Oleh : Musni Japrie al-Pasery
Hampir setiap orang pernah diundang untuk hadir dalam acara pernikahan, dan didalam acara pernikahan tersebut berbagai prosesi ritual keagamaan kita saksikan dilakukan oleh pasangan pria dan wanita sesuai dengan yang diarahkan oleh penghulu atau imam P3NTR yang bertugas. Sepertinya seluruh rangkaian prosesi pernikahan tersebut dilakoni sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh agama,baik dalam Kitabbullah maupun Sunnah Rasullulah shallalahu 'alaihi wa sallam. Tetapi ternyata apabila dievaluasi secara seksama dengan menggunakan tolok ukur syari’at maka ternyata di dalam penyelenggaraan dari persiapan sampai di dalam acara intinya ditemui beberapa kemunkaran dan bid’ah. Kenapa di dalamnya dikatakan ada prosesi yang dikatagorikan sebagai bid’ah. Itu tidak lain disebabkan oleh adanya penambahan hal-hal yang bersifat baru .
Karena pernikahan merupakan bagian dari ibadah, maka hal-hal yang diada-adakan dalam
prosesi pernikahan tersebut lebih tepat dinamai bid’ah.
Begitu pula mungkin timbul pertanyaan ,mengapa di dalam penyelenggaraan pernikahan terdapat perkara-perkara yang munkar? , padahal pernikahan sendiri adalah bagian dari penyelamatan kemaksiatan yang yang dianjurkan oleh agama, karena nikah adalah sebagai upaya menyelamatkan sebagian dari agama.
Tidak dapat diingkari , bahwa sebenarnya dalam penyelenggaraan pernikahan dijumpai adanya beberapa kemunkaran yang kurang atau tidak disadari oleh penyelenggaranya atau oleh mereka-mereka yang datang menghadiri pernikahan tersebut. Sebagai contoh bercampur baurnya undangan pria dan wanita tanpa batas penghalang dalamsatu tempat merupakan sebuah kemunkaran, disediakannya hiburan berupa musik dan nyanyian serta tari-tarian juga merupakan kemunkaran.
Kenapa hal-hal semacamitu disebut sebuah kemunkaran ?. Hal ini karena syari’at islam menginkari itu semua dan melarangnya. Sehingga dengan demikian kemungkaran tiada lain adalah melakukan sesuatu perbuatan yang tidak diperb olehkan untuk dilaksanakan, kalau dilakukan berarti melanggar rambu-rambu syqai’at yang sudah ditetapkan baik dalamAl-Qur’an maupun dalam Sunnah Rasullullah shallalahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan yang berkaitan dengan bid’ah, Al - Hafizh Ibnu Rajab al-Hambali menyebutkan bahwa : Yang dimaksudkan dengan bid'ah adalah yang tidak memiliki dasar hukum dalam ajaran syari'at yang mengindikasikan keabsahannya. Maka setiap orang yang membuat-buat sesuatu lalu menisbatkannya kepada ajaran agama namun tidak tidak memiliki landasan dari ajaran agama yang bisa dijadikan sandaran berarti itu adalah kesesatan.
Ajaran islam tidak ada hubungannya dengan bid'ah semacam itu. Tidak ada bedanya antara perkara yang berkaitan dengan keyakinan, amalan, ataupun ucapan, lahir maupun bathin.
Didalam kita melakukan amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah yang disebut sebagai ibadah haruslah memenuhi persyaratan yaitu mengikhlaskan amalan untuk Allah semata yang tidak ada sekutu baginya, sedangkan persyaratan yang kedua adalah harus mencontoh kepada Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam . Wajibnya kita mengikuti apa yang dicontohkan atau yang diperintahkan oleh Rasullulah shallalahu 'alaihi wa sallam adalah didasarkan kepada hadits riwayat Muslim ,bahwa beliau shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda :
" Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak didasari oleh agama kami, maka amalannya tertolak"
Mengenai tercelanya bid'ah itu banyak dikemukakan dalam beberapa hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah shallalahu 'alaihi wa sallam dan peringatan Nabi terhadapnya.
Hadits dari Jabir bin Abdullah diriwayatkan oleh Muslim bahwa Rasullulah shalalahu 'alaihi wa sallam bersabda : " Amma ba'du, Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk ibadah adalah yang dibuat-buat, dan setiap bid'ad itu adalah sesat."
Sedangkan hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa'i disebutkan :
" Setiap yang dibuat-buat adalah bid'ah, setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya adalah neraka "
Karena Rasullulah shallalahu 'alaihi wa sallam telah mengingatkan tentang tercelanya bid'ah, maka wajib bagi kita dalam melakukan setiap bentuk amal shaleh apa saja menjauhkan diri dari perkara-perkara bid'ah, kerjakan apa yang dicontohkan dan diperintahkan saja, jangan menambah-nambah sendiri, meskipun itu baik menurut pikiran dan hawa nafsu kita. Termasuk dalam hal dalam penyelenggaraan pernikahan yang juga termasuk sebagai ibadah.
Sebenarnya Islam telah memberikan petunjuk yang sangat jelas tentang pernikahan tersebut dalam hukum fiqih , dimana rujukan mengenai tata cara dan aturannya sangatlah simple dan tidak rumit serta bertele-tele. Namun karena diantara umat islam ini ada yang suka usil dengan menambah-nambahkan hal-hal yang baru berdasarkan kehendak hawa nafsu dan pikirannya
yang dianggapnya baik, maka dimasukkanlah kedalamnya detail acara pernikahan yang bersumber dari tradisi dan budaya lokal serta mengimport dari budaya non muslim.
Karena kejahilan sebagian umat islam akan agamanya, terutama pihak-pihak yang bertanggung jawab dalam pengadministrasian pernikahan yang membiarkan dan sengaja melestariskan berbagai penyimpangan dari aturan syarf'i , maka jadilah kebiasaan acara pernikahan tersebut melembaga ditengah-tengah masyarakat, dan jadi panutan yang tidak boleh dilewatkan. Meskipun itu sebenarnya jelas-jelas menyalahi Sunnah Rasullulah shalalahu 'alaihi wa sallam,hal itu disebabkan tidak ada satupun nahs yang shahih untuk dapat dijadikan hujjah, maka sungguh nama yang patut diberikan kepada begitu banyak bagian dari prosesi pernikahan tersebut tiada lain adalah bid'ah.
