M U K A D D I M A H

M U K A D D I M A H : Sesungguhnya, segala puji hanya bagi Allah, kita memuji-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kami serta keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tak ada yang dapat menyesatkannya. Dan Barang siapa yang Dia sesatkan , maka tak seorangpun yang mampu memberinya petunjuk.Aku bersaksi bahwa tidak ada Rabb yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, yang tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam adalah hamba dan utusannya.

Minggu, 11 Maret 2012

SETIAP PERKARA BARU YANG TIDAK ADA SEBELUMNYA DI DALAM AGAMA ADALAH BID'AH


( O l e h : Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas )

“Setiap Perkara Baru yang Tidak Ada Sebelumnya di Dalam Agama Adalah Bid‘ah. Setiap Bid‘ah Adalah Kesesatan dan Setiap Kesesatan Tempatnya di Neraka.”


[A]. Pengertian Bid‘ah.

Bid’ah berasal dari kata al-ikhtira’ yaitu yang baru yang diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya

Bid’ah secara bahasa adalah hal yang baru dalam agama setelah agama ini sempurna. Atau sesuatu yang dibuat-buat setelah wa-fatnya Nabi shalallagu’alaihi wa sallam berupa kemauan nafsu dan amal perbuatan. Bila dikatakan: “Aku membuat bid’ah, artinya melakukan satu ucapan atau perbuatan tanpa adanya contoh sebelumnya..” Asal kata bid’ah berarti menciptakan tanpa contoh sebelumnya. Di antaranya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْراً فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُن فَيَكُون

Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia hanya mengatakan kepadanya: "Jadilah!" Lalu jadilah ia. (QS.Al Baqarah : 117 )

Yakni, bahwa Allah menciptakan keduanya tanpa ada contoh sebelumnya.

Bid’ah menurut istilah memiliki beberapa definisi di kalangan para ulama yang saling melengkapi.

Di antaranya:
1. Menurut Al-Imam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah.
Beliau Rahimahullah mengungkapkan: “Bid’ah dalam Islam adalah segala yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yakni yang tidak diperintahkan baik dalam wujud perintah wajib atau bentuk anjuran

Bid’ah itu sendiri ada dua macam:

1.Bid’ah dalam bentuk ucapan atau keyakinan,

2.Bid’ah dalam bentuk perbuatan dan ibadah. Bentuk kedua ini mencakup juga bentuk pertama, sebagaimana bentuk pertama dapat menggiring pada bentuk yang kedua. Atau dengan kata lain, hukum asal dari ibadah adalah dilarang, kecuali yang disyari’atkan. Sedangkan hukum asal dalam masalah keduniaan dibolehkan kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Menurut ushul ( qaidah ) fiqih asal dari ibadah adalah tidak disyai’atkan, kecuali yang telah disyari’atkan oleh Allah Azza wa Jalla. Dan asal dari kebiasaan adalah tidak dilarang, kecuali yang dilarang oleh Allah .Atau dengan kata lain, hukum asal dari ibadah adalah dilarang, kecuali yang disyari’atkan. Sedangkan hukum asal masalah keduniaan adalah dibolehkan, kecuali yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Beliau (Ibnu Taimiyah Rahimahullah) juga menyatakan: “Bid’ah adalah yang bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam , atau ijma’ para Ulama as-Salaf berupa ibadah maupun keyakinan, seperti pandangan kalangan al-Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Jahmiyah, dan mereka yang beribadah dengan tarian dan nyanyian dalam masjid. Demikian juga mereka yang beribadah dengan cara mencukur jenggot, mengkonsumsi ganja dan berbagai bid’ah lainnya yang dijadikan sebagai ibadah oleh sebagian golongan yang berten-tangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Wallaahu a’lam.”

2.Menurut Imam Asy-Syathibi (wafat tahun 790 H) Rahimahullah.[10]

Beliau menyatakan: "Bid’ah adalah cara baru dalam agama yang dibuat menyerupai syari’at dengan maksud untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah".

Ungkapan ‘cara baru dalam agama’ itu maksudnya, bahwa cara yang dibuat itu disandarkan oleh pembuatnya kepada agama. Tetapi sesungguhnya cara baru yang dibuat itu tidak ada dasar pedomannya dalam syari’at. Sebab dalam agama terdapat banyak cara, di antaranya ada cara yang berdasarkan pedoman asal dalam syari’at, tetapi juga ada cara yang tidak mempunyai pedoman asal dalam syari’at. Maka, cara dalam agama yang termasuk dalam kategori bid’ah adalah apabila cara itu baru dan tidak ada dasarnya dalam syari’at.

Artinya, bid’ah adalah cara baru yang dibuat tanpa ada contoh dari syari’at. Sebab bid’ah adalah sesuatu yang keluar dari apa yang telah ditetapkan dalam syari’at.

Ungkapan ‘menyerupai syari’at’ sebagai penegasan bahwa sesuatu yang diada-adakan dalam agama itu pada hakekatnya tidak ada dalam syariat, bahkan bertentangan dengan syari’at dari beberapa sisi, seperti mengharuskan cara dan bentuk tertentu yang tidak ada dalam syari’at. Juga mengharuskan ibadah-ibadah tertentu yang dalam syari’at tidak ada ketentuannya.

Ungkapan ‘untuk melebih-lebihkan dalam beribadah kepada Allah’, adalah pelengkap makna bid’ah. Sebab demikian itulah tujuan para pelaku bid’ah. Yaitu menganjurkan untuk tekun beribadah, karena manusia diciptakan Allah hanya untuk beribadah kepadaNya seperti disebutkan dalam firmanNya :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzaariya : 56 )

Seakan-akan orang yang membuat bid’ah melihat bahwa maksud dalam membuat bid’ah adalah untuk beribadah sebagaimana maksud ayat tersebut, dan dia merasa bahwa apa yang telah ditetapkan dalam syari’at tentang undang-undang dan hukum-hukum belum mencukupi sehingga dia berlebih-lebihan dan menambahkan serta dia mengulang-ulanginya.

Beliau Rahimahullah juga mengungkapkan definisi lain: “Bid’ah adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuknya menyerupai ajaran syari’at yang ada, tujuan dilaksanakannya adalah sebagaimana tujuan syari’at.”

Beliau menetapkan definisi yang kedua tersebut, bahwa kebiasaan itu bila dilihat sebagai kebiasaan biasa tidak akan mengandung kebid’ahan apa-apa, namun bila dilakukan dalam wujud ibadah, atau diletakkan dalam kedudukan sebagai ibadah, ia bisa dimasuki oleh bid’ah. Dengan cara itu, berarti beliau telah meng-korelasikan berbagai definisi yang ada. Beliau memberikan contoh untuk kebiasaan yang pasti mengandung nilai ibadah, seperti jual beli, pernikahan, perceraian, penyewaan, hukum pidana,... karena semuanya itu diikat oleh berbagai hal, persyaratan dan kaidah-kaidah syariat yang tidak menyediakan pilihan lain bagi seorang muslim selain ketetapan baku itu.

3.Menurut Imam Al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali Rahimahullah[14] (wafat th. 795 H).

Beliau Rahimahullah menyebutkan: “Yang dimaksud dengan bid’ah adalah yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari’at yang mengindikasikan keabsahannya. Adapun yang memiliki dasar dalam syari’at yang menunjukkan kebenarannya, maka secara syari’at tidaklah dikatakan sebagai bid’ah, meskipun secara bahasa dikata-kan bid’ah. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu menisbatkannya kepada ajaran agama, namun tidak memiliki landasan dari ajaran agama yang bisa dijadikan sandaran, berarti itu adalah kesesatan. Ajaran Islam tidak ada hubungannya dengan bid’ah semacam itu. Tak ada bedanya antara perkara yang berkaitan dengan keyakinan, amalan ataupun ucapan, lahir maupun batin.

Terdapat beberapa riwayat dari sebagian Ulama Salaf yang menganggap baik sebagian perbuatan bid’ah, padahal yang dimaksud tidak lain adalah bid’ah secara bahasa, bukan menurut syari’at.

Contohnya adalah ucapan Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu , ketika beliau mengumpulkan kaum Muslimin untuk melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan (Shalat Terawih) dengan mengikuti satu imam di masjid. Ketika beliau Radhiyallahu 'anhu keluar, dan melihat mereka shalat berjamaah. Maka beliau Radhiyallahu 'anhu berkata: “Sebaik-baiknya bid’ah adalah yang semacam ini.”

B.Pembagian Bid'ah Dan Hukum Bid'ah Dalam Agama Islam

[1]. Bid’ah Haqiqiyah.

Yakni bid’ah yang tidak memiliki indikasi dari syar’i baik dari Kitabullah, dari Sunnah dan Ijma’. Dan juga tidak ada dalil yang digunakan oleh para ulama baik secara global maupun rinci. Oleh sebab itu, disebut sebagai bid’ah karena ia merupakan hal yang dibuat-buat dalam perkara agama tanpa contoh sebelumnya.

Di antara contohnya adalah bid’ahnya perkataan Jahmiyah yang menafikan Sifat-Sifat Allah, bid’ahnya Qadariyah, bid’ahnya Murji’ah dan lainnya yang mereka mengatakan apa-apa yang tidak dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya

Contoh lain adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan hidup kependetaan (seperti pendeta) dan mengadakan perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , Isra’ Mi’raj dan lainnya.

[2]. Bid’ah Idhafiyah.

Adapun bid’ah Idhafiyah adalah bid’ah yang mempunyai dua sisi. Pertama, terdapat hubungannya dengan dalil. Maka dari sisi ini dia bukan bid’ah. Kedua, tidak ada hubungannya sama-sekali dengan dalil melainkan seperti apa yang terdapat dalam bid’ah haqiqiyah. Artinya ditinjau dari satu sisi ia adalah Sunnah karena bersandar kepada Sunnah, namun ditinjau dari sisi lain ia adalah bid’ah karena hanya berlandaskan syubhat bukan dalil.

Adapun perbedaan atara keduanya dari sisi makna adalah bahwa dari sisi asalnya terdapat dalil padanya. Tetapi jika dilihat dari sisi cara, sifat, kondisi pelaksanaannya atau perinciannya, tidak ada dalil sama sekali, padahal kala itu ia membutuhkan dalil. Bid’ah semacam itu kebanyakan terjadi dalam ibadah dan bukan kebiasaan semata.

Atas dasar ini, maka bid’ah Haqiqi lebih besar dosanya karena dilakukan langsung oleh pelakunya tanpa perantara, sebagai pelanggaran murni dan keluar dari syari’at sangat jelas, seperti ucapan kaum Qadariyah yang menyatakan baik dan buruk menurut akal, mengingkari hadits ahad sebagai hujjah ,mengingkari adanya Ijma’, mengingkari haramnya khamer, mengatakan bahwa para Imam adalah ma’shum (terpelihara dari dosa)... dan hal-hal lain yang seperti itu.

Dikatakan bid’ah Idhofiyah artinya bahwa bid’ah bila ditinjau dari satu sisi disyari’atkan tapi dari sisi lain ia hanya pendapat belaka. Sebab dari sisi orang yang membuat bid’ah itu dalam sebagian kondisinya masuk dalam kategori pendapat pribadi dan tidak di-dukung oleh dalil-dalil dari setiap sisi[6].

[C]. HUKUM BID’AH DALAM AGAMA ISLAM.

Sesungguhnya agama Islam sudah sempurna dengan wafatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam . Allah Suabhnahu wa Ta'ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَن تَسْتَقْسِمُواْ بِالأَزْلاَمِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ الْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُواْ مِن دِينِكُمْ فَلاَ تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ فَإِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa] karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(.QS.Al Ma’idah:3 )


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menyampaikan semua risalah, tidak ada satupun yang ditinggalkan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menunaikan amanah dan menasehati umatnya. Kewajiban seluruh umat mengikuti petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam , karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan. Wajib bagi seluruh ummat untuk mengikuti beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak berbuat bid’ah serta tidak mengadakan perkara-perkara yang baru karena setiap yang baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat.

Tidak diragukan lagi bahwa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan haram, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam

"Artinya : Hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru. Setiap perkara-perkara yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.”[7]

Demikian juga sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam


صحيح مسلم ٣٢٤٢: حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ الْهِلَالِيُّ جَمِيعًا عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Shahih Muslim 3242: dari 'Aisyah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mengada-ngada sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami, padahal kami tidak perintahkan, maka hal itu tertolak."

Kedua hadits di atas menunjukkan bahwa perkara baru yang dibuat-buat dalam agama ini adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat dan tertolak. Bid’ah dalam agama itu diharamkan. Namun tingkat keharamannya berbeda-beda tergantung jenis bid’ah itu sendiri.

Ada bid’ah yang menyebabkan kekufuran (Bid’ah Kufriyah), seperti berthawaf keliling kuburan untuk mendekatkan diri kepada para penghuninya, mempersembahkan sembelihan dan nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo’a kepada mereka, meminta keselamatan kepada mereka, demikian juga pendapat kalangan Jahmiyah, Mu’tazilah dan Rafidhah.

Ada juga bid’ah yang menjadi sarana kemusyrikan, seperti mendirikan bangunan di atas kuburan, shalat dan berdoa di atas kuburan dan mengkhususkan ibadah di sisi kubur.

Ada juga perbuatan bid’ah yang bernilai kemaksiyatan, seperti bid’ah membujang -yakni menghindari pernikahan- puasa sambil berdiri di terik panas matahari, mengebiri kemaluan dengan niat menahan syahwat dan lain-lain

Ahlus Sunnah telah sepakat tentang wajibnya mengikuti al-Qur-an dan as-Sunnah menurut pemahaman Salafush Shalih, yaitu tiga generasi yang terbaik (Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in) yang disaksikan oleh Nabi shalallahu’alahi wa sallam bahwa mereka adalah sebaik-baik manusia. Mereka juga sepakat tentang keharamannya bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan kebinasaan, tidak ada bid’ah yang hasanah.

Ibnu ‘Umar Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata:

"Artinya : Setiap bid’ah adalah sesat, meskipun manusia memandang baik.”

Imam Sufyan ats-Tsaury Rahimahullah (wafat th. 61 H) berkata:

"Artinya : Perbuatan bid’ah lebih dicintai oleh iblis daripada kemaksiyatan dan pelaku kemaksiyatan masih mungkin dia untuk bertobat dari kemaksiyatannya sedangkan pelaku kebid’ahan sulit untuk bertaubat dari kebid’ahannya.”

Imam al-Barbahary Rahimahullah berkata: “Jauhilah setiap perkara bid’ah sekecil apapun, karena bid’ah yang kecil lambat laun akan menjadi besar. Demikian pula kebid’ahan yang terjadi pada ummat ini berasal dari perkara kecil dan remeh yang mirip kebenaran sehingga banyak orang terpedaya dan terkecoh, lalu mengikat hati mereka sehingga susah untuk keluar dari jeratannya dan akhirnya mendarah daging lalu diyakini sebagai agama. Tanpa disadari, pelan-pelan mereka menyelisihi jalan lurus dan keluar dari Islam.”

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Oleh Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa, Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan Pertama Jumadil Akhir 1425H/Agustus 2004M]

Di copy paste dari : http://www.salafi-db.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar