M U K A D D I M A H

M U K A D D I M A H : Sesungguhnya, segala puji hanya bagi Allah, kita memuji-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kami serta keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tak ada yang dapat menyesatkannya. Dan Barang siapa yang Dia sesatkan , maka tak seorangpun yang mampu memberinya petunjuk.Aku bersaksi bahwa tidak ada Rabb yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, yang tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam adalah hamba dan utusannya.

Selasa, 30 April 2013

JAUHKANLAH DIRI DARI LARANGAN-LARANGAN ALLAH


 Penting sekali bagi setiap  muslim untuk mengetahui ketentuan dariAllah subhanahu wa ta’ala baik berupa perintah maupun larangan yang syar’i sebagaimana yang digariskan baik dalam al-Qur’an maupun as- Sunnah. Sehingga dengan memahami larangan-larangan tersebut maka setiap orang wajib untuk menjauhinya. Dan pada gilirannya dapatlah dijauhi keburukan serta kemudharatan yang ditimbulkannya.
Perkara-perkara yang dilarang dalam agama adalah seluruh perkara yang telah turun larangan atasnya. Larangan adalah lawan dari perintah, yakni tuntutanm untuk menahan diri dari satu perbuatan.
Berdasarkan informasi yang disampaikan di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah sebenarnya begitu banyak kaum terdahulu  yang binasa akibat melanggar syari’at sebagai alasan atas kejahilan dan kezhaliman mereka. Allah Ta’ala berfirman, :

فَكَذَّبُوهُ فَأَخَذَهُمْ عَذَابُ يَوْمِ الظُّلَّةِ إِنَّهُ كَانَ عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ
Kemudian mereka mendustakan Syu'aib, lalu mereka ditimpa 'azab pada hari mereka dinaungi awan. Sesungguhnya azab itu adalah 'azab hari yang besar.
(QS.Asy-Syu’araa : 189)
فَيَأْتِيَهُم بَغْتَةً وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
maka datanglah 'azab kepada mereka dengan mendadak, sedang mereka tidak menyadarinya,(QS.Asy-Syur’arra : 202)

Dilain ayat Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

وَعَادًا وَثَمُودَ وَأَصْحَابَ الرَّسِّ وَقُرُونًا بَيْنَ ذَلِكَ كَثِيرًا
dan (Kami binasakan) kaum 'Aad dan Tsamud dan penduduk Rass [1069] dan banyak (lagi) generasi-generasi di antara kaum- kaum tersebut.(QS.Al Furqaan: 38)


Allah ta’ala berfirman :

وَيَا قَوْمِ لاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شِقَاقِي أَن يُصِيبَكُم مِّثْلُ مَا أَصَابَ قَوْمَ نُوحٍ أَوْ قَوْمَ هُودٍ أَوْ قَوْمَ صَالِحٍ وَمَا قَوْمُ لُوطٍ مِّنكُم بِبَعِيدٍ
Hai kaumku, janganlah hendaknya pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa azab seperti yang menimpa kaum Nuh atau kaum Hud atau kaum Shaleh, sedang kaum Luth tidak (pula) jauh (tempatnya) dari kamu.(QS.Huud: 89_)

Selain itu sebuah hadits yang diriwayatkan imam Muslim rahimahullaah ta’ala dari Abu Musa radhyallaahu’anhu :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا بُرَيْدُ بْنُ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُمْلِي لِلظَّالِمِ فَإِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ ثُمَّ قَرَأَ [ وَكَذَلِكَ أَخْذُ رَبِّكَ إِذَا أَخَذَ الْقُرَى وَهِيَ ظَالِمَةٌ إِنَّ أَخْذَهُ أَلِيمٌ شَدِيدٌ ] 
Hadis riwayat Abu Musa Radhiyallahu 'anhu , ia berkata:Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia lagi Maha Agung akan mengulur-ulur waktu bagi orang yang zalim. Tetapi ketika Allah akan menyiksanya, maka Dia tidak akan melepaskannya. Kemudian beliau membaca firman Allah: Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah sangat pedih lagi keras

Menjauhi larangan sesungguhnya jauh lebih berat daripada mengerjakan perintah , namun kebanyakan orang-orang lebih menyukai untuk mengerjakakan larangan,hal ini dikarenakan mengerjakan larangan adalah berkaitan dengan hawa nafsu dan paling disukai oleh syaitan.
 Syari’at islam tidak memberikan sedikitpun dispensasi atau kelonggaran pada manusia untuk boleh mengerjakan perbuatan yang dilarang. Berbeda dengan perintah boleh dikerjakan sesuai dengan kemampuan seseorang. Akan hal ini disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhyallaahu’anhu yang diriwayatkan oleh imam Bukhari rahimahullah ta’ala :
صحيح البخاري ٦٧٤٤: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلَافِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Shahih Bukhari 6744: dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Biarkanlah apa yang aku tinggalkan untuk kalian, hanyasanya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka gemar bertanya dan menyelisihi nabi mereka, jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian."
Berbeda dengan melaksanakan perintah, yang pada umumnya tidak bertentangan dengan hawa nafsu. Karena itulah Allah Ta’ala menganugerahkan ganjaran yang besar dan memberikan pujian pada orang yang mampu menahan hawa nafsunya. Sebagian ulama bahkan mengatakan larangan itu sifatnya lebih berat dibandingkan perintah. sebagaimana sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam,

Mayoritas manusia lebih sulit untuk meninggalkan larangan dibandingkan melaksanakan perintah padahal menurut logikanya, seharusnya meninggalkan larangan relatif lebih mudah dibandingkan melaksanakan perintah. Sebab untuk meninggalkan larangan tidak diperlukan usaha dan tenaga, berbeda dengan perintah. Hal ini disebabkan, meninggalkan perkara yang dilarang itu bertentangan dengan hawa nafsu.
Ibnul  Qaiyim berkata : “ada satu perkara tentasng dosda  yang banyakembuat manusia keliru menyikapinya. Yaitu mereka tidak melihat pengaruh dosa itu langsung pada waktu juga , k,adang kala pengaruhnya terjadi  jauh setelah  itu namun mereka sudah lupa. Lantas mereka mengira bahwa perkaranya sudah selesai. .
Hampir setengah ajaran Islam berupa larangan yang harus dijauhi oleh ummatnya. Ini berarti, orang yang menjauhi seluruh larangan telah mengamalkan hampir setengah hukum Islam, dan sebaliknya yang melanggar seluruh larangan berarti telah melanggar hampir setengah ajarannya.
Imam Ibn Qayyim rahimahullah berkata, “ sesungguhnya bangunan dan pondasi syari’at dibangun diatas hikmah dan kemaslahatan para hamba, didunia dan akhirat. Seluruh syari’at Islam adalah keadilan, rahmat, maslahat dan hikmah.” Syari’at Islam itu sendiri terdiri dari perintah dan larangan , maka larangan yang berlaku terhadap para hamba pun didasarkan atas hikmah dan kemaslahatan.

Firman Allah subhanahu wa ta’ala :

قُلْ إِنِّي نُهِيتُ أَنْ أَعْبُدَ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللّهِ قُل لاَّ أَتَّبِعُ أَهْوَاءكُمْ قَدْ ضَلَلْتُ إِذًا وَمَا أَنَاْ مِنَ الْمُهْتَدِينَ

Katakanlah: "Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan-tuhan yang kamu sembah selain Allah". Katakanlah: "Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk". (QS.Al An’am : 56 )

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba [174] tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila [175]. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu [176] (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS.Al Baqarah : 275 )



Sungguh seseorang belumlah dikatakan bertakwa selama ia masih melakukan perbuatan yang dilarang syari’at walaupun ia seorang yang tekun menjalankan perintah agama. Sebab definisi dari takwa itu sendiri melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-laranganNya. Termasuk cermin pribadi yang bertakwa yaitu meninggalkan perkara-perkara yang masih samar (syubhat), yaitu perkara yang tidak jelas antara kehalalan dan keharamannya. Sebab, apabaila seseorang terjerumus kedalam perkara yang syubhat maka dikhawatirkan ia telah terjerumus kedalam perkara yang haram sementara ia tidak menyadarinya. Jika perkara yang syubhat saja diperintahkan untuk ditinggalkan maka untuk perkara yang haram tentu lebih ditekankan untuk ditinggalkan sebagaimana sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam,

صحيح البخاري ١٩١٠: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ ابْنِ عَوْنٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا أَبُو فَرْوَةَ عَنْ الشَّعْبِيِّ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي فَرْوَةَ سَمِعْتُ الشَّعْبِيَّ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي فَرْوَةَ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَةٌ فَمَنْ تَرَكَ مَا شُبِّهَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ كَانَ لِمَا اسْتَبَانَ أَتْرَكَ وَمَنْ اجْتَرَأَ عَلَى مَا يَشُكُّ فِيهِ مِنْ الْإِثْمِ أَوْشَكَ أَنْ يُوَاقِعَ مَا اسْتَبَانَ وَالْمَعَاصِي حِمَى اللَّهِ مَنْ يَرْتَعْ حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ
Shahih Bukhari 1910: dari An-Nu'man bin Basyir radliallahu 'anhu berkata, telah bersabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara yang syubhat (samar). Maka barangsiapa yang meninggalkan perkara yang samar karena khawatir mendapat dosa, berarti dia telah meninggalkan perkara yang jelas keharamannya dan siapa yang banyak berdekatan dengan perkara samar maka dikhawatirkan dia akan jatuh pada perbuatan yang haram tersebut. Maksiat adalah larangan-larangan Allah. Maka siapa yang berada di dekat larangan Allah itu dikhawatirkan dia akan jatuh pada larangan tersebut".

Sesungguhnya totalitas agama itu berpulang pada pelaksanaan perintah, meninggalkan hal-hal yang dilarang dan menahan diri dari syubhat. Umar Ibn Abdul Aziz berkata,”bukanlah ketakwaan kepada Allah itu dengan shalat malam, puasa siang hari atau menggabungkan keduanya, namun ketakwaaan itu adalah mengerjakan apa-apa yang di
Beliau juga berkata,”aku ingin sekiranya aku tidak mengerjakan shalat kecuali shalat lima waktu dan shalat witir; menunaikan zakat dan kemudian tidak bersedekah lagi meskipun hanya satu dirham; melaksanakan puasa Ramadhan dan kemudian tidak berpuasa lagi meskipun hanya satu hari; mengerjakan haji yang wajib dan kemudian tidak menunaikan haji lagi; akan tetapi kemudian aku kerahkan seluruh sisa kekuatan untuk menahan diri dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah.”

Dari perkataan  Umar ibn Abdul Aziz tersebut diatas dapat dipahami bahwa sesungguhnya menahan diri dari perkara-perkara yang diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala sesungguhnya lebih utama dari mengerjakan amalan-amalan yang bersifat sunnah, kecuali yang bersifat wajib tentunya lebih utama dari dibandingkan dari menahan diri dari perkara-perkara yang dilarang.

Sahl bin Abdullah radhyallaahu’anhu berkata : Meninggalkan perintah Allah itu lebih besar dosanya disisi Allah subhanahu wa ta’ala daripada melanggar larangan Nya. Hal ini karena Nabi Adam alaihi sallam diterima taubatnya oleh Allah setelah beliau memakan buah pohn yang dilarang oleh-Nya. Serdangkan Iblis tidak diampuni karena menolak untuk bersujud kepada Adam, ketika Allah memerintahkannya untuk melakukan hal itu.

Ibnu Qaiyin rahimahullah menyebutkan bahwa : “ Dosa melanggar larangan biasanya terjadi karena syahwat dan  kebutuhan, sedanglkan meninggalkan perintah biasanya disebabkan oleh kesombongan dan keangkuhan.Sedangkan seseorang tidak akan masuk surga yang dihatinyas  bercokol kesombongan walaupun seberat dzarrah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat imam Muslim rahimahullah ta’ala dari  Ibnu Mas’ud radhyallahu’anhu :

: صحيح مسلم ١٣١: و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى وَمُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ دِينَارٍ جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى بْنِ حَمَّادٍ قَالَ ابْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ حَمَّادٍ أَخْبَرَنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبَانَ بْنِ تَغْلِبَ عَنْ فُضَيْلٍ الْفُقَيْمِيِّ عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

Shahih Muslim 131: dari Abdullah bin Mas'ud dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari kesombongan." Seorang laki-laki bertanya, "Sesungguhnya laki-laki menyukai baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?" Beliau menjawab: "Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia."

 Sebaliknya ,akan masuk surga orang yang membawa mati tauhid, sekalipun ia pernah berzina dan mencuri. Hal ini disebutkan dalam hadits riwayat imaBukhari rahimahullah ta’ala :

صحيح البخاري ١١٦١: حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا وَاصِلٌ الْأَحْدَبُ عَنْ الْمَعْرُورِ بْنِ سُوَيْدٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي آتٍ مِنْ رَبِّي فَأَخْبَرَنِي أَوْ قَالَ بَشَّرَنِي أَنَّهُ مَنْ مَاتَ مِنْ أُمَّتِي لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ قُلْتُ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ قَالَ وَإِنْ زَنَى وَإِنْ سَرَقَ


Shahih Bukhari 1161: dari Abu Dzar radliallahu 'anhu berkata; Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Baru saja datang kepadaku utusan dari Rabbku lalu mengabarkan kepadaku" atau Beliau bersabda: "Telah datang mengabarkan kepadaku bahwa barangsiapa yang mati dari ummatku sedang dia tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun maka dia pasti masuk surga". Aku tanyakan: "Sekalipun dia berzina atau mencuri?" Beliau menjawab: "Ya, sekalipun dia berzina atau mencuri".

Lebih lanjut Ibnu Qaiyim rahimahullah ta’ala mengemukakan bahwa semua yang dilarangan adalah penghalang untuk melaksanakan sesuatu yang diperintahkan: atau setidaknya ia dapat membuat pelaksanaanya menjadi tidak sempurna.Jika sesuatu yang dilarang itu pernah terbesit di dalam hati seseorang , namun dia menahan  diri dari meninggalkannya karena Alllah dan bukan karena terpaksa , maka orang tyang bersangkutan mendapatkan pahala karena tel;ah menahan dan mencegah dirinya dari yang  terlarang tersebut. Sebab, apa yang ditinggalkannya itu sudah dikatagorikan sesuatu yang nyata. Sementara pahala hanya dapat diperoleh dengan mengerjakan  sesuatu yang kongkrit, bukan dengan sesuatu yang tidak ada.
Kemudian disebutkan juga oleh Ibnu Qaiyim rahimahullah ta’ala : “Adapun jika seseorang meninggalkan sesuatu yang dilarang karena tidak mampu melakukannya  padahal hatinya bertekad melakukan nya, maka orang yang sedemikian akan dihukum Allah karena kebulatan niat dalam hatinya untuk melakukannya, sekalipun tidak dihukum dengan hukuman orang yang melakukan larangan tersebut dengan kemampuannya. Sebab , ia tidak dapat mencapai tujuannya karena memang tidak mampu melakukannya. Ini ditegaskan dalam firman Allah ta’ala :



لِّلَّهِ ما فِي السَّمَاواتِ وَمَا فِي الأَرْضِ وَإِن تُبْدُواْ مَا فِي أَنفُسِكُمْ أَوْ تُخْفُوهُ يُحَاسِبْكُم بِهِ اللّهُ فَيَغْفِرُ لِمَن يَشَاء وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاء وَاللّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehandaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS.Al Baqarah : 284 )


Selain itu dalam ayat yang lainnya Allah berfirman :


لاَّ يُؤَاخِذُكُمُ اللّهُ بِاللَّغْوِ فِيَ أَيْمَانِكُمْ وَلَكِن يُؤَاخِذُكُم بِمَا كَسَبَتْ قُلُوبُكُمْ وَاللّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ


Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapiAllah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun( QS.Al Baqarah : 225 )


Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan bahwa melakulan perintah dibalas sepuluh kali lipat, sedangkan melakukan hal yang dilarang dibalas demngan satu balasan yang setimpal. Hal ini menunjukkan bahwa melaksanakan pertintah lebih Allah sukai daripada meninggalkan laranganm. Sebab jika sebaliknya, maka balasan bagi yang meninggalkan satu keburukan adalah sepuluh kali lipatnya, sedeangkan balasan mengerjakan satu kebaikan satu kali lipatnya atau sebanding dengan kebaikan tersebut.

Ibnu Qaiyim mengatakan : tujuan dari sedbuah larangan adalah tidak melan ggarnya, dan agar perkara yang terlarang itu tetap tidak terjadi, b aik seseorang , baik seorang pernah b erniat untuk melanggarnya ataupun tidak, baik terlintas dalam hatinya keinginan untuk melanggarnya ataupun tidak. Intinya tujuan dari larangan adalah agar sesuatu yang dilarang tetap tidak terjadi.



 Larangan-Larangan Yang Termasuk Dalam Tujuh Puluh Dosa Besar.

Sesungguhnya syari’at telah menetapkan secara rinci tentang larangan yang diberlakukan kepada umat Islam, baik larangan terhadap sesuatu yang berakibat pada timbulnya dosa-dosa kecil maupun dosa-dosa yang bersifat besar. Dan Larangan tersebut jumlahnya cukup banyak,  dimana larangan-larangan tersebut ada yang disebutkan dalam al-Qur’an dan ada pula yang bersumber dari as-Sunnah      

Imam Adz-Dzahabi rahimahullaah ta’ala dalam buku beliau al-Kaba’ir , Dosa- Dosa Yang membinasakan . Beliau menyebutkan bahwa ada riwayat dari Ibnu Abas radhyallaahu’anhuma berkata : “ Dosa-dosa b esar tersebut lebih dekat kepada jumlah tujuh puluh daripada tujuh “ Demi Allah, Ibnu Ababas telah berkata benar.

Lebih lanjut imam Adz-Dzahabi rahimahullaah ta’ala me yebutkan  bahwa  sebagian dosa-dosa b esar tingkatannya ada yang lebih besar daripada sebagian dosa yang lainn ya. ASpakah anda tidak melihat ketika Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam memasukkan perbuatan syirik kepada Allah termasuk diantara jajaran dosa b esar. Pelakunya akan kekal di dalam neraka dan tidak ada ampunan baginya untuk selama-lamanya.
Allah ta’ala berfirman :

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاء وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS.An Nisaa: 48).

Dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala yang lain disebutkan :


لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُواْ إِنَّ اللّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُواْ اللّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu". Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.(QS. Al Maidah : 72 )

Termasuk kedalam golongan dosa besar  adalah berdusta sebagaimana hadist Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam kitab Shahih nya  :


صحيح البخاري ٥٥١٩: حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ حَدَّثَنَا خَالِدٌ الْوَاسِطِيُّ عَنْ الْجُرَيْرِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ قُلْنَا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَكَانَ مُتَّكِئًا فَجَلَسَ فَقَالَ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ أَلَا وَقَوْلُ الزُّورِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ فَمَا زَالَ يَقُولُهَا حَتَّى قُلْتُ لَا يَسْكُتُ

Shahih Bukhari 5519: dari Abdurrahman bin Abu Bakrah dari Ayahnya radliallahu 'anhu dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak maukah aku beritahukan kepada kalian sesuatu yang termasuk dari dosa besar? Kami menjawab; "Tentu wahai Rasulullah." Beliau bersabda: "Menyekutukan Allah dan mendurhakai kedua orang tua." -ketika itu beliau tengah bersandar, kemudian duduk lalu melanjutkan sabdanya: "Perkataan dusta dan kesaksian palsu, perkataan dusta dan kesaksian palsu." Beliau terus saja mengulanginya hingga saya mengira beliau tidak akan berhenti."


Dalam kitab al-Kaba’ir oleh Imam Adz-Dzahabi disebutkan yang termasuk dalam katagori 70 dosa-dosa besar itu antara lain: Menyekutukan Allah ( syirik)  dalam berbagai bentuknya,  membunuh orang lain, perbuatan sihir,meninggalkan shalat ,tidak mau membayar zakat, durhaka kepada kedua orang tua, Memakan riba, memakan harta anak yatim secara zhalim, b erdusta atas nama Allah, membatalkan oluasa rammdahan tanpa alasan ,lari dari medan pertempuran, berzinah, pemimpin yang hianat dan zhalim, meminum khamar, menyombongkan diri/ takabur/ ujub dan angkuh,homoseks, menuduh wanita b aik b aik berzinah,mengambil harta orang lain secara b athil, mencuri, sumpah palsu, bunuh diri ( dosa besar yang paling besar) ,hakim yang jahat, suami yang membiarkan kemunkaran di keluarganya, memakan bangkai/darah dan daging babi,tidak bersuci setelah kencing, pemalak/pungutan liar, riya, khianat,mengungkit-ngungkit kebaikan, tidak b eriman kepada takdir, tukang laknat, menghianati pemimpin, membenarkan dukun dan akhli nujum, isteri durhaka, m emutuskan hubungan kekerabatan, memngadu domba, meratap dan menampar pipi ketika keluarga meninggal,semena-mena, memberontak dan mengkafirkan orang, dan banyak lagi yang lainnya.

Syaikh Utsaimin rahimahullah ta’ala berkata “ Sesungguhnya syaitan suka meremehkan dosa-dosa ini kedalam hati seorang hamba . Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah mewaspadai hal tersebut. Beliau bersabda :

“ Berhati-hatilah kalian terhadap dosa-dosa yang dianggap remeh, karena perumpamaan hal ini seperti kelompok orang yang menetap di suatu daerah Kemudian masing-masing orang membawa sebatang ranting. Kemudian setelah dikumpulkan menjadi sekumpulan kayu bakar sehingga mereka bisa menyakan api.”

Inilah perumpamaan untuk dosa-dosa yang diremehkan manusia. Oleh karena itu para ulama berkata : “Sesungguhnya dosa kecil yang dilakukan terus menerus akan menjadi dosa besar. Meminta ampunan dari dosa besar bisa menghapuskannya.”


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullaah ta’ala berkata , “ Dosa besar adalahdosa yang berakibat ditimpakannya siksa yang bersifat khusus” Yaitu dosa yang Allah dan Rasul-Nya akan menimpakan siksa khusus kepadanya. Seperti berupaka siksaan yang sifatnya duniawi atau ukhrawi ( di akhirat). Karena perbvuatan dosa bisa jadi karena melakukan sebuah perklara yang dilarang, diharamkan dan lain sebagainya.


Sungguh seseorang belumlah dikatakan bertakwa selama ia masih melakukan perbuatan yang dilarang syari’at walaupun ia seorang yang tekun menjalankan perintah agama. Sebab definisi dari takwa itu sendiri melaksanakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-laranganNya. Termasuk cermin pribadi yang bertakwa yaitu meninggalkan perkara-perkara yang masih samar (syubhat), yaitu perkara yang tidak jelas antara kehalalan dan keharamannya. Sebab, apabaila seseorang terjerumus kedalam perkara yang syubhat maka dikhawatirkan ia telah terjerumus kedalam perkara yang haram sementara ia tidak menyadarinya. Jika perkara yang syubhat saja diperintahkan untuk ditinggalkan maka untuk perkara yang haram tentu lebih ditekankan untuk ditinggalkan sebagaimana sabda Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, :

صحيح البخاري ١٩١٠: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ عَنْ ابْنِ عَوْنٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنَا أَبُو فَرْوَةَ عَنْ الشَّعْبِيِّ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي فَرْوَةَ سَمِعْتُ الشَّعْبِيَّ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي فَرْوَةَ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُورٌ مُشْتَبِهَةٌ فَمَنْ تَرَكَ مَا شُبِّهَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ كَانَ لِمَا اسْتَبَانَ أَتْرَكَ وَمَنْ اجْتَرَأَ عَلَى مَا يَشُكُّ فِيهِ مِنْ الْإِثْمِ أَوْشَكَ أَنْ يُوَاقِعَ مَا اسْتَبَانَ وَالْمَعَاصِي حِمَى اللَّهِ مَنْ يَرْتَعْ حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ
Shahih Bukhari 1910: dari An-Nu'man bin Basyir radliallahu 'anhu berkata, telah bersabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas. Namun diantara keduanya ada perkara yang syubhat (samar). Maka barangsiapa yang meninggalkan perkara yang samar karena khawatir mendapat dosa, berarti dia telah meninggalkan perkara yang jelas keharamannya dan siapa yang banyak berdekatan dengan perkara samar maka dikhawatirkan dia akan jatuh pada perbuatan yang haram tersebut. Maksiat adalah larangan-larangan Allah. Maka siapa yang berada di dekat larangan Allah itu dikhawatirkan dia akan jatuh pada larangan tersebut".


K h a t i m a h

Larangan yang digariskan dalam agama oleh Allah subhanahu wa ta’ala baik yang dituangkan dalam  al-Qur’an maupun as- Sunnah tiada lain adalah untuk membatasi agar umat Islam tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dan bertolak belakang dengan kebaikan yang diusung oleh agama. Larangan larangan yang diatur dalam Islam dimaksudkan pula agar umat Islam tidak melampaui batas kewajaran sehingga berdampak menjadi suatu keburukan bahkan dapat memberikan  kemudharatan tidak saja bagi dirinya juga bagi pihak lain.

Prinsif dari larangan dalam Islam pada hakikatnya adalah untuk menyelamatkan umat Islam agar tidak terjerumus kedalam tindakan-tindakan  yang berdampak negatif dan selamat di dunia dan akhirat.
Untuk itu suatu kewajiban yang mutlak untuk menta’ati akan larangan-larangan yang ditetapkan All ah subhanahu wa ta’ala dengan meninggalkan dan menjauhinya agar tidak terseret dan terbawa-bawa oleh arus kuat berupa godaan hawa nafsu dan syaitan. ( Wallaahu ta’ala a’lam )


Sumber :

1.Al-Qur’an dan Terjemahan : www.salafi-db.com,
2.Ensiklopedi Hadits Kitab 9 Imam: www.lidwapusaka.com
3.Riyadus Shalihin  Imam Nawawi ( Terjemahan ) : www.salafi-db.com
4.Fawaid ( Terjemahan (, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Pustaka Imam Syafi’i

5. Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali

6.Artikel www. wahdah.or.id

Samarinda,  Menjelang Dzuhur 20 Jumadil Tsani 1434 H / 1 Mei 2013 M

(Musni Japrie )




Tidak ada komentar:

Posting Komentar