Pada uraian berikut ini satu-persatu diketengahkan hal-hal yang berkaitan dengan prosesi pernikahan yang termasuk bid'ah.
Menentukan Waktu Pernikahan
Seorang teman bercerita tentang pengalamannya sewaktu melamarkan bakal calon salah seorang putranya di suatu daerah di Jawa Timur yang dikenal kental dengan warna ke Islaman nya. Cukup lama waktu yang dibutuhkan untuk menentukan waktu penyelenggaraan pernikahan, karena sepertinya wajib untuk memilih tanggal, hari, dan bulan yang baik menurut hitungan kalender Jawa. Keluarga pihak yang dilamar menolak dilakukannya pernikahan dalam bulan Syafar karena bulan tersebut diyakini mengandung berbagai keburukan.
Memilih tanggal, hari dan bulan yang baik untuk melakukan pernikahan, sepertinya kita dapati pada semua daerah di negeri ini, karena sebagian umat islam yang masih jahil akan agamanya memiliki keyakinan bahwa pada bulan-bulan tertentu dalam kalender Hijriah dihindari untuk melakukan pernikahan disebabkan akan ditemui berbagai hambatan, selain itu dikemudian hari akan muncul hal-hal yang tidak diinginkan dalam rumah tangga yang melakukan pernikahan.
Sebenarnya merupakan bagian dari keimanan seseorang bahwa segala kebaikan maupun keburukan yang menimpanya datangnya berasal dari Allah. Allah lah sebagai penentu dan tidak ada yang lainnya. Begitu juga dengan waktu sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan daya untuk memberikan kebaikan atau keburukan kepada manusia, karena waktu atau masa juga termasuk mahluk yang ciptaan Allah.
Termasuk satu hal yang dilarang di dalam islam meyakini bahwa memilih waktu yang tidak tepat untuk menyelenggarakan hajatan seperti pernikahan akan mendatangkan kemudharatan bagi penyelenggaranya. Seluruh tanggal, hari dan bulan sama baiknya di mata islam. Hanya orang jahil saja yang menyatakan tanggal, hari dan bulan tertentu mengandung kebaikan dan keburukan di dalamnya.
Mereka yang menyatakan waktu baik berupa tanggal, hari maupun bulan dapat mendatangkan kemudharatan merupakan penghujatan dan pencelaan terhadap waktu atau masa tersebut.
Sebagai hamba Allah kita dilarang untuk menghina atau mencela waktu atau masa, mereka-mereka yang mencela atau melakukan penghinaan terhadap waktu atau masa berarti telah menyakiti Allah. Hal ini dinyatakan dalam shahih Bukhari dan Muslim dimana Rasullulah shallalahu 'alaihi dalam sebuah hadits qudsi telah bersabda :
" Allah Ta'ala berfirman: " Anak Adam menyakiti Aku, ia mencela masa, padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa. Akulah yang membolak balikkan malam dan siang "
Sedangkan dalam riwayat lain disebutkan :
"janganlah kalian mencela masa, maka sungguh Allah itu adalah pemilik dan pengatur masa
Dari penjelasan yang dikemukan diatas dapat disimpulkan bahwa semua waktu,baik tanggal, hari dan bulan adalah baik, tidak ada bedanya satu sama lainnya. Pernikahan boleh dilakukan
kapan saja dan tidak terikat oleh waktu. Apabila terjadi atau ditemukan kemudharatan maka itu datangnya dari Allah Azza' Jawalla sebagaimana juga kebaikan, bukan ditentukan oleh waktu pelaksanaan pernikahan.
Merias Pengantin.
Sudah menjadi suatu kelaziman dimana pun, suku apapun, bangsa apapun dan agamapun , dalam acara pernikahan, pasangan pengantin pria dan wanita dirias agar nampak semakin cantik dengan menggunakan pakaian kebesaran trasional yang mencirikan khas kedaerahan dan ada pula yang menggunakan gaun modern ala barat.
Pengantian yang dirias untuk pernikahan menurut Abu MalikKamal bin as- Sayyid Salim dalam buku beliau Shahih Fiqih Sunnah pada Kitab Nikah disebutkan sebagai suatu kemunkaran
yang paling parah yang telah menjadi kebiasaan yang tidak diingkari. Apalagi kadang-kadang tukang rias pengantinnya adalah waria yang diharamkan hukumnya menjamah tubuh wanita yang diriasnya. Sedangkan untuk pria yang dirias oleh tukang rias wanita hukumnya juga haram.
Bahkan kadang-kadang tukang rias membuang bulu alis dan bulu bulu halus yang tumbuh disekitar wajah calon pengantin wanita, padahal syaikh Bin Baz , dalam fatwa-fatwa terkini menyebutkan bahwa itu tidak boleh dilakukan karena Rasullulah shallalahu ‘alaihi wa sallam melaknat wanita yang mencukur dan dicukurkan bulu alisnya ( HR. Bukhari dan Muslim ). Makna mencukur disini ialah menghilangkan atau mencabutnya.
.Selain dari itu disebutkan pula oleh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim dalam buku tersebut diatas ,haram hukumnya dan tidak boleh dilakukan, pengantin wanita menampakkan perhiasannya ( tabarruj ) pada hari pernikahan jika dilihat oleh selain sesama kaum wanita dan para mahrammnya. Pengantin wanita boleh berhias sekehendaknya, dengan syarat tidak memperlihatkannya kepada laki-laki asing bukan mahrammnya, sedangkan diacara pernikahan undangan yang hadir selain kaumwanita juga terdapat undangan laki-laki yang tentunya tidak termasuk mahram pengantin wanita. Sedangkan umumnya pengantin dipersandingkan didepan undangan yang terdapat pula didalamnya kaum lelaki.
Kebanyakan dari kita kaum muslimin tidak menyadari hal ini, malah memerintahkan pengantin wanita dirias biar nampak semakin cantik dan diberi pakaian yang indah-indah dengan sengaja menampakkan auratnya, padahal sebenarnya islam melarang untuk itu. Banyak diantara kita tidak mengerti bahwa syariat islam telah dilanggar, hanya untuk kepentingan penampilan saja. Hal sedemikian dilakukan karena pakaian dan perhiasan. ketidak tahuan dan kejahilan kita akan segala bentuk larangan dalam syari'at islam yang berkaitan dengan
Ketahuilah islam telah menetapkan pakaian untuk wanita haruslah menutup seluruh auratnya, sedangkan aurat untuk kaum wanita adalah seluruh bagian tubuhnya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Begitu juga tentunya bagi pengantin wanita wajib mengenakan pakaian yang menutup auratnya.Sementara ini dalam penampilan untuk pernikahan, pengantin wanitanya mengenakan pakaian yang meniru-niru ( tasyabbuh ) kaum non muslim agar disebut modern, padahal Rasullulah telah member petunjuk bagaimana cara penampilan dan berpakaian bagi seorang wanita.
Muhammad bin 'Ali Adh Dhabi'i dalam bukunya Bahaya Mengekor Muslim dibawah judul Larangan meniru kaum Yahudi dan kaum lain, menyebutkan bahwa Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata bahwa Abu Dawud rahimahullah telah meriwayatkan sebuah hadits hasan dari Ibnu 'Umar radhiyallahu anhum, ia berkata bahwa Rasullulah shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda :
" Barang siapa meniru suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka"
Dikatakan lebih lanjut bahwa hadits diatas menetapkan haramnya meniru mereka dan secara dhahir menunjukkan bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan kufur sebagaimana yang tersebut pada firman Allah dalam surah Al Maidah ayat 51 :
" Barang siapa diantara kamu berteman dengan mereka,maka sesungguhnya ia termasuk golongan mereka "
Dari beberapa hujjah yang dikemukan tersebut maka wajib hukumnya bagi pengantin wanita untuk tidak dirias dan tidak mengenakan pakaian pengantin yang menunjukkan auratnya. Apa yang sekarang diperbuat oleh sebagian umat muslim dalam menyelenggarakan hajat pernikahan, pengantin wanitanya dirias dan diberi pakaian yang menampakkan auratnya . Hal sedemikian sudah menjadi trend di tengah-tengah masyarakat kita.
Bercampur Baurnya Undangan Laki-Laki dan Perempuan .
Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa selama ini dalam setiap undangan pernikahan yang diundang tidak saja terbatas pada kaum laki-laki atau pada kaum perempuan saja, tetapi umumnya kaum laki-laki dan kaum perempuan diundang secara bersama-sama dan hadir pada waktu dan tempat yang sama. Dimana kebanyakan mereka yang hadir antara satu dengan yang lainnya tidak memiliki hubungan sebagai mahram. Sedangkan percampuran atau berbaurnya antara kaum wanita dan laki-laki yang bukan mahram dalam satu tempat dilarang dalam islam.
Dalam fatwanya, syaikh Ibnu Baz di dalam fatawal Mar’ah yang dikutip dalam buku fatwa-fatwa terkini menyebutkan bahwa terjadinya percampurbauran ( ikhtilath ) antara laki-laki dan perempuan adalah sangat tercela.
Sebelum priode tahun tujuh puluhan di negeri ini, acara yang pernikahan yang dilakukan oleh keluarga muslimin , undangan bagi kaum laki-laki dibedakan waktunya dengan undangan yang diperuntukkan bagi kaum wanita. Kaum laki-laki biasanya diundang khusus untuk menghadiri acara akad nikah , yang diselenggarakan pada malam hari, dimana pada kesempatan itu hanya pengantin pria saja yang tampil dan tidak ada persandingan dengan mempelai wanita. Tetapi kadang-kadang ada juga acara akad nikah yang dilakukan pada pagi hari dengan undangan khusus untuk kaum lelaki. Sedangkan bagi kaum wanita diundang untuk menghadiri acara bersandingnya mempelai, dan b iasanya ini dilakukan pada siang hari. Apa yang dilakukan oleh orang-orang terdahulu tersebut dengan memisahkan undangan dan acara untuk kaum laki-laki dan kaum wanita secara sendiri-sendiri adalah sebagai upaya untuk mensiasati agar tidak terjadinya percampur bauran antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam satu tempat dan dalam waktu yang sama.
Tradisi yang seperti itu tidak lagi mendapatkan perhatian , karena acara pernikahan yang meniru-niru kaum non muslim dengan menyelenggarakan resepsi di gedung atau dihotel dengan mengundang kaum laki-laki dan perempuan secara berpasangan, dianggap sebagai hal lumrah .
Menabur Beras Kuning dan Ucapan Shalawat.
Di hari pernikahan, pada saat calon pengantin pria tiba dirumah calon pengantin wanita , didepan pintu masuk, calon pengantin pria oleh seseorang yang dituakan atau bahkan kadang-kadang oleh penghulu disambut dengan menaburkan beras kuning diiringi ucapan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad shallalahu 'alaihi wa sallam, yang kemudian disambut juga dengan ucapan yang sama oleh orang-orang yang hadir dengan suara yang keras..
Prosesi penyambutan seperti itu termasuk bagian dari bid'ah, karena tidak ada satupun nahs baik yang maudhu', dha'if apalagi yang shahih yang mencontohkan hal seperti itu pernah dilakukan atau diperintahkan oleh Rasullulah shallalahu 'alaihi wa sallam ataupun pernah dikerjakan oleh para sahabat, tabi'in dan tabi'ut tabi'in.
Dalam buku Parasit Aqidah oleh A.D.El.Marzdedeq disebutkan bahwa prosesi menaburkan beras kuning pada acara perkawinan merupakan bagian ritual dari pemujaan kepada Dewa Sri atau dewi padi dari zaman aninisme kemudian dipengaruhi oleh kepercayaan hindu dan budha.
Karenanya melakonkan tabur beras kuning pada penyambutan calon pengantin pria merupakan prosesi yang bertentangan dengan ajaran islam. Pemujaan kepada dwi sri atau dewinya padi adalah syirik.
Lebih menjadi kacau lagi penaburan beras kuning tersebut diiringi dengan lantunan ucapan shalawat kepada Nabi Allah dengan suara keras. Ucapan shalawat tersebut tidak pada tempatnya karena bertentangan dengan Sunnah Rasullulah shallalahu 'alaihi wa sallam. Shalawat kepada Rasul sudah ditentukan tempatnya yaitu pada saat tahiyat dalam sholat dan ketika disebutkan nama Nabi ataupun Rasullullah.
Menaburkan beras kuning yang kadang-kadang dicampur dengan uang recehan dari logam merupakan perbuatan sia-sia dan penghamburan untuk hal-hal yang tidak ada manfaatnya. Allah melarang penghamburan harta untuk ha-hal yang tidak ada manfaatnya,karena termasuk mubazir.
Di dalam prosesi penaburan beras kuning adalah perbuatan munkar karena didalamnya memuat pekerjaan pemujaan kepada dewi padi, dan ini termasuk syirik, kemudian pengucapan shalawat yang tidak pada tempatnya yang disuruhkan oleh Rasullulah shallalahu 'slaihi was sallam, dan pekerjaan yang mubazir, menghambur-hamburkan beras yang bernilai tinggi.
Mengingat penaburan beras kuning bukan ajaran islam, tetapi merupakan tradisi yang diwarisi secara turun temurun, bahkan mengandung pemujaan kepada dewi padi menurut ajaran aninisme, hindu dan budha, maka wajib bagi umat islam untuk meninggalkannya. Jangan hanya berdalih untuk melestarikan tradisi, adat istiadat dan budaya tetapi aqidah menjadi korban. Ujung-ujungnya kemaksiatan dan dosa yang diperoleh.
Calon Pengantin Duduk Bersanding .
Bagian dari prosesi ritual pernikahan yang sudah tidak asing lagi dimata kita yang dilakukan oleh kebanyakan umat islam di negeri ini, adalah disandingkannya calon pengantin di depan penghulu atau imam P3NTR yang bertugas mengadministrasikan pernikahan dan juga diminta untuk mewakili wali/orang tua pengantin untuk menikahkah putrinya.
Didudukkannya calon pengantin, yaitu calon pengantin laki-laki disamping calon pengantin wanita menyalahi syari'at, karena laki-laki dan wanita yang bukan mahramnya haram duduk saling berdekatan, meskipun kemudian akan menjadi pasangan suami isteri. Tetapi sebelum akad nikah dilakukan mereka berdua tidak dibenarkan duduk berdampingan.
Dalam buku Shahih Fiqih Sunnah seperti disebutkan diatas juga dikemukakan larangan mendudukkan pengantin laki-laki dan wanita berdampingan, dan ini dikatakan sebagai kesalahan besar. Ini diharamkan karena beberapa alasan, diantaranya, karena laki-laki dapat leluasa menemui wanita. Nabi bersabda, " jangan kalian menemui wanita ".
Alasan lainnya, karena kaum laki-laki dan kaum wanita dapat leluasa berpandangan satu sama lain. Apalagi kedua jenis manusia itu berada dalam puncak perhiasannya. Keharaman duduk bersanding pengantin ini ditetapkan keharamannya oleh Dewan Ulama Besar Arab Saudi.
Syaikh Ibnu Utsaimin dalam fatwa beliau yang dimuat dalam buku Fatwa-Fatwa Kotemporer, ketika ditanya mengenai apa hukumnya tentang yang dilakukan oleh sebagian orang disaat pesta pernikahan dimana mereka menyandingkan kedua mempelai di depan kaum wanita dan mendudukkannya di kursi pengantin , pengantin pri itu haram hukumnya dan tidak boleh dilakukan , karena disandingkannya kedua mempelai pada acara tersebut menimbulkan fitnah ( maksiat ) danmembangkitkan gairah syahwat , bahkan bisa berbahaya terhadap mempelai wanita, karena bias saja mempelai pria melihat perempuan yang ada dihadapnnya yang lebih cantik daripada mempelai wanita (isterinya ) dan lebih bagus posturnya,hingga ia kurang tertarik kepada isteri yang ada disampingnya. Dimana ia mengira sebelumnya bahwa isterinya yang paling cantik dan lebih bagus. Maka wajib hukumnya menghindari perbuatan seperti itu ( menyandingkan kedua mempelai didepan undangan ).Semua kebiasaan buruk seperti itu bukanlah kebiasaan kaum muslimin,melainkan kebiasaan dan adat yang diada-adakan yang dibawa oleh musuh-musuh islam kepada kaummuslimin dan mereka pun mengikuti dan menirukannya.
Tidak berbeda apa yang dijelaskan oleh Syaikh bin Baz dalam buku yang sama, menjawab pertanyaan sekitar duduk bersandingnya pengantian didepan undangan. Beliau menyebutkan : diantara perkara munkar yang dilakukan banyak orang pada zaman sekarang ini adalah meletakkan tempat duduk (kursi pengantin) bagi kedua mempelai dihadapan para tamu undangan.
Beliau juga berkata : Saya nasihatkan kepada seluruh kaum muslimin agar selalu takut dan bertakwa kepadacAllah, berpegang teguh kepqada syariat islam dalam segala sesuatu danmenghindarkan segala yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala sert6a menjauhkan diri dari segala sebab keburukan dan kehancuran dalam melaksanakan pesta pernikahan dan masalah –masalah lainnya denganh mengharap ridha Allah Subhanahu Wa Ta’ala dann agar terhindar dari sergalasesuatub yang dapat mengundang mkurkab dan siksaan-Nya.
Permintaan Calon Pengantin wanita Kepada Wali Mohon Untuk Dinikahkan .
Dewasa ini ada kebiasaan baru dalam prosesi pernikahan, yaitu setelah calon pengantin duduk bersanding didepan penghulu ( imam P3NTR ) , sebelum akad nikah atau ijab qabul dilakukan, penghulu memerintahkan kepada calon pengantin wanita untuk menyampaikan permintaan kepada orang tua/ ayah atau yang menjadi walinya untuk mohon dinikahkan kepada calon pengantin laki-laki.
Untuk hal itu penghulu membimbing pihak calon pengantin wanita untuk mengikuti apa yang diucapkannya. Ucapan sang penghulu yang harus ditirukan oleh calon pengantin wanita antara lain berbunyi : " Ayah aku mohon agar aku dinikahkan dengan seorang laki-laki bernama si fulan bin fulan dengan mas kawin berupa ....."
Permohonan untuk dapat dinikahkan yang diajukan oleh calon pengantin wanita tersebut kepada ayahnya yang sekaligus sebagai walinya, pada masa-masa dahulu tidak pernah dilakukan. Karena hal tersebut memang tidak disyari'atkan dalam Islam. Namun karena ada salah seorang penghulu berinisiatip untuk menciptakan/membuat hal yang baru dan menganggapnya sebagai suatu kebaikan menurut perkiraan dan hawa nafsunya belaka, maka prosesi permohonan calon pengantin wanita untuk minta dinikahkah nampaknya kemudian dijadikan sebagai suatu kebiasaan, yang b erkembang dan diikuti penghulu-penghulu lainnya
Sehingga berkembanglah hal baru yang diada-adakan dalam prosesi pernikahan. Mengingat pernikahan termasuk salah satu ibadah, maka jadilah yang baru diada-adakan tersebut sebagai
bid'ah yang tertolak.
Orang tua dalam hal ini adalah si ayah telah memiliki hak perwalian yang melekat didirinya dan sah menurut hukum islam. Sehingga si orang tua sebagai wali meskipun tidak diminta oleh sang anak berhak untuk menikahkan putrinya, baik dengan cara langsung melakukan akad nikah dengan laki-laki bakal suami putrinya, atau dibolehkan juga menguasakan atau mewakilkannya kepada penghulu yang lazin juga disebut sebagai imam P3NTR.
Pemberian Kuasa Kepada Penghulu.
Syari'at membolehkan adanya pemberian kuasa oleh orang tua kepada penghulu untuk bertindak selaku wakil menikahkan atau melakukan ijab qabul nikah putrinya.
Namun di dalam pemberian kuasa atau penunjukan penghulu sebagai wakil dalam melakukan ijab qabul pernikahan disisipi dengan perbuatan yang tidak pernah dicontohkan atau dikerjakan baik oleh Rasullullah shallalahu 'alaihi wa sallam , maupun oleh para sahabat beliau, para tabi'in ( muridnya sahabat) dan para tabi'ut tabi'in ( muridnya tabi'in ). Tambahan sisipan itu ialah dilembagakannya pengucapan pemberian kuasa oleh si orang tua kepada penghulu.
Pengucapan dilakukan secara terbuka dengan suara yang keras didepan penghulu, serta disaksikan dan didengar oleh undangan yang hadir.
Pemberian kuasa kepada penghulu sebenarnya telah dilakukan oleh siorang tua pada saat yang bersangkutan mendatangi penghulu untuk melaporkan rencana pernikahan dan meminta penghulu datang menikahkan .
Sebagaimana prosesi permohonan calon pengantin wanita kepada ayahnya yang pengucapannya dituntun oleh penghulu, maka begitu juga pemberian kuasa si ayah calon pengantin wanita kepada penghulu pengucapannya dipandu oleh penghulu. Dimana penghulu memerintahkan kepada si ayah agar mengikuti kata-kata yang diucapkan penghulu.
Ucapan tersebut kurang lebihnya sebagai berikut : " Bapak penghulu, saya nama........bin....,.
dengan ini mewakilkan kepada bapak penghulu untuk menikahkan putri saya bernama ......
binti....... dengan laki-laki bernama ....... bin ......dengan mas kawan/ mahar ............"
Setelah selesai pengucapan pemberian kuasa tersebut maka sipenghulu mengucapkan kata-kata yang kurang lebihnya sebagai berikut :
" Insya Allah, saya selaku penghulu di kampung ini akan menikahkan putri bapak bernama .......
bin..... dengan laki-laki yang bernama .......bin........, dengan mas kawin/mahar .......... Saya berterimakasih atas kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk menikahkan putri bapak."
Pengucapan permohonan untuk minta dinikahkan yang diucapkan oleh calon pengantin wanita kepada ayahnya atau walinya , maupun penunjukan/penguasaan penghulu bertindak sebagai wakil dalampernikahan yang diucapkan secara terbuka dan suara keras seperti yang digambarkan itu merupakan perbuatan bid'ah, karena pada acara pernikahan beberapa kurun waktu yang lampau tidak pernah ada tradisi seperti acara pernikahan dikurun waktu seperti sekarang ini. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa hal itu adalah benar-benar suatu yang diada-adakan dan ditambah-tambahi saja oleh si penghulu dimasa sekarang. Seandainya itu adalah bagian dari prosesi pernikahan yang ada dalam ketentuan syari'at sebuah pernikahan, maka sejak dulu hal semacam ini telah dilakukan. Dan tentunya mereka- mereka yang menikah pada kurun waktu terdahulu telah melakoninya.
Pengucapan Dua Kalimat Syahadat dan Istigfar, Sebelum Ijab Qabul.
Pengucapan dua Kalimat Syahadat , secara syar'i telah ditentukan waktu dan tempatnya, sebagaimana yang dikerjakan dan dicontohkan oleh Rasullulah shallalahu 'alaihi wa sallam. Pengucapan Dua Kalimat Syahadat wajib dilakukan pada saat seseorang masuk kedalam islam agama. Selain itu pengucapan Syahadat diwajibkan juga pada saat azan, meskipun azannya sendiri kedudukan hukumnya adalah sunah, membaca Dua Kalimat syahadat juga diperintahkan pada saat duduk Tahiyat dalam sholat. Pada setiap khutbah juga ditetapkan sbagai tempat untuk dibacanya Dua Kalimant Syahadat dan juga beberapa tempat dan waktu lainnya.
Tetapi tidak ada satupun dalil yang menyebutkan diperintahkannya kepada calon pengantian laki-laki yang akan dinikahkan terlebih dahulu mengucapkan Dua Kalimat Syahadat dengan dibimbing oleh penghulu, layaknya seperti seseorang yang masuk islam.
Istigfar adalah kalimat yang diperintahkan kepada kita untuk membacanya, Rasullulah sendiri setiap harinya tidak kurang dari 70 kali mengucapkan istigfar. Istigfar merupakan kalimat dalam zikir yang kita ucapkan setelah menyelesaikan sholat. Pada dzikir pagi dan sore kita juga diajarkan oleh Rasullulah shallalahu 'alaih wa sallam membaca istigfar.
Istigfar teristimewa diucapkan setelah melakukan perbuatan dosa, sebagai wujud dari permintaan ampun dan taubat .
Meskipun kalimat istigfar mempunyai nilai keutamaan dan keistimewaan, bukan berarti istigfar harus diucapkan mengiringi ucapan Dua Kalimat Syahadat pada saat menjelang dilakukannya ijab qabul. Sebagaimana Dua Kalimat Syahadat, begitu juga dengan pengucapan istigfar tidak dalil yang dapat dijadikan pegangan sebagai ucapan pendahulun dari ijab qabul.
Bertempo/Terlambat Menyambut Jawaban Penghulu Pada Saat Ijab Qabul.
Kita sering menemukan pada acara pernikahan, penghulu harus mengulangi beberapa kali prosesi ijab qabul nikah, hal itu dilakukan karena para saksi menganggap pernikahan belum dapat disahkan, dengan dalih calon pengantin pria terlambat menyambut ucapan penghulu, sehingga ada jeda beberapa detik diantara ucapan penghulu yang terakhir dengan jawaban calon pengantin pria. Sehingga antara ijab dan qabul terputus atau tidak b ersambungnya antara ijab dan qabul. Atau juga dikarenakan si calon pengantin pria dalam mengucapkan kalimat menerima nikahnya pengantin wanita ( qabul ) terputus-putus, tidak bersambung dalam satu tarikan nafas.
Mengenai hal ini Ustadz A.Qadir Hasan yang termaktub dalam bukunya Kata Berjawab Solusi Untuk Berbagai Permasahan syari’ah , menjelaskan : biasanya ketika akad nihak , penghulu yang menikahka berkata: “ Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah binti Fulan dengan maharnya sekian “. Dan menurut saya cara yang diatur atur ulama selesai penghulu menyebutkan kata-katanya itu , langsung sipengantian pria menyambung dengan ucapan umpamanya : Saya menerima nikahnya si Fulanah binti Fulan dengan maharnya sekian. Jawaban pengantin pria tersebut apabila terlambat saja, disuruh mengulangnya . Terkadang sampai 3 kali . Terkadang perlu juga ditunda, kalau belum beres menyambungnya.
Semua macam aturan ini sama sekali tidak terdapat dalam agama kita . Itu adalah buatan manusia semata –mata. Oleh karena itu tidak ada halangan pengantin pria terlambat bertempo dalammenyambut ijak penghulu dengan tidak terbatas. Kapan saja pengantin pria menjawab ijab penghulu itu, serta siperempuanj suka, maka sahlah nikahnya.
Kehadiran saksi sebanyak dua orang dalam penyelenggaraan pernikahan merupakan syarat yang diwajibkan dalam islam. Sah tidaknya suatu pernikahan k ditentukan oleh kehadiran saksi, selain tentunya memenuhi syarat-syarat lainnya. Demikian disebutkan dalam buku Shahih Fiqih Sunnah oleh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim.
Kehadiran kedua saksi tersebut dimaksudkan untuk menyaksikan bahwa benar-benar telah terjadi pernikahan antara seseorang pria dengan seseorang wanita .
Dengan demikian bukan berarti tugas kedua saksi tersebut untuk mendengarkan secara seksama apakah kalimat yang diucapkan oleh penghulu ( ijab) tidak terlambat dijawab/disambut oleh pengantin pria dalam menerima nikahnya ( qabul ) . Sehingga untuk menghindari jangan sampai akad nikahnya dikatakan tidak sah atau ditolak oleh saksi maka sipengantin pria terpaksa cepat-cepat sdan terburu-buru untuk mengucapkan kalimat qabul. Disini Nampak sepertinya para saksi sangat berperanan dalam memutuskan sah tidaknya sebuah pelaksanaan akd nikah ( ijab dan qabul ).
Ketentuan sedemkian sebenarnya tidak dituntut oleh syar'i, karena tidak ada satu dalilpun yang mengaturnya. Di daerah yang berbeda ketentuan seperti itu tidak pernah diketemukan. Sehingga dengan demikian sangat jelaslah bahwa ketentuan tersebut adalah hal-hal baru yang dibuat-buat oleh mereka yang jahil terhadap agama..
Pernyataan ShighotTa'liq Thalaq Setelah Akad Nikah.
Setelah prosesi akad nikah dinyatakan sah oleh saksi, penghulu memerintahkan kepada pengantin pria untuk membacakan pernyataan ta'liq thalaq, yang di dalamnya memuat janji pengantin pria untuk menggauli isterinya secara ma'ruf, serta kebolehan sang isteri menuntut cerai kepada suami , sebagai akibat suami melalaikan kewajibannya, yang antara lain meninggalkan isteri selama 3 bulan berturut-turut, tidak memenuhi kebutuhan nafkah kepada isteri, termasuk didalamnya nafkah bathin .
Pernyataan yang harus dibacakan didepan penghulu dan didepan pengantin wanita oleh pengantin pria, selalu kita dapati di dalam setiap prosesi pernikahan, namun sebenarnya tidak berdasarkan kepada perintah syar'i. Meskipun isi pernyataan tersebut benar dan sah.
Tidak ada satupun riwayat bahwa Rasullulah shallalahu 'alaihi wa sallam, dan para sahabat, pewrnah melakukan hal seperti itu. Sehingga tidak ada contohnya.
Rasullulah shallalhu ‘alaihi wa sallam beserta para sahabat beliau adalah ikutan umat islam, dan kita berkewajiban mencontoh serta mengerjakan apa yang beliau-beliau dahalu lakukan, dan meninggalkan/ menjauhi apa-apa yang tidak dikerjakan oleh para beliau-beliau terdahulu .Inilah yang dinamakan it'tiba. Dengan it’tiba kita akan menjadi orang-orang yang termasuk dalam golongan yang selamat.
Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdatul Ulama ke -3 di Surabaya pada tanggal 12 Rabiul Tsani 1347 H 28 September 1928 M , sebagaimana termaktub dalam buku Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdatul Ulama Kesatu/1926 s/d ketigapuluh /2000 jilid 1 yang disusun oleh KH.A.Aziz Masyhuri Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma'ahidil Islamiyah, menyebutkan bahwa perintah penghulu/naib untuk mengucapkan ta'liq thalaq itu hukumnya kurang baik karena ta'liq thalaq itu sendiri hukumnya makruh. Walaupun demikian , ta'liq thalaq itu sah , artinya bila dilanggar dapat jatuh talaqnya. ( Keterangan terdapat vdalam kitab I'anatut Thalibin Jus IV )
Nahdatu Ulama organisasi Islam terbesar di Indonesia yang menyebut dirinya sebagai ahlussunnah wal jamaah, dan jadi banyak panutan orang, yang membenarkan adanya bid'ah hasanah, melalui Muktamar Ulama sebagaimana dikutipkan diatas, secara tegas menyatakan makruhnya ta'liq thalaq ,sehingga hal semacam itu seharusnya ditinggalkan.Bukannya dijadikan tradisi dan melembaga di dalam pernikahan, sehingga sebagian orang yang jahil menggapnya suatu keharusan dan bila ditinggalkan pernikahannya menjadi tidak afdol .
Penyerahan Maskawin atau Mahar.
Sejatinya maskawin atau mahar sudah diserahkan oleh pihak keluarga pria jauh-jauh hari sebelum pernikahan, tetapi dalam acara pernikahan kembali diseremonialkan dan diskenariokan oleh keluarga dan penghulu, dimana mas kawin atau mahar yang diserahkan dibuat berupa paket Al-Qur'an dan perlengkapan sholat .
Penghulu memerintahkan kedua pasangan pengantin untuk duduk saling berhadapan, dan kepada pengantin pria yang ditangannya memegang paket mahar diminta untuk meniru ucapan penghulu yang kurang lebihnya berbunyi : " Isteriku tercinta, terimalah mahar/maskawin dari aku berupa Al-QAur'an dan seperangkat perlengkapan sholat". yang diikuti dengan penyerahan mahar tersebut kepada pengantin wanita. Setelah pengantin wanita menerima mahar dari tangan pengantin pria, penghulu memberikan giliran perintah kepada penganti wanita agar menirukan ucapannya, yang kurang lebihnya berbunyi sebagai berikut :
" Suamiku tercinta, adinda menerima dengan senang hati dan ikhlas atas pemberian mas kawin/mahar dari kanda tercinta "
Prosesi seperti itu dilakukan sebagai hasil rekayasa buah pikiran yang diikuti oleh hawa nafsu yang mendapatkan bisikan dari syaitan, karena sebenarnya tidak ada dasarnya sama sekali yang bersifat syar'i. Prosesi penyerahan mahar/maskawin seperti yang disebutkan diatas pantasnya disebut sebagai bid'ah, karena hanya dibuat-buat dan dianggap baik menurut pikiran, bukan baik menurut syar'i. Seharusnya didalam segala hal yang berkaitan dengan agama dan ibadah yang termasuk pernikahan, berpedoman kepada ketentuan syar', baik yang bersumber dari Al-Qur'an, Assunnah Rasul dan atsar para shahabat , sehingga dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.
Pertukaran Cincin Kawin.
Termasuk pertukaran cincin kawin antara pasangan pengantian pria dan wanita setelah akad nikah adalah perkara baru dan diada-adakan. Prosesi ini tidak pernah ada sebelumnya karena memang tidak disyari'atkan dalam islam. Kecuali dalam beberapa tahun terakhir ini, para penghulu beriinisiatif dengan memerintahkan kepada pasangan pengantin pria dan pengantin wanitanya melakukan pertukaran cincin kawin, kemudian memerintahkan kepada si pengantin pria mencium pengantin wanitanya.
Didalam prosesi pertukaran cincin ini sebagai layaknya dalam adegan film dan sinetron telah terjadi beberapa kemunkaran yang tidak disadari, termasuk penghulu yang dianggap orang yang berilmu melakukannya dengan sengaja tanpa merasa berdosa.
Kemunkaran tersebut antara lain :
1. Pertukaran cincin termasuk perilaku tasyabbuh ( meniru-niru ) kepada kaum non muslim yang dilarang oleh Rasullullah shallalahi 'alaihi wa sallam.
2. Penggunaan cincin emas oleh laki-laki yang diharamkan oleh agama.
3. Adegan mencium wanita oleh pria didepan umum, meskipun dilakukan oleh pasangan suami isteri yang sah, adalah perbuatan tercela.
Kebiasaan pertukaran cincin antara pengantin pria dengan pengantin wanita dilakukan oleh kaum Nasrani yang dilakukan di gereja di depan pendeta/pastur yang mengawinkan mereka. Adat lkebiasaan ini kemudian ditiru/ diikuti oleh kaum muslimin, agar nampak lebih b ergengsi dan dianggap lebih modern. Namun ternyata mereka telah melanggar larangan Allah Ajja Zawalla.
Ibnu Taimiyah berkata bahwa Abu Dawud telah meriwayatkan sebuah hadits hasan dari Ibnu ‘Umar.
ia berkata bahwa Rasullulah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Barang siapa meniru-niru suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka “
Hadits diatas menetapkan haramnya meniru-niru mereka dan secara dhahir perbuatan itu menunjukkan bahwa perbuatan itu kufur sebagaimana tersebut pada firman Allah pada surah Al-Maidah aqyat 51 :
“ Barang siapa diantara kamu yang berteman dengan mereka ,maka sesungguhnya ia termasukgolongan mereka “
Hadits diatas biasa berarti bahwa meniru-niru perilaku mereka sepenuhnya menyebabkan kekafiran, sekaligus menetapkan b ahwa perbuatan semacam itu haram.
Hiburan Musik dan Nyanyi-Nyanyian.
Sudah menjadi suatu kelaziman dan tradisi yang tidak bisa lagi ditinggalkan oleh sebagian besar kaum muslimin di negeri ini di dalam setiap kesempatan mereka menyelenggarakan acara-acara pesta baik baik tasmiyah/pemberian nama dan aqiqah, khitanan dan terlebih-lebih lagi dalamacara pernikahan
, yang diselenggarakan di rumah atau di gedung- gedung tidak pernah ketinggalan menyediakan hiburan berupa music dan nyanyi-nyanyian. Ada anggapan bahwa acara-acara dengan mengundang banyak orang kurang afdol kalau tidak ada hiburannya,b aik berupa hiburan musik yang bersifat tradisional, band atau musik gambus ala Timur Tengah yang di klaim sebagai musik islami.
Selain musik tentunya tidak lengkap kalau tidak diiringi dengan nyanyian, kadang-kadang biar dianggap islami disajikan nyanyi-nyanyian berupa qasidah dan nasyid.
Sehubungan dengan musik dan nyanyi-nyanyian , oleh kalangan ulama disebutkan bahwa di dalam islam termasuk yang dilarang.
B erkenaan dengan musik dan nyanyian Bin Baz mengatakan : sesungguhnya mendengarkan nyanyian atau lagu hukumnya haram dan merupakan perbuatan munkar yang dapat menimbulkan penyakit, kekerasan hati dan dapat membuqat kita lalai dari mengingatAllah serta lalai melaksanakan sholat. Kebanyakan ulama menafsirkan kata lahwal hadits ( ucapan yang tidak berguna ) dalam firman Allah dengan nyanyian atau lagu.:
“ Dan diantara manusia ( ada ) yang mempergunakan ucapan yang tidak berguna “ ( QS.Luqman: 6 )
Abdullah bin Mas’ud radhyallahu anhu b ersumpah bahwa yang dimaksud dengan kata lahwul hadits adalah nyanyian atau lagu. Jika lagu itu diiringi musik rebab, kecapi, biola, serta gendang, maka kadar keharamannya semakin bertambah. Sebagian ulama bersepakat bahwa nyanyian yang diiringi oleh alat musik hukumnya adalah haram,maka wajib untuk dijauhi. Dalamsebuah hadits shahih, Rasullulah shallalahu ‘alaihi wa sallambersabda :
“ Sesungguhnya akan ada segolongan orang dari kaumku yang menghalalkan zinah, kain sutera, khamer dan alat musik “ ( HR. Bukhari ).
Syaikh Ibnu Utsaimin berfatwa bahwa menabuh gendang yang disebut rebana pada hari resepsi pernikahan itu boleh atau sunnah, jika hal itu dilakukan dalam rangka menyiarkan nikah, akan tetapi dengan syarat-syarat: pertama gendang yang digunakan adalah rebana, yaitu gendang yang hanya tertutup satu bagian saja, sedangkan bagian lainnya terbuka. Syarat kedua tidak dibarengi dengan sesuatu yang diharamkan seperti lagu murahan yang membangkitkan birahi. Lagu seperti ini dilarang, baik dialunkan dengan gendang maupun tidak, diwaktu pesta pernikahan atau lainnya. Ketiga , tidak menimbulkan fitnah ( kemaksiatan) , seperti suara merdu bagi laki-laki. Jika hal itu dapat mengundang fitnah maka haramhukumnya.Dan syarat yang keempat yaitu tidak menggangggu orang lain. Dan jika ternyata mengganggu orang lain maka dilarang, seperti lagunya dilantunkan dengan pengeras suara. Ini dapat menggangu tetangga dan orang lain yang merasa resah dengannya dan juga tidak lepas dari fitnah.
Dari fatwa tersebut diatas maka adanya hiburan berupa musik dan lagu-lagu di dalam acara pernikahan dilarang, karenanya keluarga yang menyelenggarakan acara pernikahan sebaiknya menjauhi perbuatan munkar tersebut.
Berkenaan dengan keharaman musik , maka para ulama dikalangan Nahdatul Ulama dalam hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdatul Ulama ke 1 di Surabaya pada tanggal 13 Rabiul Tsani 1345 H/ 21 Oktober 1926 ,memutuskan bahwa segala macam alat-alat orkes ( musik ) seperti seruling dengan segala macam jenisnya dan alat-alat orkes ( musik ) lainnya kesemuanya haram.
K e s i m p u l a n .
Dari apa yang dikemukakan diatas , dapatlah disimpulkan bahwa di dalam penyelenggaraan acara pernikahan dilingkungan kaum muslimin di negeri ini , sudah banyak menyalahi aturan-aturan yang digariskan dalam syari’at islam, baik dalam bentuk dilakukannya beragam kemunkaran maupun ditambahinya hal-hal yang bersifat baru dalam prosesi akad nikah/ ijab qabul, yang lebih dikenal dengan sebutan perbuatan bid’ah.
Penyimpangan dari syari’at islam dalam penyelenggaraan acara pernikahan tidak saja dilakukan oleh pihak penyelenggara dalam hal ini keluarga mempelai, tetapi penyimpangan dari syari’at dilakukan pula oleh penghulu atau yang biasa disebut dengan imam P3NTR. Malah sepertinya ada sebagian para penghulu mencari trobosan baru di dalam melakukan prosesi akad nikah/ijab qabul dengan menambah-nambahkan sesuatu yang baru,yang menurut perkiraan mereka baik, tetapi malah sebaliknya menurut timbangan syari’at, karena mereka telah bertindak terlalu jauh dengan menetapkan aturan baru, yang pada hakekatnya sama dengan menganggap aturan syari’at masih belum sempurna .
Syari’at islam dalam mengatur tata cara pernikahan cukup sederhana, tidak bertele-tele dan tidak menyulitkan bagi umatnya, tetapi malah ada diantara umat ini yang membuat aturan yang menyulitkan diri merekqa sendiri, namun kondisi inilah yang dikembangkan menjadi trend di zaman yang penuh dengan b erbagai kemunkaran dan bid’ah. ( Wallaahu Ta’ala ‘alam )
Daftar pustaka :
1.Al-Qur’an dan terjemahan ( Departemen Agama R.I )
2. Shahih Bukhari oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Bani.
3. Shahih Muslim oleh Syaikh Muhammad Nashirudin al-Bani.
4. Shahih Sunan Abu Dawud oleh Syaikh Muhammad Nashirudinal- Bani.
5. Shahih Fiqih Sunnah oleh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim.
6. Kata Berjawab oleh A.Qadir Hasan
7. Fatwa-fatwa Terkini oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dkk.
8. Parasit Aqidah oleh A.D.EL.Marzdedeq
9. Tasyabbuh Yang Dilarang Dalam Fiqih Islam oleh Jamilbin Habib Al-Luwaihiq.
10. Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan MunasUlama Nahdatul Ulama oleh KH. A.Aiz Masyhuri.
Kamis, menjelang zuhur, 18 Rajab 1431 H / 1 Juli 2010
Dipost kan pada http://musnijaprie-alpaseriy.blogspot.com
M U K A D D I M A H
M U K A D D I M A H : Sesungguhnya, segala puji hanya bagi Allah, kita memuji-Nya, dan meminta perlindungan kepada-Nya dari kejahatan diri kami serta keburukan amal perbuatan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tak ada yang dapat menyesatkannya. Dan Barang siapa yang Dia sesatkan , maka tak seorangpun yang mampu memberinya petunjuk.Aku bersaksi bahwa tidak ada Rabb yang berhak diibadahi melainkan Allah semata, yang tidak ada sekutu baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad shalallahu’alaihi wa sallam adalah hamba dan utusannya.
Rabu, 30 Juni 2010
BERBAGAI PERBUATAN MUNKAR DAN BID’AH DI DALAM ACARA PERNIKAHAN.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar