Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya bilangan
bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan)
agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang
empat itu”(QS. At-Taubah : 36)
Imam Ath-Thabari
berkata, “Bulan itu ada dua belas, 4 diantaranya merupakan bulan haram (mulia),
dimana orang-orang jahiliyah dahulu mengagungkan dan memuliakannya. Mereka
mengharamkan peperangan pada bulan tersebut. Sampai seandainya ada seseorang
bertemu dengan orang yang membunuh ayahnya maka dia tidak akan menyerangnya.
Bulan yang empat itu adalah Rajab Mudhor, dan tiga bulan berurutan, yaitu
Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Dengan ini nyatalah khabar-khabar yang
disabdakan oleh Rasulullah ”. Kemudian At-Thabari meriwayatkan beberapa hadits,
diantaranya hadits dari sahabat Abu Bakrah , yang diriwayatkan Imam Bukhari
(no. 4662),
Rasulullah bersabda,
“Wahai manusia,
sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaan ketika Allah menciptakan
langit dan bumi, dan sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ada dua belas
bulan, diantaranya terdapat empat bulan haram, pertamanya adalah Rajab Mudhor,
terletak antara Jumadal (akhir) dan Sya’ban, kemudian Dzulqo’dah, Dzulhijjah
dan Muharram” (Jami’ul Bayan
10/124-125 )
Qotadah berkata,
“Amalan shalih pada bulan haram pahalanya sangat agung dan perbuatan dhzalim di
dalamnya merupakan kedhzaliman yang besar pula dibanding pada bulan selainnya,
walaupun yang namanya kedhzaliman itu kapanpun merupakan dosa yang besar”
(Ma’alimut Tanzil 4/44-45)
Pada bulan Muharram ini
terdapat hari yang pada hari itu terjadi peristiwa yang besar dan pertolongan
yang nyata, menangnya kebenaran mengalahkan kebathilan, dimana Allah Ta’ala telah
menyelamatkan Nabi Musa ‘alaihis sallam dan kaumnya serta menenggelamkan
Fir’aun dan kaumnya. Hari tersebut mempunyai keutamaan yang agung dan kemuliaan
yang abadi sejak dulu. Dia adalah hari kesepuluh yang dinamakan Asyura.
(Durusun ‘Aamun, Abdul Malik Al-Qasim, hal.10)
2 Disyariatkan Puasa Asyura.
Berdasarkan
hadits-hadist berikut ini. “Dahulu Rasulullah
memerintahkan untuk berpuasa Asyura, tatkala puasa Ramadhan diwajibkan,
maka bagi siapa yang ingin berpuasa puasalah, dan siapa yang tidak ingin, tidak
usah berpuasa” (HR. Bukhari no. 2001)
Tatkala Nabi hijrah ke Madinah beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada
hari itu, lalu beliau bertanya kepada mereka, “Kenapa kalian berpuasa?” Mereka
menjawab, “Sesungguhnya pada hari ini Allah Ta’ala telah menyelamatkan Musa dan
kaumnya dan membinasakan Fir’aun beserta kaumnya. Dan Musa berpuasa pada
harinya, maka kamipun berpuasa.” Kemudian beliau berkata, “Kami lebih berhak atas Musa
daripada kalian.” (HR Bukhari no. 2004, Muslim no. 1130).
Maka Nabi berpuasa pada hari itu dan memerintahkan
untuk melakukan puasanya.
3.
Keutamaan Puasa Asyura.
Ibnu Abbas d ditanya tentang puasa Asyura,
jawabnya, “Saya tidak mengetahui bahwa Rasulullah puasa pada hari yang paling
dicari keutamaannya selain hari ini (Asyura) dan bulan Ramadhan” (HR. Bukhari
no. 1902, Muslim no. 1132)
Puasa Asyura menghapus
dosa setahun yang lalu, berdasarkan hadits berikut, “Rasulullah ditanya tentang puasa Asyura, jawab beliau ,
“Puasa Asyura menghapus dosa setahun yang lalu”(HR. Muslim no. 1162, Tirmidzi
no. 752)
4.
Asyura Adalah Hari Ke-10.
dari Ibnu Abbas ,
tatkala Rasulullah berpuasa Asyura dan
memerintahkan untuk berpuasa, para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, ini
adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara”, Maka beliau bersabda, “Tahun depan insya Allah kita akan
berpuasa hari ke-9”. Ibnu Abbas berkata,
“Tahun berikutnya belum datang Rasulullah
keburu meninggal” (HR. Muslim no. 1134)
Imam Nawawi berkata,
“Jumhur ulama salaf dan khalaf berpendapat bahwa hari Asyura adalah hari ke-10.
Yang berpendapat demikian diantaranya adalah Sa’id bin Musayyib, Al-Hasan
Al-Bashri, Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, Ishaq bin Rahawaih dan banyak
lagi. Pendapat ini sesuai dengan (dzahir) teks hadits dan tuntutan lafadznya”.
(Syarah Shahih Muslim 9/205)
Hanya saja
Rasulullah berniat untuk berpuasa hari
ke-9 sebagai penyelisihan terhadap ahlul kitab, setelah dikhabarkan kepada
beliau bahwa hari tersebut diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nashara. Oleh
karena itu Imam Nawawi berkata, “ Imam Syafi’i dan para sahabatnya, Ahmad,
Ishaq dan selainnya berpendapat ; Disunnahkan untuk berpuasa hari ke-9 dan
ke-10 karena Nabi berpuasa hari ke-10
serta berniat untuk puasa hari ke-9. Sebagian Ulama berkata, “Barangkali sebab
puasa hari ke-9 bersama hari ke-10 adalah agar tidak menyerupai orang-orang
Yahudi jika hanya berpuasa hari kesepuluh saja. Dan dalam hadits tersebut
memang terdapat indikasi ka arah itu” (Syarah Shahih Muslim 9/205)
Selain ada yang
berpendapat seperti diatas, sebagian ulama berpendapat hendaknya berpuasa satu
hari sebelum dan sesudahnya berdasarkan hadits. Rasulullah bersabda, “Berpuasalah hari Asyura dan
berbedalah dengan orang Yahudi, (dengan) berpuasalah 1 hari sebelumnya dan
sesudahnya” (HR. Ahmad no. 2155).
Berdasarkan
keterangan-keterangan di atas, sudah sepatutnya bagi seorang muslim yang baik
untuk mengisi bulan Muharram ini dengan amal shalih, dan menjalankan ibadah
puasa Asyura.
KEYAKINAN YANG SALAH
TERHADAP BULAN MUHARRAM
1.Anggapan
Sial.
Dalam pandangan masyarakat Jawa, Muharram
(Suro) merupakan bulan keramat. Sehingga sebagian dari mereka tidak berani
untuk menyelenggarkan suatu acara terutama hajatan dan pernikahan. Bila tidak
di-indah-kan akan menimbulkan petaka dan kesengsaraan bagi mempelai berdua
dalam mengarungi bahtera kehidupan. Hal ini diakui oleh seorang tokoh keraton
Solo. Bahkan katanya, “Pernah ada yang menyelenggarakan pernikahan di bulan
Suro (Muharram), dan ternyata tertimpa musibah!”. Maka kita lihat, bulan ini
sepi dari acara pernikahan dan hajatan.
2.Nuansa
Kesyirikan Yang Aneh.
Selain itu, untuk
memperoleh keselamatan, diadakan berbagai kegiatan “aneh”. Sebagian masyarakat
mengadakan tirakatan pada malam 1 Suro , entah di tiap desa, atau tempat lain
seperti puncak gunung, dst. Sebagiannya lagi mengadakan sadranan, berupa
pembuatan nasi tumpeng yang dihiasi aneka lauk dan kembang lalu di larung
(dihanyutkan) di laut selatan disertai kepala kerbau dengan keyakinan supaya sang
ratu pantai selatan berkenan memberikan berkahnya dan tidak mengganggu.
Peristiwa seperti ini dapat disaksikan di pesisir pantai selatan seperti
Tulungagung, Cilacap dan lainnya.
Di Solo, acara kondang
yang menyertai Muharram (Suro) dan sudah menjadi tradisi adalahkirab kerbau
bule yang terkenal dengan nama Kyai Slamet di keraton Kasunanan Solo. Peristiwa
ini sangat dinantikan oleh warga Solo dan sekitarnya, bahkan yang jauhpun rela
bersusah-payah mendatanginya dengan jalan kaki, dst. Apa tujuannya ? Tiada
lain, untuk ngalap berkah dari sang kerbau, supaya rejekinya lancar, dagangan
laris, dan sebagainya. Naudzubillahi min dzalik. Padahal, dalam pandangan
banyak orang, kerbau merupakan simbol kebodohan, sehingga muncul peribahasa
Jawa untuk menggambarkannya, “bodo ela-elo koyo kebo”. Acara lainnya adalah
jamasan pusaka dan kirab (diarak) keliling keraton.
Pembaca yang budiman,
itulah sekelumit gambaran kepercayaan masyarakat khususnya Jawa terhadap bulan
Muharram (Suro). Tahayul semacam ini, diwarisi dari zaman sebelumnya mulai
animisme, dinamisme, hindu dan budha. Ketika Islam datang keyakinan-keyakinan
tersebut masih kental menyertai perkembangannya. Bahkan terjadi sinkretisasi
(pencampuran). Ini bisa dicermati pada sejarah kerajaan-kerajaan Islam di awal
pertumbuhan dan perkembangan selanjutya, hingga dewasa ini ternyata masih
menyisakan pengaruh tersebut. Lalu, apakah budaya seperti ini patut kita
lestarikan ?
KOREKSI TERHADAP
KEPERCAYAAN MASYARAKAT SEPUTAR MUHARRAM (SURO)
1.Keyakinan bahwa bulan
Muharram adalah bulan sial. Seperti yang dianut orang Jawa sebagaimana kami
paparkan di atas, dalam pembahasan ilmu agama Islam biasa disebut dengan
Tathayyur ( تَطَيُّرْ ) atau Thiyarah ( طِيَرَةٌ ) yakni suatu anggapan bahwa
suatu keberuntungan atau kesialan itu didasarkan pada kejadian tertentu, waktu,
atau tempat tertentu.
Orang-orang jahiliyyah
dahulu meyakini bahwa Tathayyur ini dapat mendatangkan manfaat atau
menghilangkan mudharat. Setelah Islam datang, keyakinan ini dikategorikan kedalam
perbuatan syirik yang harus dijauhi. Dan Islam datang untuk memurnikan kembali
keyakinan bahwa segala sesuatu itu terjadi atas kehendak Allah Ta’ala dan
membebaskan hati ini dari ketergantungan kepada selain-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan
tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al A’raf: 131)
Maka, seseorang yang
meyakini bahwa barangsiapa yang mengadakan acara pernikahan atau hajatan yang
lain pada bulan Muharram itu akan ditimpa kesialan dan musibah, maka orang
tersebut telah terjatuh ke dalam kesyirikan kepada Allah Ta’ala.
Rasulullah mengkabarkan hal tersebut
dalam sabdanya ,
الطِّـيَرَةُ شِـرْكٌ
Artinya: “Thiyarah itu
adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan At Tirmidzi)
Parapembaca, ketahuilah
bahwa perbuatan ini digolongkan ke dalam perbuatan syirik karena beberapa hal,
yaitu:
a) Seseorang yang
ber-thiyarah berarti dia meninggalkan tawakkalnya kepada Allah Ta’ala. Padahal
tawakkal merupakan salah satu jenis ibadah yang Allah Ta’ala perintahkan kepada
hamba-Nya. Segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, semuanya di bawah
pengaturan dan kehendak-Nya. Keselamatan, kesenangan, musibah, dan bencana,
semuanya datang dari Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,
“Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Rabbku dan Rabbmu, tidak ada suatu
makhluk pun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya (menguasai
sepenuhnya).” (QS. Hud: 56)
b).Seseorang yang
bertathayyur berarti dia telah menggantungkan sesuatu kepada perkara yang tidak
ada hakekatnya (tidak layak untuk dijadikan tempat bergantung). Ketika
seseorang menggantungkan keselamatan atau kesialannya kepada bulan Muharram
atau bulan-bulan yang lain, ketahuilah bahwa pada hakekatnya bulan Muharram itu
tidak bisa mendatangkan manfaat atau menolak mudharat. Hanya Allah-lah
satu-satunya tempat bergantung. Allah Ta’ala berfirman, “Allah adalah
satu-satunya tempat bergantung.” (QS. Al Ikhlash: 2)
Orang yang
ber-tathayyur tidaklah terlepas dari dua keadaan,
Pertama: meninggalkan
semua perkara yang telah dia niatkan untuk dilakukan.
Kedua: melakukan apa
yang dia niatkan namun di atas perasaan was-was dan khawatir.
Tidak diragukan lagi
bahwa dua keadaan ini sama-sama mengurangi nilai tauhid yang ada pada dirinya.
2.Kemudian, keyakinan
yang terkait dengan Kerbau Kiai Slamet, Jamasan, pusaka-pusaka tertentu dan
sebaginya, ini merupakan keyakinan yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama
Islam. Hal ini karena pelaku ngalap berkah yang seperti itu, mempunyai
keyakinan bahwa ada dzat lain yang mampu mendatangkan keselamatan/berkah serta
menolak bahaya selain Allah Ta’ala. Dalam Al-Qur’an Allah Ta’ala menerangkan,
“Dan
sungguh jika kamu bertanya kepada mereka:”Siapakah yang menciptakan langit dan
bumi”, niscaya mereka menjawab: “Allah”.Katakanlah:”Maka terangkanlah kepadaku
tentang apa yang kamu seru selain Allah, jika Allah hendak mendatangkan
kemudharatan kepadaku, apakah berhala-berhalamu itu dapat menghilangkan
kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat kepadaku, apakah mereka
dapat menahan rahmat-Nya. Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. Kepada-Nyalah
bertawakkal orang-orang yang berserah diri’.’ (QS. Az-Zumar: 38)
Pembaca, ibadah apa pun
bentuknya adalah haram diperuntukkan kepada selain Allah Ta’ala. Dan tawakkal,
istighatsah (minta keselamatan), isti’anah (minta pertolongan), takut dan
mengharap adalah ibadah, dan yang lain sebagainya dari macam-macam ibadah
semuanya hanya untuk Allah Ta’ala. Inilah prinsip tauhid, yaitu memurnikan
ibadah hanya kepada Allah Ta’ala semata, yang menjadi landasan paling mendasar
di dalam Islam. Barangsiapa yang melanggarnya maka ia jatuh ke dalam
kesyirikan. Kecil atau besar-nya kesyirikan tersebut tergantung jenis
pelanggarannya.
Dan sudah merupakan
prinsip agama ini bahwa Allah Ta’ala adalah satu-satunya Dzat yang berhak
di-ibadahi. Setiap peribadahan kepada selain Allah Ta’ala adalah ibadah yang
batil dan pelakunya terancam kekal di neraka jahannam apabila tidak bertaubat
dari perbuatannya. Allah Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ
الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ
الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“(Kuasa
Allah) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Rabb) yang
Haq dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil,
dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. Al Hajj:
62)
Barangsiapa yang
menyelewengkan ibadah tersebut untuk selain Allah, maka ia adalah musyrik dan
kafir. Firman Allah Ta’ala, “Dan barangsiapa menyembah sesembahan yang lain di
samping (menyembah) Allah, padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu,
maka benar-benar balasannya ada pada Tuhannya. Sungguh tiada beruntung orang-orang
kafir itu.” (QS. Al-Mu’minun: 117).
Dan Allah Ta’ala
menjelaskan bahwa pelaku kesyirikan kekal di neraka jahannam pada
ayat-Nya,“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka
pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah
ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun”. (QS. Al Maidah: 72)
Maka, apakah patut kita
samakan kekuasaan Allah Ta’ala Yang Maha Esa dengan makhluk yang lemah? Apalagi
dengan hewan, keris, akik, dan batu, yang merupakan benda mati?
Kesimpulannya, bahwa
bulan Muharram atau dikenal dengan Suro merupakan bulan yang mulia. Maka tidak
sepantasnya apabila kaum muslimin mempunyai anggapan miring terhadapnya, dengan
menjadikan sebagai bulan keramat. Sehingga menyeret mereka jatuh ke lembah
kesyirikan, dengan melakukan acara-acara yang merupakan cerminan dari keyakinan
mereka yang keliru. Akibatnya dosa yang disandang semakin banyak karena
dilakukan pada bulan yang mulia.
Sumber: Redaksi Buletin
Istiqoma, online via kaahil.wordpress.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar