Menurut fatwa MUI, mengikuti upacara Natal bersama
bagi ummat Islam hukumnya haram dan agar umat Islam tidak terjerumus kepada
syubhat dan larangan Allah Swt dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan
perayaan Natal.
Silang pendapat (khilafiyah) terjadi di kalangan
ulama kontemporer. Ada yang mengharamkan dengan dalih hal itu merupakan masalah
akidah –mengucapkan selamat berarti menyetujui akidah/keyakinan mereka. Ada
pula yang menyebutnya mubah (boleh) dengan alasan hal itu merupakan masalah
“mu’amalah” (hubungan sosial).
Pendapat terkuat adalah tidak boleh bagi seorang
Muslim mengucapkan Selamat Natal, juga haram mengadiri perayaannya (memenuhi
undangan perayaan Natal). Kaum Musim cukup dengan menghormati mereka yang
merayakannya dengan tidak mengganggunya.
Yang
Membolehkan
Ulama yang membolehkan mengucapkan Selamat Natal, di
antaranya Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi. Ulama asal Mesir yang kini tinggal di
Qatar ini berpendapat:
“Perubahan kondisi global menjadikanku berbeda
dengan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam mengharamkan pengucapan selamat
hari-hari agama orang-orang Nasrani atau yang lainnya. Aku (Yusuf al-Qaradhawi)
membolehkan pengucapan itu apabila mereka (orang-orang Nasrani atau nonmuslim
lainnya) adalah orang-orang yang cinta damai terhadap kaum muslimin, terlebih
lagi apabila ada hubungan khsusus antara dirinya (nonmuslim) dengan seorang
muslim, seperti kerabat, tetangga rumah, teman kuliah, teman kerja dan
lainnya.”
Dari Indonesia, cendekiawan Prof. Dr. Sofjan
Siregar, MA berpendapat: “Mengucapkan selamat Natal oleh seorang muslim
hukumnya mubah, dibolehkan. Mengucapkan selamat Natal adalah bagian dari
mu’amalah, non-ritual. Pada prinsipnya semua tindakan non-ritual adalah
dibolehkan, kecuali ada nash ayat atau hadits yang melarang.”
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof DR
HM Din Syamsuddin MA, mengaku terbiasa mengucapkan selamat Natal kepada pemeluk
Kristen. “Saya tiap tahun memberi ucapan selamat Natal kepada teman-teman
Kristiani,” katanya tahun 2005.
Lembaga Riset dan Fatwa Eropa juga membolehkan
pengucapan selamat Natal jika mereka bukan termasuk orang-orang yang memerangi
kaum muslimin, khususnya dalam keadaan kaum muslimin sebagai kaum minoritas di
sebuah negara.
“Tidak dilarang bagi seorang muslim atau Markaz
Islam memberikan selamat atas perayaan ini, baik dengan lisan maupun pengiriman
kartu ucapan yang tidak menampilkan simbol mereka atau berbagai ungkapan
keagamaan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam seperti salib,”
tegasnya.
Ulama lain yang membolehkan antara lain Dr. Abdus
Sattar Fathullah Sa’id (Universitas Al-Azhar), Dr. Muhammad Sayyid Dasuki
(Univrsitas Qatar), Ustadz Musthafa az Zarqo, serta Syeikh Muhammad Rasyid
Ridho.
Yang
Mengharamkan
Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Syeikh Ibn Baaz, Syeikh
Ibnu Utsaimin, Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Huqoil, dan lainnya berpendapat,
mengucapkan selamat Hari Natal hukumnya haram karena perayaan ini adalah bagian
dari syiar-syiar agama mereka. Allah tidak meridhai adanya kekufuran terhadap
hamba-hamba-Nya.
Fatwa ulama besar Arab Saudi, Syaikh Muhammad bin
Sholeh Al-Utsaimin. Menurutnya, mengucapkan Selamat Natal atau mengucapkan
selamat dalam hari raya mereka (dalam agama) yang lainnya pada orang kafir
adalah sesuatu yang diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama (ijma’ kaum
muslimin), sebagaimana dikemukakan Ibnul Qoyyim dalam kitab Ahkamu Ahlidz
Dzimmah. Menurut Iblul Qayyim, ucapan selamat hari raya kepada mereka sama saja
dengan kita mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib.
Syaikh Utsaimin juga mengatakan: “Tidak
diperbolehkan seorang muslim pergi ke tempat seorang pun dari orang-orang
kafir, lalu kedatangannya ke sana ingin mengucapkan selamat hari raya, walaupun
itu dilakukan dengan tujuan agar terjalin hubungan atau sekadar memberi selamat
(salam) padanya. Karena terdapat hadits dari Nabi Saw: “Janganlah kalian
mendahului Yahudi dan Nashara dalam salam (ucapan selamat).” (HR. Muslim).
Ketua Al Lajnah Ad Da’imah Arab Saudi, Syaikh Abdul
Aziz bin Abdillah bin Baz, juga mengharamkan ucapan Selamat Natal.
Hari
raya orang-orang kafir identik dengan agama mereka
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Bahwasanya hari-hari raya itu merupakan bagian dari lingkup syariat, ajaran
dan ibadah….seperti halnya kiblat, shalat dan puasa. Maka tidak ada bedanya
antara menyepakati mereka didalam hari raya mereka dengan menyepakati mereka
didalam segenap ajaran mereka….bahkan hari-hari raya itu merupakan salah satu
ciri khas yang membedakan antara syariat-syariat (agama) yang ada. Juga (hari
raya) itu merupakan salah satu syiar yang paling mencolok.” (Iqtidha’ Shiratil
Mustaqim hal. 292)
Setiap
umat beragama memiliki hari raya
Perkara ini disitir oleh Allah didalam firman-Nya
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ
(artinya): “Untuk setiap umat (beragama) Kami
jadikan sebuah syariat dan ajaran”. (Al Maidah: 48).
Bahkan dengan tegas Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya bagi setiap kaum (beragama) itu
memiliki hari raya, sedangkan ini (Iedul Fithri atau Iedul Adha) adalah hari
raya kita.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Akan tetapi muncul sebuah permasalahan tatkala kita
mengingat bahwa orang-orang kafir (dalam hal ini kaum Nashrani) telah
mengubah-ubah kitab Injil mereka sehingga sangatlah diragukan bahwa hari raya
mereka yaitu Natal merupakan ajaran Nabi Isa ?. Kalaupun toh, Natal tersebut
merupakan ajaran beliau, maka sesungguhnya hari raya tersebut -demikian pula
seluruh hari raya orang-orang kafir- telah dihapus dengan hari raya Iedul
Fithri dan Iedul Adha. Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya (dua
hari raya Jahiliyah ketika itu-pent) dengan hari raya yang lebih baik yaitu:
Iedul Adha dan Iedul Fithri.” (H.R Abu Daud dengan sanad shahih)
SIKAP SEORANG MUSLIM TERHADAP HARI RAYA ORANG-ORANG
KAFIR
Menanggapi upaya-upaya yang keras dari orang-orang
kafir didalam meredam dan menggugurkan prinsip Al Bara’ melalui hari raya
mereka, maka sangatlah mendesak untuk setiap muslim mengetahui dan memahami
perkara-perkara berikut ini:
1.
Tidak Menghadiri Hari Raya Mereka
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
rahimahullah berkata: “Berbaurnya kaum muslimin dengan selain muslimin dalam
acara hari raya mereka adalah haram. Sebab, dalam perbuatan tersebut mengandung
unsur tolong menolong dalam hal perbuatan dosa dan permusuhan. Padahal Allah
berfirman
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا
عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ
(artinya): “Dan tolong menolonglah kalian dalam
kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah kalian tolong menolong didalam dosa dan
pelanggaran.” (Al Maidah:2)
Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa kaum
muslimin tidak boleh ikut bersama orang-orang kafir dalam acara hari raya
mereka karena hal itu menunjukan persetujuan dan keridhaan terhadap agama
mereka yang batil.” (Disarikan dari majalah Asy Syariah no.10 hal.8-9)
Berkaitan dengan poin yang pertama ini, tidak
sedikit dari para ulama ketika membawakan firman Allah yang menceritakan
tentang sifat-sifat Ibadurrahman
(artinya): “(Yaitu) orang-orang yang tidak
menghadiri kedustaan.” (Al Furqan:73)
mereka menafsirkan “kedustaan” tersebut dengan
hari-hari raya kaum musyrikin (Tafsir Ibnu Jarir…/….)
Lebih parah lagi apabila seorang muslim bersedia
menghadiri acara tersebut di gereja atau tempat-tempat ibadah mereka. Rasulullah
mengecam perbuatan ini dengan sabdanya:
“Dan janganlah kalian menemui orang-orang musyrikin
di gereja-gereja atau tempat-tempat ibadah mereka, karena kemurkaan Allah akan
menimpa mereka.” (H.R Al Baihaqi dengan sanad shahih)
2.
Tidak Memberikan Ucapan Selamat Hari Raya
Didalam salah satu fatwanya, beliau (Asy Syaikh Ibnu
Utsaimin) mengatakan bahwa memberikan ucapan selamat hari raya Natal kepada
kaum Nashrani dan selainnya dari hari-hari raya orang kafir adalah haram.
Keharaman tersebut disebabkan adanya unsur keridhaan dan persetujuan terhadap
syiar kekufuran mereka, walaupun pada dasarnya tidak ada keridhaan terhadap
kekufuran itu sendiri. Beliau pun membawakan ayat yaitu
إِن تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ ۖ وَلَا
يَرْضَىٰ لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ ۖ وَإِن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ ۗ
artinya: “Bila kalian kufur maka sesungguhnya Allah
tidak butuh kepada kalian. Dia tidak ridha adanya kekufuran pada
hamba-hamba-Nya. (Namun) bila kalian bersyukur maka Dia ridha kepada kalian.”
(Az Zumar:7).
Juga firman-Nya
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
artinya: “Pada hari ini, Aku telah sempurnakan agama
ini kepada kalian, Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian dan Aku ridhai Islam menjadi
agama kalian.” (Al Maidah:3)
Beliau juga menambahkan bahwa bila mereka sendiri
yang mengucapkan selamat hari raya tersebut kepada kita maka kita tidak boleh
membalasnya karena memang bukan hari raya kita. Demikian pula, hal tersebut
disebabkan hari raya mereka ini bukanlah hari raya yang diridhai Allah karena
memang sebuah bentuk bid’ah dalam agama asli mereka. Atau kalau memang
disyariatkan, maka hal itu telah dihapus dengan datangnya agama Islam.”
(Majmu’uts Tsamin juz 3 dan Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan
1/255)
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa
orang yang mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir pada hari raya mereka,
kalaupun dia ini selamat dari kekufuran maka dia pasti terjatuh kepada
keharaman. Keadaan dia ini seperti halnya mengucapkan selamat atas sujud mereka
kepada salib. (Ahkamu Ahlidz Dzimmah)
3.
Tidak Tukar Menukar Hadiah Pada Hari Raya Mereka
Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan:
“Telah sampai kepada kami (berita) tentang sebagian orang yang tidak mengerti
dan lemah agamanya, bahwa mereka saling menukar hadiah pada hari raya Nashrani.
Ini adalah haram dan tidak boleh dilakukan. Sebab, dalam (perbuatan) tersebut
mengandung unsur keridhaan kepada kekufuran dan agama mereka. Kita mengadukan
(hal ini) kepada Allah.” (At Ta’liq ‘Ala Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal. 277)
4.
Tidak Menjual Sesuatu Untuk Keperluan Hari Raya Mereka
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan
bahwa seorang muslim yang menjual barang dagangannya untuk membantu kebutuhan
hari raya orang-orang kafir baik berupa makanan, pakaian atau selainnya maka
ini merupakan bentuk pertolongan untuk mensukseskan acara tersebut. (Perbuatan)
ini dilarang atas dasar suatu kaidah yaitu: Tidak boleh menjual air anggur atau
air buah kepada orang-orang kafir untuk dijadikan minuman keras (khamr).
Demikian halnya, tidak boleh menjual senjata kepada mereka untuk memerangi
seorang muslim. (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.325)
5. Tidak Melakukan Aktivitas-Aktivitas
Tertentu Yang Menyerupai Orang-Orang Kafir Pada Hari Raya Mereka
Didalam fatwanya, Asy Syaikh Ibnu Utsaimin
mengatakan: “Dan demikian pula diharamkan bagi kaum muslimin untuk meniru
orang-orang kafir pada hari raya tersebut dengan mengadakan perayaan-perayaan
khusus, tukar menukar hadiah, pembagian permen (secara gratis), membuat makanan
khusus, libur kerja dan semacamnya. Hal ini berdasarkan ucapan Nabi :
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia
termasuk kaum tersebut.” (H.R Abu Daud dengan sanad hasan). (Majmu’uts Tsamin
juz 3)
Dosakah
melakukan hal diatas dalam rangka basa - basi (mudahanah)
Selanjutnya didalam fatwa itu juga, beliau
mengatakan: “Dan barangsiapa melakukan salah satu dari perbuatan tadi (dalam
fatwa tersebut tanpa disertakan no 1,3 dan 4) maka dia telah berbuat dosa, baik
dia lakukan dalam rangka bermudahanah, mencari keridhaan, malu hati atau
selainnya. Sebab, hal itu termasuk bermudahanah dalam beragama, menguatkan
mental dan kebanggaan orang-orang kafir dalam beragama.” (Majmu’uts Tsamin juz
3)
Sedangkan mudahanah didalam beragama itu sendiri
dilarang oleh Allah . Allah berfirman
وَدُّوا لَوْ تُدْهِنُ فَيُدْهِنُونَ
(artinya): “Mereka (orang-orang kafir) menginginkan
supaya kamu bermudahanah kepada mereka lalu mereka pun bermudahanah pula
kepadamu.” (Al Qalam:9)
Orang orang kafir bergembira bila kaum muslimin ikut
berpartisipasi dalam hari raya mereka
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“Oleh karena itu, orang-orang kafir sangat bergembira dengan partisipasinya
kaum muslimin dalam sebagian perkara (agama) mereka. Mereka sangat senang
walaupun harus mengeluarkan harta yang berlimpah untuk itu.” (Iqtidha’ Shiratil
Mustaqim hal.39).
Wallahu a’lam.
(kabarislam.com. Sumber: assalafy.org, Eramuslim.com,
Muslim.or.id, Voa-Islam.com, islamonline.net, artikel Asy Syaikh Soleh Al
Fauzan di wawansri.wordpress.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar