( Gb. Ilustrasi kuburan seorang ulama yang dikramatkan )
2.Bersikap
Ghuluw Kepada Ulama dan Orang-Orang Shalih Salah Bagian Dari Pintu Syirik
Mencintai dan
memuliakan sesama muslim merupakan perintah syari’at yang mulia ini. Terlebih
kepada orang-orang shalih dan ulama. Allah menyepadankan persaksian mereka
dengan persaksian Diri-Nya, dan mereka adalah teman yang terbaik. Tetapi
perlakuan ini harus dalam koridor yang benar dan proporsional, tidak ghuluw
atau berlebih-lebihan. Sebab mereka adalah manusia biasa, tidak memiliki
kemaksuman seperti para nabi dan tidak pula memiliki sifat ketuhanan. Sehingga
berlebihan dengan memuji, mengagungkan
dan mengangkat derajat/kedudukan para ulama dan orang-orang shalih kepada
kedudukan yang tidak semestinya tiada lain adalah pintu masuk kepada perbuatan
syirik.
Hal
ini perlu ditegaskan lantaran gejala atau praktek ghuluw ini masih terus
menggelayuti sebagian masyarakat. Ada yang mempunyai persepsi bahwa ulama itu
tidak mungkin keliru.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab
At-Tamimi dalam kitab beliau “Prilaku & Akhlak Jahilliyah “ memuat masalah
ke 13 dibawah judul mereka bersikap ghuluw kepada ulama dan orang shalih
mengatakan bahwa orang-orang jahilliyah
mereka telah berbuat ghuluw terhadap pribadi-pribadi tertentu ,yakni dengan
mengangkat mereka dari kedudukannya. Sampai-sampai pada tingkatan menjadikan
mereka sebagai sembahan bersama Allah . Sebagaimana orang Yahudi berbuat ghuluw
kepada Uzair, mereka berkata “ Dia adalah anak Allah “. Demikian juga perbuatan
ghuluw orang-orang orang Nasrani. Mereka menjunjung tinggi dan menyanjung Isa
bin Maryam’alaihisallam dari kedudukannya sebagai seoramng manusia biasa dan
pengemban risalah kepada derajat keuluhiyahan (sesembahan) dan mereka
berkata “ Dia adalah anak Allah “
Demikian pula dengan kaum Nabi
Nuh’alaihissallam sepeninggal beliau
mereka bersikap ghuluw kepada orang shalih, dengan membuat gambar dan
patung mereka. Kemudian mereka mengibadahinya sebagai sesembahan selain Allah,
lalu mereka mengangkat orang-orang shalih sampai kepada tingkat
uluhiyyah.Sebagaimana yang disebutkan dalam firman
Allah subhanahu wa ta’ala :
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا
تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا
Dan mereka berkata:
"Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan
jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula
suwwa', yaghuts, ya'uq dan nasr[1521]".(QS.Nuh : 23 )
K e t e r a n g a n :
[1521] Wadd, Suwwa', Yaghuts, Ya'uq
dan Nasr adalah nama-nama berhala yang terbesar pada qabilah-qabilah kaum Nuh.
Berdasar ayat diatas mereka telah
menjadikan orang-orang shalih tersebut sebagai sesembahan. Dan demikian juga
selain mereka dari kelompok kelompok kaum musyrikin sampai hari ini. Mereka
telah bersikap ghuluw kepada orang-orang shalih dengan melakukan tawaf di
kiburan mereka, menyembelihj dan bernazar untuk mereka, dan memohon pertolongan
ketika dalam keadaan sulit kepada orang yang telah mati. Mereka
bersungguh-sungguh dalam memohon kepada oarnmg-orang shalih tersebut agar
memenuhi kebutuhan dan keperluan mereka. Perbuatan ghuluw seperti ini akan
menyeret para pelakunya kepada kesyirikan.Maka tidak diperbolehkan bersikap ghuluw
terhadap seluruh makhluk dan mengangkat mereka diatas kedudukan yang btelah
Allah berikan.Karena hal ini akan menyeret kepada perbuatan menyekutukasn Allah
subhanahu wa ta’ala.Demikian pula ghuluw kepada para ulama dan ahli ibadah.
Syari’at telah melarang umat islam
untuk berbuat ghuluw kepada Rasullullah shallalahu ‘alaihi wasallam yang jelas
dan nyata sebagai nabinya tercinta umat islam, apalagi terhadap para ulama
larangan itu tentunya semakin keras.
Bersikaplah yang wajar dan hormati
dan hargailah ulama sesuai dengan kedudukannya, tidak lebih dari itu, janganlah
memuji dan menyanjung ulama melebihi kapasitasnya sebagai ulama.
Perhatikanlah
bagaimana perilaku orang-orang yang
fanatik kepada madzhab. Sedangkan lainnya meyakini bahwa seorang ulama itu
mampu menjamin pengikutnya masuk surga. Lihat kitab Manaqib Syaikh Abdul Qodir
Jailani. Bahkan dikisahkan beliau mengancam malaikat Munkar dan Nakir agar
tidak menyiksa pengikutnya. Subhanallah! Begitu dalamnya mereka tercebur ke
dalam jurang kesyirikan!
Itulah sekelumit fenomena ghuluw yang terus berkembang dan
diyakini sebagian masyarakat. Sikap inilah yang menjerumuskan ke dalam
kesyirikan lantaran melabeli mereka dengan sifat-sifat ketuhanan yang hanya
pantas bagi Allah.
Fenomena ghuluw terhadap para
wali, syaikh, ulama, tuan guru, habib dan orang-orang shalih di tengah-tengah
masyarakat Muslim yang menjadi pintu masuk kepada perbuatan syirik sangat
nampak di negeri ini antara lain :
a.Sangat Mengagungkan dan
Memuji Para Ulama dan Orang Shalih Yang Tidak Sesuai Dengan Kedudukan M
Mereka
Mengagungkan dan memuji-muji para ulama dan orang-orang shalih yang
melampaui batas yang tidak sesuai dengan derajat dan kedudukannya merupakan
pintu masuk syirik. Dimana sebagaimana kita ketahui bahwa banyak sekali dijumpai sebagian umat Islam yang sangat
mengagungkan terhadap baik wali, syaikh, habib, ulama, tuan guru dan orang
shalih. Mereka beranggapan bahwa orang yang diagungkan dan dipuji tersebut
mempunyai kelebihan dalam hal ilmu agama yang tidak dimiliki orang lain.Mereka
yang diagungkan tersebut dapat mengetahui hal-hal yang ghaib,
Dapat menyembuhkan
berbagai macam penyakit,mempunyai karomah sehingga orang datang
berbondong-bondong untuk sekedar bertemu
serta yang datang untuk menyampaikan bermacam hajat .
Selain itu banyak pula
diantara umat Islam yang sangat mengagung-agungkan dan memuji-muji serta
menyanjung secara berlebihan para
wali,syaikh, ulama, kiai,tuan guru dan orang-orang shalih yang mereka idolakan
dengan perkataan serta ucapan yang sangat berlebihan.Sebagai contoh mereka pada
malam-malam tertentu atau pada acara tertentu berkumpul membaca manaqib Syaikh
Abdul Qadir Jailani yang berisi puji-pujian terhadap syaikh secara berlebihan.
Begitu juga banyak sekali orang-orang yang memuji tuan guru, ulama, syaikh,
kiai dengan menceritakan hal ikhwal tentang mereka-mereka tersebut secara
berlebihan dan kadang-kadang tidak masuk diakal, seperti cerita tentang adanya
ulama yang setiap hari Jum’at shalatnya di Masjidil Haram.
b.Menta’ati, mengikuti dan mengekor kepada
ulama,tuan guru, syaikh, kiai dan orang shalih yang jadi panutan (taqlid)
bagian dari pintu syirik
Termasuk ke dalam
pintu masuk kepada syirik adalah
orang-orang yang berbuat ghuluw kepada mereka yang jadi panutannya (
bertaqlid), ta’at, mengikuti dan mengekor dengan mengikuti segala apa saja yang
dikatakan atau diucapkan oleh para
ulama,tuan guru, syaikh, habib dan kiai yang mana ucapan dan perkataan mereka tersebut tidak berlandaskan atau bertentangan dengan al-Qur’an dan
as-Sunnah. Mereka yang berbuat ghuluw lebih memilih untuk menuhankan ulama yaitu dengan mengikuti pendapat mereka sekalipun bertentangan
dengan ayat al-Qur’an atau al-Hadits.Fenomena semacam ini banyak sekali terjadi
dikalangan yang mengaku dirinya sebagai muslim. Mereka bersikukuh kepada
pendapat guru-guru mereka sekalipun bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan
al-Hadits . Bahkan ada dikalangan mereka yang enggan mengaji kepada guru-guru
lain. Ada tanda-tanda bahwa hanya guru mereka yang benar dan guru lain sesat.
Marilah kita berfsikap sederhana dan yang kita tonjolkan hanyalah dalil.
Siapapun yang tak punya dalil harus ditinggalkan dan yang punya dalil harus
diikuti. Ingatlah firman Allah dalam al-Qur’an surah at-Taubah ayat 31 :
اتَّخَذُواْ أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ
أَرْبَابًا مِّن دُونِ اللّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُواْ إِلاَّ
لِيَعْبُدُواْ إِلَـهًا وَاحِدًا لاَّ إِلَـهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Mereka menjadikan
orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah [639] dan
(juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka hanya
disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain
Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.(Qs.At Taubah:31)
K e t e r a n g a n :
[639] Maksudnya: mereka mematuhi
ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta,
biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau
mengharamkan yang halal.
Maksudnya: mereka mematuhi
ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi buta,
biarpun orang-orang alim dan rahib-rahib itu menyuruh membuat maksiat atau
mengharamkan yang halal.
Mereka menghormati para pemimpin
atau ulama melebihi kedudukan Allah Subhanahu Wata’ala tanpa mereka sadari,
dimana perintah Allah di tinggalkan untuk taat kepada pimpin atau ulama . Bila
dikatakan kepada mereka ikutilah ayat-payat Allah atau hadits-hadits
Rasul,mereka menjawab: kita tidak mampu mengerti maksud ayat-ayat Qur’an atau
dalil hadits, kita harus ikut ulama atau tokoh –tokoh kita.
c.Menjadikan kubur-kubur para wali,
syaikh,kiai,tuan guru,ulama dan habib sebagai kubur yang berkeramat untuk
ngalap berkah adalah pintu syirik
. Orang-orang
yang berbuat ghuluw menjadikan kubur-kubur yang dianggap wali, syaikh, tuan
guru, kiai,ulama, habib, dan orang shalih sebagai tempat yang berqaromah (
berkeramat ).Sehingga mereka yang jahil
berduyun-duyun mendatangi kubur orang-orang yang dianggap berqaromah mencari
berkah dan berdoa menyampaikan berbagai hajat keperluan. Padalah menurut
syari’at bahwa mencari baroqah itu terbatas hanya kepada Rasullullah shallallahu’alaihi
wa sallam ketika beliau masih hidup, begitu juga mencari baroqah kepada
orang-orang shalih yang masih hidup dengan mengambil ilmu yang bermanfaat dari
mereka dan doa mereka . Sedangkan bertabaruk ( mencari baroqah) pada
kubur-kubur yang dianggap berqaromah dilarang oleh syari’at.Perbuatan mereka-
mereka tersebut merupakan pintu syirik
d.Bepergian (
melakukan safar ) untuk ziarah kubur
yang dianggap berkeramat termasuk pintu syirik
Banyak diantara umat Muslim di seluruh Nusantara ini yang berkeyakinan
bahwa makam/kuburan para wali Allah, ulama, kiai, tuan guru dan orang-orang
shalih mempunyai karomah sehingga patut untuk diziarahi, meskipun untuk itu
harus melakukan perjalanan yang jauh yang memerlukan waktu,tenaga dan biaya.
Perhatikanlah betapa banyak hampir setiap hari kuburan wali songo didatangi
ribuan penjiarah dari berbagai daerah. Para peziarah itu mempunyai
maksud-maksud untuk berdo’a di sisi kubur wali karenalebih berkah, terkabul,
menjadikan mereka wasilah (perantara) kepada Allah, bahkan sampai meminta
kepada para wali itu. Bentuk ghuluw yang sangat nyata. Akibatnya mereka akan
terjatuh ke dalam kesyirikan atau minimal terjerembab ke dalam bid’ah.Mereka
yang datang secara berombongan dengan dipimpin seseorang ustadz membaca
beramai-ramai bacaan untuk berziarah yaitu yang diberi nama “ Salamullah Ya Sadah “
Perbuatan tersebut diatas dikatagorikan sebagai perbuatan membuka pintu
kesyirikan.
e. Membangun masjid di
kuburan membuka pintu syirik
Membangun masjid di
kuburan termasuk tindakan ghuluw dan ini merupakan pintu syirik pula
.Diriwayatkan bahwa ketika Ummu Habibah
dan Ummu Salamah menceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang gereja yang mereka lihat di Habasyah (Ethiopia), dan banyak gambar
(patung) di dalamnya, baliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن أولئك إذا كان
فيهم الرجل الصالح فمات بنوا على قبره مسجدا، وصوروا فيه تلك الصور، فأولئك
شرار الخلق عند الله يوم القيامة
Mereka itu (orang Nasrani)
jika ada seorang shalih yang meninggal, mereka membangun masjid di atas
kuburnya, dan membuat gambar (patung)nya, mereka itu makhluk paling jelek di
sisi Allah pada hari kiamat. (HR. Bukhari 427,
Muslim 528).
Allah melaknat
orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka menjadikan kubur para nabi mereka
sebagai masjid, (Aisyah berkata): “Kalau bukan karena hal itu, niscaya kubur
beliau akan dinampakkan, hanya saja beliau takut atau ditakutkan kuburannya
akan dijadikan masjid. (HR. Bukhari 435)
Dalam redaksi lain beliau mengatakan:Camkan, sesungguhnya aku melarang perbuatan itu. (HR. Muslim 532).
Beberapa hadits di
atas menunjukkan bahwa membangun masjid di kubur atau mengubur mayit dalam
masjid adalah dilarang karena termasuk tindakan kelewat batas. Selain itu, bisa
menyeret kepada kesyirikan. Sebab orang yang shalat di dalam masjid tersebut
akan menghadap kepada kubur, adanya ta’aluq (keterkaitan) hati dengan mereka
dan akhirnya beribadah kepada penghuni kubur dengan minta berkah, syafaat dan lain
sebagainya. Imam Qurthubi mengatakan: “Semua (larangan) itu bertujuan memutus
jalan menuju peribadatan kepada penghuni kubur, sebab larangan ini sama halnya
dengan sebab dilarangnya membuat patung orang-orang shalih karena akhirnya
patung itu juga diibadahi.” (Lihat Fathul Majid, hal. 277)
Imam Syafi’i berkata:
“Saya benci bila ada makhluk yang diagungkan hingga kuburnya dijadikan sebagai
masjid. Sebab ditakutkan akan terjadi fitnah yang menimpa pelakunya juga
orang-orang sesudahnya.” (al-Majmu’ Syarh Muhadzdzab, 1/456)
Maksud menjadikan
masjid di sini tidak sebatas membangun masjid tetapi mencakup mendirikan shalat
di kubur walaupun tidak ada masjidnya, sebab Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
سنن أبي داوود ١٧٤٦: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ
قَرَأْتُ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نَافِعٍ أَخْبَرَنِي ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ
سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا
عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
Sunan Abu Daud 1746: dari
Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Janganlah kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan (tidak pernah
dilaksanakan di dalamnya shalat dan juga tidak pernah dikumandangkan ayat-ayat
Al Quran, sehingga seperti kuburan), dan jangan kalian jadikan kuburanku
sebagai 'id (hari raya, yakni tempat yang selalu dikunjungi dan didatangi pada
setiap waktu dan saat), bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya shalawat kalian
akan sampai kepadaku di manapun kalian berada."
Sabdanya pula:
Kalian jangan shalat
menghadap kubur dan mendudukinya.
(HR. Muslim 1614)
Imam al-Albani menyimpulkan: “Makna menjadikan kubur
sebagai masjid ada tiga:
1. Shalat di atas kubur, yaitu sujud di atasnya.
2. Sujud dengan menghadap kubur, baik dengan melakukan
shalat atau berdo’a.
3. Membangun masjid di
atas kubur dan shalat di dalamnya.” (Tahdzirus Sajid Liman Itakhadza
al-Kubura Masajida, hal. 33)
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah mengatakan: “Peringatan dari beliau dan laknat terhadap penyerupaan
kepada ahli kitab di dalam membangun masjid di atas kubur orang shalih
merupakan larangan yang sangat gamblang dari penyerupaan dalam masalah ini dan
merupakan dalil agar waspada dari perbuatan mereka. Karena tidak ada jaminan
bahwa seluruh perbuatan orang muslim tidak akan sama dengan mereka. Dan sudah
diketahui bahwa umat ini telah tertimpa musibah ini berupa pembangunan masjid
di atas kubur dan menjadikan masjid tempat shalat meski tidak dibangun masjid.”
(Iqtidho Sirothol Mustaqim, 1/335).
Imam al-Albani mengatakan: “Sesungguhnya setiap orang yang
mencermati semua hadits yang mulia tadi akan jelas baginya, tiada keraguan lagi
bahwa menjadikan kuburan sebagai masjid adalah haram, bahkan termasuk dosa
besar yang paling besar, sebab adanya laknat dan disifatinya orang yang
melakukan perbuatan tersebut sebagai makhluk yang terjelek di sisi Allah,
tidaklah mungkin kecuali bagi orang yang melakukan dosa besar. Hal ini tidak
samar lagi.” (Tahdzirus Sajid, hal. 33)
g. Menjadikan akhli
kubur ( mayit ) perantara kepada Allah ( bertawasul) termasuk pintu masuk syirik
Sudah menjadi kebiasaan bagi
sebagian orang-orang Muslim dalam memanjatkan doa mereka bertwasul dengan
menyebutkan para wali, ulama dan orang-orang shalih yang sudah meninggal
sebagai perantara kepada Allah subhanahu wa ta’ala.Padahal bertawasul kepada
orang-orang yang sudah meninggal tidak dibenarkan dan terlarang dalam Islam, termasuk
bertawasul kepada Rasullullah shallaahu’alaihi wa sallam yang sudah tiada,
apalagi bertawasul kepada selain beliau.
Sementara orang membolehkan bertawasul dengan orang-orang
shalih yang telah mati, baik para Nabi atau selainnya, dengan anggapan mereka
kuasa memfasilitasi permintaan mereka kepada Allah. Anggapan ini muncul
didasari keyakinan bahwa mereka adalah wali Allah sehingga dekat dengan Allah,
niscaya permintaan mereka lebih mungkin terkabul. Memang tidak sekedar itu
argumen mereka. Banyak ayat dan hadits yang disodorkan untuk menguatkan
pendapat mereka. Namun ternyata dalil-dalil tersebut kalau tidak dha’if, salah
dalam istidlal (penyimpulan dalil) atau dalil tersebut tidak ada hubungannya
dengan tawasul. Tawasul semacam ini termasuk bid’ah. Tetapi bila mereka
meyakini bahwa orang shalih tersebut mampu dengan sendirinya mengabulkan
permintaan mereka maka digolongkan ke dalam kesyirikan. Anehnya mereka
menamakannya sebagai tawasul. (Lihat Al-Furqon edisi 10 Th. II, lihat juga
kitab at-Tawasul oleh Imam al-Albani dan at-Tawashul
ila Haqiqatit Tawasuloleh Syaikh Muhammad Nashib Rifa’i).
Karena terlarangnya bertawasul kepada orang yang telah
mati, maka disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa dizaman khalifah ‘Umar bin
Khaththab terjadi kemarau panjang maka beliau meminta hujan dengan berwasilah (
bertawasul ) melalui ‘Abbas bin ‘Abdul Muthalib paman Rasullullah
shallallahu’alaihi wa sallam , karena pada saat tersebut Rasullullah
shallallahu’alai wa sallam telah wafat. Sesuai dengan hadits riwayat Bukhari :
صحيح البخاري ٣٤٣٤: حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدٍ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ حَدَّثَنِي أَبِي
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُثَنَّى عَنْ ثُمَامَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَنَسٍ
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوا
اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا
كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ
فَيُسْقَوْنَ
Shahih Bukhari 3434: dari
Anas radliallahu 'anhu bahwa 'Umar bin Al Khaththab ketika mereka ditimpa
musibah kekeringan dia meminta hujan dengan berwasilah kepada 'Abbas bin 'Abdul
Muththalib seraya berdo'a; "ALLOOHUMMA INNAA KUNNA NATAWASSALU ILAIKA BIN
ABIYYINAA MUHAMMAD SHALLALLAHU'ALAIHIWASALLAM FATASQIINAA WA-INNAA NATAWASSALU
ILAIKA BI'AMMI NABIYYINAA FASQINAA" Ya Allah, kami dahulu pernah meminta
hujan kepada-Mu dengan perantaraan Nabi kami kemudian Engkau menurunkan hujan
kepada kami. Maka sekarang kami memohon kepada-Mu dengan perantaraan paman Nabi
kami, maka turunkanlah hujan untuk kami". Anas berkata; "Kemudian
turunlah hujan.
( Wallahu ‘alam)
( Bersambung ke bagian ke lima )
1. Al-Qur’an dan Terjemahan, www.Salafi-DB.com
2. Kitab Hadits 9 Imam, www Lidwa
Pusaka .com
3.Fathul Majid ( Terjemahan ),Penjelasan Kitab Tauhid,Dyaikh Abdurrahman
Hasan Alu Syaikh,Penerbit Pustaka Azzam
4.Perilaku & Akhlak Jahiliyah,Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahab
At-Tamimi, penerbit Pustaka Sumayah
5.Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas,
penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i
6. Ayat-ayat Larangan dan Perintah dalam Al-Qur’an KH.Qomaruddin dkk,
penerbit Diponogoro
7. Ghuluw Benalu Dalam Ber-Islam Abdurrahman bin MNU’alla
Al-Luwaihiq,penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i
8. Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik H.Mahrus Ali,
penerbit Laa Tasyuki Press
9. Bahaya Mengekor Non Muslim Muhammad bin ‘Ali Adh Dhabi’I, penerbit Media Hidayah
Selesai disusun, Senin,
27 Dzulhijjah 1433H/12 Nopember 2012
( Musni Japrie )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar