا
فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا غُلَامُ إِنِّي
مُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ
وَإِذَا سَأَلْتَ فَلْتَسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
وَاعْلَمْ أَنَّ الْأُمَّةَ لَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَنْفَعُوكَ لَمْ يَنْفَعُوكَ
إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ لَكَ وَلَوْ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوكَ
لَمْ يَضُرُّوكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللَّهُ عَلَيْكَ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ
وَجَفَّتْ الصُّحُفُ
Musnad
Ahmad 2537: dari Abdullah bin Abbas bahwa
ia menceritakan kepadanya; pada suatu hari ia menunggang di belakang Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda kepadanya: "Wahai anakku, aku akan mengajarkan kepadamu beberapa
kalimat; Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu, Jagalah Allah niscaya engkau
mendapatiNya di hadapanmu. Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah, dan
jika engkau memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah.
Ketahuilah, seandainya umat ini bersatu untuk memberi manfaat kepadamu, niscaya
mereka tidak akan mampu memberikan manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang
telah Allah tetapkan padamu. Dan seandainya mereka bersatu untuk mencelakakan
dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakakanmu kecuali dengan sesuatu
yang telah Allah tetapkan padamu. Pena telah diangkat dan lembaran telah
kering."
Diriwayatkan
pula sabda rasullullah shallallahu’alahi wa sallam dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda:
صحيح البخاري
٥٣٢٨: حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا
مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ فَقَالَ
أَعْرَابِيٌّ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَا بَالُ الْإِبِلِ تَكُونُ فِي الرَّمْلِ كَأَنَّهَا
الظِّبَاءُ فَيُخَالِطُهَا الْبَعِيرُ الْأَجْرَبُ فَيُجْرِبُهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَمَنْ أَعْدَى الْأَوَّلَ
وَعَنْ أَبِي
سَلَمَةَ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ بَعْدُ يَقُولُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُورِدَنَّ مُمْرِضٌ عَلَى مُصِحٍّ وَأَنْكَرَ أَبُو هُرَيْرَةَ
حَدِيثَ الْأَوَّلِ قُلْنَا أَلَمْ تُحَدِّثْ أَنَّهُ لَا عَدْوَى فَرَطَنَ بِالْحَبَشِيَّةِ
قَالَ أَبُو سَلَمَةَ فَمَا رَأَيْتُهُ نَسِيَ حَدِيثًا غَيْرَهُ
Shahih
Bukhari 5328: dari Abu Hurairah
radliallahu 'anhu dia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Tidak ada 'adwa (keyakinan adanya penularan penyakit) tidak ada shafar
(menganggap bulan shafar sebagai bulan haram atau keramat) dan tidak pula
hammah (keyakinan jahiliyah tentang rengkarnasi)." Lalu seorang Arab badui
berkata; "Wahai Rasulullah, lalu bagimana dengan unta yang ada di padang
pasir, seakan-akan (bersih) bagaikan gerombolan kijang lalu datang padanya unta
berkudis dan bercampur baur dengannya sehingga ia menularinya?" Maka Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Lalu siapakah yang menulari yang
pertama?" Setelah itu Abu Salamah mendengar Abu Hurairah mengatakan; Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah (unta) yang sakit
dicampurbaurkan dengan yang sehat." -sepertinya Abu Hurairah mengingkari
hadits yang pertama- maka kami bertanya; "Tidakkah anda pernah
menceritakan bahwa tidak ada 'adwa (keyakinan adanya penularan penyakit)."
Lalu dia bicara dengan bahasa Habasyah, maka aku tidak pernah melihatnya lupa
terhadap hadits selain hadits di atas."
Dalam
hadits ini penetap syariat (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam)
menolak thiyarah berikut apa yang disebutkan dalam hadits. Beliau mengabarkan
bahwa thiyarah itu tidak ada wujudnya dan tidak ada pengaruhnya. Thiyarah itu
hanyalah anggapan-anggapan keliru dan khayalan-khayalan rusak di dalam hati.
Sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: (وَلاَ صَفَرَ) menolak keyakinan
orang-orang jahiliyyah yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial, mereka
mengatakan bulan Shafar adalah bulan bencana. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun meniadakan kebenaran anggapan tersebut dan membatilkannya. Beliau
kabarkan bahwa bulan Shafar itu sama dengan bulan yang lain, tidak ada
pengaruhnya dalam menarik kemanfaatan dan menolak mudarat. Demikian pula
hari-hari, malam-malam dan waktu-waktu lain, tidak ada bedanya. Dulunya orang
jahiliyyah menganggap sial hari Rabu, menganggap sial untuk melangsungkan
pernikahan di bulan Syawwal secara khusus. Sehingga Aisyah radhiyallahu ‘anha
berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahiku di bulan Syawwal,
maka siapakah yang lebih memiliki keutamaan/keberuntungan daripada diriku?”
Hal ini
seperti anggapan sial orang-orang Rafidhah terhadap angka sepuluh, dan mereka
tidak suka dengan angka ini karena kebencian dan permusuhan mereka terhadap
Al-’Asyrah Al-Mubasysyarina bil jannah (10 shahabat Rasulullah yang diberi
kabar gembira masuk surga ketika mereka masih hidup4). Yang demikian itu
disebabkan kebodohan dan kedunguan akal mereka.
Demikian
pula ahli nujum, mereka membagi waktu menjadi waktu nahas dan sial. Yang kedua;
waktu bahagia dan baik. Tidaklah samar lagi haramnya ramalan bintang ini dan ia
termasuk jenis sihir.
Ibnul
Qayyim rahimahullahu berkata: “Tathayyur adalah menganggap sial dengan apa yang
dilihat dan apa yang didengar. Bila seseorang melakukan tathayyur ini, ia membatalkan
safar yang semula hendak dilakukannya dan ia menarik diri dari perkara yang
semula ia bersikukuh padanya, dengan begitu berarti ia telah mengetuk pintu
kesyirikan bahkan ia telah masuk ke dalamnya. Ia berlepas diri dari tawakal
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia membuka untuk dirinya pintu ketakutan dan
bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang menganggap sial
dengan apa yang dilihat atau didengarnya berarti telah memutuskan diri dari apa
yang dinyatakan dalam ayat berikut:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ
وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya
Engkaulah yang kami sembah [6], dan hanya kepada Engkaulah kami meminta
pertolongan. [7]( QS.Al Fatihah : 5 )
Keterangan “
[6]
Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan
oleh perasaan terhadap kebesaran ALlah, sebagai Tuhan yang disembah, karena
berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya. [7]
Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan
bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan
dengan tenaga sendiri.
Firman
Allah ta’ala :
وَلِلّهِ غَيْبُ
السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَإِلَيْهِ يُرْجَعُ الأَمْرُ كُلُّهُ فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ
عَلَيْهِ وَمَا رَبُّكَ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan
kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan
bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang
kamu kerjakan. ( Qs. Huud :m 123)
Jadilah
hatinya bergantung kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala baik dalam bentuk
ibadah ataupun tawakal, sehingga rusaklah hatinya, iman, dan keadaannya.
Tinggallah hatinya menjadi sasaran thiyarah dan senantiasa digiring kepadanya.
Syaitan pun mendatangi orang yang telah rusak agama dan dunianya ini. Berapa
banyak orang yang binasa karenanya dan ia merugi di dunia dan di akhirat.
Dalil-dalil tentang haramnya tathayyur dan tasyaum (menganggap sial) ini ma`ruf
dan terdapat pada tempat-tempat pembahasannya, maka kita cukupkan dengan apa
yang telah disebutkan. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah 1/132-134)
Tidak Seorangpun Akan Mendapatkan Kebaikan Atau Keburukan Kecuali
Apa Yang Telah Ditetapkan Allah Azza Wa jalla
Seluruh
hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia, meliputi keburukan maupun kebaika, seluruhnya telah ditetapkan
melalui takdir Allah subhanahu wa ta’ala sesuai dengan Firman-N ya :
قُلْ مَن ذَا الَّذِي يَعْصِمُكُم مِّنَ
اللَّهِ إِنْ أَرَادَ بِكُمْ سُوءًا أَوْ أَرَادَ بِكُمْ رَحْمَةً وَلَا يَجِدُونَ
لَهُم مِّن دُونِ اللَّهِ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Katakanlah: "Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir)
Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk
dirimu?" Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka
pelindung dan penolong selain Allah ( QS.Al
Ahzab : 17 ).
Sedangkan Takdir bagi manusiaitu
sendiri ditetapkan oleh Allah azza wa
jalla 50.000 tahun sebelum dunia diciptakan sebagaimana sabda Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam :
صحيح مسلم ٤٧٩٧: حَدَّثَنِي أَبُو الطَّاهِرِ
أَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَرْحٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي
أَبُو هَانِئٍ الْخَوْلَانِيُّ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كَتَبَ اللَّهُ مَقَادِيرَ الْخَلَائِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ قَالَ وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا
الْمُقْرِئُ حَدَّثَنَا حَيْوَةُ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ سَهْلٍ التَّمِيمِيُّ
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَخْبَرَنَا نَافِعٌ يَعْنِي ابْنَ يَزِيدَ كِلَاهُمَا
عَنْ أَبِي هَانِئٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مِثْلَهُ غَيْرَ أَنَّهُمَا لَمْ يَذْكُرَا
وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
Shahih Muslim 4797: Telah menceritakan kepadaku Abu Ath Thahir
Ahmad bin 'Amru bin dari 'Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash dia berkata;
"Saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Allah telah menentukan takdir bagi semua makhluk lima puluh tahun sebelum
Allah menciptakan langit dan bumi.' Rasulullah menambahkan: 'Dan arsy Allah itu
berada di atas air." Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu 'Umar; Telah
menceritakan kepada kami Al Muqri; Telah menceritakan kepada kami Haiwah;
Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepadaku
Muhammad bin Sahl At Tamimi; Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Maryam;
Telah mengabarkan kepada kami Nafi' yaitu Ibnu Yazid keduanya dari Abu Hani
melalui jalur ini dengan Hadits yang serupa. Namun keduanya tidak menyebutkan
lafazh: "Dan 'arsy Allah itu berada di atas air."
Segala sesuatu itu sesungguhnya itu
sesuai dengan apa yang digariskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala berupa takdir
sebagimana yang disebutkan dalam Hadits Rasullullah shallallahu’alaihi wa
sallam :
صحيح مسلم ٤٧٩٩: حَدَّثَنِي عَبْدُ الْأَعْلَى
بْنُ حَمَّادٍ قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ ح و حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ
بْنُ سَعِيدٍ عَنْ مَالِكٍ فِيمَا قُرِئَ عَلَيْهِ عَنْ زِيَادِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ عَمْرِو
بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ طَاوُسٍ أَنَّهُ قَالَ أَدْرَكْتُ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُونَ كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ قَالَ
وَسَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ يَقُولُ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ شَيْءٍ بِقَدَرٍ حَتَّى
الْعَجْزِ وَالْكَيْسِ أَوْ الْكَيْسِ وَالْعَجْزِ
Shahih Muslim 4799: dari 'Amru bin Muslim dari Thawus dia
berkata; "Saya pernah mendapati beberapa orang sahabat Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan; 'Segala sesuatu itu sesuai takdirnya.'
Ibnu Thawus berkata; 'Saya pernah mendengar Abdullah bin Umar mengatakan;
'Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: 'Segala sesuatu itu
sesuai takdirnya, hingga kelemahan dan kecerdasan (atau kecerdasan dan
kelemahan.
Sesungguhnya manusia hanyalah menjalani
sekanario yang telah digariskan, tidak ada campur tangan manusia di dalamnya.
Segala liku-luku dan seluk beluk kehidupan baik berupa kebaikan maupun keburukan sudah tersurat dalam takdir.
Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan
dalam shahih Bukhari menyebutkan :
صحيح البخاري ٤٥٦٨: حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ عَنْ الْأَعْمَشِ قَالَ سَمِعْتُ سَعْدَ بْنَ عُبَيْدَةَ يُحَدِّثُ عَنْ أَبِي
عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي جَنَازَةٍ فَأَخَذَ شَيْئًا فَجَعَلَ يَنْكُتُ بِهِ الْأَرْضَ فَقَالَ
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَقَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنْ النَّارِ وَمَقْعَدُهُ
مِنْ الْجَنَّةِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نَتَّكِلُ عَلَى كِتَابِنَا وَنَدَعُ
الْعَمَلَ قَالَ اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ أَمَّا مَنْ كَانَ
مِنْ أَهْلِ السَّعَادَةِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ السَّعَادَةِ وَأَمَّا مَنْ
كَانَ مِنْ أَهْلِ الشَّقَاءِ فَيُيَسَّرُ لِعَمَلِ أَهْلِ الشَّقَاوَةِ ثُمَّ قَرَأَ
{ فَأَمَّا مَنْ أَعْطَى وَاتَّقَى وَصَدَّقَ
بِالْحُسْنَى }
الْآيَةَ
Shahih Bukhari 4568: dari Abu Abdurrahman As Sulami dari Ali
radliallahu 'anhu ia berkata; Suatu ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam berada dalam rombongan pelayat Jenazah, lalu beliau mengambil sesuatu
dan memukulkannya ke tangah. Kemudian beliau bersabda: "Tidak ada seorang
pun, kecuali tempat duduknya telah ditulis di neraka dan tempat duduknya di
surga." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, kalau begitu,
bagaimana bila kita bertawakkal saja terhadap takdir kita tanpa beramal?"
beliau menajawab: "Ber'amallah kalian, karena setiap orang akan dimudahkan
kepada yang dicipta baginya. Barangsiapa yang diciptakan sebagai Ahlus Sa'adah
(penduduk surga), maka ia akan dimudahkan untuk mengamalkan amalan Ahlus
Sa'adah. Namun, barangsiapa yang diciptakan sebagai Ahlusy Syaqa` (penghuni
neraka), maka ia akan dimudahkan pula untuk melakukan amalan Ahlusy
Syaqa`." Kemudian beliau membacakan ayat: "FA`AMMAA MAN `A'THAA WAT
TAQAA WA SHADDAQA BIL HUSNAA (Dan barangsiapa yang memberi, dan bertakwa serta
membenarkan kebaikan).."
Sebagai makhluk yang diciptalan Allah
azza wajjala, manusia wajib mengimani
bahwa apa yang telah ditakdirkan menjadi bagian yang tidak pernah meleset dan
apa yang tidak ditakdirkan untuk menjadi bagian dari seseorang tidak akan
didapatkan olehnya. Jalan hidup manusia
tidak pernah luput dari apa yang telah ditakdirkan sebagaimana sabda rasullullah shallallahu’alahi wa sallam
:
سنن أبي داوود ٤٠٧٨: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ
بْنُ مُسَافِرٍ الْهُذَلِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَسَّانَ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ
بْنُ رَبَاحٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي عَبْلَةَ عَنْ أَبِي حَفْصَةَ قَالَ
قَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ لِابْنِهِ
يَا بُنَيَّ إِنَّكَ لَنْ تَجِدَ طَعْمَ حَقِيقَةِ الْإِيمَانِ حَتَّى تَعْلَمَ أَنَّ
مَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُخْطِئَكَ وَمَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُنْ لِيُصِيبَكَ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ أَوَّلَ
مَا خَلَقَ اللَّهُ الْقَلَمَ فَقَالَ لَهُ اكْتُبْ قَالَ رَبِّ وَمَاذَا أَكْتُبُ
قَالَ اكْتُبْ مَقَادِيرَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى تَقُومَ السَّاعَةُ يَا بُنَيَّ إِنِّي
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ مَاتَ عَلَى
غَيْرِ هَذَا فَلَيْسَ مِنِّي
Sunan Abu Daud 4078 dari Abu Hafshah ia berkata; Ubadah bin Ash Shamit berkata kepada
anaknya, "Wahai anakku, sesungguhnya engkau tidak akan dapat merasakan
lezatnya iman hingga engkau bisa memahami bahwa apa yang ditakdirkan menjadi
bagianmu tidak akan meleset darimu, dan apa yang tidak ditakdirkan untuk
menjadi bagianmu tidak akan engkau dapatkan. Aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Pertama kali yang Allah ciptakan
adalah pena, lalu Allah berfirman kepadanya: "Tulislah!" pena itu
menjawab, "Wahai Rabb, apa yang harus aku tulis?" Allah menjawab:
"Tulislah semua takdir yang akan terjadi hingga datangnya hari
kiamat." Wahai anakku, aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda: "Barangsiapa meninggal tidak di atas keyakinan seperti
ini maka ia bukan dari golonganku."
Sejalan
dengan itu segala yang menimpa anak manusia itu datangnya dari Allah azza wa
jalla, bukan oleh sebab yang lain. Apabila ada yang beranggapan bahwa kebaikan
maupun keburukan yang menimpa manusia itu dikarenakan adanya hari sial yang
membawa nahas, berarti mereka menganggpan bahwa ada kekuatan lain selain
Allah yang mampun memberikan kebaikan
maupun kebahagaian kepada munusia, m aka orang-orang tersebut b erarti telah
melakukan kesyirikan.
Beliau menjawab
bahwa jika ada orang mempercayai adanya hari nahas (sial) dengan tujuan
mengharuskan untuk berpaling darinya atau menghindarkan suatu pekerjaan pada
hari tersebut dan menganggapnya terdapat kesialan, maka sesungguhnya yang
demikian ini termasuk tradisi kaum Yahudi dan bukan sunnah kaum muslimin yang
selalu tawakkal kepada Allah dan tidak berprasangka buruk terhadap Allah.
Sedangkan
jika ada riwayat yang menyebutkan tentang hari yang harus dihindari karena
mengandung kesialan, maka riwayat tersebut adalah bathil, tidak benar,
mengandung kebohongan dan tidak mempunyai sandaran dalil yang jelas, untuk itu
jauhilah riwayat seperti ini. (Fatawa Al Haditsiyah)
Kita
semua yakin bahwa terjadinya musibah atau gejala alam yang menimpa manusia,
bukan karena adanya hari nahas atau karena adanya binatang tertentu atau karena
adanya kematian seseorang. Yang kita yakini adalah semua yang terjadi di alam
ini adalah dengan takdir dan kehendak Allah.
Hari-hari,
bulan, matahari, bintang dan makhluk lainnya tidak bisa memberikan manfaat atau
madlarat (bahaya), tetapi yang memberi manfaat dan madlarat adalah Allah
semata. Maka meyakini ada hari nahas atau hari sial yang menyebabkan seorang
muslim menjadi pesimis, tentunya itu bukan ajaran Islam yang dibawa oleh
Rasulullah.
Semua
hari adalah baik, dan masing-masing ada keutamaan tersendiri. Hari dimana kita
menjaganya dan mengisinya dengan kebaikan dan ketaatan, itulah hari yang sangat
menggembirakan dan hari raya buat kita. Seperti dikatakan oleh ulama Salaf,
hari rayaku adalah setiap hari dimana aku tidak bermaksiat kepada Allah pada
hari itu, dan tidak tertentu pada suatu hari saja.
Syiriknya Orang-Orang Yang Beranggapan Bahwa Hari Mendatangkan
Kesialan
Sejalan
dengan apa yang telah diraikan diatas
bahwa sesungguhnya segala yang menimpa anak manusia itu datangnya dari
Allah azza wa jalla, bukan oleh sebab yang lain. Apabila ada yang beranggapan
bahwa kebaikan maupun keburukan yang menimpa manusia itu dikarenakan adanya
hari sial yang membawa nahas, berarti mereka menganggpan bahwa ada kekuatan
lain selain Allah yang mampu memberikan
kebaikan maupun kebahagaian kepada munusia, maka orang-orang tersebut berarti
telah melakukan kesyirikan.
Jika ada
orang mempercayai adanya hari nahas (sial) dengan tujuan mengharuskan untuk
berpaling darinya atau menghindarkan suatu pekerjaan pada hari tersebut dan
menganggapnya terdapat kesialan, maka sesungguhnya yang demikian ini termasuk
tradisi kaum Yahudi dan bukan sunnah kaum muslimin yang selalu tawakkal kepada
Allah dan tidak berprasangka buruk terhadap Allah.
Sabda
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassallam :
سنن الترمذي
١٥٣٩: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ عِيسَى بْنِ عَاصِمٍ عَنْ زِرٍّ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ
قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطِّيَرَةُ مِنْ الشِّرْكِ وَمَا مِنَّا
وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ
قَالَ أَبُو
عِيسَى وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَحَابِسٍ التَّمِيمِيِّ وَعَائِشَةَ وَابْنِ
عُمَرَ وَسَعْدٍ وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ
سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ وَرَوَى شُعْبَةُ أَيْضًا عَنْ سَلَمَةَ هَذَا الْحَدِيثَ قَالَ
سَمِعْت مُحَمَّدَ بْنَ إِسْمَعِيلَ يَقُولُ كَانَ سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ يَقُولُ
فِي هَذَا الْحَدِيثِ وَمَا مِنَّا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُذْهِبُهُ بِالتَّوَكُّلِ قَالَ
سُلَيْمَانُ هَذَا عِنْدِي قَوْلُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ وَمَا مِنَّا
Sunan
Tirmidzi 1539: dari Abdullah bin Mas'ud
ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sesungguhnya thiyarah (pesimis) bagian dari syirik dan bukan bagian dari
ajaran kami, justru Allah akan menghilangkan thiyarah (pesimis) itu dengan
bertawakkal kepada-Nya." Abu Isa berkata, "Dalam bab ini juga ada
hadits dari Abu Hurairah, Habis At Tamimi, 'Aisyah, Ibnu Umar dan Sa'd. Hadits
Hadits dari
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ عَدْوَى
، وَلاَ طِيَرَةَ ، وَلاَ هَامَةَ ، وَلاَ صَفَرَ
“Tidak dibenarkan menganggap penyakit menular
dengan sendirinya (tanpa ketentuan Allah), tidak dibenarkan beranggapan sial,
tidak dibenarkan pula beranggapan nasib malang karena tempat, juga tidak dibenarkan
beranggapan sial di bulan Shafar” (HR. Bukhari no. 5757 dan Muslim no.
2220).
Dalam
hadits ini disebutkan tidak bolehnya beranggapan sial secara umum, juga pada
tempat dan waktu tertentu seperti padahari-hari tertentu.
Ketahuilah
bawa sesungguhnya musibah-musibah
tersebut tidak akan terjadi kecuali dengan qadha dan qadar Allah SWT. Bukan
karena sesuatu yang lain dari makhluk-makhluk Allah SWT, melainkan semua itu
sesuai dengan qadha dan qadar-Nya. Di dalam Al-Qur'an surah Al-Hadid ayat 22
disebutkan firman Allah ta’ala :
مَا أَصَابَ مِن
مُّصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِّن قَبْلِ
أَن نَّبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula)
pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh)
sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi
Allah.( Qs.Al Hadiit : 22 )
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam telah mengingatkan kita bahawa orang yang mempercayai keburukan itu
datangnya daripada sesuatu, bukan dari Allah maka ia telah berbuat syirik.
Sesuai dengan sabda Rasullullah shallallahu’alahi wa sallam :
"Menyandarkan keburukan kepada sesuatu adalah syirik, dan tidak
termasuk dalam golongan kami melainkan (orang-orang yang beriman) sahaja, dan
Allah akan menghilangkan syirik itu dengan tawakkal”.
(Hadis riwayat Ibnu Majah)
Selain itu, Rasululah Shallallahu
‘alaihi wasllam juga menyuruh umatnya agar sentiasa menyangka baik (al-fa’lu)
terhadap sesuatu kejadian itu kerana sangka baik terhadap sesuatu itu suatu
cita-cita dan harapan untuk mendapat kebaikan daripada Allah Subhanahu wa
Ta‘ala. Sebaliknya sangka buruk terhadap sesuatu (tasya’um) ialah sangka buruk
terhadap Allah Subhanahu wa Ta‘ala. Hal ini telah dijelaskan oleh Rasullullah
shallallahu’alahi wa sallam dalam
sabdanya :
صحيح البخاري ٥٣٣١: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ
بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ
قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ قَالُوا وَمَا
الْفَأْلُ قَالَ كَلِمَةٌ طَيِّبَةٌ
Shahih Bukhari 5331: dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Tidak ada 'adwa
(keyakinan adanya penularan penyakit) dan tidak pula thiyarah (menganggap sial
pada sesuatu sehingga tidak jadi beramal) dan yang menakjubkanku adalah al
fa'lu." Mereka bertanya; "Apakah al fa'lu itu?" beliau menjawab:
"Kalimat yang baik."
Dari apa-apa
yang diungkapkan diatas bahwa menganggap atau meyakini adanya hari-hari
tertentu yang nahas atau mendatangkan kesialan telah berbuat syirik, karena
sama saja beranggapan bahwa hari mempunyai kekuatan untuk mendatangkan kesialan
dalam berbagai bentuknya ( musibah dan lain-lainnya). Padahal hari bagian dari
waktu adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga
dengan meyakini hari dapat mendatangkan kesialan berarti sama saja dengan
menganggap hari tersebut sama kedudukannya dengan Allah yang menciptakan hari
tersebut, hal ini tiada lain merupakan sebuah kesyirikan.
P e n u t u p
Allah
subhanahu wa ta’ala berfirman
هُوَ الَّذِي
جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ
السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ
لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya
dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak Dia menjelaskan tanda-tanda
(kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.(QS.Yunus : 5 _)
Dari ayat
tersebut diatas Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan bahwa peredaran bulan
tiada lain semata untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu yang
termasuk di dalamnya hari. Karenanya hari itu tidak mempunyai samasekali
kekuatan atau kemampuan yang dapat men datangkan kesialan bagi manusia.
Apa saja
yang terjadi pada diri manusia baik berupa kebaikan atau keburukan (kesialan)
semuanya datang dari Allah azza wa jalla, bukan datang dari siapa-siapa, bukan
datang dari hari. Sehingga barang siapa diantara manusia yang beranggapan bahwa
hari tertentu sebagai hari sial maka ia
telah menyamakan kedudukan hari tersebut
dengan Alllah, dan ini termasuk perbuatan syirik.
Sepatutnyalah
kita sebagai umat yang mentauhidkan Allah menjauhkan diri dari perbuatan dan
perilaku syirik seperti menganggap atau meyakini ada hari-hari yang sial. (
Wallaahu’alam )
Sumber :
1.Al-Qur’an
dan Terjemahan, www.salafi-db.com
2.Ensiklopedi
Hadits Kitab 9 imam, www.lidwapusaka.com
3.Majalah
Asy-Syari’ah, Vol.III/No.29/1428H/2007
4.milis
yahoogroups
Selesai disusun, 1 Dzulqai’dah 1433
H/17September 2012
( Musni Japrie )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar