M U K A D D I M A H

M U K A D D I M A H : Sesungguhnya, segala puji hanya bagi Allah, kita memuji-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kami serta keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tak ada yang dapat menyesatkannya. Dan Barang siapa yang Dia sesatkan , maka tak seorangpun yang mampu memberinya petunjuk.Aku bersaksi bahwa tidak ada Rabb yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, yang tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam adalah hamba dan utusannya.

Senin, 16 Agustus 2010

Beribadah Dengan Ikhlas Tidak Akan Diterima , Tanpa Ittiba' Kepada Rasullulah Shalalahu 'alaihi Wasallam

O l e h : Musni Japrie al-Pasery

Seorang sahabat dekat penulis memberitahukan bahwa menjelang keberangkatannya untuk melakukan perjalan umrah ke Tanah suci bersama keluarganya, terlebih dahulu akan menyelenggarakan hajatan selamatan syukuran dengan mengundang para keluarga, sahabat dan para tetangga, agar didoakan selamat selama dalam perjalanan.

Sebagai seorang sahabat dekat penulis berkewajiban untuk mengingatkan bahwa acara syukuran seperti yang direncanakan tersebut sebenarnya tidak perlu dilaksanakan, karena termasuk dari mubazir dan yang lebih-lebih lagi tidak ada tuntunanya dari Rasullulah shalalalahu ‘alaihi wasallam. Dan sepertinya didalamnya ada terselip keinginan untuk memberitahukan kepada orang-orang tentang keberangkatan menunaikan ibadah umrah . Dan ini termasuk riya, yang dikatagorikan sebagai syirik kecil.

Sahabat tadi membantah adanya anggapan yang saya kemukakan, karena niatnya mengundang hanyalah sekedar silaturakhim dengan sesama muslim dan menghidangkan makanan kepada mereka,dan itu dilakukan dengan niat yang ikhlas, tanpa adanya embel-embel yang lainnya.

Berargumen dengan tergantung kepada niat, ini juga pernah dikemukakan seseorang pada saat berziarah kesalah satu kuburnya orang shalih yang dianggap wali dan berkramat. Orang tersebut berujar bahwa ia berziarah ke kubur wali yang berkramat tersebut niatnya bukan untuk menyekutukan Allah, tetapi sekedar menunjukkan penghormatan kepada wali Allah, kemudian berdoa dan membaca ayat- ayat al-Qur’an sehingga ia akan mendapatkan ganjaran pahala. Samasekali tidak ada niat menyembah kubur, karena ia menyadari bahwa menyembah kubur itu berarti sama dengan menyembah berhala dan ini jelas kesyirikan nya.

Selain contoh kasus yang dikemukakan diatas, banyak lagi kasus lain lagi tentang banyaknya orang-orang yang berargumen dengan tergantung niatnya dalam membenarkan sesuatu yang sebenarnya dinilai telah melanggar rambu-rambu syari’at islam.

Ikhlas dan Niat dalam Segala Perilaku Kehidupan

Memang benar, bahwa Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam pernah menyebutkan tentang “ semua perbuatan tergantung niatnya”, sebagaimana yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dalam sebuah hadits dalam Bab : Bagaimana Dimulainya Wahyu Kepada Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam :

حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ
قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Alqamah bin Waqash Al Laitsi berkata; saya pernah mendengar Umar bin Al Khaththab diatas mimbar berkata; saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan"

Hadits shahih tersebut diatas oleh banyak orang dijadikan dalil untuk membenarkan bahwa apa-apa yang dikerjakannya tidak menabrak syari’at karena sudah sesuai dengan niatnya sejak awal.

Penggunaan hadits tentang semua perbuatan tergantung niatnya, dalam membenarkan tindakan nampaknya selama ini sudah terjadi distorsi atau penyimpangan makna dari yang sebenarnya. Karena sebenarnya apabila diperhatikan secara seksama dan mau mendalaminya makna hadits riwayat Bukhari tersebut menurut pendapat para ulama adalah berkaitan dengan niat yang ikhlas dalam perilaku kehidupan ,yang tentunya harus selaras dengan syari’at .

Hadits Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam tentang tergantung pada niat di dalam Riyadhush-shalihin oleh Imam Nawawi, diketengahkan dalam bagian paling awal dibawah judul “ Ikhlas dan Niat dalam Segala Perilaku Kehidupan” dijelaskan oleh Al-Bani di catatan kaki dalam mentakhrij buku tersebut : “ wajibnya berniat di dalam setiap jenis ibadah,baik yang dimaksudkan untuk ibadah itu sendiri, seperti shalat, atau ibadah yang dimaksudkan sebagai syarat bagi jenis ibadah yang lain, seperti bersuci ( wudhu). Niat ini diwajibkan , karena tanpa niat, keikhlasan sulit digambarkan secara lahir. Hal ini sesuai dengan pendapat mayoritas ulama. Pendapat ini merupakan pendapat yang paling benar, tanpa ada keraguan didalamnya.

Sehingga dari uraian diatas, maka seyogyanya dalam melakukan berbagai kegiatan terutama hal-hal yang tidak sejalan dengan syari’at tidaklah selalu berdalih dengan tergantung niatnya

Mekipun dalam melakukan segala perilaku kehidupan telah bersikap ikhlas dan mempunyai niat, namun apabila tidak bersesuaian dengan tolok ukur As-sunnah maka akan tertolak.


Mencontoh Nabi Shallalahu ‘alaihi Wasallam



Rasullullah shalalahu ‘alaihi wasallam sesuai dengan tugas dan fungsi beliau sebagai utusan Allah yang memberikan bimbingan dan petunjuk kepada umatnya tentang bagaimana menunaikan kewajiban sebagai umat islam khususnya tentang beribadah kepada Allah Subhanahu Wata’ala sebagai bentuk perwujudan keta’atan seorang hamba kepada Sang Maha Pencipta.

Keta’atan umat islam kepadaAllah Subhanahu Wata’ala adalah sebagai manifestasi keimanannya kepada Allah dan Rasulnya, dan merupakan kewajiban yang diperintah oleh Allah SubhanahuWata’ala dalam al-Qur’an surah Ali Imran :31

“ Katakanlah : “ Jika kamu ( benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,niuscaya Allah Mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang “
Menurut Ibnu Katsir : ayat ini sebagai pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah tetapi tidak menempuh jalan Muhammad, Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam, bahwa dia adalah pembohong dalam pengakuan cintanya itu sehingga dia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam dalam semua ucapan dan perbuatannya.
Dari tafsir tentang ayat 31 Surah Ali Imran tersebut diatas, maka siapa saja yang mengaku sebagai orang yang beriman dan mengaku mencintai Allah, maka wajib baginya untuk mengikuti Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam dalamsemua ucapan dan perbuatannya. Kalau menyalahi tuntunan yang disampaikan oleh Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam dia disebut sebagai pembohong dalam penghakuan cintanya itu.
Berdasarkan kepada al-Qur’an ayat 31 surah Ali Imran yaqng dikutipkan diatas sudah selayaknya setiap insan muslim untuk mempedomani seluruh perbuatan, tingkah laku, perkataan dan sikap hidup Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam yang telah diinvetarisir melalui hadits-hadits yang shahih.
Mencontoh Nabi shalalahu ‘alaihi wasallam dalam beramal adalah bagian dari keta’atan kepada beliau, dimana ini sangat ditekankan sehingga amal yang dilakukan tetapi tidak sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasullal shalalahu ‘alaihi wasallam tidak diterima. Hal ini dipertegas dalam sabda beliau yang diriwayatkan oleh Abu Daud :
دَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ الْبَزَّازُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ قَالَ ابْنُ عِيسَى قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ صَنَعَ أَمْرًا عَلَى غَيْرِ أَمْرِنَا فَهُوَ رَدٌّ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ash Shabbah Al Bazzaz berkata, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'd. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Isa berkata, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Ja'far Al Makhrami dan Ibrahim bin Sa'd dari Sa'd bin Ibrahim dari Al Qasim bin Muhammad dari 'Aisyah radliallahu 'anha ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam a bersabda: "Barangsiapa membuat-buat suatu perkara yang tidak ada dalam agama kami, maka akan tertolak." Ibnu Isa menyebutkan, "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa membuat perkara baru selain dari yang kami perintahkan maka akan tertolak."
Hadits diatas secara tegas menyatakan bahwa siapa saja yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah yang datangnya dari Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam baik yang berbentuk perbuatan sebagai contoh atau dalam bentuk perkataan yang diucapkan beliau mengenai sesuatu amalan yang harus dikerjakan, maka amalan tersebut tidak diterima disisi Allah.

Sehingga dengan demikian sia-sialah amalan yang dilakukan karena tidakmendapatkan ganjaran pahala, malah sebaliknya menjadi berdosa karena membuat-buat amalan sendiri yang melebihi kapasitasnya sebagai pembuat syari’at. Karena pembuat syari’at dalam agama ini hanya Allah Subhanahu Wata’ala fdan Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam. Sedangkan syari;at itu telah tetap dan lengkap serta baku adanya. Tidak seorangpun yang diperbolehkan membuatnya.

Melakukan segala amal kebajikan tidak hanya sekedar berdasarkan kepada adanya niat dan keikhlasan, tetapi diterima atau tidaknya amal kebajikan tersebut oleh Allah Subhanahu Wata’ala juga ditentukan oleh faktor bersesuaiannya dengan syari’at, yang dalam hal ini adalah As-Sunnah Rasullulah shallalahu ‘alaihi wassallam. Karenanya segala amal kebajikan dilakukan harus mengacu kepada ada atau tidaknya contoh yang dilakukan oleh Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam. Apabila amal kebajikan itu memang pernah dilakukan oleh Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam maka itulah yang wajib di contoh dan diikuti oleh umatnya.

Mencontoh Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam dalam mengamalkan sesuatu yang ditinggalkan dan berpegang teguh kepada sunnah beliau sebagaimana disabdakan dalam hadits riwayat Imam Ahmad :

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ يَعْنِي ابْنَ صَالِحٍ عَنْ ضَمْرَةَ بْنِ حَبِيبٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَمْرٍو السُّلَمِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ الْعِرْبَاضَ بْنَ سَارِيَةَ قَالَ
وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَوْعِظَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ هَذِهِ لَمَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا قَالَ قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاءِ لَيْلُهَا كَنَهَارِهَا لَا يَزِيغُ عَنْهَا بَعْدِي إِلَّا هَالِكٌ وَمَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِمَا عَرَفْتُمْ مِنْ سُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ وَعَلَيْكُمْ بِالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ فَإِنَّمَا الْمُؤْمِنُ كَالْجَمَلِ الْأَنِفِ حَيْثُمَا انْقِيدَ انْقَادَ


Telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah yaitu Ibnu Shalih dari Dlamrah bin Habib dari Abdurrahman bin 'Amr As-Sulami sesungguhnya telah mendengar Al 'Irbadl bin Sariyah berkata; Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam memberi nasehat kepada kami dengan nasehat yang menyebabkan mata bercucuran dan hati menjadi tergetar. Kami bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ini adalah nasehat perpisahan, apa yang anda janjikan kepada kami?". Beliau bersabda: "Sungguh saya telah meninggalkan kalian dalam keadaan yang sangat jelas, malamnya sebagaimana siangnya. Tidak akan menyeleweng setelahku kecuali dia akan binasa. Barangsiapa yang hidup di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpeganglah dengan apa yang kalian ketahui dari sunnahku dan sunnah Khulafa' Rasyidin yang mendapat petunjuk. Kalian harus taat, walau terhadap hamba dari Habasyah, gigitlah dengan gigi geraham. Hanyasanya seorang mukmin itu laksana unta yang penurut, kemana dituntun dia akan nurut."

Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan Allah Subhanahu Wata’ala telah menyampaikan risalahnya kepada seluruh hambanya kaum muslimin, yang merupakan ikutan paling terbaik untuk dicontoh, sedangkan yang diluar itu adalah termasuk perkara bid’ah sehingga harus ditinggalkan dan dijauhi. Hal ini sesuai dengan sabda b eliau yang diriwayatkan Muslim:

“Amma ba’du, sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah,dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad: seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru, dan setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan di dalam neraka.”

Ittiba’ atau mengikuti Rasullulah dalam melakukan semua amal kebajikan adalah merupakan hal yang terpuji karena selarasdan sejalan dengan sunnah sebagai syari’at islam.

F a e d a h

1.Segala amal kebajikan yang dilakukan tidak cukup dengan syarat iklas hanya untuk Allah Azza Wa’jalla semata tetapi ada syarat lain yaitu berupa iitiba’ kepada Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam, dengan mencontoh kepada apa yang dilakukan oleh beliau , sedangkan yang tidak pernah dilakukan atau dicontohkan beliau atau yang diperintahkan beliau harus ditinggalkan dan dijauhi, karena itu adalah bid’ah. Janganlah mencoba-coba untuk membuat amalan baru, agar dianggap banyak melakukan ibadah dan dikira akan mendapatkan pahal yang banyak pula

2. Orang yang mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah Azza Wajalla semata, dan dalam melakukan ibdah itu ia mencontoh Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam , maka amalannya tersebut akan diterima .

3. Orang yang kehilangan keikhlasan dan kehilangan ittiba’ kepada Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam , atau kehilangan salah satu diantara keduanya, maka amalannya itu akan tertolak.

Wallaahu Ta’ala ‘alam.

Sumber bacaan :

1. Al-Qur’an dan terjemahan ( Departemen Agama RI )
2. Tafsir Ibnu Katsir (
3. Enseklopedi Hadits 9 Imam (lidwa Pusaka)
4. Shahih riyadhush shalihin oleh Syaikh Muhammas Nmasiorudin al-Bani
5. Kumpulan Tanya-Jawab Bid’ah dalam Ibadah Syaikh Abdul Aziz bin Baz
6. Mengupas Sunnah Membedah Bid’ah

Selesai diposting , Selasa, 7 Ramadhan 1431 H/17 Agustus 2010 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar