M U K A D D I M A H
M U K A D D I M A H : Sesungguhnya, segala puji hanya bagi Allah, kita memuji-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kami serta keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tak ada yang dapat menyesatkannya. Dan Barang siapa yang Dia sesatkan , maka tak seorangpun yang mampu memberinya petunjuk.Aku bersaksi bahwa tidak ada Rabb yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, yang tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam adalah hamba dan utusannya.
Rabu, 15 Agustus 2012
BOLEHKAH MEMBELI B ERAS UNTUK ZAKAT FITRAH DARI PETUGAS BAZ DIMASJID/LANGGAR
Dengan telah dimasukinya hari sepuluh terakhir bulan ramadhan para pengurus/takmir masjid, langgar atau surau di negeri ini sibuk dengan aktifitas pengumpulan zakat dari masyarakat muslim yang ada disekitar mereka. Mengawali kegiatan pengumpulan zakat tersebut adalah membentuk panitia/amil di masing-masing masjid, langgar, mushalla atau surau-surau yang bertanggung jawab untuk melayani penerimaan zakat dari masyarakat baik zakat fitrah maupun zakat harta atau zakat maal. Sebagaimana yang dulu pernah penulis lakukan sewaktu masih menjadi ketua umum badan pengelola masjid dikompleks perumahan penulis.
Sesuai dengan ketetapan syar’i tentang pengeluaran zakat fitrah oleh para muzaki dalam bentuk bahan makanan pokok masyarakat setempat dalam hal ini beras untuk masyarakat muslim di Indonesia, sebaian umat islam mengeluarkan zakat firahnya berupa beras melalui panitia/amil.
Untuk mempermudah memberikan pelayanan kepada masyarakat wajib zakat ( yang disebut muzaki ), khususnya dalam mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk natura berupa beras, agar bersesuian dengan sunnah Rasullulah shallalahu ‘alaihi wasallam yang disebutkan diatas , panitia/amil menyediakan beras ntuk dijual kepada muzaki agar mereka tidak sulit membawa beras dari rumah masing-masing, mereka cukup hanya membeli beras dari panitia/amil.
Panitia/amil menyediakan paket beras sesuai dengan jumlah jiwa yang akan mengeluarkan zakat, terdiri dari berbagai ukuran timbangan,baik dari ukuran 2,5 kg sampai ukuran 10 kg untuk 4 orang.
Pada saat muzaki yang datang tidak membawa beras sendiri, maka panitia/amil menyodorkan beras yang telah disediakan untuk dibeli oleh calon muzaki dengan harga sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dalam hal ini Kantor Departemen Agama R.I setempat. Apabila orang yang datang akan mengeluarkan zakatnya tanpa tanggungan, maka disodorkanlah tempat berisi beras dengan ukuran timbangan sebanyak 2,5 kg. Apabila orang yang akan mengeluarkan zakat fitrahnya mempuyai satu tanggungan ( berdua dengan siwajib zakat), maka panitia/amil menyodorkan tempat yang berisi beras dengan ukuran timbangan sebanyak 5 kg . Kalau ada 3 tanggungan ( berempat dengan siwajib zakat) panitia menyodorkan beras dengan ukuran timbangan 10 kg.
Setelah beras disodorkan oleh panitia/amil maka terjadilah akad jual beli beras dengan ukuran sejumlah jiwa muzaki dikali dengan beras sebanyak 2,5 kg dengan harga yang telah ditetapkan. Dengan adanya proses/akad jual beli tersebut, maka hak kepemilikan sejumlah beras telah beralih kepada calon muzaki, sedangkan panitia amil berhak memperoleh uang hasil penjualan beras sebagai hasil pemasukkan bagi panitia/amil.
Beras yang telah dibeli dari panitia/amil zakat tersebut oleh muzaki diserahkan kembali kepada panitia/amil sebagai zakat fitrah muzaki dengan seluruh tanggungannya.
Berikutnya apabila kemudian ada datang calon muzaki yang lain lagi, maka kembali terjadi proses sebagaimama dikemukakan diatas, tetapi beras yang dijual kepada sicalon muzaki oleh panitia/amil adalah beras hasil yang diperoleh dari zakat fitrah dari muzaki sebelumnya. Demikianlah terjadi proses akad jual beli beras antara panitia/amil dengan orang-orang calon muzaki secara terus menerus dengan beras yang sama secara berulang-ulang.
Sehingga dalam buku catatan panitia/amil jumlah uang hasil penerimaan zakat fitrah terus meningkat sebanding dengan jumlah muzaki. Sedangkan jumlah berasnya tidak bertambah-tambah. Kecuali ada para muzaki yang datang membawa beras untuk mengeluarkan kewajiban zakat fitrahnya.
Cara pelaksanaan pengumpulan zakat fitrah oleh panitia/amil dari para muzaki seperti tersebut diatas adalah suatu cara untuk mensiasati kewajiban mengeluarkan zakat fitrah berupa makanan pokok sesuai ketentuan syari’at, dimana muzaki tidak mengeluarkan zakat fitrahnya dengan uang tetapi dalam bentuk natura berupa beras. Karena berasnya tidak dibawa sendiri oleh muzaki, maka muzaki membelinya dari panitia/amil.
Akad Jual Beli Beras Untuk Zakat Fitrah Antara Panitia/Amil Dengan Calon Muzaki Ditinjau Dari Syari’at.
Sebelum membicarakan lebih lanjut tentang akad jual beli beras untuk zakat fitrah antara panitia/amil dengan calon muzaki ditinjau dari syari’at islam, maka secara sepintas kilas kiranya perlu dulu disinggung tentang jual beli dari sudut pandang islam.
Islam sebagai agama yang sangat sempurna dalam mengatur dari hal-hal ibadah kepada Allah Subhanahu wata’ala, juga telah mengatur hal-hal yang berkaitan dengan aturan berinteraksi sesama manusia termasuk didalamnya hal-hal mengenai jual –beli. Dimana jual-beli merupakan tukar menukar suatu barang dengan barang lain dengan tujuan untuk memilikinya. Termasuk disini dengan menggunakan uang sebagai alat tukar.Allah ‘Azza wajjala menghalalkan jual-beli demi mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia, sesuai dengan firman-Nya dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 275 :
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ
الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَن جَاءهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىَ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُوْلَـئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Dalam fiqih islam telah diatur tentang bagaimana akad jual beli, dan telah digariskan pula bagaimana sahnya jual beli tersebut.
Di dalam buku ensiklopedi islam Al-Kamil yang disusun oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri dikemukan syarat-syarat sahnya jual beli yaitu antara lain :
1. Kerelaan kedua belah pihak antara penjual dan pembeli.
2. Kedua b elah pihak adalah orang yang dibolehkan melakukan transaksi, yakni keduanya mukalaf dewasa)
3. B arang yang diperjual belikan boleh dimanfaatkan secara mutlak. Sehingga tidak diperbolehkan menjual sesuatu yangb tidak mempunyai nilai manfaat. Seperti menjual nyamuk dan kecoak.
4. Barang yang diperjual belikan milik pribadi penjual, atau penjual mendapat izin untuk menjualnya saat akad transaksi.
Abu Malik Kamal bin ads-Sayyid Salim dalam buku beliau shahih Fiqih Sunnah mengemukan mengenai menjual barang yang tidak dimiliki adalah terlarang, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Hakim bin Hizam, ia berkata
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ نَهَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَبِيعَ مَا لَيْسَ عِنْدِي قَالَ أَبُو عِيسَى وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarangku menjual sesuatu yang tidak ada padaku (yang tidak aku miliki). Abu Isa berkata; Hadits ini hasan dan dalam hal ini ada hadits serupa dari Abdullah bin Amru.(shahih ).
Dihadits lain yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dari Hakim bin Hizam, ia berkata :
iدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي بِشْرٍ عَنْ يُوسُفَ بْنِ مَاهَكَ عَنْ حَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ
يَا رَسُولَ اللَّهِ يَأْتِينِي الرَّجُلُ فَيُرِيدُ مِنِّي الْبَيْعَ لَيْسَ عِنْدِي أَفَأَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ فَقَالَ لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
, "Wahai Rasulullah, seorang laki-laki datang kepadaku ingin membeli sesuatu yang tidak aku miliki, apakah boleh aku membelikan untuknya dari pasar? Beliau bersabda: "Janganlah engkau menjual apa yang tidak engkau miliki!"(Shahih)
Dijelaskan bahwa dilarangnya menjual apa yang tidak menjadi milik sendiri dan tidak pula dalam kekuasaannya sehingga hal ini mengandung gharar (penipuan) sedangkan jual beli yang mengandung gharar dilarang
dalam islam .
Kembali kepada pokok persoalan yaitu akad jual-beli beras untuk zakat fitrah, antara panitia/amil dengan muzaki ditinjau dari syari’at islam, maka timbul pertanyaan apakah beras yang dijual oleh panitia/amil kepada muzaki untuk digunakan oleh muzaki sebagai membayar/mengeluarkan zakat fitrah itu adalah memang benar-benar sah secara hukum merupakan miliknya panitia/amil.
Dilihat dari segi itu, maka pada awal-awalnya memang benar beras yang disediakan oleh panitia/amil sah miliknya panitia/amil,karena pengadaan beras tersebut dilakukan/dibeli oleh panitia/amil dengan menggunakan dana milik panitia/amil. Tetapi pada tahap berikutnya setelah beras tersebut dijual kepada muzaki, maka kepemilikannya beralih kepada si muzaki. Kemudian si muzaki menyerahkan beras tersebut sebagai zakat fitrah kepada panitia/amil dimaksudkan sebagai amanah untuk diteruskan/dibagikan kepada yang berhak menerimanya. Jadi dalam hal ini panitia/amil hanyalah selaku pihak penerima titipan atas beras tersebut, bukan sebagai pemiliknya. Karena bukan hak milik sendiri, maka panitia/amil dilarang menjual beras tersebut kepada pihak lain lagi.
Dari ulasan diatas, maka dapatlah ditarik benang merah persoalan dengan membandingkannya dengan hadits dari Rasullullah shallalahu ‘alaihi wasallam sebagai dalil tolok ukur, ternyata apa yang telah dilakukan oleh panitia/amil bertolak belakang dan tidak sejalan dengan syari’at (as-sunnah).
Dan tidaklah sepatutnya panitia/amil yang berkerja dalam hal kebaikan melanggar rambu-rambu agama dalam hal proses pengumpulan zakat dari para muzaki.
Kalau panitia/amil dalam mengumpulan zakat fitrah dari para muzaki dengan melakukan proses jual beli beras dengan menggunakan beras hasil pengumpulan zakat fitrah yang sebenarnya merupakan barang titipan dan amanah untuk dibagikan lagi ,sebagai mana yang sekarang ini banyak dilakukan oleh panitia/amil diberbagai tempat, maka ia telah melanggar dua kesalahan yaitu yang pertama melanggar amanah dengan menjual barang titipan dan yang kedua melanggar larangan menjual barang yang bukan miliknya sendiri.
Pelanggaran dalam akad jual- beli beras antara panitia/amil dengan muzaki, tentunya kesalahan tidak adil hanya dibebankan kepada panitia/amilselaku penjual, tetapi terkena pula menanggung resiko pihak pembeli dalam hal ini muzaki, karena si muzaki membeli beras dari panitia/amil sebagai pihak yang tidak mempunyai hak kepemilikan . Tentunya akad jual-beli tidak sah dimata hukum. Karena beras yang dibeli untuk dijadikan zakat fitrah tidak sah, maka secara hukum zakat fitrah dari muzaki berupa beras tersebut juga dianggap tidak sah. Namun mengingat kemungkinan selama ini baik orang-orang yang berkecimpung selaku amilin dalam panita/amil maupun para muzaki masih jahil terhadap masalah ini maka Allah Subhanahu Wata’ala akan mengampuninya kesalahan mereka sebagai akaibat ketidak ketahuannya.Insya Allah dan mudah-mudahan Allah Subhanahu Wata’ala menerima amal mereka sesuai dengan niat mereka selaku muzaki untuk menunaikan kewajiban zakat fitrah .
Meskipun pada prakteknya uang hasil penjualan beras kepada muzaki tersebut nantinya dibagikan kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya, namun pada hakekatnya zakat dari muzaki yang diterima seharusnya dalam bentuk beras, tetapi oleh panitia/amil dirubah dalam bentuk uang.
Proses pelaksanaan pengumpulan zakat fitrah oleh panitia/amil dari muzaki seperti yang digambarkan dibagian awal dari tulisan ini dan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah oleh para muzaki dengan cara terlebih dahulu membeli beras dari panitia/amil kemudian menyerahkan kembali sebagai zakat fitrah, merupakan sesuatu yang sudah lumrah dan baku dilakukan sejak dari dulu dan terus berkembang serta dilakukan sampai sekarang ini di banyak masjid, langgar, rumah ibadah di berbagai tempat dinegeri ini, dan hal tersebut nampaknya tidak pernah dipersoalkan dan dibicarakan oleh para ulama, kiai dan ustadz, sehingga oleh kebanyakan pengurus Badan Pengelola Masjid/ta’mir masjid dan panitia/amil itulah cara yang mereka lakukan sudah benar dan tidak bertentangan dengan syari’at.
Dalam proses pengumpulan zakat fitrah oleh panitia dari para muzaki tidak boleh hanya dilihat dari pentingnya peran panitia/amil tersebut kemudian membagikannya kepada mereka-mereka yang berhak menerimanya sebagaimana yang telah diatur dalam syariat, tetapi juga perlu ditinjau tentang bagaimana cara dan metode pengumpulan zakat fitrah dari muzaki berupa beras. Tidak selayaknya untuk berbuat kebaikan dengan harus menghalalkan cara-cara yang telah diharamkan.
Belajar dari kasus sebagaimana yang diutarakan diatas, maka kewajiban bagi penulis untuk menyampaikan dan mengajak kepada saudara-saudara muslim yang belum mengetahuinya, untuk meninggalkan cara-cara seperti disebutkan diatas dalam menunaikan kewajiban mengeluarkan zakat fitrah baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang-orang yang menjadi tanggungannya.
Kemudian tunaikanlah zakat fitrah dengan menggunakan beras sebagai bahan makanan pokok sesuai dengan yang diperintahkan oleh Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam sebagaimana hadits riwayat Imam Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhyallaahu anhum berkata :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ
أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَجَعَلَ النَّاسُ عِدْلَهُ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ
“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kami tentang zakat fithri berupa satu sha' dari kurma atau satu sha' dari gandum". Berkata, 'Abdullah radliallahu 'anhu: "Kemudian orang-orang menyamakannya dengan dua mud untuk biji gandum".
Dihadits lain yang diriwayatkan oleh imam Muslim dari Sa’id bin Al Khudri ia berkata :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا دَاوُدُ يَعْنِي ابْنَ قَيْسٍ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ
كُنَّا نُخْرِجُ إِذْ كَانَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ كُلِّ صَغِيرٍ وَكَبِيرٍ حُرٍّ أَوْ مَمْلُوكٍ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
فَلَمْ نَزَلْ نُخْرِجُهُ حَتَّى قَدِمَ عَلَيْنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ حَاجًّا أَوْ مُعْتَمِرًا فَكَلَّمَ النَّاسَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَكَانَ فِيمَا كَلَّمَ بِهِ النَّاسَ أَنْ قَالَ إِنِّي أَرَى أَنَّ مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ الشَّامِ تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ فَأَخَذَ النَّاسُ بِذَلِكَ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ فَأَمَّا أَنَا فَلَا أَزَالُ أُخْرِجُهُ كَمَا كُنْتُ أُخْرِجُهُ أَبَدًا مَا عِشْت
“Pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam masih hidup, kami membayar zakat fithrah untuk setiap orang, baik anak kecil maupun dewasa, merdeka maupun budak, yaitu satu sha' makanan berupa keju, atau gandum, atau kurma atau anggur kering. Pada masa pemerintahan Mu'awiyah bin Abu Sufyan, dia berpidato di hadapan jama'ah haji atau umrah, katanya antara lain; "Dua Mud gandum negeri Syam sama dengan satu sha' kurma." Karena pidatonya itu maka banyak orang yang membayar zakat fithrahnya seperti itu. Abu Sa'id berkata, "Tetapi aku tetap saja membayar seperti apa yang telah kulakukan sejak zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam hingga akhir hayatku."
Dalam penunaian kewajiban zakat fitrah, ada pula ulama yang membolehkannya dalam bentuk uang sesuai dengan pendapat imam Abu Hanifah, Ats-Tsauri dan Al-Hasan Basri, namun imam-imam lainnya seperti imam Malik, Syafi’i dan Imam Ahmad tidak merekomendasikannya. Demikian pula seluruh ulama dari kalangan pengikut salafus shalih memfatwakan agar menggunakan bahan makanan pokok untuk zakat fitrah. Alasannya seandainya dibolehkan dengan digantikan dengan uang, maka tentunya Rasullullah shalalahu ‘alaihi wasallam dan seluruh sahabat pernah melakukannya,sedangkan pada zaman Rasullulah shalalahu ‘alaihi wasallam sudah dikenal mata uang berupa dirham dan dinar .
Selanjutnya agar pelaksanaan penunaian kewajibab zakat fitrah melalui amil sesuai dengan syari’at dengan menggunakan beras, maka berasnya haruslah disiapkan dan dibawa sendiri oleh masing-masing muzaki, apakah dibawa dari rumah atau mungkin juga dibeli ditoko-toko, warung-warung .
Wallaahu Ta’ala ‘alam.
Sumber bacaraan :
1. Al-Qur’an dan terjemahan Departemen Agama R.I
2. Kitab Hadits 9 imam sofware lidwa Pusaka.
3. Shahih Fiqih Sunah , Abu Malik Kamalb in as-Sayyid Salim (terjemahan)
4. Ensiklopedi Islam Al-Kamil , Syaikh Muhammad bvin Ibrahim bin Abdullah At-Tuwaijiri.
Diselesaikan bada ashar ,arba 27 Ramadhan 1433 H/27 Agustus 2012
Disusun oleh : Musni Japrie
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar